What If [Series]

By tx421cph

3M 290K 464K

❝Hanya ungkapan tak tersampaikan, melalui satu kata menyakitkan. Seandainya... ❞ PART OF THE J UNIVERSE [read... More

Disclaimer
1. Jeno x Jeha
3. Jeno x Jeha
4. Jeno
5. Jeno
[side story] Jeno x Jeha
1. Jaemin x Jeha
2. Jaemin x Jeha
[side story] Jaemin x Haknyeon
1. Guanlin x Jeha
2. Guanlin x Jeha
3. Guanlin x Jeha
1. Truth - Baek Min Ho & Ye Hwa
2. Truth - Hwang Je No & Baek Je Ha
[side story] Juno & Jeni
[side story] The J's Family
[side story] Na's Siblings
[side story] Na's Siblings (2)
[side story] The Kang's Family
[side story] They're Passed Away
[side story] Little Jeno and Jeha
[side story] Between Us
[side story] Dear Dad
[side story] Hukuman Ayah
[side story] Ayah dan Anak Pertama
[side story] Someday In 2017
Side Ending of J's Universe
[alternate] Reality
[side story] Jung Jaehyun
[side story] Seongwoo x Sejeong
[side story] Daddies
[side story] Him
[side story] Keluarga Na Bangkrut?
[side story] Harta, Tahta, Tuan Muda Kaya Raya
[side story] sunsetz
3. Truth - Hwang Je No & Baek Je Ha
[side story] Dear Papa

2. Jeno x Jeha

145K 13.9K 13.9K
By tx421cph


Happy Reading



"Aaaaa aaaa!!"

"Jehaaa siniiii!!!"

"Jenooo buruan mandiinnyaaa!"

Suasana di rumah pagi itu terdengar begitu riuh seperti biasa. Suara alat-alat dapur, teriakan Jung Jeha, Lee Jeha, dan Lee Jeno bercampur menjadi satu.

Sang ibu hanya mendengus ketika mendengar suami dan anaknya yang sepertinya sedang kejar-kejaran, Jeno harusnya sudah selesai memandikan Lee Jeha, mereka harus segera sarapan dan mengantar anak itu sekolah, lalu dia akan pergi ke toko bunga miliknya, dan Jeno berangkat kerja. Semuanya memiliki kegiatan tersendiri.

"Enggak mau papaaa dingin!!"

"Jehaa ayo cepet mandiii!! Atau mama yang kesana habis ini!!!" Perempuan itu berteriak dari arah dapur, agak kesal karena anak perempuannya itu memang susah mandi di pagi hari. Sepertinya karena sudah mulai sekolah, Lee Jeha masih belum terbiasa untuk mandi terlalu pagi.

Tak terdengar suara kejar-kejaran ayah dan anak itu kemudian, Jung Jeha melanjutkan pekerjaannya. Dia sudah menyiapkan beberapa potong roti panggang, secangkir teh dan kopi, dan juga segelas susu. Dia juga menyiapkan dua kotak bekal untuk suami dan anaknya.

Menjadi seorang ibu beranak satu itu sebenarnya tidak mudah. Jeha harus bangun pagi-pagi sekali, membersihkan rumah, menyiapkan pakaian untuk suaminya, menyiapkan air untuk mandi, menyiapkan sarapan, mengurus putrinya yang akan berangkat sekolah, bersiap untuk pergi ke toko bunga miliknya, ah sudahlah, sepertinya terlalu banyak jika harus disebutkan satu persatu.

Mereka tidak menyewa pembantu, mana mungkin.

"MAMA!!"

Jung Jeha tersentak kaget, dia terlonjak dan nyaris saja mengumpat. Tapi syukurlah sekarang dia sudah melatih mulutnya untuk tak bicara kasar, apalagi dia sudah memiliki anak.

"Ih kalian apa-apaan sih!!" Dia berbalik, mendengus kesal pada suami dan anaknya yang baru saja mengejutkannya dari belakang. Mereka berdua terlihat tertawa bersamaan.

"Hehee maaf," Jeno meringis.

"Lotii lotiii!" Lee Jeha yang masih telanjang dalam gendongan Jeno dengan tubuh lembab, mencoba meraih beberapa tumpuk roti diatas piring.

"Pake baju dulu sana," suara ibunya, anak itu pun cemberut.

"Kamu udah mandi?" Tanya Jeno.

"Udah tadi aku mandi waktu kalian belum bangun," jawabnya, "buruan sana pakein dia baju, abis itu langsung turun, aku mau bersihin kamar dulu."

Mengangguk, Jeno segera membawa anaknya yang dibalut handuk sekenanya itu menaiki tangga, meskipun sempat berdebat di tengah jalan karena anak perempuan itu meronta meminta makan roti lebih dulu.

Jung Jeha hanya tersenyum tipis, menghela napas samar, melihat interaksi ayah dan anak yang sangat menggemaskan itu. Dia juga sadar bahwa putrinya lebih dekat Sang ayah, karena Jeno yang paling banyak mengurus anak itu selagi dia mengerjakan pekerjaan rumah tangga.

