Hujan Bulan Desember

By daffoguy

2.6K 272 174

Menjadi seorang nomad bukanlah tujuan hidup Andreas Hestamma. Setelah sekian lama berpindah tempat tinggal da... More

P R A K A T A
Prolog
Bab 1
Bab 2
Bab 3
Bab 4
Bab 5
Bab 6
Bab 7
Bab 8
Bab 9
Bab 10
Bab 11
Bab 12
Bab 13
Bab 14
Bab 15
Bab 16
Bab 17
Bab 18
Bab 19
Bab 20
Bab 21
Bab 23
Bab 24
Bab 25
Bab 26
Bab 27
Bab 28
Bab 29
Bab 30
Epilog
D A N K S A G U N G

Bab 22

27 2 0
By daffoguy

Andreas berjalan keluar dari ruang rapat sambil mengelus pelipisnya yang masih menyisakan sedikit luka memar dengan tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya ia masukkan ke dalam saku celana. Ia tidak pernah suka rapat mingguan, kakinya pegal jika harus lama-lama duduk di kursi. Ia juga tidak senang diperhatikan sedemikian rupa oleh orang-orang karena luka memar yang sekarang dimilikinya.

Sampai hari ini, Arian belum muncul lagi di kantor. Entah pria itu masih marah padanya, atau karena masih dalam masa pemulihan setelah wajahnya dipukul keras oleh Andreas. Andreas menghela nafasnya mengingat kejadian malam itu. Ia harus segera meminta maaf pada Arian, pikirnya.

Andreas sendiri, merasa tidak masalah dengan wajahnya kini. Ia bukan tipe orang yang terpengaruh mendengar penilaian orang lain. Berbeda dengan Arian, yang memang dibesarkan di keluarga yang sangat terpandang, menjaga citra diri adalah salah satu kewajibannya yang harus selalu ia lakukan. Muncul keluar dengan wajah babak belur akan menjadi topik besar di keluarganya.

Andreas berjalan menyusuri lorong, ketika tiba-tiba saja ia melihat sesosok pria tengah berdiri di depannya, bersandar pada dinding sambil menyilangkan tangannya di depan dada. Pria itu menoleh dan menatapnya. Andreas kenal betul siapa pria itu. Pria yang tidak pernah ia senangi sejak ia berpacaran dengan Adhira dulu. Namun, hubungannya dengan Adhira pun sekarang sudah benar-benar berakhir, sudah tidak ada alasan lagi baginya untuk terus mendendam pada orang yang berdiri dengan angkuh di hadapannya ini.

"Siang Pak," ucap Rendra, pria tersebut, dengan sangat sopan, namun masih terdengar cukup angkuh di telinga Andreas.

Andreas mengangguk. "Siang," jawabnya singkat. "Ada apa?" tanyanya kemudian, ketika dirasanya bahwa Rendra sengaja menunggunya di tempat ini.

"Boleh saya ajak Bapak makan siang bersama? Ada yang ingin saya bahas," jawab Rendra kemudian.

Andreas melirik arlojinya. Jarum jamnya sudah menunjukkan angka dua belas lewat. Memang sudah waktunya makan siang. Dan akhirnya setelah menimbang ia akhirnya mengangguk. "Oke, di mana?" jawabnya pada Rendra.

Rendra tersenyum malas hanya untuk formalitas. "Biar saya tunjukkan tempatnya," jawabnya kemudian sambil kemudian berjalan, diikuti oleh Andreas di belakangnya.

***

Untuk ke dua kalinya Adhira lagi-lagi harus bolos kerja karena perintah dari Arian. Setelah kemarin ia diminta untuk menemaninya seharian, kini Arian memintanya untuk menemani mamanya bertemu dengan teman-teman organisasi sosialnya.

Arian bilang, kemarin malam ia sudah membicarakan Adhira dengan orang tuanya. Dan mamanya ingin segera bertemu dengan Adhira. Akhirnya, hari ini atas permintaan mamanya, Arian kembali meminta Adhira untuk bertemu dengan Rachma, mama Arian di sebuah restoran siang ini.

