El Academy [Proses Revisi]

By RiaethShiba

79.8K 5.3K 399

[Fantasy-Minor Romance] Three Kingdom The Series #1 Hembusan Rusa yang Bebas. Itu adalah arti namanya; Oilien... More

El Academy-Victorian
Chapter 1 : Flamers
Meet The Character!
Chapter 2 : Dandelion
Chapter 3 : Si Rambut Silver
Chapter 4 : Ujian
Chapter 5 : Aukwood
Chapter 6 : Necklace
Chapter 7 : Teman atau Musuh?
Chapter 7.5 : Teman atau Musuh?
Chapter 8 : His Brother
Chapter 9 : The Last Day
Chapter 10 : Ini Salah!
Chapter 11 : Pangeran Malam
Chapter 12 : A Time to Remember
Chapter 13 : Lost that "Blue"
Chapter 14 : Saying Good "Bye"
Chapter 15 : Red Rose
Chapter 16 : Doll
Chapter 17 : The Meaning
Chapter 18 : Let Me?
Chapter 19 : White Lie
Chapter 20 : Cold Truth Or Warm Dare?
Chapter 21 : Something Changed
Chapter 22 : Untrusted
Chapter 23 : Grey Suicide
Attention Please!
Chapter 24 : Heart of Fire
Chapter 25 : Can You See My Heart?
Chapter 26 : Fall Behind
Chapter 28 : Apriori

Chapter 27 : Termodinamika

890 65 8
By RiaethShiba

[Mulmed : Mr. Alvian]

Jangan lupa tinggalkan jejak!
Vote maupun komen kalian sangatlah berharga 😊

❤❤❤

"Tetap bertahan meski telah kecewa beberapa kali.

Aku ini setia atau bodoh?"

- Unknown. -

❤❤❤

Aaric tidak tahu apa yang membuatnya mendatangi tempat ini setelah sekian lama. Sebuah kastil tua yang seingatnya dulu begitu terawat, sekarang kusam dan ditumbuhi semak-semak belukar. Matanya menjelajahi waktu seakan kembali ke masa lalu. Hatinya menghangat sejenak saat mengingat masa itu.

Warna langit mulai menguning, salju mengepung sekitarnya, namun lelaki bersurai gelap itu tak beranjak sedikit pun dari tempatnya berdiri. Rasanya jika ia bergerak seinchi pun, memori indahnya akan hilang tak membekas tergantikan oleh teriakan amarah sang ayah pada ibundanya.

Spontan Aaric menggeleng kuat. Tangan kanannya memukul dada kiri miliknya berulang kali. Hampa, awalnya hampa. Namun kenapa ia begini lagi? Kenapa ia menjadi lemah begini?

Aaric seharusnya tidak mendekati gadis itu. Semua rencananya sia-sia saja. Lagipula bukankah ada yang menginginkan gadis itu mati juga?

Akan tetapi, kenapa rasanya Aaric tak rela? Haruskah Aaric membunuh gadis itu dengan tangannya sendiri?

"GILA KAU! GILA!" Aaric menggeram frustrasi. Perlahan kakinya tertekuk membuatnya berjongkok di depan pintu bersimbol perisai elang di kedua sisinya.

Seharusnya tidak seperti ini. Seharusnya ... ia membiarkan gadis itu mati saja. Menyusahkan! Menghambat! Semua hal yang buruk ada pada gadis itu!

Tetapi ...

"Aku tak ingin ..." Aaric mendesah sembari menggigit bibirnya. Matanya terpejam menikmati udara dingin yang membelai lembut permukaan kulitnya. Namun, ia belum terusik sama sekali.

"Pangeran di sini?"

Lelaki bersurai hitam itu sontak menoleh kaget mendapati sesosok pengawalnya yang ia percayakan untuk menjaga tempat ini. Walaupun bagian luar kastil terlihat buruk tak terawat, Aaric tahu, bagian dalamnya luar biasa.

"Harold Arthur," ucap Aaric lirih. Ia berdiri tegak, lalu membersihkan debu yang tak terlihat di bajunya dengan kedua tangan. "Kuharap kau tak melihat kejadian barusan."

Arthur tersenyum memaklumi. "Pangeran mau makan dahulu? Saya siapkan nanti."

"Satu saja, jangan betina." Aaric mendesah kecil. "Kalau bisa lelaki berambut putih seperti kakek-kakek, tapi usianya masih remaja. Orangnya jelas tidak lebih tampan dariku. Tingginya sekitar 175 cm, berkulit albino, suka sekali membuat kesal. Tolong bawa makanan seperti itu ke mari."

Tidak tahu saja, pengawal Aaric yang satu ini ternganga mendengar ciri-ciri yang baru saja disebutkan. Bagaimana ia bisa mendapatkan makanan tuannya dengan ciri-ciri tersebut?