Keluarga kecil yang hangat.


***


Selepas mengantar Lee Jeha ke sekolahnya, Jeno mengantar istrinya ke toko bunga yang sudah dikelola selama 5 tahun ini. Sebenarnya Jeha agak khawatir meninggalkan putrinya di sekolah, tapi Jeno meyakinkan bahwa anak itu akan baik-baik saja dan dia menyuruh istrinya menjemput Lee Jeha sebelum jam pulang sekolah.

"Nanti aku jemput?" Tawar Jeno, setelah turun dari mobil.

Jeha yang sedang membenarkan dasi suaminya kemudian menggeleng, "kamu bukannya pulang agak malem?" Kemudian tangannya bergerak merapikan jas hitam yang dikenakan Jeno.

"Nggak, hari ini pulang awal, nanti kalian tunggu aku ya, kita pulang bareng."

Tak bisa menolak, perempuan itu akhirnya tersenyum mengangguk. Jeno yang melihat wajah istrinya dari jarak sedekat itu, terdiam selama beberapa saat, mereka saling beradu pandang dengan tangan Jeha yang masih memegang setelan Jeno.

"Kenapa?" Jeha melempar pertanyaan ketika dirasa Jeno termenung.

"Cantiknya."

Mungkin seharusnya Jeno mengatakan kalimatnya dalam hati, tapi entah mengapa malah terlontar begitu saja, membuat Jung Jeha melebarkan kedua matanya, sedikit kebingungan.

Dan pada detik berikutnya, tangan kekar Jeno bergerak melingkari pinggang istrinya yang ramping, menarik tubuh itu mendekat, lalu mencium bibirnya selama 5 detik.

"Lee Jeha kemarin cerita," Jeno bersuara, entah mengapa berbisik.

"A-apa?"

"Katanya dia minta adik," Jeno membisikkan kalimat itu tepat di telinga istrinya.


Bukk!!


"Becanda kamu, Jeha masih kecil," perempuan itu mendengus dan membuang pandangannya setelah mendorong suaminya menjauh. Ah, seharusnya dia tidak perlu tersipu seperti ini. Rasanya memalukan saat dia malah bertingkah seperti remaja.

Mendengar itu, Jeno tertawa kecil, mengelus surai legam Sang istri, "aku serius, dia bilang ke aku."

"U-udah ah, buruan berangkat, nanti kesiangan," mengalihkan pembicaraan karena dia tak mau Jeno membahas hal-hal semacam itu, Jeha membalikkan tubuh suaminya dan mendorong Jeno agar bergegas masuk ke dalam mobil.

"Aku serius," Jeno masih tertawa.

"Jen, udaahh!" Jeha masih mendorong suaminya itu.

Masih dengan tawanya, apalagi sepasang matanya yang ikut tersenyum itu hingga membuat Jung Jeha tak bisa benar-benar marah, Lee Jeno akhirnya masuk ke dalam mobil setelah berhasil menggoda istrinya. Lucu sekali.

Jeno sempat melambaikan tangan dari dalam mobil, yang mau tak mau dibalas oleh perempuan itu. Hingga suaminya itu menyalakan mesin mobil dan mulai melaju meninggalkan toko bunganya, Jung Jeha masih berdiri disana, memastikan mobil itu benar-benar menghilang dari pandangan matanya.

Membalikkan tubuhnya, Jeha mengambil kunci tokonya di dalam tas, kemudian membuka pintu hingga aroma semerbak bunga yang lembut, menyapa indera penciumannya. Yang paling dominan adalah aroma lavender yang menenangkan bercampur chamomile. Toko bunga yang dimodali oleh ayah Yunho syukurlah cukup berhasil, toko bunganya selalu menjadi langganan dan favorit semua orang.

Membuka tirai jendela dan meletakkan beberapa pot bunga di sudut ruangan, wanita itu mulai berbenah. Dia juga tidak memiliki pegawai untuk toko bunganya yang tak terlalu besar itu, meskipun Jeno sudah menyuruhnya karena takut dia kelelahan, Jeha merasa dia bisa melakukannya sendiri. Meskipun saat hamil, Jenolah yang membantunya.


Tring!


Saat membersihkan kasir, suara bel diatas pintu terdengar, yang menandakan bahwa ada seseorang yang baru saja masuk. Jeha yang sedang membungkuk karena membersihkan bagian bawah kasir, akhirnya menegakkan punggungnya dan memasang senyum untuk menyambut pelanggan pertamanya di pagi hari itu.

"Selamat datang–"

Namun kalimatnya tertahan di ujung bibir bersamaan dengan sepasang matanya yang melotot terkejut saat menyadari siapa tamu yang datang di pagi-pagi seperti ini. Jung Jeha menghembuskan napas tidak menyangka.

"Apa sih?!" Ketusnya.

"Galak amat buset ama pelanggan," Guanlin tak habis pikir dengan respon yang ia terima saat baru saja masuk.

"Gak yakin gue lo beneran pelanggan."

