What If [Series]

By tx421cph

3M 290K 464K

❝Hanya ungkapan tak tersampaikan, melalui satu kata menyakitkan. Seandainya... ❞ PART OF THE J UNIVERSE [read... More

Disclaimer
1. Jeno x Jeha
2. Jeno x Jeha
4. Jeno
5. Jeno
[side story] Jeno x Jeha
1. Jaemin x Jeha
2. Jaemin x Jeha
[side story] Jaemin x Haknyeon
1. Guanlin x Jeha
2. Guanlin x Jeha
3. Guanlin x Jeha
1. Truth - Baek Min Ho & Ye Hwa
2. Truth - Hwang Je No & Baek Je Ha
[side story] Juno & Jeni
[side story] The J's Family
[side story] Na's Siblings
[side story] Na's Siblings (2)
[side story] The Kang's Family
[side story] They're Passed Away
[side story] Little Jeno and Jeha
[side story] Between Us
[side story] Dear Dad
[side story] Hukuman Ayah
[side story] Ayah dan Anak Pertama
[side story] Someday In 2017
Side Ending of J's Universe
[alternate] Reality
[side story] Jung Jaehyun
[side story] Seongwoo x Sejeong
[side story] Daddies
[side story] Him
[side story] Keluarga Na Bangkrut?
[side story] Harta, Tahta, Tuan Muda Kaya Raya
[side story] sunsetz
3. Truth - Hwang Je No & Baek Je Ha
[side story] Dear Papa

3. Jeno x Jeha

150K 13.9K 14.9K
By tx421cph

"Kapan terakhir kali kau tertawa bersama orang yang kau cintai?"


Happy Reading


"Ihh mama udah dong!"

"Kamu ih bisa diem ga sih?! Berantakan lagi nih rambut kamu!"

"Ma aku bukan anak-anak!"

Wanita cantik itu mendecak ketika mendengar bantahan dari putri semata wayangnya, Dia kembali menarik bahu Sang anak yang sejak tadi bergerak gelisah, ingin pergi dari jangkauan tangannya. Seorang gadis cantik berwajah sepertinya yang menggunakan seragam SMA.

"Justru itu, harusnya kamu bisa ngerawat diri, masa nggak pernah sisiran? Anak cewek harus anggun ya, jangan petakilan, kamu nurun kebiasaan dari siapa sih? Papa kamu tuh kalem, mama juga anggun," Wanita itu, Jung Jeha, mengomel ketika melihat anak gadisnya mendengus sebal, lantas memilih untuk pasrah.

Ngomong-ngomong ini bukan pertama kalinya ibu dan anak itu berdebat karena masalah seperti ini. Salahkan Lee Jeha yang tak terlalu memedulikan penampilannya, ditambah insting seorang ibu yang gemas ingin mengutak-atik anak perempuannya supaya terlihat lebih anggun.

Mereka berdua pasangan yang klop.

Maksudnya, klop dalam membuat seisi rumah serasa tengah Perang Dunia Kedua.

Bagaimana perasaan Sang kepala keluarga? Tuan Lee Jeno?

Jangan ditanya, pria itu tak jarang kehilangan fokusnya untuk bekerja. Terkadang dia juga harus mengalah untuk mengerjakan pekerjaan kantor di café luar sambil sekadar ngopi. Tidak, dia tidak pernah memarahi istri dan anaknya karena berisik, dia justru hanya tertawa kecil. Baginya, mereka lucu, dan itu adalah kebahgiaan tersendiri untuk Lee Jeno.

Tapi tak jarang dia cukup kewalahan dengan istri dan anaknya yang sepertinya love-hate itu.

Seperti saat ini.

"Hei, Lee Jeha kapan berangkat sekolah? Itu Yangyang udah nunggu lho di depan," Sang kepala keluarga muncul dari balik pintu, kepalanya menyembul ke dalam, lalu sepasang netranya mendapati Sang istri yang sedang menguncir rambut anak perempuannya tanpa berhenti mengomel.

"Tuh kan Yangyang udah dateng! Coba kamu diem daritadi!"

Lee Jeha mendengus sekali lagi, "ya abisnya mama–"

"Mama lagi, mama mulu, mama teruusss yang disalahin," potong Jung Jeha cepat, "liat tuh, kan kalo gini kamu jadi lebih rapi, lebih cantik. Biasain pake bedak biar gak kusem tuh muka, pake lipbalm biar gak kering bibirnya, kunciran yang rapi, rambut kamu panjang, biar gak kaya preman. Kebanyakan main sama Guanlin sih, jadi ketularan bar-bar kan," wanita itu merapikan bedak dan barang-barang putrinya di depan meja rias, sambil masih mengomel.

Jeno yang melihatnya, hanya tersenyum tipis.

"Iya deh serah mama aja, aku mau berangkat dulu," gadis itu sebenarnya ingin membantah lagi, tapi ayahnya baru saja menggelengkan kepala diam-diam padanya, menyuruhnya untuk mengalah saja.

Hei ingat, yang namanya ibu itu selalu benar.

Jika Lee Jeha memecahkan gelas, Jung Jeha akan marah 7 hari 7 malam. Sedangkan jika Jung Jeha yang memecahkan gelas, dia akan mengomel dan menyalahkan orang satu rumah karena menaruh gelas sembarangan.

Ah, tapi bagaimana pun keluarga itu adalah keluarga yang hangat dan harmonis. Lee Jeha sedekat itu dengan orang tuanya hingga hubungan mereka seperti teman atau sahabat yang sangat akrab.

"Nggak mau sarapan dulu?" Tanya Jeno ketika anak gadisnya itu memakai sepatu di lantai bawah.

"Enggak, udah mepet, nanti makan di kantin aja deh pa," jawabnya tanpa menoleh.

