What If [Series]

By tx421cph

3M 290K 464K

❝Hanya ungkapan tak tersampaikan, melalui satu kata menyakitkan. Seandainya... ❞ PART OF THE J UNIVERSE [read... More

Disclaimer
1. Jeno x Jeha
2. Jeno x Jeha
3. Jeno x Jeha
4. Jeno
5. Jeno
[side story] Jeno x Jeha
2. Jaemin x Jeha
[side story] Jaemin x Haknyeon
1. Guanlin x Jeha
2. Guanlin x Jeha
3. Guanlin x Jeha
1. Truth - Baek Min Ho & Ye Hwa
2. Truth - Hwang Je No & Baek Je Ha
[side story] Juno & Jeni
[side story] The J's Family
[side story] Na's Siblings
[side story] Na's Siblings (2)
[side story] The Kang's Family
[side story] They're Passed Away
[side story] Little Jeno and Jeha
[side story] Between Us
[side story] Dear Dad
[side story] Hukuman Ayah
[side story] Ayah dan Anak Pertama
[side story] Someday In 2017
Side Ending of J's Universe
[alternate] Reality
[side story] Jung Jaehyun
[side story] Seongwoo x Sejeong
[side story] Daddies
[side story] Him
[side story] Keluarga Na Bangkrut?
[side story] Harta, Tahta, Tuan Muda Kaya Raya
[side story] sunsetz
3. Truth - Hwang Je No & Baek Je Ha
[side story] Dear Papa

1. Jaemin x Jeha

221K 16.8K 44.5K
By tx421cph

What If yang paling banyak diminta :)

Jeha - Jaemin 2017 

Jangan lupa spam komennya ☺️👍

Happy Reading 


-----oOo-----


Baik, jadi darimana aku harus memulai ini? Darimana aku harus menggambarkan kebahagiaan yang sedang ku rasakan sekarang?

Ah, bahkan sepertinya satu buku tebal yang kosong akan terasa kurang jika harus ku tulis perasaan ini disana. Mungkin, jika ku ringkas dalam satu kalimat–

Aku adalah perempuan paling bahagia di dunia.

Aku bersungguh-sungguh. Ku pikir... tak ada yang lebih bahagia dariku. Sebuah hal kecil sederhana, yang mungkin tak begitu berarti bagi orang lain, namun terlalu berarti bagiku.

Saat itu aku sibuk memasukkan beberapa Tupperware ke dalam lemari dapur, menata barang-barang lain diatas wastafel, dan segala macam peralatan rumah tangga yang dibawakan bunda. Padahal, aku sudah bersikeras pada bundaku itu untuk tak perlu membawakanku apapun, karena aku berencana membeli barang-barang rumah tanggaku sendiri– ehm, bersama suamiku juga maksudnya, tapi mungkin yang namanya naluri seorang ibu, dia berusaha memberikan treat terbaik untuk anak perempuan sekaligus anak bungsunya ini.

Kekeraskepalaan bunda, ditambah Si Provokator menyebalkan – sebut saja Kak Jaehyun – membuatku tak bisa memenangkan perdebatan. Sang kepala keluarga, ayah Yunho tersayang, hanya menghela napas sembari tersenyum mengangguk, mengisyaratkan padaku untuk menerima perlakuan tulus bunda.

"Seenggaknya bunda pasti pengen melakukan sesuatu yang berarti sebelum anak perempuannya pergi dari rumah," begitu kata ayah.

Bunda menangis saat melepasku semalam, begitu juga Kak Jaehyun. Ah, mereka lucu, padahal aku hanya pindah ke rumah suamiku, tapi mereka bersikap seolah aku akan meninggalkan negara. Jarak antar rumah kami juga tidak begitu jauh, mungkin hanya sekitar setengah jam jika ditempuh dengan kendaraan.

Sebenarnya aku juga tak bisa munafik, melihat bunda yang menangis tersedu karena anak perempuannya ini sudah menikah dan akan meninggalkan rumah untuk yang pertama kalinya, aku pun juga diam-diam menangis saat di mobil. Jadi begini rasanya, meninggalkan rumah yang telah kau tempati selama lebih dari 25 tahun. Meninggalkan kebiasaan-kebiasaan kecil yang hangat. Tak lagi satu atap dengan orang tua dan juga saudaramu.

Sempat berpikir, mungkin aku akan homesick. Namun semuanya segera ku tampik dengan pemikiranku yang mencoba untuk lebih dewasa, mengingatkan kembali bahwa aku telah menikah. Mengingatkan diriku sendiri bahwa sekarang aku harus menjaga dan merawat, bukan dijaga dan dirawat lagi oleh bunda, ayah, maupun Kak Jaehyun.

Hingga beberapa saat ketika aku mengingat moment semalam, ada sepasang tangan yang kemudian melingkari pinggangku dari belakang. Aku berjengit sedikit, agak geli pada awalnya, sampai akhirnya hanya tertawa kecil ketika ada seorang pria yang mencium pipiku dengan lembut, dan menjatuhkan dagunya diatas bahuku.

Aku mengabdi pada pria ini sekarang, hidup dan matiku bersamanya.

Dia, seorang suami yang ku ceritakan pada kalian beberapa menit lalu. Tentu saja kalian tidak akan pernah melupakan laki-laki ini. Seseorang yang dahulu kalian kenal sebagai anak laki-laki dengan keteguhan hati luar biasa, dengan senyuman secerah matahari, seseorang yang sampai saat ini telah memutuskan untuk menjadi payungku.

Na Jaemin.

"Kamu bangun jam berapa? Tadi waktu aku kebangun jam 5 pagi kamu udah nggak ada," ujarku, berbalik, dan kini menatap wajahnya yang tersenyum seperti kebiasaannya selama ini.

Mendengar pertanyaanku, Jaemin melepaskan pelukannya, kemudian menggerakkan tangan, "mencuci mobil, lalu membersihkan halaman, baru terlihat jika halamannya lumayan kotor."

"Iya ya, kita belum liat-liat isi rumah ini, jadi hari ini kita bersih-bersih ya," aku juga baru teringat jika ini rumah yang baru saja dibeli oleh Jaemin, dan juga baru ditempati semalam.

Begini kronologinya jika kalian ingin tahu. Kami berdua baru saja menikah, kemarin. Iya, kemarin. Setelah acara pernikahan yang berlangsung selama beberapa jam, kami berdua memutuskan untuk langsung pindah ke rumah baru, karena itu kami langsung menggeletakkan barang-barang begitu saja dan berencana untuk membersihkan seluruh rumah keesokannya.

"Tidak mau ke rumah papa dan mama dulu? Kita tidak sempat mengucapkan perpisahan pada Jeno juga," Jaemin terlihat memiliki opini lain.

"Besoknya aja ah, lagian kita kan nggak kemana-mana, kenapa pake acara perpisahan?" aku mencebik sedikit, Jaemin sama seperti bunda, mendramatisir keadaan.

Kemudian, pria itu tertawa sembari mengusak rambut legamku yang kini sedikit lebih panjang ketimbang saat masa SMA. Aku ingin memotongnya karena aku lebih menyukai rambut pendek, itu terlihat lebih fresh dan terasa ringan, tapi saat Jaemin mengatakan bahwa aku terlihat sangat cantik dengan rambut panjang... aku mengurungkan niatku.

Diam Jaemin kemudian, tak menjawab lagi kalimat terakhir beberapa saat lalu, hingga ku dapati dia tampak memerhatikan sesuatu dengan seksama dan sorot mata yang berbeda dari sebelumnya. Jika ku lihat-lihat, dia tampak memerhatikan... leherku?

"Apa?" Tanyaku, lalu pria itu mengedikkan kecil alisnya.

"Merah, kelihatan," kata Jaemin, lalu kurasakan ibu jarinya bergerak dan mengusap kulit dibawah tulang selangkaku.

"A-apa? M-merah apa?" Err... sebenarnya aku tidak mau berpikir yang tidak-tidak, tapi–

"Bekas yang semalam."

Aku cukup terkejut melihat gerakan tangannya, kalimat darinya membuatku melotot kecil. "A-ada bekasnya ya..."

Dia mengangguk, memeriksa beberapa tempat lain seperti di belakang leher, bahu, dan lengan atas. "Aku tidak menyangka akan jadi sebanyak ini," Jaemin masih terlihat begitu santai saat membahas hal seperti ini. "Sakit tidak?" Dia menatapku lamat-lamat.

Oh hell, kenapa dia bertanya seperti itu?

"A-apanya?"

"Yang semalam."

Aku segera melempar pandangan kearah lain, kemanapun, asal tak berkontak mata dengannya. Terasa menyeramkan rasanya, apalagi saat dia memandangku dengan tatapan yang– ah sudahlah, tak perlu didefinisikan.

Yang jelas satu hal, aku sadar jika Jaemin pun sama saja dengan semua pria pada umumnya.

"Kamu udah bersih-bersih halamannya? Aku mau bersihin kamar-kamarnya kalau gitu," jawabku– maksudku mengalihkan pembahasannya yang agak ambigu di pagi hari pertama kami, meskipun seharusnya wajar-wajar saja karena kami sudah tidak dalam hubungan labil yang bernama pacaran lagi.

Aku hendak beringsut, namun pria itu dengan cepat menarik lenganku dan membuatku menatapnya sekali lagi.

"Aku tanya, sakit tidak? Kenapa membahas yang lain?" katanya to the point, membuatku skak mat. Hhh, tidakkah dia mengerti kenapa aku mengalihkan topik?.

Aku menghela napas sebal, "iya sakit! Hampir aja nggak bisa jalan tau gak?! Kenapa emang?!"