"Beneran elah gue mau beli bunga," Guanlin mendengus, tangannya terlihat menenteng kantong plastik putih berlogo minimarket, kemudian pria itu berjalan menuju meja kecil yang terletak di sisi ruangan.

"Tuh kan, lo numpang sarapan disini, gak ada tempat lain apa?!" Jeha mendengus ketika melihat Guanlin duduk dan mengeluarkan beberapa kimbap instan serta sekaleng kopi.

"Bacot, udah bungkusin bunga krisan putih satu buket. Lagian lo juga itung-itung kaga sendirian, kasian."

"Cih."

"'Cih'?" Guanlin menoleh dengan cepat saat mendengar decihan itu, menatap Jung Jeha yang melengos malas, keluar dari meja kasir dan mengambil bebera tangkai bunga krisan yang berada di dalam pot tinggi dari rotan.

Seharusnya Jeha juga tidak terkejut dengan kedatangan Guanlin meskipun sepagi ini, pria itu seringkali datang ke toko bunganya meskipun tak ada keperluan apapun. Tapi bahkan untuk menumpang tempat sarapan seperti itu– ah!

"Buat apaan bunga?" Tanya Jeha, tanpa menoleh, sibuk merangkai dengan begitu hati-hati.

"Ngasih makan kambing."

Jeha melotot dan menoleh dengan cepat ke belakang, "bisa-bisanya lo ngasih bunga gue buat kambing!!" Serunya.

"Ya kaga lah dongo, lo kok bego bener sih," Guanlin merotasikan bola matanya.

"Ya abis kan gue nanya bener-bener, lo yang dongo!"

"Ya gue beli bunga buat melayat, emang buat apaan orang pacar aja kaga ada! Lo sengaja nanya buat ngejek gue gegara gue jomblo ye kan?!"


Prak!


Jeha membanting keranjangnya dengan kesal keatas meja, membalikkan tubuh sepenuhnya memandang pria yang entah kenapa malah balas memarahinya. Padahal kan dia benar-benar bertanya untuk apa Guanlin membeli bunga sepagi ini.

"Ya udah biasa aja dong!" Jeha mendengus, "baperan amat sih!"

"Dah lah, lo abisnya jadi orang jangan suka kepo," Guanlin melengos, lantas meneguk kaleng kopinya.

Sejak dulu hingga sekarang, yang namanya Lai Guanlin memang sangat menyebalkan. Benar-benar semenyebalkan itu, Jung Jeha bahkan rasanya tak pernah bertemu seseorang yang semenyebalkan Guanlin. Dia heran, ada masalah apa Guanlin di hidupnya hingga harus menjadi manusia tak jelas seperti ini.

Mencoba mengabaikan Guanlin dengan tingkahnya yang absurd, Jeha meneruskan kegiatannya. Membungkus bunga krisan putih pesanan Guanlin dalam diam. Pria itu sudah mengatakan bahwa bunganya untuk melayat, tapi dia lupa tak sekalian bertanya melayat pada siapa.

Namun sebenarnya... dia sempat menerka makam siapa yang akan didatangi Guanlin hari ini.

"Gue mau ke ngunjungin Jaemin."

Suara Guanlin yang entah mengapa seolah terhubung dengan pikirannya, membuat perempuan itu tersentak kecil. Gerakannya yang sedang mengikat buket itu dengan tali rami kemudian terhenti, tak berniat untuk berbalik.

Jadi dugaannya benar.

Ah, dalam bulan ini dia juga belum mengunjungi makam Jaemin sama sekali. Dia terlalu disibukkan dengan keluarganya dan kesehariannya. Seketika, Jung Jeha merasa bersalah. Wanita itu menundukkan kepala, dia sangat merindukan Na Jaemin saat kembali mengingat laki-laki itu.

Melihat Jeha yang tiba-tiba terdiam dengan ekspresi murung, Guanlin yang sedang mengunyah kimbapnya kemudian ikut terdiam. Pria itu meletakkan makanannya, kemudian diam memerhatikan Jung Jeha dengan seksama.

Guanlin merasa... bahwa dia bisa saja salah bicara hingga membuat mood wanita itu berubah seketika.

"Mau bareng ngunjungin dia?" Tawarnya.

"Gue harus–"

"Gue temenin lo disini, abis itu ke makam terus jemput anak lo, dan balik ke sini lagi, Jeno bakal jemput kan?"


***


Suasana di dalam kelas A itu terdengar sangat ramai. Anak-anak sedang belajar menyebutkan nama-nama hewan, bersama dengan seorang guru laki-laki yang terlihat begitu sabar saat mengajari anak-anak itu.

Selagi guru mereka menunjukkan gambar-gambar hewan, seorang anak perempuan yang tubuhnya sangat kecil namun berisi, terlihat menopang dagu diatas meja. Menatap ke depan dengan bosan.

"Nah, yang ini namanya gajah. G-A-J-A-H," guru pria itu menunjuk sembari mengeja huruf yang tertulis kapital dibawah gambar hewan gajah tersebut.

"GAJAH." Sahut anak-anak itu bersamaan.

"Jeha, kenapa?"

