El Academy [Proses Revisi]

By RiaethShiba

79.8K 5.3K 399

[Fantasy-Minor Romance] Three Kingdom The Series #1 Hembusan Rusa yang Bebas. Itu adalah arti namanya; Oilien... More

El Academy-Victorian
Chapter 1 : Flamers
Meet The Character!
Chapter 2 : Dandelion
Chapter 3 : Si Rambut Silver
Chapter 4 : Ujian
Chapter 5 : Aukwood
Chapter 6 : Necklace
Chapter 7 : Teman atau Musuh?
Chapter 7.5 : Teman atau Musuh?
Chapter 8 : His Brother
Chapter 9 : The Last Day
Chapter 10 : Ini Salah!
Chapter 11 : Pangeran Malam
Chapter 12 : A Time to Remember
Chapter 13 : Lost that "Blue"
Chapter 14 : Saying Good "Bye"
Chapter 15 : Red Rose
Chapter 16 : Doll
Chapter 17 : The Meaning
Chapter 18 : Let Me?
Chapter 19 : White Lie
Chapter 20 : Cold Truth Or Warm Dare?
Chapter 21 : Something Changed
Chapter 22 : Untrusted
Chapter 23 : Grey Suicide
Attention Please!
Chapter 25 : Can You See My Heart?
Chapter 26 : Fall Behind
Chapter 27 : Termodinamika
Chapter 28 : Apriori

Chapter 24 : Heart of Fire

802 68 7
By RiaethShiba

"Hari ini, tolong katakan pada dunia bahwa aku akan menghancurkan mereka yang menyakiti temanku!"

- Unknown -

🔥 🔥 🔥

Mata hitam kelam itu berkilat marah. Hampir menerkam dinding dengan kedua tangannya, namun segera ditahan seseorang yang peduli padanya. Tatapannya beralih, memaksa untuk membiarkannya memilih jalan sendiri. Tetapi masih dengan keras kepala, orang yang membantunya tak mau temannya lebih sakit daripada sebelumnya.

"Apa spesialnya gadis itu?" Raven mendesis, begitu emosi ketika menatap Zeon yang sedari tadi selalu menghalaunya. "Lo tahu? Eve diumpankan! Gue bahkan baru sadar sekarang kalau selama Feyna ada, Eve nggak akan baik-baik saja!"

"Sadar, Ven! Lo kalut!" bentak Zeon tak kalah sangar. "Bukan salahnya, tapi ini salah seseorang yang pengen jebak mereka berdua."

"Mereka berdua? Cih." Raven meludah tepat di baju polo milik Zeon. Lelaki berambut silver itu menggeram, namun tak menyerah. "Feyna yang bikin Eve bahaya! Lo tahu itu! Sejak awal, seharusnya gue nggak ngebiarin Eve temenan sama keluarga Kerajaan Stromhold. Ini jadinya! Eve dituduh, gue sebagai kakak nggak bisa apa-apa. Gimana sekarang gue jelasin sama dunia kalau Eve nggak salah?!"

"Terus lo mau nyalain Feyna gitu? Really Raven? Pikiran lo sesempit ini?" Zeon terkekeh sinis. "Lo mau bahayain Feyna berapa kali? Kemarin belum cukup? Lo tahu, dia bisa aja mati pas nyelametin gue. Lo ngerasa bersalah berhari-hari karena itu. Walaupun dia udah maafin lo, tapi gue tahu lo masih terus ngerasa bersalah. Kejadian itu terjadi karena apa? Karena kebodohan lo ngebiarin emosi nguasain tubuh lo! Lo pikir Feyna nggak tertekan? Dia sakit bro! Dia sakit ngelihat sahabatnya dituduh, dijadikan korban padahal jelas-jelas bukan dia pelakunya. Kalau lo mau nemuin mereka cuma buat bikin Feyna tambah tertekan, mending lo pergi! Gue hutang nyawa sama dia, jadi gue bakalan ngelakuin apapun buat dia ketika ia ada di pihak kebenaran."