Jaemin memundurkan sedikit wajahnya beberapa inci ketika aku berteriak kecil, dia mengerjap beberapa kali, tampak lucu di mataku, membuatku tak jadi kesal padanya hanya dalam hitungan detik. Ah, sekarang aku merutuki mulutku sendiri kenapa malah berkata sefrontal itu.

Sempat tercengang, sampai akhirnya suamiku itu tertawa kecil tanpa suara, mengusap surai legamku perlahan. Hanya dengan perlakuan kecil seperti itu, dia berhasil membuatku berdebar meskipun telah bertahun-tahun bersamanya.

Bersama Jaemin, perasaan ini tetap sama meski telah hampir kira-kira 8 – 9 tahun berpacaran dengannya. Jantungku masih seringkali berdebar sama seperti saat SMA dulu ketika dia melindungiku dibawah hujan, aku masih seringkali malu-malu ketika dia mengusap pelan rambutku sama seperti dulu. Tak ada yang berubah.

"Biar aku yang membersihkan rumah, kamu istirahat saja," katanya kemudian, dan segera mendapatkan gelengan kukuh dariku.

"Nggak perlu, aku bohong kok."

"Tapi tetap saja."

"Nggak apa-apa Na, aku nggak mau diem aja, ini kan rumah kita berdua, kita lakuin semuanya bareng-bareng," sahutku cepat, saat sadar dia tak setuju dengan pendapatku.

Pria itu terdiam beberapa saat, hingga aku kembali bersuara.

"Kita udah nikah sekarang, jadi... mulai hari ini dan seterusnya kita lakuin semuanya bareng-bareng, mulai dari hal sepele, sampai hal yang berat, aku nggak mau kamu ngelakuin apa-apa sendiri. Kamu tau maksudku kan?" Aku menatap tepat ke kedua sorot matanya yang legam itu, menggenggam tangannya, mencoba meyakinkan Jaemin yang memang tipikal pria keras kepala.

Sempat diam saja, Na Jaemin kemudian tersenyum menghela, "aku tahu Tuhan tidak pernah salah mengirimkan kamu padaku, dan keputusanku untuk menjadikan kamu tujuan hidupku juga sama sekali tak salah."

Na Jaemin tetaplah Na Jaemin yang selama ini kalian kenal. Sang pria penyuka hujan yang bersajak. Entah mengapa, semua kata-katanya selalu seperti untaian puisi yang menyejukkan bagai embun pagi. Setiap kata-katanya selalu mampu membungkamku dengan mudah.

"Apa sih kamu ah, pagi-pagi udah ngardus," ujarku, sembari mendorong bahunya hingga dia mundur beberapa langkah, memberikanku akses untuk menyingkir karena sejak tadi dia mengunci tubuhku di depan wastafel.

Jaemin hanya tertawa dengan kalem ketika aku mengambil dua cangkir untuk membuat teh dengan air dari tremos yang dibawakan bunda semalam. Aku juga cukup terkejut karena ternyata bahkan ada tremos yang berisi air panas penuh di dalam bawaan kami.

"Kamu sampai kapan cutinya?" Tanyaku, menoleh padanya.

Pria yang kini bersandar pada wastafel itu tampak berpikir sejenak, hingga akhirnya dia menjawab. "Sepertinya sekitar 5-6 hari? Aku bebas meminta cuti berapa hari," dia tergelak.

"Nggak kelamaan itu?" Tanyaku lagi, sembari memberikan sedikit gula pada dua cangkir teh tersebut dan kembali menatap Jaemin.

"Kita kan perlu berbulan madu?"

Aku tertawa kecil, "bulan madu di rumah kan bisa, sama aja padahal. Kamu dokter, jangan cuti kelamaan."

Jaemin tampak tak menjawab, pria itu tampak terdiam dan sepertinya sedang memikirkan apa yang baru saja ku katakan. Terbukti karena dari pandangannya yang tampak sedikit bingung dan ragu, lalu sesekali dia akan menggaruk kecil kulit kepalanya dengan telunjuk.

Jika kalian ingin tahu karir Na Jaemin sekarang, dia benar seorang Dokter. Jaemin yang sudah berusia 26 tahun sekarang, telah mendapatkan gelar sarjana dan masternya dengan cepat. Entah aku tidak tahu bagaimana caranya dia melakukan itu, menyelesaikan studi S1 dan S2-nya hanya dalam waktu 5 tahun, ditambah cumlaude.

Kalian tahu, Jaemin memang sepintar itu.

Dia menjadi seorang dokter bedah 3 tahun lalu. Meskipun sempat terjadi kontroversi dan dia ditolak mentah-mentah karena kondisinya, aku pun mengajukan protes pada rumah sakit itu dan menggebrak Direktur rumah sakit tersebut. Iya mungkin aku berlebihan, tapi melihat mereka menjatuhkan impian Jaemin dan tak menganggap segala kerja kerasnya selama ini hanya karena satu kekurangannya, membuat harga diriku terasa diinjak-injak juga.

Kemudian, dengan sedikit pertolongan Om Siwon – yang juga bekerja disana – akhirnya Jaemin membuktikan kemampuannya dan dia mampu membuat semua Dokter disana tercengang.

Kejadian besar yang mengejutkan semua orang, Om Siwon merekomendasikan Jaemin untuk melakukan operasi 4 organ sekaligus pada seorang pasien yang didiagnosis menderita kanker langka, jika tidak salah namanya Leiomyosarcoma. Tentu saja ajuan Om Siwon ditolak mentah-mentah oleh semua orang, karena mereka berpikir mana mungkin Na Jaemin yang baru saja lulus kuliah bisa melakukan operasi sebesar itu?

Tapi hei! Jaeminku memang sehebat itu, dia bisa membungkam semua orang dengan kesuksesannya pada operasi tersebut. Hal yang dia lakukan, sangat patut untuk diapresiasi.

Seperti itulah, bagaimana kemudian Jaemin bekerja menjadi dokter bedah umum, dan kini menjadi salah satu dokter terhebat yang terpercaya di rumah sakit tempatnya bekerja. Meskipun dia masih mendapat gelar master, tidak seperti dokter lain yang lebih tua dengan gelar doktor mereka. Iya, dia dokter termuda di sana.

Jaemin memiliki seorang asisten yang selalu mengikutinya kemana-mana saat di rumah sakit, seseorang yang pandai berbahasa isyarat juga.

Hhh, seandainya aku yang menjadi asisten itu. Tapi apalah dayaku sekarang, hanya seorang ibu rumah tangga yang merangkap menjadi seorang florist dan sedang menyelesaikan studi S2 biologiku.

Intinya, Na Jaemin yang dulu kalian kenal sebagai seorang anak tiri yang bekerja paruh waktu di berbagai tempat, sekarang benar-benar menjadi pria yang berhasil.

Memang benar, hasil tak pernah mengkhianati usaha, dan Tuhan memanglah selalu adil. Ada pelangi selepas hujan badai, itu benar adanya.

"Aku sudah mengatakan pada Direktur Son jika akan cuti sekitar seminggu dan rumah sakit boleh memanggilku kapan saja jika ada operasi darurat, dan dia malah menyuruhku cuti sebulan," katanya, setelah meletakkan cangkir teh yang baru saja ia minum sedikit.

"Hah? Nyuruh cuti apa resign? Lama amat," dengusku, cukup terkejut. Lagi-lagi, Jaemin hanya tertawa kecil.

"Aku hanya akan cuti seminggu," ujarnya, "ngomong-ngomong bagaimana jika besok mengunjungi mama dan papa? Setelah itu berkebun, bukankah sudah saatnya memanen Tulip dan Anemone Jepang?"

Membaca bahasa isyaratnya itu, aku tersentak kecil, benar-benar teringat bahwa aku seharusnya sudah memanen bunga-bunga dari kebunku yang berada di daerah Gangwon-do. Jaemin bahkan ingat kapan bunga-bungaku harus dipanen, kenapa aku bisa lupa?

"Oh iya juga, yaudah besok ya?" Kataku, menyetujui sarannya, meskipun sebenarnya aku agak malas.

Suamiku itu hanya mengangguk, sampai akhirnya dia kembali meneguk tehnya yang tinggal separuh, lalu menghabiskannya dengan cepat. Hahh, bahkan saat minum seperti itu dia terlihat sangat tampan. Jakunnya yang naik turun saat air teh itu menelusuri kerongkongannya, membuatku salah fokus.

Perangai Jaemin tak berubah sejak pertama kali aku bertemu dengannya bertahun-tahun lalu, dia tetap seorang laki-laki dengan gestur yang kalem dan lembut. Tapi sekarang fisiknya sudah sangat berubah. Dulu saat remaja tinggi kami tak terlampau begitu jauh, namun sekarang Jaemin sudah menjadi seorang pria gagah, dia tumbuh dengan cepat dan otot-otot tubuhnya sangat tampak meski dilihat hanya sekilas. Rahangnya yang kokoh, gaya rambut mulletnya, dan– hahh sudah cukup, aku tidak harus mendefinisikannya hingga sedetail itu.

Saat aku sibuk dengan teh dan pikiranku, aku langsung tersadar karena merasa diperhatikan, hingga kemudian kulirik pria yang duduk di sampingku. Benar, Jaemin rupanya memang sedang memerhatikanku dengan wajah yang ditumpu diatas telapak tangan kanannya.

"A-apa?"

Dia menggeleng, namun tetap tak mengalihkan pandangan dariku. Bukan risih, tapi siapa yang tidak salah tingkah diperhatikan secara terang-terangan seperti itu?

5 detik kemudian, Jaemin menegakkan punggungnya, dan tangannya mulai bergerak, "semalam–"

"Udah ya kamu tuh jangan bahas semalem-semalem mulu!" Potongku cepat dengan panik ketika membaca kalimat pertamanya, membuatnya agak terkejut.

