[1] 20봄 | TWENTY SPRING✔

بواسطة audreymilk_

11.3K 2.1K 1.4K

[Completed] Kehadiran seseorang tak selamanya membuat mereka akan selalu di samping kita. Terkadang seseorang... المزيد

Prolog
01 : Dua Arah Mata Angin
02 : Langit Yang Sama
03 : Lilin Dalam Hujan
04 : Bingkai Usang Dalam Kotak
06 : Cermin Mimpi
07 : Perjalanan Kereta Masa Lalu
08 : Album Berantai
09 : Ingatan Dalam Sangkar
10 : Gagak Menyalak
11 : Kerang Dalam Lautan
12 : Halusinasi
13 : Kisah di Kala Senja
14 : Roller Coaster
15 : Berharga
16 : Melepas Merpati
17 : Mutiara yang Retak
18 : Apa Aku Memikirkanmu?
19 : Sebuah Kencan
Bonus - Instagram (Spesial Malam Minggu)
20 : Pertemuan Keluarga
21 : Genggaman yang Terlepas
22 : Bunga di Musim Gugur
23 : Kembang Api
24 : Hujan dan Tetesan Airnya
25 : Aku Tidak Membencimu
26 : Sebuah Bahagia dari Rasa Bersalah
27 : Haruskah Kita Jalan Bersama?
28 : Akhir Menuju Awal
29 : Semoga Harimu Baik
30 : Lukisan Selamat Tinggal
31 : Waktu yang Telah Usai
32 : Rasi Bintang yang Indah
33 : Bagaimana Musim Bagimu?
34 : Ketika Musim Semi Datang
35 : Untuk Musim Semiku
Epilog : Kau adalah Musim Semiku
Bonus Chapter : Sebelum Musim Semi Pergi
Bonus Chapter : Spring Again

05 : Memeluk Boneka Berduri

287 63 45
بواسطة audreymilk_

"Memelukmu adalah cara termudah untuk sampaikan rasaku. Tapi semakin lama aku lakukan, rasa nyaman itu perlahan memudar. Tetap menjadikanmu dalam dekapku secara perlahan menciptakan sebuah luka."

***

"Kau mau menemui pacarmu?"

Johnny mendongak begitu ia menyimpan ponselnya. Na Yuta yang sedang duduk di hadapannya kini menopang dagunya dengan kedua tangan.

Suara musik yang berdentum juga lampu warna-warni yang menerangi seisi ruangan seolah sedang memenuhi seluruh isi kepala lelaki itu. Johnny meraih gelas cola-nya dan meneguk sisanya sampai habis.

"Dia masih sibuk kerja."

"Lembur lagi?" Johnny memalingkan muka dan menatap ke arah DJ di depan sana. Yuta tersenyum tipis melihat reaksi Johnny. "Ternyata sama saja. Mau dia di New York atau pun disini, dia tidak pernah mau menyisihkan waktunya."

Johnny mengedikkan bahunya. "Aku bisa paham kalau dia sibuk.."

"Pekerjaanku dan dia kurang lebih sama." Ucap Yuta sambil meneguk sedikit bir miliknya. "Aku setiap malam menemanimu disini. Ini bukan karena dia sibuk, tapi bagaimana dia setidaknya mau menyisihkan waktu untuk bertemu denganmu."

Johnny termenung cukup lama, menatap gelasnya yang telah kosong. Kalau dipikir kembali, memang Sejeong paling susah untuk ditemui walaupun sering berkirim pesan.

Hah, harusnya Johnny tidak dengan cuma-cuma mendengarkan Yuta walaupun lelaki itu merupakan teman baiknya. Tapi disisi lain, ucapannya juga bisa ia benarkan.

Ia menggelengkan kepalanya kuat, berusaha menepis pikiran-pikiran buruk tentang kekasihnya. Haruskah ia mendatangi Sejeong?

"Sepertinya aku harus pergi, Yuta."

Yuta tersedak, mengusap mulutnya yang basah. "Kau sungguh ingin menemuinya?"

"Mm.."

"Dasar budak cinta."

Johnny tersenyum tipis, menepuk bahu Yuta sambil lalu meninggalkan lelaki itu yang menatapnya miris. Persetan dengan hubungan keduanya, Yuta hanya bisa berdoa yang terbaik untuk teman baiknya itu.