Adhira yang tahu akan segera bertemu dengan calon mama mertuanya, merasa panik dan bingung harus memakai pakaian seperti apa. Akhirnya dengan bantuan Rachel, Adhira sudah benar-benar menjelma menjadi seorang dewi ketika ia mematut dirinya di depannya cermin yang terbalut dress kasual yang cocok dengan postur badannya. Pakaian dari riasannya tidak begitu mewah dan cenderung sederhana, namun bagi Adhira, ini adalah kali pertama ia berdandan seniat ini.

Adhira sekarang kini berjalan memasuki restoran dan mencari tempat duduk yang sudah direservasi atas nama Rachma, dan kemudian diantar oleh salah seorang pegawai restoran pada sebuah meja yang sudah diisi beberapa wanita paruh baya di sana. Adhira menelan ludahnya banyak-banyak, tangannya terasa basah karena keringat dingin. Tanpa alasan tertentu kini ia merasa didominasi oleh tatapan-tatapan yang mengarah kepadanya.

"Selamat siang," ucap Adhira sambil memasang senyum semanis mungkin.

Seorang wanita berambut pendek sebahu, seketika menoleh dan tersenyum padanya. "Sini duduk sayang," ucapnya sambil menepuk kursi di sebelahnya, mempersilakan Adhira untuk duduk. Adhira mengangguk sambil kemudian mengambil tempat di kursi tersebut.

"Nah, perkenalkan jeng, ini pacarnya Arian," ucap wanita itu pada teman-temannya, sambil kemudian beralih menatap Adhira, memandang satu-satunya gadis muda yang ada di tempat itu dengan tatapan kagum. Ia kemudian mendekatkan wajahnya pada Adhira dan berbisik, "kamu lebih cantik dari di foto ya." Adhira tersenyum simpul. "Nggak usah tegang, santai saja," bisiknya lagi, sambil kemudian memegang legan Adhira, meyakinkan bahwa ia tidak akan kenapa-kenapa berada di tempat itu.

Adhira yang semula terlihat gugup akhirnya mulai merasa nyaman, terlebih ketika dirinya mulai terlibat obrolan dengan ibu-ibu di sekelilingnya.

***

Rendra dan Andreas duduk berhadapan. Keduanya terlihat canggung satu sama lain. Sudah beberapa menit berlalu sejak mereka memesan sesuatu untuk dimakan, dan tidak ada dari keduanya yang angkat bicara. "Jadi," ucap Rendra akhirnya mengawali. Andreas menoleh, menatap Rendra. "Apa kabar?" tanyanya masih dengan nada yang sangat canggung.

"Kabar baik," jawab Andreas. "Mas Rendra apa kabar?"

"Gue juga baik." Jawab Rendra. "Nggak apa-apa kan, kalo kita nggak pakai bahasa formal di luar kantor?" tanyanya kemudian. Andreas mengangguk.

Rendra terdiam lagi sebentar lalu kembali berkata, "Gue mau bicarain sesuatu."

Andreas mengangkat kedua alisnya, menunggu Rendra melanjutkan ucapannya.

"Lu masih inget kejadian enam tahun lalu, di kampus?" tanya Rendra.

Andreas mengernyit. Enam tahun lalu berarti tahun 2009, dan banyak yang ia alami di tahun tersebut. Ia tidak bisa mengingat sesuatu jika Rendra bertanya secara umum seperti itu. "Spesifiknya kejadian apa Mas?" tanyanya sedikit bingung, apalagi jika ia ingat bahwa dirinya dan Rendra belum saling mengenal di tahun itu.

"Kejadian di area parkir kampus, malam makrab UKM," jawab Rendra dengan hati-hati.

Andreas teringat sesuatu. Ia terdiam, menatap Rendra dengan pandangan menelisik, bertanya dalam hatinya bagaimana pria di depannya ini bisa tahu kejadian tersebut. "Mas sebenernya siapa?" tanyanya akhirnya dengan nada menginterogasi.

"Gue cowok yang nolongin Sarah dulu," jawab Rendra lagi.

Andreas seketika teringat pada sosok pria itu, dan seketika memasang wajah yang cukup terkejut. "Ya, gue inget Mas," timpal Andreas.