"Pangeran ..." Mata Arthur mendelik kecil, namun tetap bersikap sopan. "Pangeran memang sedang ingin makan itu atau sedang membencinya sampai ingin memakannya?"

"Dua-duanya."

"Tapi pangeran, saya belum pernah melihat manusia albino yang membuat kesal pangeran, namun belum pangeran habisi." Arthur menunduk sopan, tanpa ketakutan sama sekali. "Maaf jika lancang, tetapi pangeran bisa beri informasinya pada saya mengenai orang itu. Nanti saya akan menghabisinya sendiri jika pangeran tak mau mengotori tangan pangeran dengan darahnya."

Kini giliran Aaric yang terdiam. Menghabisi lelaki itu? Boleh juga. Ia mungkin akan hidup damai setelahnya, walaupun tindakannya mampu memicu kemarahan kerajaan sebelah yang ingin ia kuasai itu. Tidak apa-apa, selama ia bisa membuat gadisnya menyadari kalau lelaki itu tidak baik untuknya.

Tunggu.

Gadisnya?

Sejak kapan Aaric memiliki pemikiran semacam ini?

Spontan Aaric menggelengkan kepalanya.

Tidak, tidak. Tidak ada gadis yang boleh menduduki tahta di dalam hati dan pikirannya, apalagi gadis itu.

Ya, seharusnya seperti itu.

Seharusnya.

Seharusnya Aaric bunuh saja mereka yang tidak bisa menjaganya dengan baik.

Sial, tapi nanti gadis itu bisa membenciku.

"Harold Arthur," panggil Aaric lagi dengan lirih. Lelaki yang merasa namanya dipanggil langsung menegapkan tubuhnya bak prajurit yang hendak diberi perintah. "Tidak usah. Aku ingin makan seadanya saja--yang tidak berpenyakit dan bukan wanita. Lalu, siapkan satu kamar berjendela untukku. Malam ini aku akan menginap, jangan bilang pada ayah."

Arthur tersenyum, menegakkan dagunya. Ia satu-satunya prajurit selain Varius yang telah diperbolehkan untuk memandang wajah Sang Pangeran dari dekat.

"Siap, Pangeran. Perintahmu akan hamba laksanakan!" ucap Arthur dengan lantang tanpa getar. Hal ini yang kadang membuat Aaric kesal sekaligus bangga mempunyai bawahan yang terlihat normal. Tidak seperti prajuritnya yang lain, hanya dilirik sedikit saja sudah mundur. Apalagi ditatap? Pasti sudah keringat dingin lalu berlari terluntang-luntang.

Aaric menghela napas.

"Oh ya, sebelum saya berlalu. Apakah pangeran ingin paket malam? Pangeran bisa memilih wanitanya sesuai yang pangeran ingi--"

"Tidak," jawab Aaric tegas. "Tidak ada wanita untuk malam ini atau di hari apapun. Cukup satu gadis saja yang membuatku frustrasi karena sikapnya."

"Jadi, pangeran memilih yang gadis?" Alis Arthur naik keduanya.

"Tidak, maksudku ..." Tanpa sadar, wajah Aaric mulai memanas menimbulkan rona merah yang mulai kentara. "Iya, tapi ... bukan untuk tidur."

"Ah, begitu." Arthur mengangguk-anggukan kepalanya. "Kalau masalah gadis, pangeran bisa tanya pada saya. Saya pernah jadi mantan player di sekolah saya dahulu, suka gonta-ganti pacar. Dari yang paling cantik, sampai yang paling seksi pernah saya jadikan kekasih. Walaupun begitu, ada satu gadis yang membuat saya berubah. Pangeran Aaric tahu cerita kelanjutannya."

"Hm," jawab Aaric singkat sambil memalingkan wajah. Takut jika Arthur dapat membaca wajahnya sewaktu-waktu dan menyimpulkan yang aneh-aneh.

"Pasti menyakitkan kalau gadis itu lebih memilih orang lain 'kan, Pangeran?" pancing Arthur dengan berbagai macam pertanyaan dan jawaban di pikirannya.

"Ya. Dia membela kesalahan orang lain, padahal aku hanya ingin ... melindunginya."

Sedetik kemudian Aaric tersadar kalau ia mulai berkata yang tidak-tidak. "Maksudku, ya! Tapi tidak juga! Memangnya siapa juga gadis itu? Dia baik pada semua orang dan melanggar janjinya padaku. Terserah dia mau membela siapapun. Aku tidak peduli! Dia mempunyai hidup sendiri, aku juga. Jadi, lebih baik kunikmati hidupku tanpa menganggunya, mungkin itu lebih baik."

Tidak disangka, Arthur tertawa. Aaric yang menatapnya dengan pandangan horor pun tidak membuatnya berhenti tertawa.