Raven menatap Zeon balik, masih keras kepala dengan mata tajam hitam kelam yang berusaha mengintimidasi.

"Kalau lo peduli sama adik lo, caranya bukan dengan nyalahin Feyna! Tapi coba berpikiran dingin, cari solusinya sama-sama. Tentang pengen ngejauhin Eve dari Feyna, itu urusan lo sekaligus hak lo sebagai kakak. Tapi untuk bikin Feyna tambah menderita, lo sama sekali nggak berhak untuk itu," ucap Zeon panjang lebar dengan rahang mengeras. "Kalau sampai Feyna sakit karena lo ... gue bersumpah, persahabatan kita bertiga sampai di sini. Haha, lo tahu? Bahkan gue sama Sergio dari awal punya kemungkinan bikin kalian berdua bahaya. Gue adalah pangeran mahkota yang kabur dari keraaan gue sendiri. Sedangkan Sergio, dia penjaga Feyna waktu masih di Stromhold. Atau kita panggil ... Leon?"

Kini, emosi Raven memudar. Lelaki itu mundur beberapa langkah, memikirkan sesuatu sembari memegangi kepalanya.

"Kalau lo nyalahin Feyna karena dia adalah keturunan dari Kerajaan Stromhold, maka lo juga menyalahkan kami berdua yang mungkin akan bikin lo dalam bahaya. Alhasil, persahabatan kita berakhir sampai di sini." Zeon tertawa miris sebelum akhirnya berbalik, memungguni Raven yang bersandar di dinding dengan kacau.

"Dasar pengecut!"

Raven baru tahu satu hal lagi. Ternyata ... menyesal semenyakitkan ini.

🎭 🎭 🎭

"Aku bukan pembunuh. Aku bukan pembunuh. Aku bukan pembunuh. Aku bukan pembunuh. Aku bukan--"

"Kamu memang bukan pembunuh, Eve!" Feyna giliran berteriak, frustrasi. Namun sedetik kemudian ia menyadari kesalahannya telah berteriak beberapa oktaf. "M-Maaf, Eve. Tapi kamu bukan pembunuh. Felicity belum mati, dia nggak akan mati secepat itu."

"Meninggal, Feyn. Bukan mati." Suara itu membuat kedua orang yang sedang berada di dalam kamar baru mereka, kamar nomer 201 di lantai 4. Tepat dikelilingi oleh senior-senior kelas atas. Mungkin fakta ini lebih menakutkan untuk beberapa hari atau bulan ke depan.

"Lunara? Kenapa di sini?" tanya Feyna tak percaya. Apakah ia benar-benar melihat Lunara berada di kamarnya? Masuk sendiri?

"Piknik," jawab Lunara asal membuat Feyna mendelik tajam. "Oke, ada alasan tertentu aku berada di sini. Dan untuk Eve, aku akan membantumu. Jadi, jangan pernah menyalahkan dirimu sendiri. Yang patut disalahkan ialah siapapun yang menjadi dalang kejadian ini! Oh, aku malas sekali harus naik sampai dua tangga asrama putri untuk mencapai ke kamar kalian yang baru."

Tumben cerewet sekali anak ini, batin Feyna dilanjut dengan memutar bola mata malas.

"Apa berita sudah menyebar?" tanya Eve lirih. Matanya sembab, ia benar-benar kacau hari ini. "A-Aku takut kalau nanti--"

"Tenang saja, menyebarnya berita bukan tentangmu. Tapi tentang kasus bunuh diri Felicity di kamar kalian. Orang-orang mungkin akan berspekulasi tidak-tidak, namun aku yakin semuanya akan baik-baik saja. Kalian tidak sendiri." Lunara tersenyum, lalu berlari untuk memeluk Evelina. Feyna terkejut melihat penampakkan itu, pasalnya mereka berdua tidak dekat. Namun terlihat sekali bagaimana kacaunya Evelina ketika Lunara memeluknya—menguatkannya, ia menangis kencang sekali membasahi seragam Lunara.