Wajahku panas, aku sangat yakin Jaemin menyadari perubahan warna di kulit wajahku, hingga kemudian dia tertawa geli dan mencubit pipi kananku pelan. Meskipun sebenarnya aku tidak tahu perihal 'semalam' yang mana yang ingin dia bahas, yang jelas aku sensitif. Sudahlah, aku yakin kalian paham.

"Pikiran kamu kotor juga," katanya, membuatku melotot dan lagi-lagi panik.

"A-apa sih?! Emang aku mikir apa?!"

"Aku hanya mau bertanya apa semalam kamu menyimpan berkas data pasien diatas koper, bukan tentang malam pertama." Dia bertanya dengan to the point, benar-benar se-to the point itu seolah tak pernah terjadi apapun semalam, atau pria ini memang sengaja menggodaku.

"Hei! Siapa yang mikir malam pertama semalem?! Iya aku nyimpen! Ada di map warna biru! Aku simpen diatas meja di kamar kita!" seruku. Bukan marah, aku berteriak refleks karena panik dan salah tingkah.

Suamiku itu, tertawa. "Tsundere," ledeknya kemudian.

"Na–!"

Aku baru saja ingin protes lagi, tapi dia kemudian mencium bibirku dengan sangat mendadak. Merengkuh wajahku dengan kedua tangannya, memejamkan matanya.

Tindakannya yang tiba-tiba itu membuatku tak dapat bergerak, sampai ku rasakan tangan kekarnya kemudian menyisir rambut belakangku, dan dia memperdalam ciuman kami.

Jaemin sudah menjadi pria dewasa, satu hal yang harus kalian ingat.


-----oOo-----


Oh sial, aku harus kuliah hari ini. Padahal plan hari ini seharusnya pergi ke rumah Keluarga Lee, lalu memanen bunga di Gangwon-do– kemarin kami tidak jadi pergi kemana pun karena harus membersihkan seluruh rumah. Tapi (lagi-lagi) aku lupa hari ini ada ujian untuk mata kuliah Biostatistik.

Ah, kenapa juga aku harus menikah di hari-hari sibuknya sebagai mahasiswi. Sebenarnya posisiku saat ini sangat tanggung karena beberapa bulan lagi aku sidang lalu wisuda, bukankah orang-orang berpikir seharusnya aku menikah setelah lulus S2 saja?

Iya sih, aku juga pernah berpikir begitu. Tapi Na Jaemin yang sudah mapan lebih dulu – bahkan hidupnya benar-benar sudah bisa dibilang sukses sejak 3 tahun lalu dia menjadi dokter – katanya tidak mau menunggu lebih lama, dia juga meyakinkanku bahwa kehidupan kuliahku tidak akan berubah sekalipun sudah menikah.

A-aku sih... senang-senang saja.

Beberapa kali aku mendengus kasar, menatap ke jalanan dengan wajah suntuk. Saat itu lampu merah menyala, Jaemin menghentikan mobilnya, kemudian menoleh padaku. Refleks, aku pun juga menolehkan kepala dengan lesu.

"Sudah belajar belum semalam?"

Aku menggeleng.

"Tapi kamu kan sudah pintar ilmu-ilmu biologi, paling yang tidak bisa itu matematika. Oh iya, kamu juga tidak bisa fisika. "

Hhh... dia ini sebenarnya niat memuji atau menghina?

"Aku cuma mager aja," keluhku, menyandarkan kepala di bantalan kursi, hingga kemudian lampu kembali menjadi hijau dan Jaemin segera menjalankan mobilnya kembali tanpa menanggapi kalimatku barusan. Paling-paling hanya tersenyum tipis maklum.

Benar kata Jaemin sebenarnya, aku tidak mengkhawatirkan apakah aku bisa mengerjakan ujiannya atau tidak nanti. Aku hanya terlalu malas dan tidak siap pergi ke kampus dengan keadaan baru saja menikah dua hari yang lalu.

Hei! Bayangkan saja, pasti semua teman-temanku yang sialan itu akan menggodaku seharian. Terutama pasangan Lucas – Yuqi. Kemarin saja saat upacara pernikahan di gereja, mereka semua tidak berhenti memprovokasi.

Karena sibuk melamun dan berpikir, tanpa terasa rupanya kami sudah sampai di halaman kampus. Aku tidak akan sadar jika saja Jaemin tidak menepuk pelan pundakku. Aku menegakkan punggung, kemudian menoleh.

"Kamu tidur?"

"Enggak kok," aku menggeleng. Mungkin karena posisiku yang bersandar sambil memandangi ujung kemejaku, membuatnya berpikir bahwa aku sedang tertidur.

Suamiku itu, hanya tersenyum lembut, kemudian tangannya bergerak menuju belakang kepalaku dan mengelusnya sebentar, hingga beberapa saat kemudian kulihat dia mendekat dan segera mendaratkan satu ciuman di bibirku tanpa permisi.

Aku hanya diam mematung di tempat, bahkan saat Jaemin telah memundurkan tubuhnya dan masih saja tak memudarkan senyumnya yang menawan itu.

"Semangat dariku," katanya, terkikik geli, mungkin karena melihatku yang mendadak diam seperti batu.

Argh! Aku juga tidak tahu kenapa malah bersikap seperti orang bodoh, kami sudah menikah dan hal-hal kecil seperti ini juga pasti bukan hal yang mengejutkan, tapi hingga saat ini jantungku masih saja berdebar seperti remaja. Salahkan Jaemin yang sekarang menjadi 'sedikit' lebih agresif dan sering melakukan skinship setelah kami menikah.

Selama kami berpacaran bertahun-tahun lamanya pun dia tidak pernah main menciumku seperti tadi dan kemarin, paling hanya memegang tangan dan memeluk. Rasanya dia benar-benar sangat menjagaku dulu.

"Ehm," aku berdeham sebentar meredakan rasa canggung yang ku buat sendiri, "kamu langsung pulang?"

Pria itu terlihat berpikir, sampai akhirnya tak butuh waktu lama untuk menjawab, "sepertinya aku akan pergi ke rumah mama dan papa lebih dulu, tidak apa-apa kan?"

"Oh yaudah nanti pulang ngampus aku langsung kesana."

Jaemin menggeleng dengan cepat, "tidak, hubungi aku jika sudah pulang, aku jemput."

"Em, iya deh," aku hanya bisa mengiyakan jika Jaemin sudah meminta seperti itu, karena posisinya sekarang dia adalah suamiku dan dia berhak mengaturku, lalu aku wajib menuruti apa yang dia katakan. Hei, jangan sebut aku bucin, bukankah memang seharusnya seperti itu?

Dia kemudian turun dari mobil dan berlari kecil untuk segera membukakan pintu untukku, padahal aku sudah akan membuka pintuku sendiri. Lihat, bahkan perlakuan kecilnya ini mampu membuat hatiku tersentuh dan menghangat.

"Segera cuci muka jika mengantuk, lalu minum teh yang ku bawakan."

Aku mengernyit, "teh?" tanyaku, lalu dia mengangguk, mengedikkan dagunya kearah tas yang berada di bahuku, membuatku segera memeriksa isi tas tersebut. Ada botol tremos berwarna hitam dengan tulisan Starbucks di dalamnya, lalu aku membukanya dan mengendus minuman yang masih mengeluarkan uap tersebut. "Teh Peppermint, ya?" terkaku.

Jaemin kembali mengangguk, dan aku cepat menyadari bahwa dia masih tak meninggalkan kebiasaannya selama ini. Sering membawakanku teh peppermint karena aku mudah mengantuk di kelas, hingga bekal yang dia buat sendiri.

"Kapan bikinnya? Kok aku nggak tau?"

"Tadi saat kamu mandi."

Aku tersenyum, memegang tangannya dengan canggung dan malu-malu, "makasih..."

Bukan terlalu percaya diri, tapi mungkin saja Jaemin merasa gemas dengan tingkahku yang seperti remaja kasmaran atau bahkan orang bodoh, hingga dia tertawa dan mencubit pipiku kecil.

"Semangat!" dia mengepalkan tangan kanannya.

Aku mengangguk kukuh, tersenyum, lalu berjinjit kecil dan mencium pipinya dengan cepat. Jaemin sempat terkejut, tapi pria itu kemudian dengan segera menyunggingkan senyumnya kembali.

"CIATT PENGANTIN BARU CIATT!!"

"INI TEMPAT UMUM WOY!"

"TOLONG POPPO POPPONYA DIKONDISIKAN MAS MBA, HARGAI YANG JOMBLO!"

Aku tersentak, Jaemin hanya berjengit kecil, kami berdua menoleh bersamaan kearah kerumunan kecil yang mendadak berteriak sekencang mungkin. Sadar siapa orang-orang itu, aku mendecak kesal, memalingkan muka.

Mereka teman-temanku, aku yakin kalian bisa menebaknya. Iya. Yuqi, Lucas, Mark, Xiaojun. Ada Renjun juga disana, tapi dia hanya diam saja, tidak ikut bersorak seperti orang gila.

Orang-orang tidak waras itu kemudian menghampiri kami berdua, aku sudah menghela napas malas, sadar bahwa ini bukan hal yang baik.

Jaemin hanya tersenyum kearah mereka satu persatu, menyambut dengan ramah.

"Gimana malam pertamanya?" Lucas yang baru saja datang, bertanya to the point dengan wajah cengengesannya kearah Jaemin.

Plakk!!

"Anjerr sakit woy!!" Dia berseru kaget ketika aku menampar kepalanya dengan sebal.

"Jangan bikin emosi pagi-pagi ya lu," dengusku.

Jaemin yang sempat terkejut melihatku memukul Lucas, menarik tanganku dengan segera, "jangan seperti itu, kasar, aku tidak suka."

"Ya abisnya!"