"Mungkin selama ini lu sadar, sedari awal Adhira ngenalin lu ke gue sebagai pacar, gue nggak pernah suka sama lu," ucap Rendra. Andreas mengangguk. "Gue nggak bisa lupa wajah lu, gue inget lu adalah salah satu dari mereka, teman si Liam, maka dari itu gue gak pernah bisa nerima lu sebagai pacar Adhira. Ditambah pada akhirnya hubungan lu sama Adhira dulu pun selesai karena perihal yang sama. Taruhan. Gue nggak bisa mandang lu sebagai orang baik, sekalipun banyak ucapan orang-orang yang meyakinkan gue bahwa lu ga sejahat yang gue pikir," lanjutnya lagi.

Andreas terdiam. Sekarang ia tahu alasan mengapa Rendra selama ini memusuhinya.

"Tapi tiba-tiba saja gue inget sesuatu, lu berdiri di sana ketika kejadian itu," ucap Rendra lagi. "Awalnya gue pikir lu sekongkolan sama si Liam, dan lu lagi ngawasin keadaan sekitar supaya aman dan nggak ada orang yang tahu aksi bejat temen lu itu."

Andreas hendak menimpali, ada ekspresi tidak terima ketika ia mendengarkan ucapan Rendra barusan. Namun ia urung mengucapkan sesuatu ketika dilihatnya Rendra masih memiliki banyak hal yang ingin disampaikan.

"Tiba-tiba saja terbersit di pikiran gue, apa mungkin justru ketika itu lu punya pikiran sama seperti gue, hendak nyelametin Sarah dari Liam?" tanya Rendra kemudian.

Andreas terdiam sebentar. Ia menatap Rendra sambil mengangguk pelan.

Melihat anggukan pelan itu, Rendra tertawa pelan, menertawakan dirinya yang selama ini begitu bodoh dan egosentris, menganggap orang di depannya ini sama jahatnya dengan Liam. "Dan lu yang bunyiin alarm?"

Andreas mengangguk lagi. "Iya, gue yang bunyiin alarm," jawabnya. "Gue liat kalian berantem, tapi posisi gue nggak bagus buat lerai kalian. Liam itu, agak sedikit bahaya. Gue sadar gue pengecut dulu, tapi cuma itu yang bisa gue lakuin buat selametin kalian," lanjutnya.

Rendra mengangguk mengerti. "Makasih ya," ucapnya sambil menggenggam tangan Andreas. Membuat Andreas sedikit terkejut. "Sarah, sekarang istri gue. Gue ngga bisa bayangin bakal kaya bagaimana nasib gue dan dia kalau saja alarm itu nggak bunyi," lanjut Rendra.

"Istri?" tanya Andreas sedikit terkejut.

Rendra mengangguk sambil melepas genggaman tangannya. Andreas tidak pernah tahu bahwa kejadiannya akan seperti ini. Selama ini dia menyangka bahwa Rendra adalah orang yang ingin mendekati Adhira dengan embel-embel kakak sebagai kedok.

"Dan tentang Adhira," ucap Rendra lagi kemudian.

"Gue sudah nggak ada hubungannya lagi dengan dia," timpal Andreas cepat-cepat. "Hubungan kami sekarang sudah beneran berakhir, lu nggak usah khawatir Mas."

Rendra mengangguk. "Dia sudah punya Arian," timpalnya. Andreas mengangguk. "Dan kejadian lu sama dia dulu, apa ada hubungannya juga dengan Liam?"

Andreas mengangguk lagi. "Gue memang taruhan sama Liam, tapi selama gue pacaran dengan Adhira, gue tulus sayang sama dia," lanjut Andreas. "Gue nggak pernah hidup baik setelah pisah sama Adhira," ucap Andreas lagi. "Hidup gue selalu dipenuhi rasa bersalah, bertahun-tahun pindah ke negara sana ke negara sini, cuma buat nyari ketenangan batin, cuma buat bisa lupa sama Adhira dan kesalahan gue dulu, tapi gue nggak pernah bisa lupa apa yang sudah gue lakuin ke Adhira."

Rendra masih diam, menatap Andreas yang mulai mengeluarkan isi hatinya.

"Tapi yah, seenggaknya sekarang sudah lebih baik," ucap Andreas lagi. "Gue sudah meminta maaf sama Adhira, dan Adhira sudah maafin gue. Dan meskipun pada akhirnya kita nggak bisa sama-sama lagi, seenggaknya di antara kami berdua sudah nggak ada dendam atau hutang lagi. Rasanya sekarang lebih lega. Adhira sudah bisa fokus pada Arian, dan gue sudah bisa fokus dengan hidup gue sendiri."