"Wah, jadi begini rasanya punya teman," bisik Lunara pada Feyna, sementara Eve menangis di pelukannya. "Rasanya aku ingin menampar Nathan setelah ini."

"Mengapa?" Gadis berambut cokelat itu menaikkan kedua alisnya.

"Dia--"

Tuk. Tuk. Tuk.

"Jendela? Ada yang melempari jendela kita dengan batu?" ucap Feyna bertanya-tanya. Tangisan Evelina kian surut, ia mulai menegakkan badannya—ikut bingung.

"Mungkin orang iseng," ucap Lunara santai sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Evelina, kalau ada apa-apa ... kau bisa meminta bantuanku. Tenang saja, aku akan selalu berada di pihak kalian."

"Terima kasih, Lunara." Evelina tersenyum manis sekali sehabis menangis. "Kudoakan kau dan Nathan berjodoh. Dia pria yang baik."

"Hei itu gila! Sudah kubilang, aku bahkan ingin menampar Nathan setelah ini--"

Tuk. Tuk. Tuk.

"Tidak ada orang iseng yang melakukan hal yang sama berulang. Lagipula, kalian tidak ingat kamar ini berada di lantai berapa?" Ucapan Feyna membuat Lunara dan Evelina parno bersamaan.

"Apa itu hantu?"

"Masa sih hantu bisa melempar batu? Bukannya mereka menembus benda mati?"

"Iya, tapi 'kan kalau hantunya dikendalikan ... bisa saja terjadi."

"Maksudmu dikendalikan?"

"Kekuatan Sergio, mantan pacarku yang sekarang sudah ... pindah sekolah, dia memiliki kekuatan semacam itu. Walaupun mengerikan, tapi aku tidak masalah. Kakakku yang takut padanya, maksudku ... kekuatannya."

"Raven takut dengan hantu?" Mata Feyna membulat. "Masa?"

"Iya!" Evelina berubah ceria seakan bekas air mata di pipinya merupakan angin lalu. "Aib kakakku itu banyak sekali. Salah satunya tentang ketakutannya pada hantu. Mau kuceritakan kejadian paling memalukan kakakku tentang hantu? Semasa junior high school, ia pernah--"

"EVELINA!"

Teriakan itu membuat mereka bertiga sontak berteriak kaget. Jujur saja, rasanya teriakan itu terdengar tepat di gendang telinga mereka. Makanya sekarang mereka terkejut dengan sangat.

Masih memproses apa yang terjadi, lemparan batu di jendela muncul lagi. Dengan sedikit linglung, Feyna berdiri dari duduknya di ranjang milik Eve, lalu mengintip siapapun yang membuat malam hari mereka begitu menakutkan.

"Gelap sekali," gumam Feyna sembari mencoba membuka jendelanya.

Gadis itu sontak berteriak ke bawah, tepat pada halaman samping asrama putri yang ditumbuhi pepohonan berbuah semacam mangga dan apel. Namun ia samar-samar melihat sesuatu yang bergerak di sana. "SIAPAPUN KAU, MAU HANTU ATAU MAKHLUK TUHAN LAINNYA, JANGAN MERUSAK JENDELAKU SIALAN! AKU BARU PINDAH, KAU INGIN GANTI RUGI?!"

Hening.

Gadis itu mempout bibirnya, hendak kembali ke dalam dan menutup jendela dengan kasar. Namun ia terhenti ketika mendengar seseorang memanggil namanya dengan begitu dramatis. Spontan, Feyna memutar bola matanya malas.

"GADISKU ... TURUNKAN RAMBUTMU!"

"ZEON! PERGI KAU DARI SANA, DASAR PERUSAK PROPERTI SEKOLAH!" balas Feyna tak kalah keras.

"AKU TIDAK AKAN PERGI SEBELUM KAU MEMBIARKANKU MASUK!"

"BAGAIMANA CARANYA AKU MEMBIARKANMU MASUK, BODOH?! INI LANTAI EMPAT!"

"ITU GAMPANG, PENTING KAU MENGIZINKANKU DULU!"