Jeno hanya mengangguk, mengiyakan. Hingga tak selang berapa lama, sosok istrinya muncul sembari membawa tas kecil yang sepertinya berisi bekal makanan.

"Jangan jajan aneh-aneh, kamu baru sembuh dua hari lalu gara-gara minum es! Inget!"

Lee Jeha merotasikan bola matanya, menerima tas kecil berwarna pink tersebut dengan setengah hati. "Iyaa iyaa."

Memilih untuk tak berlama-lama karena Yangyang sudah menunggu cukup lama, gadis itu mencium pipi kedua orang tuanya dengan cepat, namun saat terakhir mencium Sang ibu, wanita itu segera menarik tubuhnya dan memeluknya kecil, kemudian berkata.

"Mama nggak mau liat kamu sakit lagi."


***


"Selamat pagi Manager Lee."

"Pagi Nona Kim," Jeno tersenyum manis hingga kedua matanya nyaris menghilang saat seorang wanita yang menjaga lobi di gedung itu menyapanya saat ia baru saja masuk melalui dua pintu kaca yang terbuka otomatis.

Masih ingat tidak? Perusahaan robot terbesar di dunia, di tahun 2050-an saat itu?

Iya, Phsynch.

Masih ingat siapa pemiliknya?

Sembari menunggu pintu lift terbuka, Jeno tersenyum-senyum sendirian sembari memandangi layar ponselnya. Lebih tepatnya memandang isi roomchat dengan Sang putri. Anak perempuannya itu baru saja mengirimkan satu foto selfie dengan wajah cemberutnya. Dia bilang kelasnya membosankan dan gadis itu mengantuk.

Jeno segera mengetikkan balasan pesan, menyuruh anak gadisnya untuk mencuci muka atau meminum air lemon yang dibawakan oleh Sang ibu. Hingga saat bunyi pintu lift terbuka menyadarkannya, pria itu mengantongi ponselnya dan segera berjalan keluar menuju ruang rapat.

Ada rapat penting 5 menit lagi, beruntung dia sampai tepat waktu. Entah, namun sepertinya rapat dadakan itu benar-benar sangat penting karena seharusnya hari ini dia libur.

"Jen! Ayo buruan!"

Pria bersetelan rapi itu tersentak ketika ada seseorang yang menepuk bahunya lumayan keras dari belakang. Salah satu rekannya, terlihat tergesa-gesa sembari berlari kecil, melihat itu, Jeno bergegas menyusulnya.

"Kenapa? Rapatnya masih 5 menit lagi," dia mau tak mau ikut berlari kecil.

"Presdir udah di ruangan! Nggak tau anjir ngapain dia dateng!"

"A-apa? Presdir?! K-kok ada Presdir?!"

"Mungkin rapatnya sepenting itu karena emang Presdir dateng! Nggak tau tapi yang lain bilang di grup kalo ada Presdir di ruang rapat! Gila! Moga aja gue gak dipecat! Ayo buruan!"

Jeno nyaris pusing memikirkan hal-hal mengejutkan yang baru saja terjadi. Jika memang rapat dadakan ini sepenting itu, dia tak pernah mengira sebelumnya jika Presiden Direktur Phsynch – yang tak pernah menampakkan dirinya di hadapan semua orang, terkecuali para petinggi mungkin – bisa mendadak muncul dan mengadakan rapat yang bisa dibilang besar seperti ini.

Dia cukup berdebar, karena setelah bekerja bertahun-tahun di Phsynch, untuk pertama kalinya dia akan bertatap muka langsung dengan pemilik asli Perusahaan besar tersebut.

Memikirkan perkataan rekannya barusan, Jeno diam-diam juga berdoa semoga dia tidak dipecat seenaknya karena datang terlambat meskipun dia bahkan datang tepat waktu dengan jam yang sudah dijanjikan. Semoga Tuhan memberkatinya.

Membuka pintu, rekannya yang masuk lebih dulu itu terdengar mengucapkan sepatah permintaan maaf yang sangat sopan disertai punggungnya yang membungkuk dalam-dalam hingga kepalanya nyaris menyentuh lantai, kemudian Jeno mengikutinya. Mengucapkan maaf karena datang terlambat – meskipun sebenarnya tidak – pada seorang pria yang sepertinya lebih muda, berpostur tubuh bongsor dan tinggi yang menghadap layar hologram, membelakanginya.

Jeno sempat khawatir, sepertinya Presiden Direkturnya itu tipikal pria tegas yang pemarah dan suka memecat orang seenaknya.

"Jangan berpikir saya akan memecat kalian, kalian tidak terlambat, saya yang datang terlalu cepat."

Namun, ekspektasi Lee Jeno hancur dalam sekejap setelah mendengar suara tersebut, diiringi pria bersurai legam yang kini berbalik dan memandangnya dengan sorot mata tegas yang mendominasi.

"Saya Presiden Direktur kalian, Na Jaemin, salam kenal."

Map yang berisi berkas dan gadget yang dibawa oleh Jeno, terhempas ke lantai, bersamaan dengan jantungnya yang kemudian seolah berhenti berdetak, hingga semua orang di dalam aula besar itu memandanginya.


***


Wanita cantik itu menggelung rambutnya asal-asalan, namun entah bagaimana dia masih terlihat cantik dan begitu anggun dengan dress musim panas dibawah lutut berwarna kuning cerah. Terlihat sangat padu dengan nuansa toko bunganya. Dia tersenyum ramah pada beberapa pelanggan yang baru saja ia layani, hingga kemudian mereka menghilang dibalik pintu.