Anak perempuan lain yang duduk sebangku dengan Lee Jeha terlihat menyenggol lengan anak itu saat melihatnya sedang melamun, sepertinya sedang mengantuk.

Lee Jeha menggeleng kukuh, "bothen," dia menegakkan punggungnya, menjawab pertanyaan gadis kecil yang cantik bernama Sakura, kemudian Jeha mengayun-ayunkan kakinya, "aku kan udah tau themua nama hewan."

"Wah hebatnyaa, beneran?" Sakura tampak tertarik, dia menatap Jeha dengan mata berbinar.

"Tiap hali papa ajalin aku thebelum thekolah thampai aku pintal gini," ujarnya, "mau belajal baleng enggak kapan-kapan thama papa eno? pathti kamu langthung pintal!" Tawar anak itu, seolah dia bangga sekali menceritakan tentang papanya.

"Mau mauu!! Nanti aku bilang mama dulu!" Sakura mengangguk antusias.

"Jeha, Sakura? Kok ngobrol sendiri? Ngomongin apa hayoo?" Pak guru yang sejak tadi menjelaskan dan merasa diabaikan oleh dua anak perempuan yang duduk di tengah-tengah itu, menyadarkan keduanya.

"Ih, pak gulu apaan thih, mathalah pelempuan, enggak boleh kepo," Jeha mendengus, melipat kedua tangannya.

Seketika itu juga guru laki-lakinya terkejut dan tercengang di tempat mendengar skak mat dari murid yang bertubuh paling kecil dan paling muda disana. Kemudian, anak-anak lainnya tampak tertawa, meskipun pak guru itu tak tahu letak kelucuannya dimana. Dia hanya terlalu terkejut dengan respon Lee Jeha yang diluar dugaan.

"T-tapi kita kan sedang belajar," guru itu mencoba tersenyum.

"Aku udah tau nama-nama hewan, jadi enggak apa-apa kan kalo aku enggak dengelin? Kan aku udah pintal."

"Kamu bisa baca?"

Jeha mengangguk.

"Bener sudah tau semua nama hewan?"

Anak perempuan itu mengangguk lagi.

"Gimana kamu bisa udah tahu semuanya dan udah bisa baca?" Gurunya itu tampak sangat penasaran bagaimana bisa ada anak yang masih berusia 3 tahun namun sudah mengetahui segalanya bahkan sudah bisa membaca.

"Bawaan pintal thejak lahil," Lee Jeha menjawab dengan bangganya.

Pak guru terdiam di tempatnya, di skak mat hingga tak dapat menjawab lagi. "Baik, kelas selesai."

"YEEAAYY!!!"

Anak-anak di dalam kelas itu langsung bersorak bersamaan begitu mendengar bunyi bel berdering setelah pak guru keluar dari kelas. Sebagian ada yang mengeluarkan bekal masing-masing, dan sebagian ada yang membeli jajan di luar kelas.

Lee Jeha adalah bagian dari yang membawa bekal, bersama Sakura pula. Kemudian anak laki-laki yang duduk di belakang mereka, menarik kursi, ikur bergabung. Yangyang.

"Bawa apa bawa apa?!"

"Wah bekalnya baguss!!"

"Aku bawa susu kotak lebih, mau?"

"Eum, aku ada telul gulung thama jumeokbap (nasi kepal)," Jeha membuka kotak bekalnya, hingga kemudian matanya mendapati sesuatu yang sangat tidak ingin dia lihat, "aduuhh aku enggak thuka blokoliii!!!" Rengeknya kesal, "ini, aku kathih kamu ya!" Mengambil dua brokolli dari dalam kotak makan miliknya dengan tangan, Jeha memindahkan sayuran yang menurutnya menjijikkan itu ke dalam kotak bekal milik Yangyang.

"Kenapa nggak mau?" Tanya Yangyang.

"Enggak enak, ewh."

"Tapi Brokolli kan sehat," sahut Sakura.

"Mathih banyak yang lebih thehat tapi enak, aku enggak thuka blokolli pokoknya."

Anak-anak itu sibuk membicarakan menu makanan dan saling menukar isi bekal mereka, terkadang sesekali mereka bercerita dengan mulut penuh, lalu menertawakan hal-hal yang menurut mereka lucu. Membuat Lee Jeha mulai lupa dengan insiden brokolli yang berada di dalam kotak bekalnya. Karena demi apapun, dia sangat membenci brokolli dan rasanya memang sekesal itu pada mamanya yang sepertinya sengaja menaruh brokolli dalam bekalnya.

Saat mereka sibuk makan, entah mengapa Lee Jeha dengan refleks menoleh kearah jendela kelas, hingga dia melihat seseorang yang berdiri di luar sana sembari memandangnya. Anak perempuan itu mengangkat kedua alis, mengerjap sebentar saat melihat anak laki-laki yang entah sedang apa.

Karena sepertinya anak laki-laki itu terus memandanginya, membuat Jeha berpikir dialah alasan anak itu datang kemari. Akhirnya dia bangkit dari duduknya dan berlari kecil kearah jendela.

"Kamu kan yang kemalin," katanya, memegangi jeruji jendela.