"HEI SILVER SIALAN, AKU LELAH. BESOK SAJA!"

"AKU HARUS BERBICARA PADAMU SEKARANG JUGA!"

"AKU--"

"Hei!" Suara seorang perempuan bergaya rambut bob merah marun menopang dagunya dari jendela sebelah. "Jangan teriak-teriak di malam hari! Sana temui pacarmu! Tidak boleh ada pria masuk ke asrama putri!"

"Hei! Dia bukan pacarku!"

"Terserah," ucap tetangga sebelah sembari memutar bola matanya malas. "Tapi sekali lagi kau berteriak, aku tidak segan-segan melaporkanmu pada penjaga asrama."

Feyna menggeram, lalu mengiyakan dengan terpaksa. Dengan pipi merah menahan emosi, ia berteriak sekali lagi untuk terakhir kalinya. "AKU TURUN!"

Ketika berjalan melewati Evelina dan Lunara yang bingung, segera Feyna mengatakan sesuatu yang membuat bibir mereka terkatup sebelum hendak berbicara.

"Zeon memaksaku menemuinya. Apapun itu, Zeon pasti ada maksud penting. Jadi, kalian tetap di sini dulu. Aku akan segera kembali."

🎯 🎯 🎯

Setelah perjalanan menuruni tangga dari lantai 4, akhirnya gadis yang terengah-engah memegang dinding asrama putri ini sampai juga di lantai dasar. Mungkin sedikit gila, tapi ia berlari sekuat tenaga tadi dan ia sungguh menyesal melakukannya.

Suara lantai berdecit menjadi satu-satunya teman Feyna saat ini untuk meraih pintu menuju halaman samping asrama putri. Langkahnya terus ia percepat sebelum ada penjaga asrama yang bertanya mengenai alasannya menuju halaman samping yang jarang sekali dikunjungi, apalagi di malam hari.

Ketika Feyna berhasil keluar, gadis itu refleks melebarkan mata saat melihat sesosok lelaki berambut silver sedang memejamkan mata dengan bersandar di pohon apel. Padahal ia sendirian, di kegelapan pula. Namun bisa-bisanya ia tertidur di tempat mengerikan semacam ini?

"Hoi, bangun!" ucap Feyna sembari menendang-nendang kecil kaki Zeon. Tiba-tiba Zeon melenguh, mulai membuka matanya perlahan dan tersenyum manis.

"Hai, Juliet. Sebegitu kangennya padaku sampai ingin cepat-cepat bertemu?"

Feyna memutar bola matanya malas. Zeon yang sering menggodanya dulu telah kembali rupanya! Ayo kita rayakan dengan memutilasinya perlahan!

"Hei, hentikan tatapan itu! Rasanya seperti kau ingin membunuhku."

Gotcha! Benar sekali, batin Feyna dengan desisan sebal.

"Sudah jangan banyak omong. Ada apa? Kenapa menemuiku? Eve sedang tidak baik-baik saja, aku harus selalu bersamanya," jelas Feyna panjang lebar. Secara bersamaan, Zeon berdiri dari tempatnya duduk dan membersihkan tubuhnya yang sedikit kotor.

"Bukankah ada Lunara?" tanya Zeon retoris. Namun yang membuat Feyna bingung, mengapa Zeon bisa tahu mengenai posisi Lunara?

"Bagaimana kau bisa tahu?" Telunjuk gadis itu mengarah pada Zeon curiga. "Jangan bilang, kau yang memberitahukan segalanya dan memintanya ke sana? Tunggu, kalau itu benar ... kau tahu kabar itu dari mana? Raven? Raven sudah diberitahu ya. Aneh sih, kenapa bocah merah itu tidak mendatangi adiknya? Padahal entah sejak kapan aku sudah curiga Raven ada sedikit sister complex pada Evelina. Bocah itu protektif sekali."