"Kalem atuh euy neng, cuma becanda akang teh," Lucas mencibir, masih mengusap rambut diatas telinganya yang sepertinya masih terasa ngilu.

"Kenapa lo masuk? You should just enjoy the honeymoon," Mark tiba-tiba menyeletuk.

"Gue ada ujian hari ini," aku mendengus, rasanya jadi kesal lagi jika ingat ujian.

"Ah elah, skip aja udah sih, kan lo baru nikah, dosennya pasti ngerti lah," Yuqi mengibaskan tangan, dia malah memberikan ide gila yang sebenarnya ingin ku setujui, tapi Jaemin tentu saja menolaknya mentah-mentah.

"Ngajarin yang nggak-nggak lo," Renjun yang sejak tadi diam saja kemudian menanggapi kalimat teman perempuanku itu.

Yuqi mencibir, "ya biar si, gue juga kan ada ujian bahasa inggris, pengen skip, kali aja Jeha bisa gue ajak bolos. Tapi gue baru inget kalo yang nguji Dosen Han, ga jadi skip ah."

Oh Dosen Han Seungwoo.

Dia kan memang Dosen muda yang tampan, Yuqi bahkan pernah mengatakan secara terang-terangan bahwa dia begitu mengagumi Han Seungwoo.

Hanya kagum, dia kan bucin Lucas.

"EHEM," seperti yang diduga, Lucas kemudian berdeham sangat keras.

"Apa si."

"Hey hey stop, mending kita masuk aja, ribut mulu lo semua," Mark menengahi, khawatir pasangan itu berdebat. "I go first, Jaem," Mark menoleh kearah Jaemin sembari melambaikan tangannya kecil, ditanggapi sebuah anggukan dan senyum tipis oleh suamiku.

Lalu, teman-temanku satu persatu mulai menyusul langkah Mark akhirnya, dengan aku yang terakhir masih terasa berat untuk meninggalkan pria yang berdiri di samping mobilnya itu.

"Semangat, istriku," Gerakan tangannya kemudian, membuatku tak bisa menahan senyum, aku melambaikan tangan, lalu dia membalasnya dengan tangan kanannya, sementara tangan kirinya dia kantongi di dalam saku, dan tubuhnya bersandar di sisi mobil.

"Jeha buruan," Yuqi datang, menarik lenganku karena merasa berjalan terlalu lambat, hingga akhirnya aku pun memilih untuk segera menyudahi perpisahan kecilku dengan Jaemin.

Aku berjalan bersama dengan Yuqi, dia menggandeng tanganku. Lalu saat nyaris sampai di pintu utama gedung, aku tak bisa menahan diri untuk tak menoleh. Memastikan bahwa suamiku sudah masuk ke mobil dan segera meninggalkan halaman kampus.

Namun dugaanku rupanya salah. Jaemin masih berdiri disana, namun tak lagi menatap kepergianku. Dia tengah bersama dengan seseorang yang entah kapan datangnya.

Itu Guanlin. Pria menyebalkan yang tentu masih kalian ingat. Meskipun Jaemin tumbuh begitu tinggi, dia tetap tak bisa menyamai tinggi Lai Guanlin yang seperti tiang listrik.

Aku melihat Guanlin berbicara, entah apa yang dia katakan pada Jaemin, ekspresi wajahnya terlihat tidak santai – tapi seharusnya kalian sudah tahu ekspresi Guanlin memang selalu seperti itu – sementara suamiku itu hanya memerhatikan dan mendengarkan Guanlin, sampai akhirnya kulihat dia mengangguk, lalu mereka berjalan bersama, pergi dari sana, meninggalkan mobil Jaemin yang masih terparkir di halaman kampus.


***


Ujianku akhirnya berakhir 1 jam yang lalu, sebenarnya aku berniat untuk segera pergi dari kampus untuk menyusul Jaemin. Dia sekarang ada di rumah keluarganya, bukan? Karena hingga saat ini pun pria itu tak menghubungi sama sekali, yang berarti janji temu kita tak berubah.

Tapi saat mengingat kejadian tadi pagi, aku jadi sedikit berpikir. Masih terbayang dan penasaran kenapa Jaemin tiba-tiba pergi ke bersama Guanlin. Apakah sekadar ngopi? Membahas apa? Ada urusan apa Guanlin dengan suamiku?

Oh iya, aku lupa bercerita. Keadaan sekarang benar-benar sudah berubah. Tidak seperti kisah kami saat SMA dulu, yang kalian tahu bahwa Lai Guanlin dan Na Jaemin itu seperti musuh– bukan seperti musuh juga sebenarnya karena Guanlin saja yang laknat. Tapi sekarang aku harus memberitahu bahwa mereka berdua – Jaemin dan Guanlin – sekarang menjadi teman baik.

Maksudnya... Jaemin memang baik pada semua orang termasuk Guanlin pula, tapi mereka berdua benar-benar berteman baik dalam artian sebenarnya. Kalian tahu, gambarannya seperti Jeno, Lucas, dan Mark. Aku tidak tahu apa yang telah diperbuat Jaemin hingga dia bisa merubah hidup Guanlin – ini menurut persepsiku – dan laki-laki yang kalian tahu urakan itu kini mulai hidup teratur.

Guanlin tidak kuliah pada awalnya, hingga kami semua pun dikejutkan oleh kehadirannya di kampus pada saat kami menginjak semester tiga. Hei! Dia mendadak kuliah tiada angin tiada hujan! Siapa yang tidak terkejut? Ini Guanlin. Manusia banyak uang yang bodo amat.

Pasalnya laki-laki itu pernah bilang begini padaku : "buat apaan gue kuliah? Nyari title? Nyari kerja? Duit gue aja kaga bakal abis 7 turunan."

Kesal, tapi mau bagaimana lagi? Terserah dia sajalah 😊

"Hey Miss Jung, do you want go home now?"

Dari cara bicaranya, kalian tentu tahu jika itu Mark, "em, iya," jawabku sekadarnya.

"Dia bukan Miss Jung lagi btw," Xiaojun menyela.

"Oh my god, gue forgot," Mark menutup mulutnya, seperti agak terkejut dengan apa yang dia katakan tadi.

"Masih anget sih, jadi wajar kalo belum terbiasa," Yuqi tertawa, "gue yakin Si Jeha juga masih kaku sama keadaannya yang sekarang."

Jadi kondisinya sekarang aku yang berniat ingin langsung pulang ini segera dikerubungi oleh teman-temanku begitu kelas selesai. Sialan sekali. Aku juga kan jadi tidak enak jika mau bersikap galak.

Menanggapi kalimat Yuqi barusan, aku hanya tertawa kecil canggung.

"Kaga ada syukuran gitu? Rumah baru hee, abis kawinan juga," Lucas menyeletuk, mulutnya yang ceplas-ceplos selalu membuatku harus menahan senyum paksa.

"Nikah, bukan kawin," Xiaojun menyikut pinggang Lucas.

"Iyadah sama aja, itu maksud gue," ku lihat pria bertubuh bongsor dari Hongkong itu mengibaskan tangannya tak peduli.

"Herin mana?" Tanyaku, memecah perbincangan mereka sebelum Lucas dan Xiaojun berdebat lebih lanjut karena sejak pagi aku tak mendapati sosok sahabatku yang satu lagi. Herin seharian memang tidak kelihatan.

"Oh, doi lagi gak ada kelas."

Barusan Mark yang menjawab dengan cepat, benar-benar secepat itu hingga Yuqi yang sebenarnya terlihat ingin menjawab pertanyaanku pun menjadi urung dan kembali mengatupkan bibirnya. Keningku mengernyit.

"Kok tau?"

"She said to me," Mark mengangkat kedua alis dan bahunya bersamaan, seperti agak tidak mengerti kenapa aku menanyainya dengan tatapan selidik dan dia terlihat menjawab dengan jujur seolah tak ada apapun yang terjadi.

Tapi, wow, bukankah ini sebuah kemajuan untuk hubungan Mark dan Herin yang entah kapan official-nya? Aku tidak tahu harus sampai kapan sahabatku itu digantung oleh bule yang memiliki tingkat kepekaan rendah ini.

"Ehem," Yuqi berdeham kecil, dia tahu maksudku, "kalo gitu–"

"Lo pada ngapain gunjingin orang disini?"

Seseorang dengan sengajanya memotong kalimat Yuqi, kami semua menoleh serempak, mendapati seorang laki-laki– ah, laki-laki yang sudah tumbuh menjadi pria – rasanya terharu melihat teman-temanku mengalami puberty goal's – mendatangi kami yang saat itu berbincang di depan papan pengumuman dekat loker.

Renjun. Pria yang tumbuh lebih tinggi dengan perawakan lebih dewasa namun sifat yang tak berubah. Dia tetap Huang Renjun yang tsundere, savage, namun peduli pada orang lain.

"Apa sih lu, kaga ada yang gunjing-gunjing juga," Lucas mencebik, dia selalu kontra dengan Renjun yang menurutnya kaku. Kontras dengannya yang suka guyonan.

"Udah ah, apaan sih lo semua?! gue mau pulang nih, ngapain lo jadi ngegerombol ga jelas begini?" Dengusku, tak tahan.

"Eh, I agree with Lucas's idea," Mark menyelaku dengan cepat, "like a little party?"

"Noh, masa iya lu abis nikahan diem-diem bae," Lucas tampak senang karena ada yang satu opini dengannya, "yaa emang sih pernikahan lo kemaren mewah nan meriah, tapi kaga afdol dong kalo belom–"

"Lo minta traktiran kan?"

Aku menoleh dengan cepat kearah Renjun yang lagi-lagi menyela, kemudian mengangkat kedua alisku, dan ditanggapi dengan cengiran oleh Lucas.

Sebenarnya tanpa Renjun tebak pun aku sudah tahu bahwa ada udang di balik batu.