Entah apakah karena sekarang musim panas, banyak sekali orang yang datang membeli bunga. Ah, syukurlah. Bunga di musim panas pun sepertinya juga banyak digemari. Jung Jeha jadi tak pernah menyesal telah memulai bisnis ini terlepas dia melupakan gelar Sarjana Sains-nya.

Ah, ngomong-ngomong dia rindu kakak laki-lakinya yang masih saja belum pindah dari Sydney. Padahal kakaknya itu sudah berjanji akan membawa istri dan anak-anaknya untuk segera pindah ke Seoul.

Ngomong-ngomong – lagi – Jung Jeha sepertinya harus menarik kata-katanya saat dia mengatakan bahwa kakaknya adalah orang gagal yang suka ngalor-ngidul bawa gitar. Hei, sekarang Jung Jaehyun resmi menjadi seorang Profesor setelah dia mendapatkan gelar doktornya di Australia.

Menjadi Profesor, dan yang lebih penting mendapatkan jodoh, seorang wanita yang sangat cantik.

Hidup memang tak bisa ditebak. Mengerikan.

Sibuk berpikir mengenai kakak kesayangannya itu, Jeha sampai tak sadar bahwa ada seseorang yang baru saja masuk ke dalam tokonya. Dia baru tersadar ketika orang itu bersuara, suara berat yang begitu dia kenal.

"Ngelamun mulu! Niat jualan apa kaga?! Dirampok orang kaga bakal sadar lo."

Wanita itu mengerutkan keningnya sedalam mungkin ketika melihat 'pria menyebalkan yang sangat tidak ingin dia lihat' itu datang ke tokonya – sekali lagi – dan mengejutkan seperti itu. Entah ini sudah hari keberapa, tapi dia tak dapat lagi menghitung berapa kali pria itu datang ke toko bunganya.

Hanya untuk menumpang tempat makan.

"Udah gue bilang toko bunga gue bukan restoran! Lo kenapa sih Guan?!" seperti yang kalian duga, seperti apa Jung Jeha kita ketika bertemu muka dengan Lai Guanlin.

Dua orang yang seperti memiliki dendam kesumat, meskipun saat ditanya mereka sendiri tak tahu apa penyebab hubungan keduanya seperti kucing dan anjing. Hingga Kak Jaehyun seringkali geleng-geleng kepala saat harus menyaksikan pertengkaran mereka secara live.

"Eh, hak asasi lah, siapa elu ngelarang gue makan?" Guanlin yang tidak peduli, duduk di salah satu bangku dan mengeluarkan beberapa makanan instan dari dalam paper bag berlogo minimarket.

"Lo tuh gak ikut bayar pajak toko gue ya! Mending enyah!" Jeha saat itu menahan diri mati-matian untuk tak melempar oknum bernama Lai Guanlin itu dengan mesin uang di kasirnya.

"Yodah biar gue yang bayar mulai sekarang, minta berapa lo? Bilang," pria itu menantang.

"Gosah pamer deh! Sombong!"

"Lah, lo marah karena gue gak ikut bayar pajak gedung, giliran mo dibayarin dibilang sombong, dasar manusia!" Guanlin mendecak kesal, menatap perempuan cantik itu dari balik topi hitamnya.

Dasar perjaka tua.

"Maksud gue tuh, gue nyuruh lo nggak makan disini! Restoran banyak! Kecuali kalo lo kambing, baru makan bunga disini!"

"Sejak kapan kambing makan bunga! Makan sayur lah bego!"

"Itu cuma kiasan!"

"Sekolah biologi gosah sok pake kiasan-kiasan lo, bukan pujangga juga!"

"Suka-suka gue dong! Apa urusan elu?! Mending lo juga jangan kebanyakan ngajak anak gue main! Kan jadi ikutan bar-bar dianya!"

"Napa lo jadi nyalahin gue! Dianya aja yang suka ngintil!"

"Jangan karena gue udah nikah, lo jadi embat anak gue ya jing!"

Mendengar kata-kata itu, Guanlin segera menoleh dengan sepasang sorot matanya yang berubah, hingga kalimatnya kemudian membuat Jung Jeha langsung bungkam, "oh, jadi lo selama ini tau kalo gue masih nunggu lo disini?"


***


Baik, Jung Jeha pusing. Lai Guanlin sudah gila. Setelah kejadian beberapa jam lalu di tokonya, pria yang masih melajang hingga sekarang itu mendadak pergi tanpa sepatah kata pun, dengan suasana hati yang berbeda dengan sebelum dia datang. Entah apakah Jung Jeha telah menyakiti perasaannya, tapi perempuan itu tak merasa melakukan hal jahat apapun.

Guanlin gila, dia kan sudah bersuami. Apakah alasan pria itu melajang adalah karenanya? Jika iya, dia benar-benar segila itu, sampai Jeha tak tahu harus bagaimana menggambarkannya.

Terkadang dia pun tak tahu dan tak bisa membaca jalan pikiran seorang Lai Guanlin karena apa yang dilakukan pria itu seringkali tak sejalan dengan hatinya. Saat pertama kali Guanlin mengatakan dengan terang-terangan bahwa pria itu menyukainya atau bahkan mencintainya, Jung Jeha nyaris saja terkena serangan jantung.

Hei, masalahnya mana mungkin dia peka jika selama ini mereka selalu bertengkar dimana pun kapan pun? Bahkan kehadiran pria itu saja rasanya bisa membuat darahnya mendidih. Itu refleks, Jeha tidak tahu.

Melupakan masalah Guanlin, Jung Jeha mencoba untuk tidak peduli. Dia sudah cukup tua untuk memikirkan hal kekanakan seperti ini meskipun Guanlin sendiri bahkan melakukan hal anti-menstrim yang menyebalkan. Perempuan itu segera mengalihkan atensinya dari Guanlin, Jeno tidak boleh tahu hal ini.