Johnny memutuskan untuk memberi kekasihnya kejutan, seperti yang biasa perempuan itu lakukan untuknya. Dia tidak berniat mengganggu, hanya ingin membelikan sesuatu untuk dimakan perempuannya saat sedang lembur.

Johnny mampir ke salah satu toko kue, membeli satu kotak makaron kesukaan kekasihnya. Tidak jauh dari sana, Johnny sudah sampai di kantor Sejeong. Beruntungnya, untuk masuk ke kantor itu tidak begitu sulit. Ia hanya melapor pada resepsionis lalu salah satu dari mereka menemani Johnny untuk menemui Sejeong.

"Ini ruangannya.." Ujar resepsionis itu sambil memeriksa ke dalam, sedang memanggil seseorang. Setelahnya, resepsionis itu meminta Johnny untuk menunggu dan kemudian pergi. Johnny dengan perasaan berdebar menunggu kekasihnya sampai tak berapa lama seseorang keluar, tapi dia bukan Sejeong.

Entahlah ia tidak kenal dan tidak peduli juga dengan siapa perempuan berambut pendek yang sedang berdiri dihadapannya dan menatapnya dengan gugup. Yang jelas, kalimat yang terucap dari mulut perempuan itu membuat Johnny berusaha mengendalikan dirinya untuk tidak marah di tempat.

Sejeong tidak ada di kantornya, sedang keluar dengan seseorang yang Johnny sudah tebak siapa dia. Perempuan itu hanya berkata alamat dari tempat makan yang di datangi Sejeong dan tanpa membuang waktu lagi ia segera menuju kesana.

Benar saja, seperti yang dikatakan perempuan itu. Tidak cukup jauh karena kedai itu juga dekat dengan kantor dan dia bisa melihat Doyoung dan Sejeong sedang duduk berdua disana. Tanpa ragu pula Johnny segera mendatangi mereka.

"Kim Sejeong?"

Keduanya spontan menoleh dan terkejut melihat siapa yang datang. Johnny bisa melihat Sejeong yang benar-benar terkejut, sama dengan Doyoung walaupun lelaki itu dengan cepat mengubah ekspresinya.

"Oppa? Kenapa kau ada disini? Bagaimana kau bisa tahu aku ada disini?"

Johnny tersenyum asimetris sambil mengangkat bungkusan berisi makaron yang tadi dia beli. "Memberi kejutan, seperti yang biasa kau lakukan. Temanmu yang memberi tahu lokasimu." Tatapannya tidak lepas menatap Doyoung penuh ketidaksukaan. "Tapi justru aku yang terkejut disini.."

"Aku bisa jelaskan-"

"Jadi ini yang namanya kerja?"

Sejeong terbungkam. Ia melirik Doyoung yang terlihat sangat tenang di tempatnya. Lelaki itu melirik Sejeong, memberi isyarat untuk pergi saja dengan kekasihnya sebelum suasana semakin panas.

"Aku pergi dulu.."

Doyoung mengangguk sambil melambaikan tangan. Sekilas ia juga melihat Johnny dengan tatapan yang biasa-biasa saja. Toh, memang dia tidak salah. Mereka makan berdua ini karena punya maksud, bukan karena sedang bermain di belakang.

Sejeong menggandeng lengan Johnny dan mengajak lelaki itu keluar dari sana. Beruntung lelaki itu tidak memberontak dan ikut saja dengan Sejeong.

Mereka sudah cukup jauh dari kedai itu. Sejeong menarik tangannya dan berdiri di hadapan kekasihnya. "Kenapa kau datang kesini?"

"Kenapa?" Johnny mendengus remeh. "Kau tanya kenapa aku datang? Kim Sejeong! Kekasihmu ini sedang ingin memberi kejutan. Aku yang harusnya bertanya, kenapa kau justru makan di luar dengannya? Kau bisa bilang padaku dan aku akan datang."

"Bukan begitu-"

"Lalu? Kau tidak sedang berbohong soal lemburmu ini, kan?"

"Kau bicara apa?! Aku sungguh lembur!"