Anak laki-laki itu mengangguk, "masih ingat aku?"

"Ingat, Nana," Lee Jeha membalas dengan pandangan tak berdosanya.

"Jaemin, bukan Nana," datar anak laki-laki itu.

"Tapi aku ingat Na-nya thaja."

"Terserahlah," anak laki-laki bernama Jaemin, yang masih menggunakan pakaian yang sama dengan kemarin namun kali ini dengan topi hitam tampak merotasikan bola matanya malas. "Tapi Nana manis juga," dia kemudian menggumam diam-diam.

"Apa?" Jeha bersuara saat mendengar gumaman yang tak jelas di telinganya itu.

"Tidak," Jaemin menggeleng cepat, "ini, aku belikan untukmu," dia menyodorkan satu cone es krim tiga warna. Biru, pink, dan kuning.

"Uwah eth klim!" Sepasang mata bulat itu langsung berbinar ketika melihat makanan kesukaannya itu, "tapi tunggu, kok walnanya banyak? Palthu ya?"

"Palsu?"

"Aku thelalu beli eth klim thatu walna, di menu-menu juga aku thelalu liat kalau eth klim itu thatu walna."

Seketika, Jaemin mendengus malas, sepertinya bukan hal yang benar bicara dengan bocah usia 3 tahun yang pemikirannya sebodoh itu seperti anak ini. "Terserah, yang jelas aku membelinya di paman es krim depan sekolahmu. Ini rasa bubble gum, stroberi, dan pisang."

"Wah ada tiga latha?! Kok aku balu tau kalau eth klim lathanya boleh di campul?!" Anak perempuan itu menutup mulutnya tidak menyangka.

"Jangan banyak bicara, ini pegang saja," merasa terlalu bertele-tele, Jaemin menarik tangan Lee Jeha yang pendek dan menggenggamkan cone es krim itu, kemudian kembali memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaket.

"Em, telima kathih," Lee Jeha akhirnya tersenyum sumringah, meringis hingga sepasang matanya membentuk eye smile.

Dan detik itu pula, Na Jaemin tercekat di tempatnya saat melihat senyuman itu. Rasanya– ah tidak. Anak laki-laki itu kemudian menggelengkan kepala.

"Sepertinya ini terakhir kali kita bertemu," dia mulai bersuara, membuat Jeha yang sdeang menjilat es krimnya, menoleh.

"Makthudnya?"

"Aku akan pergi dari Korea."

Berpikir sejenak, Lee Jeha kemudian ber-oh sembari menganggukkan kepalanya, "ah, kamu kan thuka keliling dunia."

Mendengarnya Jaemin hanya tersenyum tipis, sangat samar, hingga kalian tidak akan menyangka bahwa anak laki-laki itu sedang tersenyum. "Tapi sepertinya... suatu hari nanti kita akan bertemu lagi."

"Benalkah?"

"Entahlah, hanya firasat," Jaemin mengangkat kedua bahunya.

"Tuan Na!"

Saat keduanya sibuk berbincang, ada seorang anak lagi yang menengahi mereka. Jaemin menoleh ke samping, dan Lee Jeha yang berada di dalam kelas, berusaha melihat melalui sela-sela jeruji siapa itu yang datang, namun sayangnya kepalanya tidak muat.

Seorang anak laki-laki yang berlari kecil menghampiri Na Jaemin, namun saat dia menoleh ke arah jendela dan mendapati sosok Lee Jeha, dia agak terkejut.

"Dia siapa, Tuan?"

Jaemin diam beberapa saat, melirik Lee Jeha yang sibuk makan es krim, lantas menggeleng. "Bukan siapa-siapa."

"Teman anda kah?"

"Kamu thiapa?"

"A-apa?" Laki-laki yang baru datang itu mengangkat kedua alisnya ketika mendapat pertanyaan dari Lee Jeha.

"Dia cadel, dia bertanya kamu siapa," Jaemin membenarkan.

"O-oh..." anak laki-laki yang sepertinya teman Na Jaemin itu sempat menahan tawa, "aku Ju Haknyeon."

"Teman Nana?" Tanya Jeha lagi.

"Apa?"

"Iya," Jaemin menyahutnya dengan cepat, kemudian dia menoleh pada anak laki-laki dengan kaos lusuh dan celana kumal yang sobek di beberapa bagian itu, "ada apa?"

Tersadar, Ju Haknyeon baru ingat dengan perihal utamanya menemui Na Jaemin, "kapal kontainer dengan tujuan Beijing akan berangkat besok subuh, jadi kita harus segera berangkat ke Busan sekarang."

Mendengar penjelasan Ju Haknyeon yang sama sekali tak bisa Lee Jeha mengerti, Jaemin hanya menganggukkan kepalanya, "baiklah," kemudian dia menoleh kearah anak perempuan itu, "aku akan pergi sekarang."

"Oh? Em... i-iya."

Jaemin tersenyum, kali ini benar-benar seulas senyum yang nyata, "semoga kita bisa bertemu lagi, kamu mungkin tidak akan mengingatku, tapi aku tidak akan melupakanmu."