"Kenapa kau tertawa? Mau mati?!" bentak Aaric yang mulai kesal sendiri. Mau ditaruh mana wajahnya kalau begini? Apalagi musim dingin ini terasa panas sekali. Nanti Aaric ingin mencoba mandi air dingin.

"Pangeran ...," panggil Arthur dengan kekehan kecil setelah mulai meredakan tawanya. "Pangeran dekati saja ia, terus di sisinya. Buat dia tidak memiliki waktu dengan orang lain. Demi kesehatan hati pangeran, saya bersumpah! Siapapun lelaki albino yang membuat pangeran cemburu, pangeran pasti lebih baik darinya dalam segala macam hal. Walaupun warna kulit pangeran--"

"Siapa kau membawa warna kulitku?!" bentak Aaric sekali lagi membuat Arthur mengatupkan bibirnya, merasa salah berbicara. Namun sedetik kemudian Aaric menghembuskan napas pasrah. "Lanjutkan."

"Eh?"

"Dengar tidak perintahku? Lanjutkan!" ulang Aaric dengan raut wajah kesal. Mau tak mau Arthur berani melanjutkan.

"Walaupun warna kulit pangeran--"

Aaric terdengar menggeram menahan amarah, sedangkan Arthur kembali terdiam. Sepertinya sensitif sekali jika membahas warna kulit tuannya.

"Intinya, pangeran itu pasti lebih baik daripada dia dalam berbagai hal. Contohnya saja dalam hal melindungi, pangeran ahlinya 'kan? Dia bahkan sampai gagal melindungi gadis pangeran dan kesalnya ketika gadis itu malah membelanya, benar?"

Aaric mengangguk kecil. Ia menunduk, wajahnya memanas. Bahkan ia tidak mengelak ketika Arthur menyebut 'gadis itu' adalah gadisnya. Sial, ia semakin salah tingkah.

"Pangeran harus berada di sisi gadis itu. Bahkan nyamuk yang hendak menghisap darahnya pun akan takut. Namun karena sepertinya kalian sedang bermusuhan, alangkah lebih baik pangeran menjaga jarak untuk menarik ulur perasaannya." Arthur tersenyum misterius. "Bilang saja sesuatu yang menggantung membuat dia bertanya-tanya maksud pangeran dan akan terus memikirkan pangeran."

"Sesuatu yang menggantung?" Aaric menyernyitkan dahi.

"Contohnya seperti, "kamu cantik" lalu dia akan terkejut selama beberapa saat. Nah, pangeran bisa melanjutkan mengatakan, "tetapi, aku--". Tiba-tiba teman pangeran datang memanggil pangeran dan menarik raga pangeran menjauh dari gadis itu. Ia akan bertanya-tanya, sebenarnya pangeran ingin mengatakan apa?" Arthur tersenyum tipis. "Lalu keesokan harinya ketika kalian bertemu, jangan mengungkit ucapan pangeran yang kemarin sebelum gadis itu bertanya. Jika ia terlihat gelisah, berarti pangeran berhasil. Jika tidak, maka pangeran harus melakukan cara lainnya."

"Harus ada teman?" Aaric mendecih. "Aku tidak punya teman, tidak satu pun."

Hening seketika.

"Tidak ada satu pun yang bisa diajak kerja sama?" tanya Arthur dengan alis menyatu. "Satu ... pun?"

Mata Aaric memandang hamparan salju di bawahnya. Ia menggeleng perlahan, seperti pasrah akan keadaan. "Hanya pemuda Ted. Itu pun sulit karena dia bodoh."

Bibir Arthur terangkat sedikit, ingin sekali tertawa. "Varius pasti bisa melakukannya, Pangeran. Dia sendiri juga berpengalaman, terhadap satu wanita."

"Bagaimana kau tahu?" tanya Aaric dengan curiga. "Jangan bilang, wanitanya itu juga pernah suka padamu?"

Kini, Arthur terkekeh kecil. "Tidak, Pangeran. Hanya saja ... saya yang mengujinya dahulu. Jadi, jelas saya mengerti tentang masa lalunya."

"Oh."

Hening kembali.

Mata Aaric menerawang ke arah asal cahaya senja. Bibirnya terangkat tipis sembari berdehem kecil. Secara tak sadar, matanya meredup dengan pipi yang mulai memanas.

"Arthur ..."

"Iya, Pangeran?"

"Panggilkan Tedmund kemari, aku tunggu di ruanganku."

Tubuh tegap Arthur sedikit menunduk, wajahnya kaku memperlihatkan rasa hormat. "Baik, Pangeran."

👑 👑 👑

Bagaimana cara agar Evelina tidak benci?

"Gadis itu hanya memanfaatkanmu. Dari awal dia membohongimu."

"Sergio tidak pergi, Sergio itu selalu berada di sisimu. Maksudku, sisi Feyna, temanmu itu."