Yang cukup Jeno tahu adalah fakta bahwa mereka pernah bersaing saat keduanya masih muda untuk mendapatkan hati seorang Jung Jeha.

Mengunci pintu tokonya, perempuan itu merogoh saku, mengambil ponsel, agak gelisah karena seseorang yang dia tunggu untuk menelepon balik, tak segera menghubungi sesuai harapannya. Bukannya apa, kebiasaan suaminya yang selalu fast respond, membuatnya sedikit berpikir keras kenapa mendadak Jeno tak bisa dihubungi.

Padahal pria itu berjanji untuk pulang bersama karena katanya hanya rapat sebentar.

Ah, mungkin saja rapat itu berubah tak sesuai schedule dan Jeno tak sempat untuk mengabarinya. Oke, Jung Jeha mencoba untuk berpikir positif.

Jalanan lengang, wanita itu mendongak keatas, jalur udara terlihat sungguh ramai diisi dengan berbagai macam mobil mewah yang melintas dengan teratur. Kendaraan umum memang masih ada, dan khusus transportasi umum diharuskan menggunakan jalur darat. Karena itu saat ini Jung Jeha sedang berjalan menuju halte bus.

Sedikit sekali mobil pribadi yang lewat di jalan darat saat itu.

Jung Jeha sudah mempunyai planning selepas pulang setelah ini. Dia seorang ibu rumah tangga yang memiliki anak gadis sekarang, jadi dia bukanlah Jung Jeha yang kalian kenal dahulu. Dia benar-benar menjadi seorang ibu yang bisa merawat keluarganya dengan baik, mengatur ini dan itu, melakukan bisnis dan pekerjaan rumah tangga dengan teratur tanpa terganggu. Semuanya terasa sederhana jika kalian berhasil menata waktu dengan baik.

Saat baru saja mendaratkan duduknya pada bangku halte bus, pandangan gadis itu bergerak kesana kemari. Memerhatikan reklame dari hologram yang memenuhi area sekitar halte. Iklan plastic surgery, trading online, dan penyewaan real estate hingga robot keluaran terbaru.

Diam-diam, wanita itu menghela napas. Zaman benar-benar sudah berubah, atau dirinya yang sudah terlalu tua? Ah sudahlah, yang jelas dia sangat merindukan masa lalunya. Dia merindukan Pizza Tuna bunda, pertengkaran dengan kakak laki-lakinya, mukbang dengan teman-teman, dan yang paling tak terlupakan, hujan-hujanan hingga bersepeda bersama–

"Permisi, anda perlu tumpangan?"

Lamunan wanita itu buyar seketika saat ada seseorang yang entah darimana dan sejak kapan kini berdiri menjulang tak jauh darinya. Jantungnya nyaris saja melompat keluar, pasalnya dia tidak sadar kapan mobil milik pria itu mendarat di depannya, hingga tahu-tahu Sang pengemudi sudah keluar dan bicara padanya.

Jung Jeha agak was-was, penampilan pria ini mencurigakan dan mengundang pemikiran negatif. Dia menggunakan mantel panjang berwarna hitam – tunggu, di musim panas seperti ini? – kemeja satin biru dongker, kemudian sepatu monk strap dan juga topi fedora berwarna hitam pula.

Heol, dia terlihat seperti anggota geng mafia atau seorang bos rentenir yang kejam.

Apakah pria ini salah satu penagih hutang keluarganya? Apakah Jeno berhutang pada seseorang tanpa sepengetahuannya?

Pria itu tak menampakkan wajahnya, namun Jeha bisa melihat senyum menawan dari balik topi tersebut. Dia berhasil menahan napas selama sejenak. Masih tak berani untuk berpikiran macam-macam.

"Sepertinya anda pulang sendirian karena orang yang anda tunggu tidak datang ya?" pria itu bersuara lagi, senyumnya yang angkuh tampak asing, namun bentuk dan garis bibir itu begitu sangat familiar.

"S-siapa..." Jung Jeha bersuara takut-takut, menjauhkan tubuhnya beberapa inci.

"Jangan cemas, Tuan Lee Jeno masih rapat di kantornya."

Pria itu melepas topi fedoranya, menatap Jung Jeha dengan sepasang netra selegam sayap gagak, dan sebening danau tanpa riak. Garis wajah yang tegas, sorot mata angkuh, senyum menawan yang mampu membuat wanita itu langsung berdiri dalam hitungan detik.

"N-Na?"

Dia nyaris tak memercayai siapa yang tengah dia lihat kala itu.


-----oOo-----


Jeno diam seribu bahasa sejak 3 jam yang lalu. Dia masih termenung di meja kerjanya, mengepalkan kedua tangan, menumpunya diatas meja. Sepasang mata tajamnya dari balik kacamata bening itu tampak berpikir keras. Garis hingga kerutan di wajahnya yang sesekali muncul, mendadakan bahwa pria itu sedang gelisah dan perasaannya sungguh tak nyaman.

Oh Demi Tuhan, hal gila apa yang baru saja dia alami dan kenapa Tuhan melakukan hal sekejam ini padanya. Jeno mendengus kasar, pasrah, mengurut pelipisnya yang terasa pening hingga membuat pandangannya agak kabur. Masih berharap bahwa dia bermimpi.

"Saya Presiden Direktur kalian, Na Jaemin, salam kenal."

Apakah dia benar-benar dihukum dengan cara seperti ini?

Siapa yang menyangka Presiden Direkturnya – seorang pemiliki Phsynch Inc. yang diklaim sebagai pria terkaya di dunia – adalah saudara tirinya?

