Hujan Bulan Desember

By daffoguy

2.6K 272 174

Menjadi seorang nomad bukanlah tujuan hidup Andreas Hestamma. Setelah sekian lama berpindah tempat tinggal da... More

P R A K A T A
Prolog
Bab 1
Bab 2
Bab 3
Bab 4
Bab 5
Bab 6
Bab 7
Bab 8
Bab 9
Bab 10
Bab 11
Bab 12
Bab 13
Bab 14
Bab 15
Bab 16
Bab 17
Bab 18
Bab 19
Bab 21
Bab 22
Bab 23
Bab 24
Bab 25
Bab 26
Bab 27
Bab 28
Bab 29
Bab 30
Epilog
D A N K S A G U N G

Bab 20

45 3 3
By daffoguy

Adhira mengerjapkan matanya ketika sinar matahari sore yang menembus kaca ruang tengah rumah Arian menerpa wajahnya. Ia meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja kopi di depannya dengan susah payah, berusaha agar Arian tidak sampai terbangun.

"Ow," ucapnya sedikit terkejut ketika dirasanya ia sudah terlalu lama tertidur. Jam di layar ponselnya kini menunjukkan pukul tiga sore. Artinya ia sudah dua jam terlelap dalam pelukan Arian yang sekarang pun masih terpejam.

Dengan perlahan kemudian ia melepas lengan Arian yang masih melingkar di pinggangnya, sambil lalu berdiri dari tempatnya ketika itu, berjalan menuju kamar mandi sambil membereskan kemejanya yang kusut.

Sambil mematut diri di depan cermin, ia tersenyum sendiri mengingat apa yang baru saja ia alami bersama Arian beberapa jam lalu. Ia bahkan sudah lupa bahwa ia pernah merasakan perasaan berdegup seperti ini dulu karena trauma-trauma masa lalunya yang selalu menghantui. Ia kini sadar, bahwa selama ini, ia hanya butuh sedikit keberanian untuk bisa membuat perubahan dalam hidupnya. Ia harus melawan rasa takutnya. Dan beruntung baginya, ia memiliki Arian yang bisa menuntunnya untuk itu.

Setelah beberapa saat merapikan dirinya, ketika ia kemudian keluar dari kamar mandi, ia mendapati Arian sudah terbangun dan tengah duduk di sofa yang ia tiduri tadi sambil sesekali menggosok-gosok matanya. Arian tersenyum pada Adhira yang baru saja keluar dari kamar mandi. "Kok sudah rapi lagi?" tanyanya kemudian.

"Sudah sore Mas, aku mesti cepet-cepet pulang, Afif sendirian kan di rumah, ibu lagi ke Bandung," jawab Adhira ketika sambil kemudian kembali duduk di sebelah Arian.

"Ya sudah, mas siap-siap dulu ya, mas antar pulang," timpal Arian kemudian hendak berdiri, yang langsung ditahan oleh Adhira.

"Jangan Mas, aku pulang naik taksi aja. Jam segini pasti macet banget, ke kantor aja nggak bisa, masa mau nganter pulang sih?" timpal Adhira.

Arian mengangguk. "Oke deh, lain kali, kalo mas sudah baikan mas anter deh pasti."

Adhira mengangguk sambil tersenyum. Ia kemudian berdiri dan berkata, "sisa lauk masih ada Mas, tinggal nanti Mas angetin aja buat makan malam. Kalau nasi sudah aku masukin rice cooker biar anget."

Arian mengangguk. "Sini, cium dulu," ucapnya kemudian sambil membuka lengannya lebar-lebar.

Adhira tersenyum geli. "Apaan sih Mas ih, geli banget," jawabnya sambil terkekeh pelan.

Arian menarik tangan Adhira, sambil kemudian mencium pipi pacarnya itu gemas.

"Udah ah Mas, aku udah rapi tahu," tolak Adhira berusaha lepas dari genggaman Arian. Arian melepas genggamannya sambil tertawa.