"Kalau begitu, setidaknya tolong sempatkan waktu membalas pesanku! Kau bisa makan berdua dengan temanmu itu tapi kenapa hanya membalas pesanku saja kau seperti tidak punya waktu sama sekali?!"

Napasnya tercekat. Sejeong sampai menarik napasnya dalam dan menghembuskannya dengan berat. Sejeong salah. Ia benar-benar sadar sikap tidak pedulinya ini terus menjadikan Johnny sebagai korban. Benar dia rajin menghubungi Johnny, tapi untuk mengabaikan pesan lelaki itu juga bukan hal jarang baginya. Sering. Justru sangat sering ia lakukan.

"Kau tahu alasanku cemburu walaupun kau sering mengatakan kalau rasa cemburuku ini tanpa alasan?" Johnny menghela napasnya sejenak. "Sikap tidak pedulimu yang membuatku takut, Sejeong. Kau bisa sangat peduli dengan temanmu tapi tidak denganku."

"Aku peduli padamu.."

"Begitu?" Johnny sekali lagi tersenyum remeh lalu meraih tangan Sejeong. "Kalau begitu sekarang pulang denganku."

Sejeong membelalakkan matanya. Konyol. Dengan cepat pula ia menggelengkan kepala, menolak atas permintaan Johnny yang sebenarnya terdengar seperti sebuah perintah. Spontan pula ia menahan tangannya. "Apa-apaan kau ini? Aku peduli padamu tapi bukan berarti aku harus menurut saat aku ada pekerjaan!"

"Kalau kau tidak mau, maka biarkan aku menemanimu-"

"Oppa!"

Sejeong menarik tangannya kasar dan berhasil terlepas dari genggaman erat kekasihnya. Ia tidak bisa lagi menanggapi dengan tenang. Matanya menatap nyalang dan siap meledak kapan saja. Tidak-tidak. Sejeong harus tenang. Ia harus benar-benar menahan amarahnya.

"Dengar." Ia meraih tangan Johnny dan menggenggamnya. "Aku minta maaf, oke? Sungguh, oppa! Aku benar-benar harus bekerja. Aku butuh mereka.."

Johnny masih menatapnya dengan ekspresi yang sama, seolah tidak ingin seperti Sejeong yang berusaha menenangkan pikirannya. Bahkan dia tidak tahu apa tindakannya ini bisa disebut kekanakan atau tidak. Entahlah.

"Permisi.."

Baik Johnny maupun Sejeong, keduanya sama-sama menoleh. Seseorang yang menginterupsi mereka itu sedang tersenyum tenang sambil membetulkan kacamata bulat yang bertengger di wajahnya. Ia berdeham sejenak untuk meminimalisir rasa gugupnya.

"Apa lagi?"

Doyoung tersenyum menanggapi Johnny. Sedangkan Sejeong sudah menatapnya dengan perasaan dongkol. Demi Tuhan, Sejeong benar-benar kesal dengan Doyoung yang datang diwaktu yang kurang tepat.

"Sebelumnya aku minta maaf dengan mengajak Sejeong dan menengahi obrolan kalian sekarang tentunya. Sebenarnya tadi Sejeong tidak mau keluar karena pekerjaannya tapi aku menjemputnya paksa.."

"Harusnya kau tidak perlu ikut campur, Doyoung-ssi.."

"Kali ini perlu. Sejeong temanku dan besar kecil alasan, karena aku kalian bertengkar. Aku berbicara tentang ibunya, jadi kami perlu meluruskan kesalahpahaman." Doyoung tersenyum sambil membungkukkan badan sekilas, tulus meminta maaf. "Jadi, tolong biarkan Sejeong kembali bekerja. Aku tahu seberapa besar yang dikerjakannya. Apalagi menarik paksa dia. Aku tidak suka."

"Apa?"

"Kau kasar dengan Sejeong. Aku tidak suka."

Sialan. Sejeong mengumpat dalam hati. Rasanya ingin menghajar lelaki itu saat ini juga. Tolonglah, Kim Doyoung!

"Doyoung.."

"Kau menantangku?"

"Aku hanya bermaksud agar kalian tenang-"

Suara pukulan terdengar keras dengan salah satu mereka terpental ke samping akibat pukulan tersebut. Dua lainnya yang menyaksikan hanya membelalak terkejut, terutama salah satunya sebagai pelaku yang memukul orang itu.