"Siapa yang kau panggil bocah?" Suara dingin itu muncul dari kegelapan membuat Feyna terlonjak dari tempat. Sedetik kemudian, Feyna tersenyum malu—merutuki ucapannya barusan sembari menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

"Ada kau juga ya? Makanya tadi ..., tunggu! Kau yang berteriak nyaring di telinga kami itu?! Wah, telingaku sampai berdenging karenamu." Feyna mendelik sinis, namun sama sekali tidak diperhatikan oleh Raven.

"Kenapa jadi cerewet sekali sih?" tanya Zeon yang sepertinya sebal sendiri, entah karena apa. "Tapi yang kau ucapkan benar. Kecuali tentang sister complex, aku juga curiga akan hal itu."

"Hei, jangan menyimpang dari tujuan kita kemari, Silver!" sinis Raven lagi tanpa mau menanggapi apapun dari Feyna. Apakah lelaki itu marah padanya? Ia salah apa?

Tidak dijawab lagi. Padahal Feyna yakin, Raven mendengarnya.

"Oke, aku serius. Jadi, ada apa? Kenapa kalian berdua menemuiku?" tanya Feyna tanpa senyuman. Seakan wujudnya kembali pada awal ia masuk sekolah, tak pernah berpikiran untuk menambah warna dalam hidupnya yang penuh penderitaan.

"Ini tentang Evelina." Kini, Raven mulai berbicara. "Untuk sementara ... bisakah kau menjauhinya? Aku tahu itu berat, tetapi ia akan terus berada dalam bahaya jika kalian tetap bersama. Feyna, aku mohon padamu."

Gadis itu terdiam. Tidak mengeluarkan apapun dari bibirnya. Tetapi tidak dengan pikirannya, ia berpikiran keras hingga membuat Raven ikut diam dan menyimak.

"Apakah jika aku menjauhi Evelina ... semua akan baik-baik saja?"

Baik Raven dan Zeon, tidak menduga akan mendengar kalimat itu diucapkan oleh Feyna. Meskipun Raven mendengar suara pemikiran Feyna yang sedikit rumit, mengenai apa yang terjadi.

"Ya, mung--"

"Belum tentu," potong Zeon dengan nada menekan. Tatapannya menyuruh Raven untuk berhenti berbicara omong kosong. Terdengar suara geraman Raven beberapa detik setelahnya. "Tetapi pria ini begitu menyayangi adiknya hingga tidak mau adiknya dalam bahaya. Jadi, ia ingin kau menjauhinya sementara."

Lagi-lagi tidak diduga, Feyna tersenyum manis. "Aku tahu itu. Raven memang seperti itu, iya 'kan? Haha, kau beruntung memiliki adik seperti Evelina walaupun kalian sepantaran. Aku juga ingin punya saudara, tapi tidak bisa."

Mata Zeon dan Raven bersitubruk, membicarakan sesuatu. Mereka tahu, hal ini sedikit sensitif untuk dibicarakan mengingat apa yang terjadi pada Feyna di masa lalu.

"Kau punya aku."

Bukannya terpesona, Feyna kembali memutar bola mata malas sembari menjulurkan lidahnya seolah jijik. Tidak tahu saja, lelaki berambut merah di sana berhasil menahan senyum karenanya.

"Lupakan." Zeon ikut memutar bola matanya malas, padahal tadi ia serius. "Menjauhi yang dimaksud ialah mengurangi interaksi di antara kalian. Sebagai hasilnya, besok ... kau harus duduk bersamaku. Biar Evelina bersama Lunara dan lelaki tak penting sebangkuku bersama teman sebangku Lunara."

"Lelaki tak penting?" Feyna mengeluarkan ekspresi aneh. "Memangnya kau sudah bicara padanya?"

"Sudah. Dia mau tak mau harus setuju," jawab Zeon enteng membuat Feyna kembali memutar bola matanya. "Sudah, ikuti saja kataku. Kalau misalnya besok kau tidak nyaman, bilang saja. Maksudku, aku akan menjagamu dan membuatmu nyaman. Oh, jangan memandangku dengan jijik seperti itu Feyna, atau aku menarik keras pipimu sekarang juga!"