Mendengar hal itu, Rendra menyunggingkan bibirnya, mengulas senyum tipis pada wajahnya. "Syukurlah kalau begitu," ucapnya. Andreas mengangguk. Tidak lama kemudian, pesanan mereka datang. Makan siang kali itu, dirasa keduanya begitu mengenyangkan. Beban-beban berat yang semula mengendap perlahan mulai meninggalkan dada mereka. Mereka berdua sadar, bahwa menghidupi diri mereka dengan dendam hanya akan membuat hidup mereka semakin buruk.

***

"You're just like me," ucap Rachma di dalam mobil pada Adhira. Makan siang mereka sudah selesai setengah jam yang lalu, dan kini Adhira tengah diantar pulang oleh Rachma. "Kamu cewek mandiri dan pekerja keras, tante suka," lanjutnya.

Adhira hanya tersenyum simpul. Semula ia berpikir bahwa ia akan mendapat sedikit penolakan dari calon mertuanya ini, mengingat jika dibandingkan dengan Arian, Adhira tidak memiliki latar belakang keluarga yang hebat. Ibunya hanya pengusaha katering dan sudah cerai dengan ayahnya, sedangkan Arian berasal dari keluarga konglomerat yang harmonis. Sekalipun Adhira sadar, bahwa buah jatuh tidak jauh dari pohonnya, Arian yang mau menerima dan memperlakukannya dengan baik, adalah karena orang tuanya pula yang mendidik seperti itu.

"Tapi," ucap Rachma kemudian. "Jika tiba saatnya Arian ngelamar kamu, apa kamu yakin bakal terima lamaran dia?" tanyanya pada Adhira, menghadiahi gadis itu tatapan menelisik.

Adhira mengangguk. Tidak ada alasan baginya untuk menolak sosok prince charming seperti Arian. Dari segi fisik, materi dan hati Adhira sudah benar-benar merasa cocok dengan Arian. Terlepas dari semua hal yang menempel pada Arian, selama Adhira mencintai prianya tersebut, dan begitupun Arian padanya, tidak ada alasan baginya untuk menolak pria itu. "Kami saling cinta Tante," jawab Adhira.

Rachma mengangguk sambil tersenyum. Ia menatap Adhira lekat, sambil lalu mengusap kepala Adhira pelan. "Tante tahu gadis sepertimu Nak," ucapnya lagi. "Pikirkan lagi baik-baik, kamu harus tahu di mana prioritasmu. Tapi ya, tante pasti berharap kamu akan tetap bersama Arian."

Adhira terdiam mendengar ucapan Rachma. Ia tidak mengerti maksud ucapan calon mertuanya tersebut. Dan kini pikirannya dipenuhi oleh macam-macam hal.

***

Andreas baru saja melangkahkan kaki di lobi bawah sore itu ketika seorang remaja laki-laki yang masih mengenakan seragam SMA lengkap dengan tas ranselnya tiba-tiba berdiri dari duduknya dan berjalan menghampiri dirinya tepat setelah tatapan mata mereka bertemu.

"Mas Andreas," ucap remaja laki-laki itu.

Andreas yang kenal betul siapa remaja yang menghampirinya tersebut seketika mengernyit. "Afif? Lagi apa di sini?" tanyanya. "Mau ketemu kakakmu?"

Afif menggeleng. "Aku mau tanya sesuatu," jawab Afif.

"Tanya sama mas?" tanya Andreas sambil menunjuk dirinya. Afif mengangguk. "Ya sudah, kalau begitu kita naik ke atas ya, ngobrol di ruangan mas," ajak Andreas pada Afif. Afif hanya mengangguk dan berjalan mengekor di belakang Andreas.

"Masih sakit Mas?" tanya Afif pada Andreas basa basi ketika ia menatap wajah Andreas.

Andreas mengernyitkan alisnya tidak mengerti maksud pertanyaan Afif.

"Itu, mukanya masih sakit?" Afif menunjuk lebam pada wajah Andreas yang masih terlihat.

"Oh," timpal Andreas sambil tertawa pelan. "Sudah agak mendingan sih, biarpun kalu dipegang kadang masih kerasa ngilu," lanjutnya.