"Aku pulang dulu ya Mas, dah!" ucap Adhira lagi kemudian sambil berjalan meninggalkan Arian yang membalas Adhira dengan lambaian tangan.

***

Di tempat lain, Andreas tengah mengaduk kopi sambil duduk di meja makannya yang menghadap tembok kaca apartemennya. Sinar matahari sore membias hangat pada wajahnya yang terlihat tidak baik. Luka lecet dan lebam masih membekas jelas pada wajahnya, mata yang sayu lemas karena kurang tidur menggantung bersama dengan kantung matanya yang menghitam.

Ia pulang ke rumah dini hari, setelah memaksakan diri bahwa ia tidak ingin menginap di tempat Johan. Ia sadar bahwa ia butuh waktu sendiri. Perasaannya ketika itu masih cukup sakit, dan menangis bisa membuatnya sedikit lebih baik. Sesampainya di rumah, meskipun dirinya sudah merebahkan diri di tempat tidur, pikirannya masih melayang tak menentu, yang hasilnya tetap membuatnya terjaga sampai siang tadi. Barulah, saat ia sadar bahwa dirinya tidak lagi mempunyai sisa air mata untuk dikeluarkan, matanya mulai terasa berat, dan akhirnya ia pun terlelap.

Andreas hanya tertidur tiga jam, namun perasaannya sudah jauh membaik sejurus ia kembali membuka matanya. Kini, sambil menyeruput kopi polosnya, ia mulai merasa bahwa dadanya tak lagi merasa sesak ketika ia mengingat kejadian tadi malam, ketika ia mengingat Adhira.

Ia merasa sedih ketika untuk yang ke sekian kalinya, tadi malam ia kembali ditolak oleh Adhira, namun yang lebih penting dari itu, kenyataan bahwa antara dirinya dengan Adhira sudah tidak ada lagi masalah dan dendam yang tersisalah yang kini memenuhi rongga dadanya, membuatnya merasa bahwa beban yang selama ini bercokol dalam dirinya sudah hilang terangkat. Dadanya terasa ringan, pikirannya tidak lagi dipenuhi rasa sesal dan bersalah.

Andreas meletakkan cangkir kopinya di atas meja. Kini setelah ia bisa dengan jernih berpikir tentang hubungannya dengan Adhira, seulas senyum kemudian muncul dari wajahnya yang setengah tak berbentuk itu. Ia meraih ponselnya, sambil kemudian mencari kontak Adhira.

"Terima kasih Dhir, bye," gumamnya kemudian, sambil lalu menghapus kontak gadis itu dari gawainya.

Ia menengadah, melempar pandangnya secara sembarang pada langit cerah yang mulai menjingga, yang terproyeksi pada dinding kaca. Akhirnya setelah sekian lama, ia bisa kembali berpikir bahwa sinar matahari terasa begitu menenangkan. Senyumnya melebar, di saat air mata keluar dari pelupuk matanya yang kini mulai terpejam, dan tidak lama, tawa kecil terdengar keluar dari mulutnya.

Ah, aku lupa pernah sebahagia ini.

***

Adhira turun dari taksi ketika dilihatnya sesosok pria yang ia kenal baru saja keluar dari gerbang rumahnya. Setelah beberapa detik memastikan bahwa indra penglihatannya tidak salah tangkap, mulutnya tanpa terkontrol bergerak begitu saja. "Ayah," ucapnya ketika itu, tidak begitu keras, namun karena lingkungan rumahnya yang cukup sepi, ucapannya tersebut bisa cukup jelas terdengar oleh orang lain.

Pria yang dipanggilnya ayah itu menoleh, sedikit terkejut dengan kehadiran Adhira yang tiba-tiba di hadapannya, namun lebih terkejut lagi ketika ia sadar kata apa yang baru saja keluar dari mulut Adhira.