"Haha, tidak percaya? Mau kubuktikan?"

"Coba kau perhatikan Leon hari ini. Apakah dia masuk sekolah? Tidak 'kan? Itu karena dia adalah Sergio, pacarmu. Dia mengkhianatimu untuk Feyna."

"Sergio ... telah berpaling darimu."

"Sial!" Evelina meninju pantulan dirinya dengan kuat hingga retak. Bibirnya meringis, sedikit luka akibat terlalu dalam menggigitnya. Ia hanya ingin terlihat kuat, ia tidak lemah, sama sekali bukan orang yang lemah!

Tetapi ... bagaimana jika itu benar? Bagaimana Evelina bisa bertingkah biasa saja?

Rasanya sekarang, Evelina bisa menghancurkan siapa pun yang ada di hadapannya. Tidak peduli, ia bahkan dikhianati bahkan oleh kakaknya sendiri.

Mengapa semua orang begini padanya? Dia salah apa? Kenapa harus dia?

Lagi-lagi ia menangis kencang. Di bilik dekat kelas terakhir yang selalu sepi, akibat gosip akan hantu yang mendiami toilet ini. Untung saja, Evelina tidak takut hal seperti itu. Bersama Sergio selama ini membuatnya sadar bahwa makhluk semacam itu tetap saja merupakan makhluk Tuhan. Ia tidak boleh gampang menghakimi. Dunia ini boleh ditempati siapa pun, bahkan seseorang yang paling berdosa sekali pun.

Hanya saja ... kadang ia berpikir untuk berhenti ikut dalam permainan dunia ini. Tak ada yang tahu, goresan demi goresan di pahanya bukanlah bekas pisau milik Sang Ketua Kelas Neptunus. Namun, akibat dirinya sendiri yang sering self injuring ketika begitu ingin mati. Mati, ingin mati. Ia ingin menyusul ayahnya dan kakak tertuanya, tidak boleh?

Raven tidak tahu. Evelina tidak pernah membahas hal itu di pikirannya. Bertahun-tahun bersama sang kakak membuatnya sadar bahwa ia harus bersandiwara. Seakan tidak ada apapun, entah di hatinya maupun di pikirannya. Oleh karena itu, hari ini ia kacau dan ingin marah pada dirinya sendiri. Bisa-bisanya ia menangis di kelas seperti itu?

Intinya, Evelina harus menghindari Raven seharian ini. Tidak peduli dengan rumor bahwa saudara kembar itu memiliki ikatan batin hingga bisa mengetahui suasana hati masing-masing. Tidak peduli! Ia hanya ingin mencoba menghindari kakaknya untuk bisa tenang. Lalu selanjutnya ... selanjutnya apa?

Apakah ia harus bunuh diri saja?

"Jadi ... kau yang bernama Evelina?"

Mata Eve mengerjap. Ia segera menoleh ke arah sumber suara sembari berusaha menahan isakannya. Bukan hantu, jelas ... dia manusia. Namun mengapa dia berani sekali kemari? Tingkahnya kekanakan sekali, bahkan mungkin melebihi dirinya.

"Namaku Iluisa. Aku punya kekuatan ilusi." Senyuman gadis berkuncir dua itu membuat Evelina waspada. "Semua orang memanggilku 'Lui Si Aneh', tetapi tidak masalah karena setiap hari aku memang selalu membahas tentang cinta."

Iluisa berjalan selangkah mendekati salah satu cermin tempat Evelina berdiri. "Jadi, Eve ... mau memanfaatkanku untuk menghancurkan musuhmu?"

Bisakah kali ini Evelina egois?

"Jika kau memang bisa membantu ..." Evelina menatap Iluisa tajam dengan sorot terluka. "Tolong bantu aku."

Ya, Evelina memang seegois itu di balik keceriaannya dan kebahagiaannya selama ini.

💖 💔 💖

Oilien Feyna Aksana POV

Suara bergemuruh di senja hari yang dingin. Mungkin sebentar lagi akan ada badai salju yang mengerikan. Inilah yang membuatku menggigit bibir sembari berusaha untuk tidak banyak bergerak. Seperti sihir, aku mulai merasakan bagaimana kakiku memperbaiki dirinya setelah memakan sebuah tanaman yang diberikan Aaric tadi. Apa namanya? Bunga Evangel? Apa itu? Aku bahkan baru tahu ada yang seperti itu. Sungguh, Cherilyn memang hebat sampai mengetahui hal-hal berbau tanaman dengan baik. Mungkin ia menjadi siswi kesayangan Mr. Laurent, guru biologi dengan binatang aneh di rumahnya. Entah mengapa perasaanku saja, aku harus ke sana suatu hari nanti.