"Segala berkedok syukuran rumah baru," Renjun mencibir lagi.

"Yeu, biar si, awas ye kalo lu–"

"Jangan lupa undang gue," mantan ketua kelasku saat SMA itu lagi-lagi memotong kalimat Lucas dengan cepat, menepuk pundakku, sampai akhirnya dia berlalu pergi meninggalkan kami semua tanpa kalimat pamit dan sejenisnya.

Renjun dan kalimatnya, membuat kami semua saling pandang di tempat.

"Emang dasar tsundere anjir!" Lucas mendecak, menahan makiannya agar tak terdengar oleh Sang empunya, yang lain hanya tergelak, termasuk diriku sendiri.

Mereka menyebalkan, tapi tanpa mereka pun hari-hariku terasa hambar.

"Iya gampang deh, nanti biar gue bilang Jaemin dulu," finalku akhirnya, karena dipikir-pikir boleh juga mengadakan syukuran rumah baru kami. Sudah lama juga rasanya kami tidak kumpul-kumpul untuk makan bersama.

"Asiikkkk!!!"

Pada akhirnya semuanya bersorak kegirangan.

Mudah sebenarnya cara menyenangkan teman-temanku. Makan gratis. Itu saja.

"Yaudah sana buruan pulang, istri nggak boleh keluyuran, suaminya nunggu di rumah," Yuqi mendorongku kecil, membuatku hanya menyergah meski jujur aku merasa agak malu dan salah tingkah.

Hhh, aku benar-benar sudah menikah. Aku benar-benar menikah muda dan mendahului teman-temanku.

"Iya, nanti gue kabarin lagi, Jaemin kayanya bakal setuju aja."

"Nah gitu dong!"

"Hati-hati pulangnya."

"Jangan pulang sama orang lain, lo udah punya suami."

"Jangan jadi istri durhaka, kaya di sinetron azab."

"Gue tunggu keponakan buat gue."

Semua kalimat-kalimat mereka absurd. Aku hanya tertawa kecil sambil berjalan menjauh dan melambaikan tangan kearah teman-temanku yang masih berdiri di sana. Hanya dari kalimat-kalimat itu pun aku tahu, betapa mereka peduli dan menjagaku disaat Jaemin tidak ada.

Mereka bukan teman munafik, mereka benar-benar teman dalam artian sesungguhnya.

Meneruskan perjalanan, aku mulai keluar dari gedung, sembari mengeluarkan ponsel dari kantong depan tasku. Jaemin menyuruhku menghubunginya jika aku sudah selesai, harusnya aku menghubunginya sedari tadi. Dia benar-benar ada di rumah Keluarga Lee, kan?

Baru saja aku ingin mengirimkan chat pada Jaemin, seseorang yang entah mengapa begitu menarik perhatianku, membuat sepasang netraku dapat teralih dari layar ponsel meskipun orang itu tak menyapaku dan bahkan dia tak membuat suara sedikit pun.

Aku tidak tahu, kenapa aku refleks bisa mengangkat kepalaku, lalu memandang seseorang yang berdiri dalam jengkal 5 meter di depan sana. Seseorang yang berdiri di tengah anak tangga teras kampus, memandangku dengan tatapan penuh arti.

Aku tidak mau berpikiran macam-macam, tapi tatapan Jeno...

Sadar bahwa aku balas memandangnya, Lee Jeno secepat kilat segera tersenyum tipis hingga sepasang matanya itu menghilang, lalu menaiki beberapa anak tangga untuk mendekat.

"Mau pulang ya?" Tanyanya.

Jeno hadir. Dia hadir dalam pernikahanku bersama Jaemin lengkap bersama keluarganya. Aku juga tidak akan lupa bahwa dia yang sibuk kesana kemari untuk menyiapkan pernikahanku dengan saudaranya. Dia yang berlarian tanpa kenal waktu untuk mengurus segala keperluan pernikahanku dengan Jaemin.

"Jaemin katanya ada di rumah kamu," ujarku.

"Oh ya? Kalo gitu mau bareng? Aku juga mau langsung pulang nih," pria berambut blonde itu tampak mencoba untuk berbicara dengan santai, yang ditelingaku hasilnya malah terdengar canggung dan dia terlihat seperti orang bodoh yang berusaha menyembunyikan kesedihannya.

Aku bukannya terlalu percaya diri, tapi–

"Engga usah, kamu bisa langsung pulang aja," tolakku halus, meskipun sebenarnya terasa sungkan karena aku terdengar seperti ogah untuk berurusan dengan Jeno.

"Emm," pria itu hanya menggumam, mengulum senyum tipis ketika mendengar jawabanku. Aku diam, lalu Jeno pun terdiam hingga selang beberapa detik berlalu. Dia seperti ingin berbicara, namun begitu ragu untuk mengungkapkan kalimat-kalimatnya yang tertahan di ujung bibir.

"Kenapa?"

Ah sial, kami menjadi mantan kekasih sudah bertahun-tahun, kenapa rasanya masih secanggung ini?

Entah kenapa, mendadak Jeno menundukkan kepalanya, "aku minta maaf."

Dan kalimatnya itu, membuatku mengerutkan kening, "m-maaf kenapa?" karena bagiku, dia tak memiliki salah apapun, dan selama ini dia malah seringkali membantuku.

"Aku minta maaf sebelumnya karena harus ngomong begini," kulihat dia menarik napas sepanjang mungkin, dan yang mengejutkan adalah, aku melihat sepasang matanya memerah ketika mengangkat kepala.

Jeno terlihat ingin menangis, dan aku yang terlalu terkejut, hanya diam saja dan takt ahu harus melakukan apa dengan tindakannya yang tiba-tiba.

"Aku udah nggak bisa ngelakuin apa-apa lagi," Jeno mulai bersuara, "meskipun selama bertahun-tahun ini aku diam-diam berjuang buat hati kamu, tapi sepertinya aku udah kalah telak. Ini salahku dari awal, kamu tahu. Kalau aja aku nggak ngelakuin kesalahan fatal, kalau aja aku nggak pernah melakukan kesalahan, aku mikir... apa yang sekarang jadi pendamping hidupmu itu aku?" kalimat Jeno membuatku bungkam seribu bahasa, dia mengepalkan tangan, lalu melanjutkan kata-katanya, "aku bohong kalau aku bener-bener bisa ikhlasin kamu buat Jaemin, tapi di sisi lain Jaemin memang pantas jadi pendamping kamu, bukankah sekarang aku jadi keliatan brengsek?"

Dia tertawa hambar, menyeka ujung hidungnya, lalu kembali menarik napas panjang, seperti masih memiliki segudang ungkapan yang menjadi beban hidupnya selama ini.

"Maaf aku harus bilang begini, karena aku pikir lebih baik aku bilang apa yang ada di hati aku daripada nggak sama sekali dan akan jadi penyesalan yang baru nantinya. Kamu tahu, Jeha. Sekarang aku bener-bener akan ikhlasin kamu sepenuhnya. Kamu bahagia, saudaraku bahagia, jadi kenapa aku harus ngerasa sedih? Kalian pantas untuk ini. Aku minta maaf, kalau aku pernah berekspektasi dan berharap kalau yang berdiri di altar sama kamu, itu aku."

Aku benar-benar diam dan tak berkutik. Ponsel yang berada dalam tanganku, ku genggam dengan kuat, saking kuatnya hingga tanganku perlahan gemetar dengan samar. Jeno masih berdiri, memandangku dengan sepasang netra legamnya yang terlihat kacau dan hancur. Apakah aku benar-benar sejahat itu? Apakah aku sekejam itu karena tak mempedulikan perasaan Jeno selama ini?

"Jen–"

"Kamu itu, penyesalan terbesarku," sela Jeno, dengan nada suaranya yang putus asa.

Bersamaan dengan itu, ada satu pesan yang masuk ke ponselku.

Dari Jaemin.

Nana 🌈 :

Aku sedang di kedai Paman Shin

Kamu sudah pulang? Aku jemput


***


Kalian tahu, aku mengabaikan Jeno dan segala kalimat panjang lebarnya tadi. Aku tahu aku keterlaluan dan tak tahu diri, tapi dalam posisiku saat ini... otak dan hatiku sendiri kebingungan harus merespon seperti apa. Aku takut salah tindakan dan akan melukai perasaan Jeno, jadi mungkin... opsi satu-satunya adalah mengabaikan dia.

Setelah mendapat pesan dari Jaemin, aku langsung pamit undur diri dari hadapan Jeno, tanpa menunggu jawaban dari pria itu. Jaemin menyuruhku untuk mengiriminya pesan jika aku sudah selesai, tapi aku tidak melakukannya, aku bahkan tidak keluar dari roomchat Jaemin dan langsung mematikan layar ponselku. Berlalu dengan cepat, dengan perasaan canggung yang bisa membunuhku perlahan-lahan.

Aku merasa jahat, benar-benar sejahat itu. Tapi aku harus bagaimana? Aku milik Na Jaemin sekarang, mutlak, bahkan dalam catatan negara. Meskipun aku tahu maksud dibalik kalimat Jeno, bahwa dia menyesal dengan apa yang telah dia lakukan di masa lalu, menyesal karena telah membiarkanku pergi, dan–

Menggelengkan kepala, aku berusaha membuang bayangan dua bersaudara itu dari kepalaku. Ini tidak baik, aku tidak mau Jeno salah paham karena perasaanku saat ini padanya hanyalah sebatas iba. Katakan aku jahat, tapi jika kalian di posisiku dalam keadaan sudah bersuami, apa yang akan kalian lakukan?

Pergi ke kedai Paman Shin dengan bus rupanya tidak buruk, ketimbang membuat Jaemin menjemputku dan bolak-balik lagi, itu akan membuatnya kerepotan meskipun dia bilang tidak. Lagipula bukankah buang-buang waktu? Aku juga tidak tahu kenapa suamiku itu mendadak merubah rute rencana kami.