Tidak, Jeno bodoh. Dia bukan saudara tirimu. Iya, maksudnya– Jeno sadar betul Presdirnya itu bukan Na Jaemin saudaranya yang seorang tunawicara. Presdirnya itu adalah seorang pria tampan bertubuh lebih gagah dengan tatapan setajam elang dan memiliki baritone yang rendah. Dia bukan Na Jaemin 40 tahun yang lalu.

Bukan saudaranya, tapi wajah hingga nama mereka pun sama persis. Hal itu membuat Jeno mulai berpikir, apakah reinkarnasi benar-benar ada? Hal-hal mitos yang seringkali diangkat menjadi konflik dalam drama yang sering ditonton anak dan istrinya.

Ah benar, apakah dia harus menceritakan hal ini pada Jung Jeha? Ngomong-ngomong bagaimanakah reaksi istrinya nanti? Bagaimana dia harus menceritakannya? Mengatakan secara gamblang bahwa Presiden Direkturnya adalah reinkarnasi dari Na Jaemin? Laki-laki yang sangat dicintai istrinya hidup dan mati–

Bahkan mungkin hingga saat ini.

Sekali lagi, Lee Jeno menghembuskan napas lelah, menengadahkan kepalanya ke langit-langit kamar sembari bersandar dengan nyaman. Lantas, memejamkan mata.

Ini hal tergila yang pernah terjadi dalam hidupnya. Doppelganger? Apakah konflik Presdir dan saudaranya benar berkaitan dengan teori metafisika semacam itu?

Sial, kepala Jeno ingin pecah.


Tok tok tok!


Hingga beberapa saat kemudian, teori yang dibangun oleh Jeno di kepalanya pun pecah ketika ada seseorang yang mengetuk pintu. Dia membuka mata, lantas melirik daun pintu kamarnya yang tertutup.

"Pa, boleh masuk engga?"

Terdengar suara putri semata wayangnya kemudian, membuat Sang ayah tersenyum tipis. "Iya masuk aja sayang," jawabnya, menggema ke seantero ruangan.

Lee Jeha membuka pintu kamarnya dengan gerakan pelan, hal pertama yang gadis itu lakukan adalah menyembulkan kepalanya ke dalam, mengintip apa yang ayahnya lakukan terlebih dahulu. Kemudian saat dia melihat Sang ayah mengayuhkan tangannya, gadis itu tersenyum meringis.

"Ada apa?" Tanya Jeno, ketika anak perempuannya masuk dan mengambil kursi, menyeretnya ke hadapan meja Sang ayah.

Sebelum berbicara, Lee Jeha mendudukkan dirinya terlebih dahulu. Menumpukan kedua tangannya diatas meja, kemudian meletakkan dagunya, "nggak apa-apa, kangen aja sama Papa."

Mendengar itu, Jeno seketika tertawa kecil, tawa yang begitu sejuk dan nyaman di dengar, "satu rumah lho."

"Definisi rindu itu bukan hanya sekadar keinginan untuk bertemu, terkadang sebuah pertemuan saja tidak cukup untuk memangkas rindu itu sendiri."

Lee Jeno tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya ketika mendengar apa yang baru saja diucapkan oleh anak perempuannya itu. Pria itu mengerjap beberapa kali, speechless.

"Diajarin siapa kamu ngomong puitis gitu?" Jeno menyatukan kedua alisnya, takjub.

Jeha kecil hanya meringis, "hehe, denger dari seseorang."

"Wah, udah punya crush kamu?" Kini, Sang ayah terlihat lebih antusias.

"Ih, bukan!"

"Terus?"

"Hm, cuma orang aneh aja kok."

"Orang aneh gimana?"

Tampak berpikir sejenak, Lee Jeha sepertinya agak bingung bagaimana dia harus bercerita pada ayahnya. "Orang aneh deh pokoknya, udah muncul sejak minggu lalu sih. Dia tinggi, ngomongnya kaya google translate, kaku banget lagi kaya kanebo kering, bahasanya juga sok pujangga, tinggi banget, ga nyampe."

Mendengar deskripsi seseorang yang diceritakan oleh Sang anak, Jeno memiringkan kepalanya sedikit, "ada ya orang kaya gitu?"

"Nggak ngerti kenapa dia selalu ada dimana-mana," Jeha mendengus.

"Jangan-jangan dia nguntit kamu?" Jeno menegakkan punggungnya.

"Emm, bisa jadi."

"Hei, hati-hati loh, yang mana orangnya? Biar papa pukul kalo berani nguntit kamu lagi." Jeno mulai khawatir, pikiran yang tidak-tidak mulai bermunculan di kepalanya.

Hei, anak perempuannya itu cantik. Bisa saja laki-laki yang diceritakan anaknya itu memang seorang penguntit atau seorang sasaeng gila atau bahkan psikopat. Memangnya orang tua mana yang tidak khawatir ada pria gila yang mengikuti anak perempuannya?

"Emm, tapi sejauh ini dia nggak ngapa-ngapain kok pa, kayanya bukan orang jahat, tapi nggak apa-apa nanti papa bisa tegur dia," Jeha mengangkat kedua bahunya.

"Kapan aja dia munculnya?" Jeno mulai kepo, sepertinya dia benar-benar berencana untuk memperingati penguntit gila itu.

"Kalo aku pulang sekolah itu dia selalu ada di depan gerbang, nunggu aku, kadang juga bisa tiba-tiba muncul kalo aku lagi jalan," gadis itu menimang dagunya, tampak berpikir.

"Kalau gitu besok–"

"Tapi pa, kayanya dia orang kaya deh, tampilannya kaya bos-bos gitu."

"Oh ya? Ekspektasi papa cowok urakan macem Om Guanlin gitu."

(Guanlin be lyke : gue mulu, gue lagi, gue terooosssss yang kena)

"Bukan, kayanya dia CEO perusahaan, ah engga tau juga deh."