"Itu karena pemilihan kata lo cringe, Bodoh!" Kali ini, Raven yang ikut bersuara sembari menepuk lengan Zeon agak keras. "Zeon akan menjagamu. Siapapun dalang dibalik Felicity adalah ia yang ingin menghancurkanmu. Seperti simbiosis mutualisme, kau menjauhi Eve untuk sementara dan kami akan menjagamu juga berusaha mengungkap kebenaran yang masih tersembunyi. Aku berjanji."

Zeon menatap Raven sebentar sebelum kembali mengarahkan seluruh atensinya pada Feyna. "Bocah ini sudah berjanji. Ia tidak akan mengingkarinya."

"Kami?" Feyna menaikkan satu alis. "Kalian berdua?"

Entah mengapa, Raven dan Zeon merasa direndahkan. Namun mereka berdua bersama-sama mengenyahkan pikiran itu.

"Aku ikut."

Aura kegelapan terasa di permukaan kulit Feyna diikuti perasaan membuncah yang tidak diketahui apa itu. Selagi tubuhnya tidak bisa diajak bekerja sama, Feyna berusaha sekuat tenaga untuk menghilangkan semua perasaan yang menganggunya.

"Kau ..." Raven menggantungkan kalimatnya.

"Aaric," gumam Feyna sembari menatap sosok pria kegelapan itu. Pria yang membuat dan menghancurkan kebahagiaan semu miliknya di saat yang sama.

"Dan ... Leon."

Jantung Feyna serasa berhenti berdetak sekarang juga. Masalahnya yang baru saja berkata itu ialah Raven. Apakah pria itu tahu bahwa Leon adalah ...

"Sergio." Oke, rasanya Feyna benar-benar mati.

Leon menyeringai. "Kita tunda perselisihan kita untuk sementara waktu. Kali ini, aku memiliki rencana yang lebih baik."

"Apa?"

"Aku akan kembali pada wujud palsuku, Sergio, untuk menjaga Evelina. Jadi, kalian tidak usah khawatir memisahkan Anna dari gadis itu. Ia akan baik-baik saja."

"Oke, jadi rencana kita dimulai esok hari?" Zeon menyeringai, tidak tahu mengapa ia bersemangat sekali padahal suasananya berubah drastis daripada dahulu. "Sandiwara kita ... dimulai."

Bersambung ...

Continue Reading

You'll Also Like

1.2M 101K 51
(๐’๐ž๐ซ๐ข๐ž๐ฌ ๐“๐ซ๐š๐ง๐ฌ๐ฆ๐ข๐ ๐ซ๐š๐ฌ๐ข ๐Ÿ) ๐˜Š๐˜ฐ๐˜ท๐˜ฆ๐˜ณ ๐˜ฃ๐˜บ ๐˜ธ๐˜ช๐˜ฅ๐˜บ๐˜ข๐˜ธ๐˜ข๐˜ต๐˜ช0506 า“แดสŸสŸแดแดก แด…แด€สœแดœสŸแดœ แด€แด‹แดœษด แด˜แดแด›แด€ ษชษดษช แดœษดแด›แดœแด‹ แดแด‡ษดแด…แดœแด‹แดœษดษข แดŠแด€สŸแด€ษดษดสแด€ แด„แด‡ส€ษชแด›แด€โ™ฅ๏ธŽ โš  ๏ฟฝ...
1.9M 148K 103
Status: Completed ***** Thalia Navgra seorang dokter spesialis kandungan dari abad 21. Wanita pintar, tangguh, pandai dalam memasak dan bela diri. Th...
57.8K 6.1K 23
Zoana lexy, sebuah karakter piguran dalam sebuah novel, dimana piguran itu baru saja keluar dari hutan, dan mati saat bertemu dengan pemeran utama. ...
134K 12.6K 36
Teman SMA nya yang memiliki wangi feromon buah persik, Arion bertemu dengan Harris dan terus menggangunya hingga ia lulus SMA. Bertahun tahun tak ter...