Syukurlah bus juga datang tak begitu lama, karena jarak ke kedai Paman Shin tidak terlalu jauh, perjalanan ku tempuh dalam kurun waktu 10 menit. Rasanya seperti baru saja naik, tiba-tiba bus berhenti karena sudah sampai. Efek karena terlalu banyak berpikir, rasanya waktu cepat sekali berlalu. Penumpang bus juga tak terlalu banyak saat itu. Hanya beberapa gelintir remaja yang baru saja pulang sekolah, dan ibu-ibu paruh baya yang sedang membawa belanjaan.

Ah, rindu bunda.

Turun dari bus, aku mengambil napas panjang. Hidupku sudah berubah mulai dari sini, aku mencoba merubah mindset untuk lebih dewasa dan berpikir secara rasional. Jangan lagi, aku tidak mau terlalu banyak pikiran. Aku sudah bersuami, tidak bisa bersikap seperti anak-anak lagi. Egois. Kekanakan.

Itu dia, kedai Paman Shin. Kedai kecil yang sekarang sudah berkembang dengan pesat dan selalu ramai oleh pengunjung. Kedai kecil yang menyimpan banyak kenangan olehku dan Jaemin. Kedai kecil yang kuno, lusuh, namun bersih dan terawatt.

Sekarang bangunan itu sudah menjadi lebih besar. Jaemin yang membangunnya dan memperluas kedai milik Paman Shin, mempekerjakan banyak karyawan karena katanya Paman Shin sudah cukup tua untuk mengurus kedai itu sendirian.

Sepasang kakiku berjalan mendekati kedai yang dari jauh sudah menarik perhatian tersebut, berdiri di depannya, menatap ke dalam sana melalui jendela. Lantas, tersenyum tipis ketika ku dapati seorang pria yang sudah mengganti pakaiannya menjadi kaos berwarna legam, dan apron berwarna coklat muda dengan logo kedai di dadanya. Seorang pria yang sibuk kesana kemari mengantarkan pesanan para pelanggan dengan seulas senyum cerahnya.

Dia, suamiku yang akan selalu ku cintai hingga kapan pun.

Kalimat bahwa Na Jaemin adalah seorang malaikat berwujud manusia, sepertinya itu benar adanya. Dia sudah hidup dengan baik dan layak sekarang, tapi dia tak akan pernah melupakan orang-orang di sekitarnya, orang-orang yang dahulu membantunya dalam kesusahan. Dia benar-benar membalas kebaikan mereka, dia benar-benar memastikan bahwa orang-orang dalam lingkar hidupnya menjalani kehidupan yang lebih baik.

Aku masih berdiri di depan kedai, tersentuh dengan apa yang dilakukan suamiku, hingga oknum yang menjadi objek pengamatanku sejak tadi kemudian berhenti tiba-tiba ketika tersadar bahwa ada seseorang yang memerhatikannya di depan sana. Dia sedang memegang nampan yang penuh mangkuk kosong dengan satu tangan, ekspresinya tampak sedikit terkejut karena aku bisa tiba-tiba berada di sana. Tak lama kemudian, Jaemin tersenyum tipis.

Dia mengayunkan tangan, menyuruhku untuk masuk, lalu aku pun segera berjalan mendekatinya, sembari sesekali memerhatikan meja-meja di dalam sana yang sudah penuh dengan pelanggan. Ramai, namun tetap tenang.

"Maaf aku nggak chat kamu dulu," kataku begitu mendekatinya, "kan bener dugaanku ternyata kamu lagi sibuk."

Jaemin hanya mengulum senyum, hingga satu tangannya yang bebas kemudian merangkul pundakku dan ia segera membawaku pergi dari sana, masuk menuju dapur. Sesekali aku tersenyum mengangguk pada beberapa pelayan yang bekerja disana karena mereka menyapaku lebih dahulu. Iya, karena Jaemin, aku mengenal sebagian besar para pekerja disini.

"Kok tiba-tiba ada disini? Paman Shin mana?" Tanyaku, ketika dia baru saja meletakkan nampan berisi mangkuk kotor itu diatas wastafel.

Pria itu tampak menghela, "itulah, aku juga tidak berencana kesini tadi."

"Terus?"

"Begini ceritanya," Jaemin melanjutkan, "pagi tadi aku bermaksud ingin membawakan ramen dari kedai ini untuk mama dan papa, tapi saat aku mengirimi pesan pada Paman Shin, dia bilang kedainya tutup hari ini karena dia sedang sakit dan tidak bisa menjaganya."

Oh, sepertinya aku bisa menangkap apa yang terjadi disini.

"Karena itu, aku tidak mau kedai ini libur karena Paman Shin sakit, jadi aku bantu untuk jaga saja," ekspresi Jaemin terlihat sedih. Tentu saja, Paman Shin itu sudah seperti ayahnya sendiri.

"Kasihan Paman Shin, dia sakit apa? Nanti jenguk yuk?" aku turut bersedih mendengarnya.

"Aku minta maaf," bukannya menjawab tawaranku, dia malah minta maaf, "seharusnya kita banyak menghabiskan waktu berdua," ekspresi wajahnya tampak penuh sesal, namun terlihat lucu di mataku.

"Nggak apa-apa kok, jangan minta maaf. Kasihan juga Paman Shin, dia udah tua, nggak sekuat dulu, jadi emang seharusnya kita bantu dia," aku memegang tangannya, mencoba meyakinkan, "lagian... hari-hari kita masih banyak ke depannya, bukannya sekarang kita juga bisa habisin waktu berdua?"

Suamiku itu tampak terdiam, menatapku, hingga aku lanjut bersuara.

"Aku mau ikut kamu Na, aku mau ikut kamu kerja."

Ini perasaan yang masih sama, perasaan yang sama persis dengan 8 tahun yang lalu. Aku yakin, Jaemin pun menyadarinya. Dia tampak terdiam, sepasang sorot legamnya yang lembut namun begitu mendominasi, terasa menembus hingga ke ulu hati.

Hingga sepersekian detik kemudian, pria di hadapanku ini tersenyum lembut.

"Kamu lihat saja, aku tidak mau kamu capek."


-----oOo-----


"Kakak mau balik ke Aussie lagi? Demi? Perasaan baru pulang sehari sebelum aku nikahan, kok udah mau balik lagi aja? Ngapain?"

Oknum yang tengah ku cerca panjang lebar itu tampak tak terkejut, dia hanya tertawa kecil sembari mengusak rambutku dengan gemas hingga berantakan. "Bawel, gigit nih."

"Dih? Aku nanya serius," dengusku, menatap Kak Jaehyun yang hanya cengengesan seperti biasanya dengan pandangan menuntut.

Aku serius marah padanya jika benar dia akan kembali ke Australia besok. Hei, yang benar saja? Masa dia pulang hanya untuk menghadiri pernikahanku? Ku pikir dia akan terus menetap disini. Lagipula dia sudah wisuda dan telah mendapatkan gelar doktornya.

"Masih aja nanya?" Dia mengedikkan dagu, membuatku mengernyit heran.

"Apaan?"

Kak Jaehyun menghela napas pasrah, merotasikan bola matanya, "kamu pikir mau ngapain kakak balik ke Aussie?"

"Apaan sih, ditanya kok balik nanya," aku mencibir, suaraku memelan. Masalahnya aku benar-benar tidak mengerti apa yang dia maksud.

Melihatku yang tak paham juga, Kak Jaehyun tampak menggertakkan gigi sebal, "oi Jaem, ada gak sih toko onlen yang bisa retur adek?" Dia melemparkan pertanyaan absurd pada Jaemin yang duduk dengan tenang di sofa sembari menikmati secangkir teh chamomile buatan bunda. Suamiku itu hanya tertawa kecil.

"Kak!!" Aku memukul lengannya kesal.

"Ya abis lu tuh gak pekaan amat sih, noh tanya aja sama suami lu," Kak Jaehyun mengedikkan dagu kearah Jaemin, kembali bersuara, "kalo sampe lu gatau juga, parah dah Jaem, sia-sia profesi Dokter lu," lalu menggeleng-gelengkan kepala.

"Gak ada hubungannya bego!" kesalku.

"Berisik dek, udah tanya aja sana sama Jaemin."

Karena aku tak mau menghabiskan waktu untuk memikirkan teka-teki Kak Jaehyun yang menyebalkan, akhirnya aku menoleh kearah Jaemin yang tampaknya memerhatikan kami berdua. Lalu, tanpa aku melontarkan kata-kata pun, dia hanya tersenyum tipis mengerti, lalu menggerakkan tangannya.

"Sepertinya kakak ipar mau menjemput calon istrinya, bukankah pacarnya masih disana?"

CTAK!!

"Good job! Wah sumpah dah gak ragu lagi gue kenapa lu bisa jadi dokter, emang lu pinter banget jir, bahkan lebih pinter dari Om Siwon hingga kecerdasan lu jauh melampaui Albert Einstein!"

Kak Jaehyun bersorak, menjentikkan jarinya hingga terdengar keras, dia terlihat senang sekali ketika melihat jawaban Jaemin. Sorakannya itu membuatku terkejut, meskipun sebenarnya Jaemin pun ikut tersentak kecil di tempatnya hingga saat kakakku yang gila itu mengusak rambut Jaemin dengan gemas sampai kepalanya bergerak kesana kemari.

"KAK! ITU ANAK ORANG!" Seruku marah, memukul bahu kakakku sekeras mungkin, menariknya menjauh dari Jaemin.