"Kim Sejeong?!"

Doyoung sempat menahan tubuh Sejeong yang terhuyung akibat pukulan keras yang diberikan Johnny. Harusnya pukulan itu untuk Doyoung. Bagaimana bisa Sejeong tiba-tiba menghalanginya?

Sejeong menyentuh sudut bibirnya. Rasanya perih dan ia bisa merasakan bibirnya berdarah. Sialan. Lagi-lagi ia hanya bisa mengumpat dalam hati. Pandangannya sebentar-sebentar mengabur lalu kembali fokus. Seberapa benci Johnny pada Doyoung sampai-sampai pukulan yang dilayangkannya ini terasa bukan main-main?

"S-sejeong.."

Johnny segera mendatangi Sejeong, menakup wajah perempuan itu untuk melihat bagaimana kondisinya. Sudut bibirnya berdarah. Disaat itu pula Johnny benar-benar merasa bersalah.

"Kalaupun bukan aku, memukul orang juga perbuatan yang salah.."

Doyoung melihat sekitarnya. Bagus sekali, sekarang mereka jadi pusat perhatian. Dengan cepat ia melepas jasnya, menutupi kepala Sejeong dengan itu. Bukan waktunya lagi bagi Johnny untuk marah dengan apa yang dilakukan Doyoung, laki-laki itu sedang melindungi kekasihnya yang tidak suka menjadi pusat perhatian.

"Aku akan bilang pada Ten untuk mengirim pekerjaanmu. Kau harus pulang."

"Terima kasih.."

Doyoung dan Johnny saling menatap sekilas lalu Doyoung segera menjauh, menghentikan sebuah taksi untuk mereka. Doyoung membukakan pintu untuk mereka, membiarkan saja Sejeong dengan kekasihnya. Ia hanya bisa ikut campur sampai disini. Sungguh, dengan Johnny sampai melayangkan sebuah pukulan benar-benar diluar dugaannya. Semoga Sejeong baik-baik saja.

Setelah berucap kata hati-hati dan taksi itu pergi sampai hilang dari pandangannya, Doyoung bergegas memasuki kantornya untuk memberi tahu kabar tersebut pada rekan kerja Sejeong.

***

Lampu ruangan itu tampak temaram menemani dua insan yang sedang saling bungkam. Mereka biarkan jendela kamar itu ikut membantu penerangan, barangkali bulan yang terlihat jauh disana bisa membantu mencairkan suasana diantara keduanya.

Sang lelaki sejak tadi memandang kekasihnya itu, menemaninya yang sedang serius di depan layar laptop. Padahal kondisinya sedang tak baik, tapi pekerjaan membuatnya berlaku sebaliknya. Menebus absennya yang tiba-tiba harus pulang ke rumah katanya.

Insiden tadi sangat memalukan. Sangat. Ia sebagai pelaku utama tidak bisa memaafkan diri sendiri. Harusnya ia tidak membiarkan emosi memenanginya. Sekarang, perempuan yang amat ia cintai ini jadi korbannya. Diluar siapa yang salah atau benar, membiarkan tangannya ini melayangkan sebuah pukulan merupakan hal yang tidak benar.

Luka bekas pukulan itu bisa cepat hilang, tapi rasa malu yang perempuannya rasakan mungkin akan sulit terlupakan.

Suara jam berdetak memecah keheningan diantara mereka, sudah sejak beberapa jam yang lalu. Entahlah, lelaki itu tidak menghitung seberapa lama waktu terlewat, yang jelas tubuhnya lelah. Dia tidak seperti kekasihnya yang betah duduk di depan layar seharian. Ia putuskan menilik jam ponselnya, sudah hampir jam tiga pagi.

Sial. Hari ini ia harus ke toserba jam 6 pagi. Dia tidak mungkin meninggalkan kekasihnya, tapi sudah jauh-jauh hari ia berjanji untuk memenuhi jadwalnya.

"Kim Sejeong?" Perempuan itu bergumam tanpa mengalihkan perhatiannya. "Pekerjaanmu masih banyak?"

"Sedikit lagi."

Johnny meringis pelan, jawaban yang sama setiap ia bertanya. Apa Sejeong sungguh tidak lelah? "Kau ingin sarapan sesuatu nanti?"