Segera aku menghela napas sejenak, menikmati hawa dingin di balik selimut hangat. Zeon sedang mengambilkan makan, dia akan kemari dalam jangka waktu yang mungkin sedikit lama. Kantin biasanya membludak pada jam-jam ini, apalagi setelah para siswi akademi membersihkan diri dari asrama mereka masing-masing, lalu makan dengan nyaman di kantin. Beberapa memilih berada di taman, seperti waktu itu. Ah, mungkin tidak. Mana ada yang berani keluyuran di luar pada musim dingin yang akan berakhir ini?

Oh ya, sepertinya selama ini aku terlalu banyak menghabiskan waktu dengan hal yang tidak berguna. Bisa kuingat bagaimana Mr. Alvian menjengukku tadi dan mengatakan sesuatu yang sedikit membuatku terkejut.

"Oilien, aku bisa membantumu dengan memberi kekuatan sebanyak yang kau mau." Waktu itu, ia tersenyum miring. Wajah tengik itu mengingatkanku pada Raven. "Ini langka lho! Kau harus berbangga! Mumpung sekarang aku sedang berbaik hati, khusus untuk si cantik kembaran nenekku."

Dia tetap menyebalkan. Aku menggeram ketika ia bilang begitu, lalu ia tertawa keras setelah berhasil menyulut amarahku. Namun siapa tahu pasti? Dia mengatakan akan memberiku kekuatan. Apakah yang ia maksudkan adalah ... pasukan? Bagaimana ia tahu aku sedang mencari pasukan?

Sejauh ini, orang yang bisa diandalkan ada banyak. Contihnya seperti Davian Si Ketua Kelas, ia senang mengoleksi barang aneh yang cocok sekali dengan kekuatan udaranya—seperti pisau yang sempat menyayat tubuh Evelina di goa dekat Kastil Dawn dahulu. Atau Lunara, ia berbakat dalam menjadi detektif dadakan akibat kekuatan elangnya. Zeon mungkin berguna, namun aku tidak ingin membuatnya dalam bahaya.

Pria berambut silver itu terlalu baik untuk kuajak berperang.

Aaric? Bagaimana dengan lelaki labil itu?

Tiba-tiba aku menghembuskan napas pasrah. Dia tidak mungkin bersamaku. Lelaki itu ... kuyakin bukan seseorang yang biasa. Bisa kuingat bagaimana temannya, Kak Varius yang bertubuh besar bak prajurit, menanggapi semua hal tentangnya dengan hormat. Seakan-akan Aaric adalah orang penting dan Kak Varius ditugaskan untuk menjaganya.

Apakah ia juga sesosok bangsawan? Tetapi bangsawan mana? Sejauh yang kutahu, Victorian dan Auveram tidak memiliki bangsawan dengan nama keluarga Steward.

Dia terlalu misterius. Lelaki dalam kegelapan itu, sulit untuk kuterka pikirannya. Bahkan aku sendiri tidak yakin akan membuatnya berada di pihakku. Apa yang akan dipikirkan olehnya tentang seorang gadis yang kabur dari pengkhianatan di kerajaannya, lalu hendak membalaskan dendam? Bahkan kedua kerajaan besar lainnya tidak peduli tentang siapa yang berkuasa di Stromhold. Tidak mungkin mereka tidak tahu jika Stromhold telah beralih kuasa, kecuali para penduduknya.

Tidak, Aaric tidak akan menjadi pasukanku.

Sepertinya aku harus tetap mempersiapkan diri. Turnamen antar sekolah terjadi 4 bulan lagi. Itu artinya, aku harus memaksa diriku lebih keras dan berusaha untuk tidak lagi bermain-main. Pangeran Victorian ada di sana dan ia satu-satunya harapanku. Aku harap begitu.

Terbesit ingatanku tentang kejadian yang barusan menimpaku. Sepertinya pelaku itu memang ingin menghancurkanku karena sebab tertentu. Mungkin Raven benar, aku memang harus menjauh. Tidak seharusnya aku bersandiwara di saat nyawa Evelina terancam. Aku harus berusaha untuk tidak menarik Evelina ke dalam duniaku. Ia berhak bahagia dan hidup normal seperti yang dikatakan Raven.

Lagipula mereka semua sudah tahu tentangku dan Leon. Itu artinya ... kami tidak boleh bersandiwara lebih lama. Omong-omong, dia di mana? Dia tidak khawatir tentangku? Apakah ... apakah yang dikatakan Zeon waktu itu benar bahwa ia ...

Aku menggeleng kuat. Tidak, tidak seharusnya aku berpikiran begitu. Aku lebih mengenal Leon daripada Zeon. Dia tidak mungkin bersandiwara di depanku selama ini. Ia hanya ... lelah sepertiku. Ya, lelah dengan permainan hidup yang tak kunjung berhenti.

"Ms. Stromhold?"