Keduanya terdiam sebentar. Manik mata mereka bersiborok. Untuk beberapa saat mereka hanya saling memandang dengan tatapan terkejut dan penuh emosi yang campur aduk.

"Kenapa bisa sampai sini ... Yah?" tanya Adhira dengan suara yang sangat ditekan supaya tidak terdengar bergetar. Kali itu, menyadari bahwa Johan yang tiba-tiba saja muncul dari rumahnya, Adhira menyadari bahwa akan sia-sia saja jika ia masih harus berakting pura-pura tidak mengenali Johan seperti semalam. Dan akhirnya sekarang, meskipun sangat ragu, ia memanggil pria itu dengan sebutan 'ayah' setelah sekian lama ia tak pernah lagi mengucapkannya.

Johan tidak pernah menyangka bahwa sebutan sederhana tersebut yang terdengar olehnya, cukup bisa membuat emosinya bergejolak. Sambil tetap menatap Adhira, mata pria paruh baya terlihat menggenang, dan bibirnya terlihat bergetar menahan tangis.

"Adhira... Sayang," ucap Johan kemudian sambil berjalan menghampiri Adhira. Tak lama ketika itu, air yang menggenang di pelupuk matanya jatuh berbulir menggaris pada pelipis dan pipinya.

Adhira yang masih terdiam dan tidak bisa berkata-kata, hanya bisa diam pasrah ketika Johan merangkulkan tangannya pada pundak dan leher Adhira. "Maafkan Ayah selama ini Sayang," ucap Johan sambil mengelus rambut Adhira yang terurai, ia berkata sambil sedikit terisak. Dan Adhira masih tetap diam ketika dirasanya air mata juga mengalir di pipinya.

Bau ayah, batin Adhira sambil memejamkan matanya, menahan tangis yang semakin meluncur deras pada pipinya. Selama ini, bau inilah yang selalu ia rindukan, bau khas ayahnya, parfum beraroma kayu tua yang segar, yang kini berhasil mengingatkannya kembali pada kenangan-kenangannya dulu bersama dengan ayahnya semasa kecil.

Kenapa? Batin Adhira bertanya dalam hati. Ia tidak mengerti, setelah apa yang terjadi selama ini pada keluarganya, mengapa dirinya kini malah merasa nyaman dengan pelukan yang ia terima dari Johan, seolah pelukan inilah yang selama ini tunggu-tunggu setelah sekian lama, seperti oasis yang akhirnya ia temukan setelah lama mengembara. Hatinya bergemuruh, tidak ingin melepas kenangan yang tiba-tiba saja muncul dalam memorinya, di saat pada waktu yang sama ia merasa keinginannya itu telah menghianati Lisa, ibunya.

"Dhir!" Seru Rendra yang tiba-tiba saja muncul dari balik gerbang, diikuti oleh Afif yang masih memasang wajah bingung.

Karena kaget, Adhira sontak melepas pelukan Johan dari dirinya, ia beralih menatap Rendra yang menghampirinya dan menarik tangannya dengan cepat untuk menjauhi Johan. "Ingat ibu Dhir, dia itu jahat," ucap Rendra pada Adhira.

Adhira hanya menoleh sebentar, memandang Rendra dengan tatapan kosong, lalu beralih pada Afif yang wajahnya mulai terlihat pucat, sambil kemudian kembali mengalihkan pandangannya pada Johan yang terlihat sedang mengusap pipinya yang membasah.

Dulu, Adhira selalu berpikir, bahwa jika suatu saat nanti ia bertemu lagi dengan ayahnya, ia akan memberikan pria itu sejuta tatapan kebencian yang akan selalu diingat sampai pria itu meregang nyawa. Ia bahkan sudah menyusun banyak ucapan kasar dan sumpah serapah yang akan ia lontarkan pada Johan, dan bersedia menutup telinganya jika pria itu mulai beralasan. Namun, rencana tetaplah rencana, kadang jika dihadapkan langsung dengan masalah, manusia hanya bisa terdiam, dan bahkan lupa akan apa yang pernah mereka rencanakan, atau bahkan merasa bahwa rencananya adalah rencana yang sangat buruk untuk dilakukan.