"Yee, biasa aja dong sis, iya iya tau hak miliknya situ, takut amat lecet, cih," Kak Jaehyun terlihat sebal karena ku pukul dengan keras, dia hanya mencibir sembari mengusap bahu belakangnya yang sepertinya memang lumayan menyakitkan.

Hingga selepas itu, dia kemudian beringsut tanpa mengatakan apapun. Rebahan di karpet, depan televisi yang menyala, menghampiri susu dan cemilannya yang menunggu. Mengabaikan aku dan Jaemin yang saling pandang.

Dua detik kemudian, ku rasakan Jaemin yang masih duduk di sofa, menepuk pelan lenganku yang masih berdiri mematung.

"Kamu tidak boleh begitu, kasihan Kak Jaehyun."

"Dih apaan sih?" aku mengerutkan kening heran, "ngapain kasian?"

"Dia kembali ke Australia besok, jangan bertengkar," Jaemin tampak menghela napas panjang, seperti tak habis pikir dengan tingkah kami berdua, "coba bujuk dia."

"Apa? Bujuk?" Aku sempat terkejut, sampai akhirnya menoleh dengan cepat kearah kakakku yang masih rebahan itu, "KAK LO NGAMBEK?!" Teriakku. Sepertinya sekeras itu karena Jaemin bahkan sampai terkejut.

Tak terkecuali Kak Jaehyun, "APA SIH NJING! KAGET TAU GAK! KAN JADI TUMPAH!" Dia balas berteriak.

"Itu gak tumpah! Kakak aja yang nyemburin! Apaan sih lagian kagetan amat sampe segitunya," decihku.

"Bacot lu! Sono pulang aja!"

"Heh bujang! Ini rumah gue juga ya!"

"Gue bukan bujang ye! Bentar lagi kakak kawin! Enak aja lu!"

Pertengkaran tak terelakkan lagi-lagi terjadi. Padahal aku baru saja meninggalkan rumah dan ini pertama kalinya aku menginjakkan kaki di rumah lamaku setelah menikah. Memang rasanya mungkin hambar jika tidak bertengkar dengan Kak Jaehyun. Lagipula mana mungkin kami bisa damai sehari saja. Dia menyebalkan.

–mungkin kami berdua yang menyebalkan.

Lihatlah Jaemin, sepertinya jiwanya sudah melayang entah kemana. Pria itu terduduk dengan kaku dan ekspresi yang tidak biasa.

Oh ya ampun, seharusnya aku menunjukkan image istri yang baik dan anggun.

"Kalian ini udah gede loh, harusnya inget umur astaga."

Sosok ayahku datang dari balik pintu kamar, berjalan mendekat sembari menyalakan cerutunya, lantas menggelengkan kepala. Ayah Yunho yang masih terlihat gagah dan tampan meski sudah berusia lebih dari setengah abad. Entah apa rahasia awet mudanya, bahkan bunda pun.

"Ya bilang aja atuh yah sama Kak Jae, udah tua masih aja ngambekan, malu sama brewoknya ewh," sarkasku, membuat Kak Jaehyun menoleh dengan cepat sembari melotot, sepertinya dia ingin membalas kata-kataku jika saja ayah tidak segera menyela.

"Kak, packing-nya udah? Gak bantuin bunda kemas-kemas?" Ayah duduk di sofa tunggal, menolehkan kepalanya sedikit ke belakang, pada Kak Jaehyun yang masih selonjoran dengan tangan kiri yang dia gunakan untuk menumpu kepalanya.

"Udah kok yah, aku gak bawa barang banyak-banyak, bunda aja yang ribet mau bawa ini itu buat calon mantu," entengnya, lalu mengemili yupi berbentuk cacing yang tinggal separuh.

Aku tahu yang dia maksud adalah pacarnya yang ada di Australia. Iya, pacarnya yang akan dia jemput dan akan dia nikahi disini. Katanyaaaa.

Tapi semoga saja itu benar, Kak Jaehyun harus segera menikah, supaya ada yang bisa menata hidupnya menjadi lebih teratur dan ketimbang ngalor-ngidul bawa gitar seperti orang tidak berguna. Dia juga harus mulai bekerja kan, masa kalah dengan Jaemin yang hanya bergelar master?

Hehe, aku suka sekali membanggakan suamiku.

Aku kenal pacar Kak Jaehyun ngomong-ngomong, saat pergi ke Australia untuk menghadiri wisuda kakakku, Kak Rose, perempuan yang satu Angkatan sekaligus merangkap sebagai kekasihnya itu dikenalkan secara perdana oleh Kak Jaehyun pada kami. Dia perempuan blasteran Korea – Australia. Cantik sekali.

Wow, ternyata kakakku laku juga. Apalagi pacar– calon istrinya adalah seorang wanita yang sangat cantik dan pintar.

"Kakak berapa lama disana?"

"Gausah lu ngomong sama gue," sahut Kak Jaehyun cepat.

"Kok jahat?!" Aku mendelik, terkejut.

"Kak," ayah lagi-lagi menyela, menghela napas. Mungkin saja dalam lubuk hatinya, ayah ingin Kak Jaehyun segera menikah dan pergi dari rumah juga, jadi dia bisa hidup dengan aman dan tentram berdua saja dengan bunda.

"Becanda atuh yah," kakakku itu mendadak tergelak, kemudian mengayuhkan tangan ke arahku, "sini kamu."

"Ngapain?" Aku masih mencebik, tapi tetap menghampirinya, sampai kakakku itu bangkit.

"Bantu kakak packing."

"Katanya udah?"

"Udah ayo," dia merangkul bahuku, lalu menoleh kearah Jaemin yang masih duduk di sofa, berhadapan dengan ayah, "pinjem istrinya bentar gan."

Aku merotasikan bola mata jengah, sementara Jaemin tampak tertawa kecil, lalu mengangguk mengerti.

"Lanjutin berantemnya, biar Jaemin di sini sama ayah aja," ayah ikut bersuara.

Kak Jaehyun membawaku pergi dari sana, meskipun aku mencoba memberontak karena dia merangkul leherku terlalu erat. Aku tahu dia berbohong tentang membantunya untuk packing, mungkin saja ada yang sedang ingin dia bicarakan, namun tidak di depan Jaemin.

Ah, rasanya persis seperti saat dia pertama kali akan meninggalkanku untuk menempuh S3-nya beberapa tahun lalu.

"Kak, bawaannya banyak banget?"

Kedua mataku sempat melebar, melihat barang-barang yang pertama kali masuk dalam pandanganku begitu memasuki kamar Kak Jaehyun. Saat dia mengatakan tak akan membawa banyak barang, kupikir hanya akan ada satu ransel besar atau minimal satu koper ukuran sedang. Tapi saat ini aku bahkan melihat dua koper ukuran besar, tiga ransel, bahkan kardus-kardus yang entah apa isinya.

"Kak, mau pindahan apa gimana?" Tanyaku lagi, karena dia tak kunjung menjawab.

Kak Jaehyun benar-benar tak menjawab dengan jelas. Ku dengar, dia hanya menghela napas panjang, mengulum bibir, kemudian duduk di sisi ranjangnya.

"Sini deh duduk," katanya, menepuk kasur di sampingnya.

Aku yang mulai mencium bau yang tidak menyenangkan, sempat terdiam, sampai akhirnya memilih untuk duduk di sampingnya sembari menepis jauh-jauh pikiran macam-macam di kepalaku.

"Kamu kan tau kakak mau balik ke Aussie buat Rose," katanya, mulai berbicara, lalu bersila diatas kasur, duduk menghadap kearahku.

"Iya."

"Sebenernya bukan cuma buat Rose, tapi juga buat impian kakak, masa depan kakak," dia mengulum senyum.

Aku diam saja, mendengarkan hingga dia selesai berbicara dengan utuh.

"Kakak pikir... kayanya kakak bakal nikah disana, bukan di sini," dia menggeleng, mulai dari sini, perasaanku pun mulai tidak nyaman, "sebenernya Rose dan keluarganya juga setuju kalau dia harus pindah ke sini, ikut keluarga kita, tapi... kakak lupa kalau masa depan kakak bukan cuma menikah."

Aku mulai tahu kemana perbincangan ini mengarah.

"Kamu masih inget kan, obrolan random kita tentang masa depan?" Kak Jaehyun masih tak memudarkan senyumnya, dia mengambil tanganku, lalu menggenggamnya begitu sadar bahwa aku terlihat seperti ingin menangis, "kita ngobrol tentang gimana serunya masa depan, dunia yang kemungkinan bakal berubah," jeda sejenak, dia terkekeh pelan, "ide iseng kita tentang alat-alat masa depan, kecanggihan teknologi, kakak mikir... mungkin nggak sih kakak mewujudkan itu? Lalu Rose bilang, kakak harus ngelakuin apa yang kakak mau, buat mencapai apa yang kakak inginkan."

"Kakak mau pindah kewarganegaraan?" suaraku mulai gemetar.

"Dek, ini bukan masalah kakak pindah negara. Kakak tahu kamu jelas nggak akan setuju kalau kakak ngelakuin itu, tapi disini kakak mau kamu tau, kakak mau kamu bangga punya kakak yang namanya Jung Jaehyun. Kamu bangga punya suami kaya Jaemin, kalau gitu kakak harus bikin kamu bikin lebih bangga lagi punya kakak yang hebat."

Ah, Kak Jaehyun sialan, kenapa topik pembahasannya seperti ini? Dia benar-benar bisa membuatku menangis jika melanjutkan pembicaraan ini lebih jauh lagi.

"Kakak udah bicarain ini sama ayah, bunda, keluarganya Rose," dia bersuara lagi, "kakak nggak mau gelar doktor yang kakak tempuh bertahun-tahun ini sia-sia. Masih belum tau, tapi... maaf, kakak bisa lama banget disana, atau bahkan–"

"Aku sama siapa disini?"