Aku kaget ketika melihat Mrs. Ivy dan Mr. Dawson masuk ke ruangan ini. Sebelum aku sempat mengatakan sesuatu, mataku menangkap sesosok pemuda yang berjalan di belakang mereka, ikut masuk tanpa menyapaku. Mataku berkaca-kaca, tenggorokanku mengering. Wajah itu ... ia sudah memutuskan untuk kembali pada wajah aslinya? Tetapi yang terpenting ialah Leon, akhirnya ia datang ... apalagi bersama ibunya. Apakah mereka berbaikan? Namun ... mengapa wajah Leon terlihat kesal?

"Aku akan mengajukan beberapa penawaran," ucap Mr. Dawson tanpa aba-aba. Dia bahkan tidak menanyai kabarku atau sekadar berbasa-basi. Maunya dia apa?! Di mana senyuman ramah yang ia beri pada semua orang?

"Sebelum itu, Tuan Putri harus tahu yang sebenarnya kalau ... kami berhasil mengeluarkan raja dan ratu dalam keadaan selamat."

Apa?

Apa yang barusan Mr. Dawson katakan?

Jadi selama ini, mereka memang bergerak di belakangku?

"Apa maksudnya?" tanyaku dengan suara sedikit bergetar. Mencoba meminta penjelasan, terlebih pada seorang pemuda yang menunduk tanpa berani menatap mataku.

"Raja sedang kritis, ia dirawat di salah satu rumah sakit yang ada di pulau kecil dekat Finelake. Desa Amber, menyamar sebagai pedagang dari kota yang sakit parah." Mr. Dawson bergerak menuju ke arahku, lalu ia mengelus atas kepalaku dan dahiku. Tiba-tiba aku merasa deja vu. Rasanya hangat, aku jadi merindukan mereka. "Setelah kau sembuh, aku akan membawamu ke sana. Bagaimana?"

"Kami sudah dengar dari Leon dan Cherilyn tentang keadaanmu, Putri Anna. Sudah kupastikan, kau akan baik-baik saja," ucap Mrs. Ivy dengan senyuman hangat. Benar-benar mengingatkanku pada kehangatan keluarga. Tiba-tiba saja tangisku pecah tanpa kuminta, namun aku masih terdiam dan membiarkan air mataku keluar begitu saja.

"Maaf, Mr. Dawson, aku tidak bisa."

Kalimat itu membuat perubahan suasana hangat menjadi mencekam. Kulihat bagaimana wajah terkejut mereka seolah bingung dengan apa yang kukatakan.

"Kenapa? Raja dan ratu selamat, mereka membutuhkanmu. Untuk apa yang terjadi nanti, kita akan memikirkannya setelah itu." Mr. Dawson tersenyum hangat dan menatapku seolah kami dekat. Padahal tidak sama sekali. "Aku sudah meminta beberapa orang kepercayaanku untuk mencari orang yang membuatmu seperti ini. Selain itu, teman-temanmu aman. Mereka tidak ada yang berkhianat, Leon saksinya."

Tunggu, apa?

Jangan-jangan ... alasannya mengikuti sandiwara itu adalah ini? Ia bukan ingin menyelamatkanku, apalagi melindungi Evelina. Ia sedang curiga pada salah satu di antara kami pelakunya atau seorang kaki tangannya, lalu mengatur segalanya sedemikian rupa. Atau mungkin Zeon benar, Leon bersandiwara di depanku untuk tujuan tertentu yang tidak kuketahui sebelumnya.

Apakah mereka bisa kupercayai?

"Tidak, Mr. Dawson. Aku tidak bisa," ucapku tegas tanpa keraguan sama sekali. Rasanya jiwa bangsawanku muncul dan inilah akhirnya aku mulai menampakkan sayapku. "Aku akan berdiri di atas kakiku sendiri. Bukan dengan bantuanmu, Mr. Dawson, Mrs. Ivy, bahkan ... Leon. Ucapkan saja kata-kata cinta dan rinduku untuk kedua orang tuaku, namun aku tidak akan berhenti sampai di sini."

"Yang kulakukan bukanlah sekadar untuk orang tuaku, Mr. Dawson. Tetapi untuk rakyatku. Mau bagaimana pun, aku satu-satunya pewaris tahta Stromhold. Aku akan mengambil alih kerajaanku seperti sedia kala dan membereskan semuanya. Selain itu, aku tidak bisa membiarkan pria bertopeng itu merenggut hidupku, orang tuaku, bahkan hidup kalian. Aku tidak akan terima jika ia bersenang-senang di atas penderitaan kita."

Aku menarik napas, lalu tersenyum tipis. "Kalau kalian berniat memintaku menyerah hanya karena luka sekecil ini, aku takkan mau. Coba bandingkan dengan luka semua orang yang kehilangan keluarganya karena insiden itu?! Gila, aku jelas tak mau. Mending kalian menjaga orang tuaku dengan baik. Aku memang rindu mereka, tetapi aku tidak akan menyerah. Tumpahan darahku adalah balas jasa dariku untuk mereka, rakyatku."