"Siapa namanya?"

"Emm... Na siapaa gitu."


-----oOo-----


"Cuy, pulang?"

"Iyaa."

"Gak asik lo ah, mampir kemana dulu kek, kaya anak kemaren sore aja."

Gadis berambut panjang dengan tone coklat itu hanya melengos malas mendengar argumen dari salah satu temannya. Ini bukan pertama kalinya dia diajak main-main sepulang sekolah, dan ini bukan pertama kalinya dia jengah dengan ajakan kedua teman– sahabatnya sejak kecil itu.

Sebenarnya Lee Jeha senang-senang saja main dengan teman-teman sepulang sekolah, tapi sayangnya dia jengah jika harus mendengarkan omelan dari Sang mama jika sampai dirinya ketahuan berbelok ke tempat lain bukannya ke rumah.

Beberapa kali anak perempuan itu mencoba bandel dan ikut dengan teman-temannya, hasilnya selalu sama, dia diomeli sepanjang malam oleh ibunya, sementara Sang ayah hanya menghela napas pasrah dan tak dapat membantu banyak. Dia tidak tahu kenapa ibunya harus seprotektif itu.

"Ya terus lo mau tanggung jawab jing kalo mama gue ngomel seharian?" Gadis itu mendengus, mengangkut ranselnya di kedua pundak. Berdiri.

Si anak laki-laki, Yangyang, merotasikan bola matanya searah jarum jam, "coba deh lo lebih berani buat ngomong sama mama lo, kalo jamannya kita sama mereka para orang tua tuh beda tau gak."

"Jangan ngajarin anak orang jadi durhaka," Gadis yang satu lagi, Sakura, menyikut lengan Yangyang, laki-laki itu hanya mencebik.

"Ya sebenernya bukan cuma nyokapnya dia aja, bonyok gue juga sering marahin gue kalo main keluar lama-lama, padahal gue laki," Yangyang entah mengapa malah mencurahkan isi hatinya, "pengen ya gue tuh ngomong di depan mereka kalo sekarang tuh 2050, bukan jaman meganthropus erectus, tapi ya lo semua tau sendiri kalo nyokap gue udah kaya maung," anak laki-laki itu malah bicara panjang lebar.

"Nah yaudah, jadi gausah maen, gue duluan nih, kayanya papa udah di depan deh," Lee Jeha yang sepertinya tidak mau mendengarkan curhatan teman laki-lakinya itu hanya mengangkat bahu, sampai akhirnya gadis itu memilih untuk pergi setelah berpamitan dengan sekenanya. Padahal dia tidak tahu benar apakah ayahnya memang sudah menjemputnya atau belum.

Dia sebenarnya juga malas untuk keluar, karena kerjaan kedua temannya itu hanya jajan dan menghabiskan banyak uang, lebih baik pulang dan rebahan di kamarnya, tidak ada yang lebih nikmat dari itu.

Menginjakkan kakinya di halaman sekolah, Lee Jeha kembali mengeluarkan ponsel, memeriksa apakah ada pesan bahwa Sang ayah sudah menunggu di depan gerbang atau apapun, namun sepertinya nihil. Tidak ada apapun, bahkan missed call.

Sembari keluar dari gerbang, dia kemudian berinisiatif untuk menghubungi papanya terlebih dahulu, hingga saat nyaris saja menyentuh tombol dial, ada seseorang yang menggagalkan rencananya tersebut.

"Nona Lee."

Langkah Lee Jeha terhenti seketika, keningnya mengernyit seiring dengan kedua alisnya yang mulai menukik tajam hingga kemudian gadis itu menyimpan ponselnya tepat di bawah dagu, memerhatikan seorang pria tinggi dengan setelan rapi yang menyapanya dengan sopan– dengan sangat tiba-tiba dan membuat pikiran negatifnya kemana-mana.

"Siapa?" Tanyanya was-was, "ada perlu apa? Kok kenal aku?"

Pasalnya, ini adalah pertama kalinya dia bertemu dengan pria ini. Pria yang cukup tampan itu hanya tersenyum mendengar pertanyaan sederhana darinya.

Pria berpakaian formal itu kemudian berdeham sebentar sembari menahan senyum, gesturnya begitu tegap dan sopan seperti panglima kerajaan, "anda pasti sudah melupakan saya karena itu sudah belasan tahun yang lalu, Nona."

"Hah?" kerutan di dahi Sang gadis semakin dalam, "apa sih?"

"Meskipun anda tidak akan mengingatnya, tapi saya akan tetap menceritakan pada anda," suara pria itu mengalun, "dulu kita pernah bertemu, namun dalam kondisi yang berbeda, dan saat itu kita berdua masihlah sangat kecil, pertemuan kita juga hanya sangat singkat."

"Hah? Serius? Kapan? Gak inget tuh."

"Iya saya sudah mengatakannya tadi anda tidak akan mengingatnya."

"Ya terus?"

"Saya anak kecil berpakaian lusuh yang waktu itu menjumpai anda bersama Tuan saya di jendela sekolah, saat anda masih di Taman Kanak-Kanak," pria itu lagi-lagi tersenyum.

Lee Jeha seketika terdiam.

"Saat itu Tuan saya membawakan anda es krim tiga rasa," lanjut Si pria, "saya minta maaf dan merasa bersalah pada Tuan karena mengganggu waktunya dengan anda, tapi saat itu sedang ada insiden yang mendesak kami untuk segera pergi."

Hingga tiga detik kemudian, barulah kedua netra kecoklatan Lee Jeha berputar kearah pria tinggi di hadapannya tersebut.

"Saya Ju Haknyeon," pria itu melukis seulas senyum, membuat Lee Jeha memandanginya selama beberapa saat.