"Tidak tahu."

"Telur gulung?"

"Boleh."

"Nasi goreng?"

"Boleh."

Johnny menghela napasnya. Sejujurnya dia tidak tahu apakah Sejeong marah padanya atau memang hanya merespon singkat karena fokus bekerja. Ekspresinya pula datar, sama sejak tadi waktu ia membuka laptop. Pandangannya fokus pada luka di sudut bibir kekasihnya yang sudah mulai mengering.

"Masih sakit?"

"Menurutmu?"

"Bisakah kita bicara sebentar..?" Johnny memberi jeda sejenak sebelum melanjutkan. "Aku.. salah dengan memukulmu-walaupun aku tidak bermaksud. Tapi bisa kau jelaskan kenapa kalian bisa makan berdua seperti tadi?"

Apa yang Johnny ucapkan berhasil membuat Sejeong menghentikan kegiatannya. Ia merotasikan bola matanya, melirik kekasihnya itu dengan datar. "Doyoung sudah mengatakannya padamu. Kami bicara soal ibuku."

"Apa aku tidak boleh tahu pembicaraan soal ibumu itu?"

Sejeong terdiam. Ia harus mengalah dan menjelaskan. Toh, sebenarnya itu bukan hal yang terlalu pribadi untuk disembunyikan. Pekerjaannya pula sudah hampir selesai. Mengobrol sejenak dengan Johnny mungkin tidak akan memakan waktu lama.

Ia kemudian meletakkan sejenak laptopnya di meja lalu duduk menghadap kekasihnya. "Kemarin aku bilang pada ibuku kalau Doyoung sudah bertunangan. Ibuku memarahi Doyoung karena tidak mengabari. Hanya itu yang kami bicarakan. Lalu, aku tidak hanya berdua. Ada Jisun sebelumnya."

"Jisun?"

"Iya. Dia tunangannya Doyoung. Doyoung datang bersamanya."

"Tunangan? Doyoung sudah..?"

"Iya." Sejeong mendengus pelan. "Lagian, sebegitu takutnya kalau aku dan Doyoung mungkin ada hubungan lebih? Aku harus berkata berapa kali untuk meyakinkanmu?"

Johnny menunduk, bermain dengan jari-jari tangannya. "Maaf.."

Sejeong menatap datar kekasihnya. Entah mengapa ia merasa janggal mendengar permintaan maaf Johnny. Ini salah.

"Tidak perlu meminta maaf.." Lelaki itu mendongak dengan cepat. Ia melihat Sejeong yang mendekat ke arahnya, kemudian memeluk pinggang lelaki itu sambil menyembunyikan wajahnya. Hal yang paling disukai Sejeong adalah memeluk tubuh besar kekasihnya ini. Nyaman. "Soal ucapanmu tadi.. Maaf kalau aku memang sering mengabaikanmu.."

Johnny tertegun cukup lama, lalu merangkul tubuh mungil kekasihnya dan ikut memeluknya erat. Ia sandarkan kepalanya ke kepala perempuan itu dan mengusaknya gemas. Sama seperti Sejeong, ia juga selalu merasa nyaman dengan memeluk perempuannya.

Sejujurnya Sejeong sadar dengan sikapnya itu. Ia tidak mudah berucap kalimat manis untuk sekedar menghibur. Ia lebih suka melakukan tindakan langsung selagi dia bisa. Itu yang sering membuat ia dan Johnny salah paham. Setelah tadi mendengar Johnny yang meluapkan isi hatinya membuat Sejeong merasa bersalah. Ternyata ia belum berubah sama sekali untuk kekasihnya.

"Aku menyayangimu, Seo Johnny.."

Jantungnya berdebar hebat. Sejeong jarang mengucapkan kalimat manis. Sekalinya ia lakukan itu, Johnny tidak bisa menahan perasaan bahagianya. Semoga saja Sejeong tidak mendengar jantungnya yang sedang berpesta di dalam sana. Ini menyenangkan.

Bukankah menyenangkan dengan melihat mereka seperti ini?