Tepuk tangan terdengar di seluruh penjuru ruangan. Aku kaget saat melihat hal itu dilakukan oleh Leon sembari menyeringai tajam. Sungguh, wajah Leon yang dewasa ini sangat berbeda. Ia lebih menakutkan saat marah, walaupun saat tersenyum begitu meneduhkan hati. Tetapi sekarang, aku malah bingung. Reaksi seperti apa yang harus kulakukan?

"Sudah kuduga." Leon terkekeh kecil. "Bagaimana Mr. Dawson? Sudah kubilang, dia akan keras kepala begini. Keberadaan orang tuanya saja tidak akan membantu."

Kulihat Mrs. Ivy mengangkat kedua alisnya. Sepertinya ia baru tahu pula akan hal ini sepertiku yang masih berusaha mencerna.

Ini apa?!

"Karena itu ... aku sudah mempersiapkan semuanya, Putri Anna." Leon kini bergumam sesuatu, lalu sesosok pria berjubah hitam datang secara tiba-tiba. Butuh beberapa saat bagiku untuk kembali mencerna satu informasi baru.

"Saya, Orion, perwakilan petinggi dari Organisasi Angin, memberi hormat pada Tuan Putri Oilien." Lelaki berjubah itu menunduk sembilan puluh derajat untuk tiga detik lamanya sebelum berdiri tegap untuk mengatakan hal lainnya. "Sekarang, Tuan Putri akan menjadi pendamping Tuan Sirius untuk memimpin kami. Sekarang, Tuan Putri adalah bagian dari kami."

"Siapa Sirius?" tanyaku spontan. Lalu tiba-tiba Leon tersenyum sembari berjalan ke arahku, berdiri di samping Mr. Dawson yang terlihat biasa saja.

"Aku." Leon menggenggam tanganku erat dan tersenyum hangat. "Tuan Putri, ayo kita memimpin organisasi ini bersama. Jangan pedulikan dunia, aku akan berada di sisimu, sampai kapanpun akan terus bersamamu."

Baru beberapa detik kemudian aku paham mengapa selama ini Leon jarang terlihat walaupun jelas-jelas ia seharusnya menjagaku. Mungkin ini ada hubungannya dengan insiden pertengkaran Aaric dan Leon waktu itu. Gila, pemimpin Organisasi Angin? Kenapa terdengar familier?

Bukankah itu organisasi tempat kakak Zeon terbunuh? Sontak aku melebarkan mata.

"Kau ..." Aku terdiam beberapa saat. "Mana Zeon?"

"Hm?"

"Zeon mana?!" bentakku membuat seluruh orang di ruangan ini terdiam. Kulihat samar-samar bayangan di belakang pintu UKS. Seketika aku langsung turun dari tempat tidur dengan kakiku yang jelas belum pulih. Semua orang memekik, kecuali Orion, ketika melihatku yang seperti ini.

Aku tidak peduli. Dia ... dia harus tahu akan hal ini. Dia harus tahu kalau--

"ZEON!"

Tidak bisa. Ia sudah pergi. Kakiku tidak bisa kugerakkan. Kedua lenganku ditahan oleh Mr. Dawson dan Leon bersamaan. Sedangkan Mrs. Ivy terlihat panik dan menelpon seseorang.

"Tolong panggilkan Abraham kemari, cepat! Ada seorang murid yang perlu ditenangkan!"

"ZEONN!! KEMBALI!" teriakku putus asa. Habislah sudah. Ia pasti mendengar semuanya, aku ... aku harus berbicara dengannya. Ia harus tahu cerita versiku, bukan apa yang ia dengar.

"Leon, panggilkan Zeon kemari, cepat!" Aku hampir menangis. "Tolong, dia mendengar semuanya. Dia mendengar--"

"Zeon mencintaimu."

Dua kata itu membuat tubuhku membeku dan berhenti memberontak. "A-Apa?"

Leon menghembuskan napas kecil, lalu tersenyum tipis. "Zeon mencintaimu. Ia tidak akan membuatmu dalam bahaya, aku jamin itu."

Bukan itu yang kumaksudkan. Yang kumaksudkan adalah ... bagaimana jika setelah ini ia membenciku?

Fakta bahwa Zeon mencintaiku cukup mengejutkan. Namun yang lebih mengejutkan adalah fakta bahwa kami akan berada di pihak yang berbeda. Aku tidak ingin ... menyakiti lelaki baik seperti Zeon. Tidak mau!

"Leon, aku akan ikut denganmu. Aku akan pimpin organisasi ini. Tetapi aku mohon ..." Aku menahan tangis. "Biarkan aku berbicara dengannya, untuk yang terakhir kali."