"Aku gak inget," gadis itu mendengus. Orang-orang gila ini selalu saja menyuruhnya untuk mengingat masa lalu. Meskipun dia agak aneh dengan cerita-cerita mereka. Es krim tiga rasa. Seorang 'Tuan'. Di jendela sekolah TK. Terjatuh diatas lapangan rumput.

Hei, jika benar itu saat dia masih di bangku TK dan baru bisa mengoceh, mana mungkin dia mampu mengingat semua itu.

"Saya mengerti," Ju Haknyeon terlihat menghembuskan napas sembari tersenyum, "maaf mengatakan ini, tapi... bisakah anda ikut dengan saya? Sebenarnya Tuan yang ingin menemui anda, tapi dia sedang bercengkerama dengan seseorang."

"Jadi dia dateng lagi?!" Lee Jeha menghembuskan napas tidak menyangka.

"Anda harus tahu, Tuan saya tidak akan menyerah pada anda, Nona."

Lee Jeha sempat terdiam mendengar sepatah kalimat dengan intonasi yang cukup meneguhkan hati tersebut, sampai 5 detik kemudian gadis itu malah melengos malas.

Sesungguhnya Lee Jeha tidak menyukai hal-hal dramatis seperti ini.

"Ya yaa serah deh."

"Jika begitu, berkenankah anda ikut dengan saya?"


...


"Saya cukup terkejut karena anda menemui saya seperti ini, dan tidak hanya itu, saya kagum karena anda bisa membaca situasi dengan cepat."

Si pendengar telah terdiam sepanjang mereka bertemu. Dia, Jung Jeha, entah dengan alasan apa menyempatkan dirinya untuk menemui pria yang sempat membuatnya tak bisa tidur selama beberapa hari ini. Seorang pria yang cukup mengejutkannya, hingga dia takt ahu harus berbuat apa.

Bukan perasaan senang, takjub, atau apapun, hati Jung Jeha dilanda rasa khawatir dan ketakutan luar biasa setelah bertemu dengan pria kaya yang kini begitu berubah 180 derajat di matanya itu.

Jaemin hanya menghembuskan napas panjang sembari mengangkat kedua alisnya ketika dia telah cukup lama untuk menunggu wanita di depannya berbicara. Dia hanya mengetuk-ngetukkan jarinya diatas kap mobil, bersandar, menatap balik wanita yang masih tampak cantik meskipun telah memiliki anak gadis yang sudah SMA.

"Baiklah, silahkan berbicara, Nyonya Jung– ah tidak, Nyonya Lee," Presiden Direktur itu mempersilahkan, sadar bahwa Jung Jeha menatapnya dengan tidak suka secara terang-terangan.

Ini gila, Jung Jeha sama sekali tidak mempersiapkan dirinya untuk bertemu pria ini. Mereka hanya sekali bertemu saat di halte bus, dan tak mengobrol banyak. Rasa canggung yang besar, dan perasaan nostalgia mulai membayangi dirinya.

Diam-diam, wanita itu mengepalkan kedua tangannya dan menatap sepasang bola mata yang kini tampak legam dan terlihat begitu dalam bagai samudera.

"Jauhi putriku, jangan pernah menemuinya apalagi berurusan dengan keluargaku," wanita itu bersuara, tegas dan menusuk. Menekan atensinya pada Sang Presdir. Pria itu memiliki aura yang sangat kuat, hingga Jung Jeha yakin bahwa 'mereka' memang bukan orang yang sama.

Mendengar kalimat yang lebih terdengar seperti ancaman itu, Na Jaemin sempat terdiam, hingga kemudian pria itu hanya tersenyum tipis, dan bagi Jung Jeha, itu adalah senyum meremehkan, seolah Presiden Direktur itu berkata bahwa siapa dirinya hingga berani memberikan perintah seperti itu?

"Anda siapa berani mengancam saya seperti itu?" Na Jaemin kini mengadahkan kepalanya.

Tepat sasaran.

"Pertanyaanmu," wanita itu mendecih tidak percaya.

"Anda tidak menangkap kalimat saya?" sorot mata pria itu berubah, melunak, "itu bukan dalam artian sesungguhnya."

Butuh waktu selama beberapa detik bagi Jung Jeha untuk memikirkan apa maksud dibalik kalimat pria di hadapannya tersebut, hingga akhirnya dia mengernyit tak suka. Menatap Na Jaemin semakin menusuk.

"Apa-apaan..."

"Anda bukan siapa-siapa dalam garis takdir kami berdua, dan apa yang di hari kemarin, saat ini, hingga di masa depan, anda tidak bisa campur tangan atau bahkan menghentikannya meskipun anda tidak menginginkan ini semua."

Dia benci, dia sangat membenci pria ini. Meskipun dia sulit untuk mengungkapkan mengapa dia membenci Presiden Direktur dari Phsynch, Na Jaemin, dia benar-benar tidak mau siapapun dalam keluarganya harus berhubungan dengan pria ini. Apalagi dengan anak perempuannya.

Kalian harusnya tahu apa ketakutan wanita ini.

"Terserah, di saat seperti ini membicarakan tentang takdir?"

"Nyonya Lee, saya tahu anda pun terkejut," Jaemin menyela.

"Jangan pernah datang lagi, ini adalah peringatan terakhir, jangan dekati anak perempuanku, suamiku pun tidak akan senang jika sampai mengetahui ini," tekannya, "aku akan segera menyuruh dia mengundurkan diri dari perusahaanmu itu."

"Kenapa anda tidak membicarakan ini dengan Tuan Lee Jeno? Sepertinya anda benar-benar tidak mau berurusan dengan saya ya?" Na Jaemin sempat tertawa kecil, membenarkan kacamata beningnya dengan telunjuk.