Setelah mengucapkan sepenggal kalimat itu, Na Jaemin bergegas pergi, meninggalkan Lee Jeha yang agak terkejut karena dua anak laki-laki di depannya yang tiba-tiba berlari, seperti diburu-burui.

Dia mencoba melongokkan kepalanya keluar jendela, tapi tak bisa, sampai akhirnya anak perempuan itu hanya pasrah dan melengkungkan bibirnya ketika tak bisa melihat kepergian anak laki-laki bernama Na Jaemin itu.

"Dadah, Nana."


***


"Ini bacanya apa Jeha?"

"Bayam."

"Ini?"

"Thepeda."

"Kalau ini?"

"Bebek."

"Loh bukan, kan udah ada tulisannya ayam."

"Tapi ini bukan ayam, pa." Anak perempuan itu mengangkat kepalanya ketika mendengar suara Sang ayah. Mereka duduk di karpet saat itu, sedang belajar bersama.

"Ini ayam, tuh ada tulisannya, baca kan?" Jeno kembali menunjuk gambar hewan yang berada di buku, dan di bawahnya memang ada tulisan ayam. "Ini anak ayam," ujar Jeno lagi.

"Tapi ayam enggak gini..."

"Oi bocah, mau?"

Keduanya yang sedang berdebat kecil, menoleh bersamaan saat ada seseorang yang menengahi mereka. Jeha mengangkat kepala, mendapati seorang pria bertubuh jangkung yang ikut duduk di karpet, membawa semangkuk patbingsu.

"Wah mau om!" Jeha yang memang sesuka itu pada es, menghampiri Guanlin dan duduk di pangkuannya.

"Lo napa kaga pulang-pulang sih?" Jeno mendengus ketika melihat kedatangan Guanlin, sejak tadi dia sudah menahan rasa kesalnya.

"Gue mau main sama nih bocah kok."

"Lo beneran segabut itu ya," cela Jeno.

"Dekati dulu anaknya, baru ibunya," enteng Guanlin.

"APA LO BILANG?!" Jeno berteriak marah ketika mendengar kalimat terakhir Guanlin, teriakan itu membuat Jeha kecil tersentak.

"Papa apa thih, kaget!" Anak itu mendengus, Jeno kemudian langsung terdiam dan menghela kesal.

"Santai elah, serius amat lo."

"Gak lucu," desis Jeno.

Guanlin kemudian mengabaikan Jeno, tak tertarik untuk adu mulut dengan kepala Keluarga Lee tersebut, dia memilih untuk menyuapi Jeha kecil dengan patbingsunya.

"Om om, ini apa coba?" Tanya anak perempuan itu tiba-tiba, dia menunjuk gambar yang diperdebatkan oleh dia dan ayahnya tadi.

"Ayam, kenapa?"

"Ih!" Gadis kecil itu mencebik kesal.

"Napa dah? Kan bener, noh ada tulisannya."

"Tapi om, ini bebek, liat deh itu mulutnya, kaya bebek, telus walnanya kuning," Jeha menunjuk-nunjuk gambar itu.

Jeno yang penasaran, tampak mengerutkan kening dan memerhatikan gambar itu lebih dekat, "i-iya sih... paruhnya mirip punya bebek, tapi kakinya nggak ada selaput."

"Ye kaga bisa gitu, kalo ayam ya ayam, noh udah ditulis sama yang buat buku. A-Y-A-M." Guanlin menyambar buku itu dari tangan Jeno.

"Tapi om–"

"Bisa baca kan? Coba ikutin om, ayo. A," Guanlin menunjuk huruf itu satu persatu.

"A," Jeha mengikutinya.

"YAM."

"YAM."

"AYAM."

"BEBEK."

"AYAM WOY! MASIH AJA BEBEK MAH ELU!" Guanlin yang kesal, mendorong punggung anak kecil itu hingga jatuh dari pangkuannya.

"Heh jangan dorong-dorong anak gue!" Jeno marah, tak terima.

"Ta-tapi om, ini bebek, ayam enggak gini."

"Ya tapi yang nulis buku maunya ini ayam, gimana dong?!" Guanlin mulai emosi.

"Ya kan aku yang beli bukunya, aku maunya bebek, kalena ini emang bebek!"

"GAK USAH MENYIMPANG KODRAT DAH! INI TUH AYAM! ADA TULISANNYA!"

"TAPI ITU JELATH GAMBAL BEBEK! MUNGKIN WAKTU NULITH NAMA HEWANNYA TYPO!"

"BODO AMAT YE BOCAH OGAH GUE NGOMONG SAMA LU AH!"

Guanlin dan Lee Jeha adu mulut, Jeno yang melihatnya hanya tercengang di tempat. Selain tidak menyangka bagaimana anak perempuannya bisa menjawab seperti itu, dia juga tak habis pikir dengan Guanlin yang bisa-bisanya berdebat dengan anak usia 3 tahun.

Berdiri dari duduknya, Guanlin menatap kesal kearah Lee Jeha yang cemberut di bawahnya, hingga akhirnya pria itu memilih duduk di sofa.