Tidak lama lift yang mereka naiki sudah sampai pada lantai yang dituju. Afif masih mengekor di belakang Andreas yang berjalan menuju sebuah pintu kayu besar di tengah lorong.

"Duduk dulu, mau minum apa Fif?" tawar Andreas. "Jus jeruk, mau?"

Afif mengangguk, sambil menempatkan dirinya di atas sofa. "Boleh Mas, kalau nggak ngerepotin," jawab remaja laki-laki itu.

Andreas tersenyum. "Yang direpotin sih bukan mas, tapi sekretaris mas Fif," jawabnya sambil tertawa pelan. Ia kemudian menghubungi Mega, sekretarisnya, melalui interkom untuk segera membawakan dua gelas jus jeruk ke ruangannya.

Andreas kemudian duduk di hadapan Afif. "Kamu baru pulang sekolah?" tanyanya. Afif mengangguk. Andreas pun ikut mengangguk. "Jadi kamu mau tanya soal apa Fif?" tanyanya lagi pada Afif.

"Emm, itu," ucapnya sedikit ragu. "Kemarin kan om Johan dateng ke rumah, aku denger katanya dia dapet alamat rumah dari Mas Andreas," lanjutnya.

Andreas mengangguk.

"Mas Andreas ada hubungan apa ya sama om Johan?" tanya Afif kemudian.

Andreas mengernyitkan alisnya, bingung mengapa tiba-tiba saja Afif menanyakan hal tersebut. Namun meskipun begitu ia tetap menjawab pertanyaan Afif tanpa banyak bertanya, "om Johan itu temennya papa mas, mas sudah kenal om Johan dari mas kecil dulu."

Afif hanya membulat mulutnya. "Kalau boleh, aku bisa minta alamat rumahnya om Johan nggak Mas?" tanya Afif kemudian.

"Buat apa Fif?"

"Emm, jadi itu, kemaren itu ada barangnya om Johan yang ketinggalan di rumah, jadi aku mau balikin," jawab Afif berbohong.

"Oh begitu," ucap Andreas. "Kalau mau dititip ke mas juga boleh kok Fif. Mas sering main ke restorannya om Johan juga soalnya," lanjut Andreas lagi menawarkan diri.

Afif dengan cepat menggeleng. "Biar aku aja Mas yang nganterin langsung, sekalian aku juga sekali-kali pengen main gitu," ucapnya.

Andreas mengangguk mengerti sambil ber'oh' ria. "Tunggu ya, mas tulis dulu alamatnya," ucap Andreas kemudian sambil berdiri menuju mejanya dan menuliskan alamat rumah dan restoran om Johan pada secarik kertas. Setelah selesai, ia kemudian memberikan kertas itu pada Afif. "Restorannya cukup gede, keliatan dari jalan raya. Kalau om Johan nggak ada di restoran, bisa kamu cari di rumahnya. Rumahnya ada tepat di sebelah restorannya."

Afif menerima kertas itu sambil tersenyum. "Wah oke Mas Andreas, makasih banyak ya," ucapnya senang.

Tidak lama Mega datang ke ruangan itu sambil membawa nampan berisi dua gelas jus jeruk, dan menaruhnya di atas meja. Afif dan Andreas kemudian mengobrol-obrol kecil sambil meminum jus jeruk yang baru datang itu, sebelum kemudian remaja laki-laki itu pamit untuk segera pulang. []

Continue Reading

You'll Also Like

159K 9.1K 53
Niat hati kabur dari perjodohan yang diatur orang tuanya dengan duda anak 1 yang sialnya masih tampan itu, Herna malah harus terjebak menikahi pria k...
431 92 27
🏆 Juara 1 dan Kelompok Terbaik dalam Event Cakra Serial Marathon Batch 02 yang diselenggarakan oleh Cakra Media Publisher ... ⚖️ ... Merasa geram da...
1.8K 384 9
Jika ada ungakapan, "Maut yang memisahkan." Maka bagi mereka, justru kebalikannya. Maut yang mempertemukan mereka. Menjadikan utuh dan melengkapi sat...
668 98 11
SUDAH DITERBITKAN (19 OKTOBER 2019) you can order in web www.guepedia.com "Selamat tinggal untuk semua yang aku sayangi. Ayah, Ibu, saudaraku Liana...