Dan melihat Johan yang berdiri sambil mengusap air matanya seperti itu, Adhira merasa tidak tega. Terlebih melihat ayahnya yang dulu terlihat sangat tampan dan berwibawa, kini menua dan terlihat tidak sekuat dulu, Adhira merasa bahwa ia tidak bisa sampai hati untuk mencacinya. Dan yang kemudian Adhira sadari ketika itu adalah, seberapa besar pun rasa kebencian yang ia tumpuk bertahun-tahun ini pada Johan, rasa sayang pada sosok ayahnya itu tidaklah pernah hilang. Di dalam hati terdalamnya, tersembunyi dan tertutup oleh berjuta perasaan benci itu, Adhira masih menyimpan rasa sayangnya.

"Dhir," ucap Rendra lagi memecah lamunan Adhira.

Adhira kembali menoleh pada Rendra, dengan air mata yang masih menetes dari pelupuknya, ia berkata, "Ini masalah keluargaku Mas." Adhira mendelik sebentar, memandang Afif dengan berjuta emosi, sambil kemudian ia memejamkan matanya sebentar dan kembali menatap Rendra dengan tatapan sayu. "Mau bagaimanapun juga ia masih ayahku," lanjutnya dengan nada yang lirih, diiringi dengan semakin derasnya air mata yang keluar dari balik pelupuknya, yang langsung diusap, sejurus bulir-bulir air mulai menganak sungai di pipinya.

Afif, yang berdiri di tempat itu mendengar ucapan Adhira, hanya bisa terdiam dengan mulut yang sedikit terbuka. Berkali-kali ia melempar pandang pada Johan, Adhira dan Rendra, meminta konfirmasi, bahwa apa yang otaknya interpretasi dari stimulus yang diterima indra pendengarannya tidaklah salah. Dan karena ia tidak kunjung mendapat jawaban, dirinya memilih untuk berbalik dan kembali masuk ke dalam rumah tanpa berkata apa-apa.

"Kamu gegabah," ucap Rendra pada Adhira setelah melihat reaksi Afif barusan.

Adhira melengos, mengabaikan Rendra dan ucapannya yang terdengar tidak enak di telinga Adhira. Ia berjalan mendekat pada Johan. "Kenapa bisa sampai sini?" tanyanya pada Johan lemas

Johan menatap Adhira dan terdiam sebentar, matanya masih merindukan tatapan cerdas Adhira yang sudah lama tak ia lihat. Sambil kemudian setelah beberapa detik ia menjawab, "Ayah minta alamatmu dari Andreas."

Adhira hanya mengangguk pelan, ketika di sisi lain Rendra semakin kesal ketika mendengar nama Andreas disebut oleh Johan.

"Tidak ada hal baik terjadi jika berhubungan dengan Andreas," ucap Rendra, sambil kemudian menarik tangan Adhira untuk masuk ke dalam rumah.

Adhira hanya menoleh pada Rendra, dan mengikuti Rendra yang berjalan di depannya. Adhira paham, bahwa topik tentang Andreas bukanlah sebuah hal bagus untuk dibicarakan di depan Rendra. Maka dari itu sebelum akhirnya dirinya menghilang dibalik gerbang, Adhira mengulas senyum pada Johan, seolah mengatakan bahwa ia tidak apa-apa.