"Ada apaan sih ribut banget?"

Karena mendengar keributan di ruang tengahnya, Jung Jeha yang sibuk mencuci piring, bergegas masuk dengan langkah tergopoh. Di ruang tengah itu, dia bisa melihat Guanlin yang duduk di sofa, Jeha kecil yang cemberut kesal, dan Lee Jeno yang tercengang sambil duduk diatas karpet.

"Ada apa?!" Seru perempuan itu.

Jeno menoleh kearah istrinya, kemudian menggelengkan kepala sembari mengangkat bahu. Dia sendiri tidak tahu harus berkata apa.

"Udah ah, gue mau ke rumah Jaehyun aja," Guanlin kemudian berdiri.

"Lo kayanya beneran segabut itu ya," Jeno mendengus tidak menyangka.

"Mau ke rumah Kak Jae? Gue titip celana buat dia ya? Celana jeans-nya yang dipinjem Jeno kemaren lusa baru kering."

"Oke," Guanlin mengangguk, kemudian Jung Jeha segera berbalik untuk mengambil celana milik kakaknya.

"Om om," Lee Jeha menarik ujung celana Guanlin, membuat pria itu menoleh, "ikut dong ke lumah Om Jae."

"Yee bocah, tadi aja kemusuhan lu sama gue," dengus Guanlin.

"Ya maap om," Jeha mengerucutkan bibirnya.

"Yaudah ayok," Guanlin akhirnya membungkuk, menggendong anak kecil itu dengan mudah.

"Holeee!!!"

"Jangan lupa lo balikin anak gue," sengit Jeno.

"Gue jual ke om om pedo ntar."

"Lo yang pedo perasaan."

"Bacot bangsat."

"Jaga omongan lo njing ada anak gue!"

"Lo juga ngaca dong tolol!"

Duak! Duak!

"Kalian berdua sama aja!!"

Jung Jeha yang tiba-tiba datang, memukul kepala kedua pria itu bergantian, membuat keduanya sama-sama mengaduh. Perempuan itu tak habis pikir bagaimana bisa mereka saling mengumpat di depan anak kecil?

"Udahlah, gue pergi dulu," Guanlin mendengus, kemudian menyambar celana di tangan Jung Jeha dan segera berbalik setelah melayangkan tatapan tajam kepada Jeno.

Sampai di usia seperti ini, Jeno dan Guanlin sama sekali tak berubah. Mereka seperti kucing dan anjing, tidak pernah bisa akur, dan selalu saja ada yang diperdebatkan dan tak jarang berakhir baku hantam.

"Jeno, nanti kalo mesin cucinya mati tolong kamu buang airnya terus ganti air baru dan kasih deterjen ya, aku mau ke atas dulu."

Jeno hanya mengangguk mendengar kalimat istrinya, kemudian memerhatikan Jung Jeha yang sedang membereskan buku-buku dan alat tulis anaknya yang tercecer diatas karpet, membawanya ke lantai dua.

Ah, bahkan di hari senggang seperti ini istrinya itu selalu disibukkan dengan pekerjaan rumah tangga. Jeno menghela napas, kemudian meraih mangkuk patbingsu diatas meja dan menyendoknya sedikit demi sedikit, lalu berjalan menuju dapur.

Jeno memasukkan mangkuk es itu ke dalam kulkas, kemudian mengintip mesin cuci, padahal cuciannya tidak banyak, kenapa harus dicuci sekarang? Pria itu mendengus pelan. Meskipun mesin cucinya belum waktunya mati, Jeno mematikannya lebih dulu, kemudian mengisinya lagi dengan air dan memberinya deterjen, sesuai instruksi Jung Jeha.

Toh sama saja.

Meninggalkan mesin cuci dan dapur, Jeno pergi ke ruang depan, menutup pintu rumah yang tak ditutup oleh Guanlin, mematikan televisi, dan menaiki tangga, menuju lantai dua, kamarnya.

Dia mendapati sosok istrinya yang terlihat sibuk– meskipun sepertinya tidak sesibuk itu, Jung Jeha terlihat baru saja mengganti sprei kasur mereka. Padahal seingat Jeno baru diganti 5 hari yang lalu. Entah istrinya orang yang terlalu suka bersih, atau terlalu suka menyibukkan diri.

Ah, bahkan jika dilihat dari belakang, istrinya sangat sempurna.

Menutup pintu kamar setelah masuk, pria itu melangkah mendekati istrinya, kemudian dengan sekali gerakan, dia memeluk sosok itu dari belakang, membuat gerakan Jung Jeha terhenti. Perempuan itu menunduk, menatap sepasang tangan Jeno yang melingkar di pinggangnya.

"Kenapa Jen?"

"Emm..." pria itu hanya menggumam, lalu mengendus aroma leher istrinya.

"Jeno," Jeha bergerak pelan, saat dirasa hembusan napas Jeno dilehernya membuatnya agak risih.

"Aku kangen," bisik Jeno, suaranya terdengar berat dan parau.