Semua orang di sana terdiam mendengarkan rengekanku. Aku tidak tahu apa yang mereka pikirkan. Namun bisa kulihat bagaimana Orion menatapku sendu, sepertinya kasihan.

Jika saja aku tidak terlahir sebagai putri, mungkin semuanya akan lebih sempurna. Aku bisa bermain bersama Evelina tanpa perlu takut diancam. Atau mungkin tertawa bersama Raven, Sergio, dan Zeon untuk waktu yang lama. Aaric ... aku bisa pergi bersamanya ke mana pun ia mengajakku. Aku akan percaya, ia tidak pernah melanggar janjinya. Tidak satu kali pun.

"Baiklah, aku akan mengabulkan permintaanmu, Tuan Putri."

👑 👑 👑

"Anak itu sudah sadar?"

"Sudah."

"Bagaimana keadaannya?"

"Lebih baik dengan ramuan yang kau buat. Ia pulih lebih cepat. Memar di lehernya sudah berangsur-angsur menghilang."

"Kalau begitu ... apa dia mau berbicara?"

Lelaki berkacamata itu menggeleng. "Belum mau. Sepertinya ada yang ia sembunyikan."

"Bagaimana kau tahu?"

"Alvian, kau sudah lama tidak kemari, dan sekarang berubah jadi bodoh?"

Alvian yang mendengar hal itu hanya berdecak kecil, lalu memutar bola mata malas. "Aku lulusan terbaik, kau harus ingat itu selalu."

"Ck, makanya, masa kau tidak tahu?"

"Dia selalu mengalihkan pandangan setiap di ajak berbicara?"

"Ya, begitu."

"Bagaimana dengan ramuan kejujuran?"

"Dia tidak bisa berbicara, akan memerlukan waktu yang lumayan lama untuk memulihkan."

"Oh." Alvian mangut-mangut. "Lalu, apakah anak yang sekamar dengan Oilien akan tetap dijadikan tersangka?"

"Siapa Oilien?"

"Bodoh, kau bodoh sekali!" Alvian ingin sekali merusak kacamata pria di hadapannya.

"Oh, gebetan barumu?"

"Sialan. Bukan!"

"Lalu?"

"Dia dulu menjadi anak didikku di Kastil Dawn. Anaknya pintar, seorang bangsawan."

"Benarkah? Bangsawan mana?"

"Stromhold."

Pria berkacamata itu terlihat terkejut. "Benarkah?"

"Iya."

"Lalu, apa yang ingin kau katakan?"

Alvian menggeram, mulai frustrasi. "Tadi aku bertanya, apakah teman sekamar Oilien itu tetap menjadi tersangka? Tidak ada bukti pasti dia membunuh 'kan? Ivy bahkan tidak menuduhnya seperti biasa."

"Kau masih kesal pada Ivy ya? Padahal dia baik sekali padamu dahulu."

"Diam kau."

Pria berkacamata itu menyeringai. "Yang pasti, mencoba mengelak dari kesalahannya hanya akan mempersulit dirinya sendiri. Ia hanya harus berdiam diri dan tidak boleh membuat masalah. Sementara itu, anak itu harus segera pulih sepenuhnya untuk diinterograsi. Esok hari, aku ada pengecekkan rutin. Mau ikut?"

Alvian langsung mengangguk pasti. "Ikut."

"Semangat sekali?" Ia tersenyum mengejek.

"Diamlah, ini demi kebaikannya."

"Siapa?"

"Oilien."

"Sepertinya dia bukan seseorang yang biasa. Kau menyukainya ya?" tanya pria berkacamata itu sedikit menggoda.

Alvian hanya tersenyum misterius dan menggeleng kecil. "Bukan, dia adikku. Adik kecilku yang kusayang, Oilien Feyna Aksana."

Bersambung ...

(A/N)
Coba tebak, kenapa aku menamai part ini dengan "termodinamika"?

Kalau ada yang berhasil nebak dengan benar, besok aku update lagi deh :)

With heart sign,

Riaeth Shiba

Continue Reading

You'll Also Like

191K 485 19
21+++ Tentang Rere yang menjadi budak seks keluarga tirinya
259K 22.2K 21
Follow dulu sebelum baca šŸ˜– Hanya mengisahkan seorang gadis kecil berumur 10 tahun yang begitu mengharapkan kasih sayang seorang Ayah. Satu satunya k...
136K 12.7K 36
Teman SMA nya yang memiliki wangi feromon buah persik, Arion bertemu dengan Harris dan terus menggangunya hingga ia lulus SMA. Bertahun tahun tak ter...
326K 18.9K 21
Tak pernah terbayang olehku akan bertransmigrasi ke dalam novel yang baru aku baca apalagi aku menempati tubuh tokoh yang paling aku benci yang palin...