"Jangan pernah berani muncul dihadapan suamiku–!"

"Maaf, tapi saya telah bertemu lebih dulu dengannya daripada anda," Presdir itu memotong dengan cepat, dan kalimatnya mampu membungkam Jung Jeha detik itu pula.

Jeno telah bertemu laki-laki ini? Laki-laki yang bernama Na Jaemin, dan bahkan berwajah sama seolah mereka adalah orang yang sama namun datang pada masa yang berbeda. Jung Jeha nyaris tak percaya, kenapa suaminya diam saja? Jeno juga seharusnya terkejut bukan? Kenapa dia tidak bercerita? Kenapa– ah!

"Seperti yang anda pikirkan saat ini, Tuan Lee juga sama terkejutnya dengan anda," Jaemin kembali tertawa, "dan apa kata anda tadi? Menyuruh Tuan Lee Jeno mengundurkan diri dari Phsynch? Dengan hutang yang banyak seperti itu anda menyuruh suami anda menjadi pengangguran?"

Itu jelas adalah hinaan. Siapapun yang mendengarnya, juga dapat menangkap bahwa Na Jaemin benar-benar menganggap remeh Lee Jeno dan keluarganya. Jung Jeha diam, dia ingin menampar pria itu, tapi tubuhnya hanya bisa terdiam kaku dan pandangannya berubah nanar.

"Ku tekankan," wanita itu menarik napasnya, "jangan. Pernah. Berhubungan. Dengan. Keluargaku," dia menuding tepat di depan wajah Sang Presdir, menunjuknya dengan tajam, sampai akhirnya dia memilih untuk segera berbalik dan beranjak dari sana, sebelum pria yang ia ketahui berwatak angkuh itu semakin menginjak-nginjak harga diri keluarganya.

"Saya tak bermaksud menyakiti anda, Jung Jeha," satu kalimat Jaemin membuat wanita itu berhenti, "tapi apakah anda telah melupakan Sang Hujan?"

Tubuh Jung Jeha menegang, dia yang masih membelakangi Na Jaemin, mendadak meremang saat mendengar kalimat terakhir dari pria itu. Berbagai macam perasaan menyinggahi hatinya, bercampur secara abstrak, membuatnya mulai pening. Sedih, kecewa, rindu, marah.

Sang Hujan.

Dia ingin menangis sekarang.

"Hati anda itu tidak sepenuhnya untuk Lee Jeno, bahkan tidak separuhnya, bukan?" Na Jaemin masih melanjutkan kalimatnya.

Wanita itu berbalik, mengepalkan tangan, sepasang matanya kini telah memerah, dan ada sedikit air yang menggenang di pelupuk itu.

"Kamu tidak tau apapun tentang kami berdua," dia menatap sorot legam Na Jaemin, "dan kamu bukan dia."

Jung Jeha bukannya benar-benar melupakan cintanya di masa lalu, apalagi mengubur semua kenangan itu rapat-rapat. Na Jaemin dan Lee Jeno itu berbeda. Mereka pun memiliki tempat istimewa tersendiri di hatinya.

Jangan membandingkan Na Jaemin dengan Lee Jeno, Jung Jeha sangat tidak menyukai hal itu.

"Anda trauma? Anda takut jika saya dengan–"

"Iya! Iya aku trauma! Aku takut bagaimana jika nanti anakku bernasib sama denganku dulu?! Entah bagaimana caranya, tapi mulai dari sini aku takut Tuhan mempermainkan keluargaku! Takdir mengerikan apalagi yang akan datang setelah ini?!" Suara wanita itu meninggi, dia dengan segenap emosinya menumpahkan segala ketakutan dan kegelisahan yang dia rasakan sejak beberapa hari terakhir, sejak dia bertemu dengan Na Jaemin yang ini.

Setakut itu.

"Tolong... jauhi anakku," suaranya memelan, gemetar.

"Mama?"

Bersamaan dengan itu, percakapan keduanya terhenti ketika seseorang – yang begitu Jung Jeha hafal suaranya – menyela diantara mereka. Namun saat menolehkan kepalanya, tak hanya seorang yang datang.

Jung Jeha terdiam kaku di tempatnya, seperti tercekat ketika melihat orang lain yang datang bersama anak perempuannya kala itu. Lalu, tangannya perlahan gemetar.

Itu Lee Jeha, berdiri memandanginya yang sedang bicara dengan Na Jaemin, dengan sorot mata bingung. Namun yang membuat wanita itu membeku, seorang pria yang berdiri di belakang putrinya, tatapannya sangat berbeda dengan Sang anak yang tampak bingung.

Jeno terlihat sedih, dia seperti telah mendengarkan perbincangan istrinya dengan Presiden Direkturnya tersebut. Suatu hal yang harus membuatnya mengeduk masa lalu dengan paksa. Ingatan menyakitkan, kenangan yang menyedihkan.

Sama seperti istrinya, Lee Jeno juga takut. 





-tbc-

Continue Reading

You'll Also Like

50.1K 6.6K 28
'benci bisa jadi cinta loh, cantik' 'apaan, diem lu' 'aduh, malu malu ih si geulis' 'gue laki ya, jangan main cantik-cantik lu' 'tapi lu emang cantik...
272K 37.6K 26
Sederhana saja. Hanya tentang kehidupan tiga bersaudara putra Pak Bratadikara yang akan membuatmu harus memutuskan antara dua pilihan, yakni mengingi...
328K 28K 54
Kisah si Bad Boy ketua geng ALASKA dan si cantik Jeon. Happy Reading.
193K 21.1K 24
warn (bxb, fanfic, badword) harris Caine, seorang pemuda berusia 18 belas tahun yang tanpa sengaja berteleportasi ke sebuah dunia yang tak masuk akal...