Mendengus geli, perempuan itu membalikkan tubuhnya, membuatnya berhadapan langsung dengan Jeno yang terlihat menatapnya dengan aneh. "Kenapa?" Tanyanya, mengalungkan tangannya di leher suaminya itu.

"Nggak ada orang," Jeno tersenyum penuh arti, membuat Jeha tertawa kecil.

"Aku pikir kamu harus berterimakasih sama Guanlin karena udah ajak anak kita pergi," gelaknya pelan, kemudian mengecup bibir Jeno dengan cepat.

"Dia ikut sendiri, bukan Guanlin yang ngajak," Jeno sempat mendengus, masih kesal jika mengungkit masalah pria yang suka datang ke rumahnya itu.

"Udah, kalian jangan berantem terus, aku yang capek liatnya."

Tertawa kecil akhirnya, Jeno memilih untuk tak membalas kalimat istrinya dan memangkas jarak mereka sepenuhnya. Dia memeluk pinggang itu, mencium dahi, ujung hidung, hingga pipinya. Menciumi seluruh wajah itu perinci dengan gerakan pelan, membuat Jung Jeha hanya bisa pasrah sembari memejamkan mata.

Hingga akhirnya ciuman itu berakhir di bibir.

Dikecupnya beberapa kali bibir istrinya, kemudian melumat bibir bawahnya perlahan, mengeratkan pelukannya. Jeha pun melakukan hal serupa, dia sempat meremat rambut belakang Jeno, melumat bibir atas dan bawah suaminya bergantian.

Mungkin karena telah larut dalam ciuman itu, Jeno membawa Jeha ke tempat tidur, membaringkannya tanpa melepaskan ciuman mereka. Lalu tangannya pun bergerak untuk melepaskan satu persatu kancing blus istrinya.

Ciuman itu terlepas, Jeno mencium rahang istrinya, hingga menggigit pelan telinga itu. Membuat Jeha menggertakkan giginya diam-diam sembari meremat kaos Jeno.

"J-Jen..."

"Hm?" Jeno menggumam, hingga kini ciumannya berpindah ke leher jenjang wanita itu, membuat Jeha mendongakkan kepalanya mau tak mau.

Rasanya setiap sentuhan Jeno membuatnya gila. Mulai bagaimana pria itu menciumnya, sentuhan tangannya, hingga deru napas panasnya. Ah, rasanya jika dipikir-pikir keduanya memang sudah lama tak menghabiskan waktu berdua.

Jeno mencium bibir Jung Jeha sekali lagi, melumatnya beberapa kali, hingga dia kembali melepas ciumannya dan sedikit menjauh, setengah berdiri diatas tubuh istrinya yang separuh kancing blusnya telah terbuka.

Tatapan Jeno terlihat err... liar.

Dia melepaskan kaos hitamnya sendiri, kemudian membuangnya begitu saja, lalu kembali menindih Jeha dan menciumnya sekali lagi. Dalam hitungan detik, perempuan itu merasakan bahwa hawa tubuhnya semakin naik. Ciuman Jeno lama kelamaan dirasa semakin menuntut, membuatnya mau tak mau harus mengikutinya. Dengan sedikit gemetar, dia meraih bahu Jeno yang begitu kekar, kemudian meraba otot perut suaminya yang begitu kentara.

"Aku cinta sama kamu," bisik Jeno tepat di telinganya, hingga sanggup membuatnya untuk merinding. Tangan kekarnya bergerak menelusuri blus istrinya, melanjutkan membuka kancing yang tinggal separuh jalan itu.

Wajah Jung Jeha sudah memerah. Saking panasnya, hingga pipi, ujung hidung, sampai telinganya tampak memerah. Karena dia berkulit putih, Jeno dapat melihatnya dengan jelas sekali.

Tangan lentik nan kurus Jeha bergerak meraih wajah Lee Jeno, mengusap rahangnya, mengelus kedua pipi itu. Menatap kedua sorot mata Jeno yang begitu tajam dan selegam sayap gagak. Ada sebuah emosi yang tergambar disana.

"Aku juga... cinta sama kamu," pelan wanita itu, tersenyum setulus mungkin, kemudian memasrahkan diri menyerahkan dirinya untuk suaminya, Lee Jeno.




- fin - 

Continue Reading

You'll Also Like

247K 33.9K 24
Sederhana saja. Hanya tentang kehidupan tiga bersaudara putra Pak Bratadikara yang akan membuatmu harus memutuskan antara dua pilihan, yakni mengingi...
81.5K 6K 20
Semua bermula dari nomor tak di kenal yang meminta pertolongan pada mereka untuk datang ke alamat yang sudah dikirimkan, tanpa tau apa yang akan terj...
91.5K 9.9K 41
FREEN G!P/FUTA • peringatan, banyak mengandung unsur dewasa (21+) harap bijak dalam memilih bacaan. Becky Armstrong, wanita berusia 23 tahun bekerja...
61.6K 5.5K 14
[ RION KENZO MIKAZUKI ] adalah ketua mafia dari Mikazuki AV Rion kenzo Mikazuki mafia Italia, ia terkenal dengan kekejamannya terhadap musuh maupun...