***

"Memang kemunculan Andreas lagi itu musibah besar," ucap Rendra di ruang makan. Rendra, Adhira dan Afif ketika itu tengah duduk di sana untuk membicarakan hal yang baru saja terjadi. Selama pembicaraan itu pula Afif hanya diam tak bersuara, tatapan matanya kosong, seolah pikirannya berada di tempat lain. Adhira sendiri, tidak begitu jauh berbeda dengan Afif, dirinya masih terbayang sosok Johan yang baru saja meninggalkan rumahnya satu jam lalu, tidak begitu memedulikan omongan Rendra.

"Jadi," ucap Rendra lagi. "Jangan sampai berita tentang kejadian hari ini sampai ke telinga ibu kalian," ucapnya mengultimatum.

Adhira sedikit tidak senang dengan sikap Rendra yang seolah mengatur-atur urusan keluarganya, namun di sisi lain, ia tidak menemukan kesalahan apa pun dari sikap Rendra tersebut. Selama ini, Rendra sudah bersikap layaknya kakak yang baik bagi Adhira dan Afif, menjadi wali keduanya jika keduanya terlibat masalah, menjadi tempat mengadu dan bisa diandalkan di keluarga ini. Sudah tidak dipungkiri lagi bahwa Rendra sudah benar-benar sayang pada Adhira dan keluarga kecilnya ini, dan apa yang dilakukan Rendra tadi pun adalah salah satunya. Ia tidak ingin apa yang menjadi borok keluarga Adhira setelah sekian lama ini kembali muncul ke permukaan dan menyebabkan rasa sakit yang baru.

Rendra selalu ada di barisan pertama untuk melindungi mereka, ia tidak akan pernah segan bersikap keras pada setiap hal yang menjadi ancaman bagi Adhira dan Afif. Rendra menyayangi dua orang yang sudah ia anggap adiknya sendiri itu, begitu pun ia menyayangi Lisa, sebagai sosok orang tua yang tidak pernah ia temui di keluarganya sendiri. Dan ucapannya kali ini, yang meminta Adhira dan Afif untuk tutup mulut, tidak membocorkan kejadian hari ini pada Lisa, adalah murni karena ia tidak ingin memunculkan kembali rasa sakit pada diri Lisa.

Adhira akhirnya mengangguk sambil berkata, "Ya Mas, aku ngerti." Adhira kemudian berdiri dari duduknya dan pergi meninggalkan tempat itu, menaiki tangga menuju kamarnya.

"Ngerti Fif?" tanya Rendra setelah dengan berat menghela nafas karena melihat Adhira yang terlihat lemas.

Afif hanya mengedikkan bahunya sambil lalu berjalan mengekori Adhira, naik tangga dan masuk ke kamarnya sendiri. Meskipun jawabannya sangat ambigu, Rendra yang sudah mengenal Afif sejak kecil, tahu bahwa remaja laki-laki itu mengerti semua ucapannya dan tidak akan bertindak gegabah.

Rendra yang masih terduduk di ruang makan akhirnya juga berdiri dari duduknya dan melenggang ke bagian depan rumah, meninggalkan rumah Adhira setelah sebelumnya ia menatap dua pintu kamar kakak beradik itu yang tertutup melalui foid di ruang tengah. []

Continue Reading

You'll Also Like

396 73 6
"Back to the past?! How!?" Musim dingin mendadak berganti musim semi. Suatu hal yang biasa terjadi. Namun jika diteliti, ada kata "mendadak" yang men...
432 92 27
🏆 Juara 1 dan Kelompok Terbaik dalam Event Cakra Serial Marathon Batch 02 yang diselenggarakan oleh Cakra Media Publisher ... ⚖️ ... Merasa geram da...
572 71 12
Mungkin Tuhan sengaja mempertemukan keduanya untuk tumbuh bersama dan bahagia. Saling menguatkan untuk terbebas dari rasa sakit masing-masing. Terim...
533K 77K 35
Mili sangat membenci kondisi ini. Dikejar-kejar oleh Mamanya sendiri yang mau menjodohkannya. Bahkan, titah untuk menikah sebelum usia 24 tahun terus...