Kepalaku tertunduk, aku sudah menangis, bahkan diriku sendiri tak sadar kapan aku mulai menangis. Yang jelas aku hanya menunduk, tak berani untuk berkontak mata dengan kakakku.

"Aku harus ngadu ke siapa kalo ada yang jahat sama aku."

"Hei, kamu punya Jaemin, kamu udah bersuami, kamu lupa?" Kak Jaehyun menangkup wajahku dengan kedua tangannya, mengangkat kepalaku hingga pandangan kami bertemu, dan dia bisa melihat mataku yang mulai memerah, "kamu nggak butuh kakak lagi, Jaemin rumah kamu sekarang, Jaemin yang bakal ngelindungin kamu dari apapun. Dia mampu, dia lebih mampu dari kakak."

Apa katanya? Tidak membutuhkan dia lagi?

"Tapi–"

Aku tahu aku sudah menikah dan aku memiliki Jaemin, tapi... tapi bukan itu maksudku. Tidakkah Kak Jaehyun mengerti?

"Kak jangan kemana-mana..." aku yang tak mampu berkata-kata, hanya bisa berucap lirih, mulai sesenggukan.

"Kakak baru berani balik lagi ke kamu, setelah kakak dipanggil 'Profesor Jung', oke?" Pria jangkung itu tersenyum kecil, kumis tipisnya yang dapat kulihat dari jarak sedekat ini tampak membuat wajah kakakku itu lebih dewasa, ditambah pula dengan bulu-bulu halus yang sengaja tak ia cukur di sekitar rahangnya.

Aku menangis lagi, kali ini sama sekali tak ragu untuk menangis di depan Kak Jaehyun, "Kak nggak bisa–"

"Kakak sayang kamu, perempuan yang paling kakak cintai di dunia," Kak Jaehyun yang masih menangkup wajahku, memandangku dengan seulas senyum yang entah mengapa terlihat menyedihkan, hingga kemudian dia mendekat, lalu mendaratkan satu ciuman pada keningku, "Bahagia selalu, adikku."


~~~


Kemudian, aku pulang dengan suamiku. Bunda dan ayah sudah menyuruh kami berdua untuk menginap, Jaemin sebenarnya setuju saja, tapi aku menolak, hingga akhirnya dia pun hanya mengalah dan mengiyakan permintaanku. Sementara Kak Jaehyun hanya diam saja selepas perbincangan serius kami di kamarnya tadi. Dia hanya tersenyum penuh arti, menatapku penuh sesal, mencoba meminta maaf melalui matanya karena telah membuatku menangis.

Dan yang menjadi pelampiasan kesedihanku malam ini tak lain dan tak bukan adalah suamiku sendiri, Na Jaemin. Dia tampak begitu sabar dan berusaha menenangkanku yang sesekali akan terisak lagi di sepanjang perjalanan.

Kami jalan kaki, Jaemin tidak membawa mobilnya karena tadi kami naik bus. Dan berjalan kaki di suasana malam hari seperti ini, rupanya benar-benar seperti healing. Angin malam yang berhembus pelan, lampu-lampu kota yang terlihat seperti padang bunga, hiruk pikuk kota malam yang tak pernah ku saksikan secara langsung sebelumnya.

Jaemin menggandeng tanganku dengan erat, sesekali mengayunkan tanganku, lalu menyeka jejak air mata di wajahku dengan satu tangannya yang bebas. Dia hanya tersenyum, dan melalui senyuman itu aku tahu dia mencoba untuk berhenti membuatku menangis.

"Kamu lapar?" Pertanyaannya yang tiba-tiba membuatku berhenti melangkah.

Aku memandangnya sejenak, kemudian menatap ke sekeliling, "ayo beli pancake itu," tukasku, menunjuk sebuah kedai kecil di pinggir jalan yang menjual berbagai macam street food.

Jaemin tersenyum mengangguk, setuju. Hingga kami akhirnya memilih untuk segera menghampiri kedai tenda tersebut. Ah, sudah berapa lama aku tidak jajan di pinggir jalan seperti ini? Jadi rindu masa SMA.

"Mau rasa apa?" Tanyaku, pada Jaemin.

"Apa saja," dia hanya tersenyum sekadarnya. Jaemin kapan tidak tersenyum?

"Paman, pancake kimchi sama seafood satu ya," dengan mata yang sembap dan suara agak parau, aku mencoba memasang wajah ramah, meskipun aku yakin paman itu sadar sepenuhnya jika aku habis menangis.

"Baik, 5 menit yaa," dia hanya tersenyum dengan penuh, mengingatkanku akan Paman Shin.

Selagi kami menunggu pancake-nya matang, Jaemin menghadapkan tubuhku kearahnya, lantas merapikan beberapa helai anak rambut yang sedikit menutupi pandanganku. Menyisir dengan jarinya, sesekali mengusap sepasang mataku dengan ibu jarinya. Memandangku dengan sepasang mata legam nan jernih yang sarat akan cinta. Jaemin-ku, yang tidak akan pernah berubah dan akan terus seperti itu.

"Masih sedih, ya?" katanya, menggerakkan tangan.

Aku hanya diam, karena kupikir tak perlu menjelaskannya pun aku begitu yakin dia mampu memahami apa yang tengah ku rasakan malam ini.

"Jangan khawatir, Kak Jaehyun tidak pergi kemana-mana, dia hanya sedang menata masa depannya."

Aku tahu itu, aku pun juga tentu mengharapkan yang terbaik untuk kakakku, tapi tetap saja rasanya– ah!

"Jangan sedih lagi," Jaemin beringsut, lalu mencium keningku dengan lembut, mengusap pucuk kepalaku dengan halus. Terasa begitu nyaman.

Aku tidak bisa membayangkan, bagaimana jadinya hidupku tanpa pria ini? Bagaimana aku akan hidup tanpa Na Jaemin?

5 menit kemudian – benar-benar 5 menit seperti janji Si Paman – pancake yang kami pesan sudah matang. Setelah membayarnya, kami berdua pun kembali berjalan menyusuri keramaian kota Seoul, menikmati pancake yang masih panas.

Masih dengan berpegangan tangan, aku terus berbicara, mencoba melupakan kesedihan tentang Kak Jaehyun yang akan meninggalkan Korea. Membicarakan banyak hal random, bahkan hal-hal konyol tak masuk akal, hingga membuat suamiku itu tertawa kecil.

Serta merta aku berjalan bersamanya. Saat ku buat dia tertawa dengan cerita-ceritaku, ia daratkan satu ciuman singkat pada keningku. Penuh sayang, bukan lagi sekadar cinta. Lalu, aku lewati malam bersamanya.

Berbagai perasaan akan berdatangan, ketika kami melewati waktu berharga berdua seperti ini. Merasa bahagia, sedih, takut, hingga cinta, dalam satu waktu. Kebahagiaanku, karena masih dapat ku lihat bagaimana senyuman menawan itu terukir. Ketakutanku, apabila jika kehilangannya suatu saat nanti.

"Na," panggilku pelan, dengan pandangan menerawang ke depan, lalu ia menoleh padaku setelah menghabiskan gigitan terakhir pancake miliknya, "kita bakal terus bareng kan?" aku menoleh, memutar pandangan. Menatap betapa jernih kedua netranya yang selegam obsidian.

Tak berapa lama, ku lihat dia terkekeh pelan, "tentu saja."

"Jangan tinggalin aku, kamu harus janji," tanganku bergerak meraih ujung kemejanya, merematnya pelan.

Pria ini hanya tersenyum, "kamu istriku, apa alasanku untuk meninggalkanmu?"

Hanya dengan membaca bahasa isyarat itu, aku merasa menjadi seorang wanita paling beruntung di dunia. Dicintai oleh Na Jaemin, dijadikan prioritas olehnya, menjadi seseorang yang begitu berarti dalam hidupnya. Apa yang lebih membahagiakan dari itu?

"Aku cuma takut..." lirihku pelan.

Ku dengar helaan napas suamiku itu kemudian. Mengangkat kepala, ku dapati dia tampak memandangku penuh arti, dengan seulas senyum paling tulus yang pernah ku lihat selama bertahun-tahun aku mengenalnya.

"Tanpa kamu tahu, selama ini akulah yang memiliki ketakutan terbesar. Lebih besar dari siapapun."

Menekan atensiku padanya, aku terdiam, menatap Jaemin dengan pandangan yang sedikit tak mengerti.

"Hanya ada satu hal yang selalu ku takutkan selama ini," dia melanjutkan kalimatnya.

"Apa?"

Sebelum menjawabku, aku bisa merasakan bahwa dia tak main-main. Kilat takut di sorot matanya yang tak dapat dilihat, namun dapat ku rasakan dengan jelas, membuatku tak mengerti mengapa dia begitu seserius ini. Sampai akhirnya kalimat terakhir Jaemin, mampu membungkamku dibawah sorot sinar rembulan di malam itu.

"Saat kamu tidak mencintaiku lagi."




.

.

.



Thank you for reading~

Continue Reading

You'll Also Like

510K 33.7K 35
Delissa Lois adalah seorang gadis cantik yang terkenal barbar, suka mencari perhatian para abang kelas, centil, dan orangnya kepo. tapi meskipun begi...
315K 27.3K 53
Kisah si Bad Boy ketua geng ALASKA dan si cantik Jeon. Happy Reading.
260K 35.7K 25
Sederhana saja. Hanya tentang kehidupan tiga bersaudara putra Pak Bratadikara yang akan membuatmu harus memutuskan antara dua pilihan, yakni mengingi...
1.2M 101K 57
Ziel adalah candu. Tawanya Candanya Aroma tubuhnya Senyum manisnya Suara merajuknya dan Umpatannya. . . . "Ngeri bang." - Ziel "Wake up, Zainka."...