***

Suara alarm ponsel berbunyi kencang sampai membuat Sejeong terlonjak dari tempatnya. Dengan tergesa-gesa ia meraih ponselnya yang tergeletak di meja lalu mematikannya. Tak lupa ia mengecek jam yang tertera pada ponsel tersebut.

Seketika ia bernapas lega. Masih jam 7 pagi.

Sejeong meregangkan tubuhnya sambil menguap. Tubuhnya terasa remuk setelah ia berhasil menyelesaikan pekerjaannya, ditambah dengan Johnny tadi yang tidak lepas memeluknya saat kembali melanjutkan pekerjaan. Tak tahu bagaimana sekarang ia justru berbaring di sofa dengan selimut menutupi sebagian tubuhnya.

"Johnny oppa?" Ia menuju dapur, mengecek kamar mandinya, lalu tidak lupa melihat kamarnya barangkali Johnny masuk kesana. Barulah ia sadar dengan makanan yang sudah tersedia di meja makan dengan sebuah catatan.

'Aku pergi dulu. Aku cuma bisa masak itu karena kau tidak punya apapun di kulkas. Nanti aku akan mengabarimu lagi, tolong balas pesanku, ya? -Johnny'

Sejeong mengulas senyum tipis membaca catatan tersebut sambil ia mengambil duduk di salah satu kursi meja-makan. Bulgogi, telur gulung, dan satu mangkuk nasi juga kimchi. Bahkan Johnny sempat memasak untuknya.

Mengingat lagi kalau jam 9 nanti ia ada meeting, Sejeong cepat-cepat untuk bersiap. Mandi, menyiapkan berkas cetak dan file-file yang ia kerjakan semalaman, juga berdandan sebaik mungkin. Tidak mungkin ia berpenampilan acak-acakan saat bertemu klien, kan?

Karena ia sudah terlalu membuang waktu dengan bersiap-siap, jam sudah menunjukkan pukul 8 lebih. Ia hanya bisa memakan beberapa suap dari yang Johnny masakkan untuknya, selebihnya ia pindahkan makanan itu pada kotak bekalnya. Hanya hal itu yang bisa ia lakukan dengan cepat. Urusan cuci piring bisa ia lakukan nanti atau kapanpun kalau dia pulang.

Dengan terburu-buru Sejeong keluar dari apartemen sampai ponsel yang sedang ia genggam itu berbunyi. Tanpa basa-basi pula ia segera mengangkat panggilan tersebut.

"Aku sudah di depan."

Tepat saat Sejeong keluar dari gedung apartemennya, tidak jauh dari sana dia melihat sosok lelaki dengan pakaian jas rapinya itu berdiri bersandar pada mobil silver dibelakangnya. Ia tersenyum sambil menurunkan ponsel yang menempel di telinganya dan melambaikan tangan ke arah perempuan itu.

Kim Doyoung datang menjemput Sejeong dengan mobilnya. Perempuan itu tersenyum tipis sambil kemudian berlari menghampiri lelaki itu.

"Aku tahu kau ada meeting. Tidak-tidak. Kita."

"Kau memang selalu paham situasiku."

Doyoung membukakan pintu samping pengemudi dan membiarkan Sejeong masuk terlebih dahulu. Setelahnya, ia segera memutar dan duduk di kursi pengemudi. Tanpa banyak bicara lagi ia langsung menancapkan gasnya untuk bergegas menuju kantor.

"Tidak ada yang tertinggal, bukan? Ten sejak tadi menerorku tentang file-file semalam."

"Tenang saja. Aku sudah pastikan berulang kali tadi. Kau tahu? Aku sampai tidak mandi dengan benar. Semoga saja bau badanku tidak tercium oleh klien-klien nanti."

Doyoung tertawa. "Benar kata ibumu, kau semakin pandai bicara."

"Klien-klien menyebalkan membuatku terlatih untuk bicara. Dan aku baru tahu kalau mengumpat itu cukup menyenangkan."

"Kau harus kurangi kebiasaan itu, Kim."

"Sebaiknya kau juga berkaca pada dirimu sendiri, Kim."

Mereka tertawa sampai salah satu dari mereka mengaduh, baru sadar kalau sudut bibirnya yang terluka masih belum baik-baik saja.

"Apa lukamu masih sakit?"

"Sepertinya aku tidak boleh tertawa."

"Bodoh. Siapa yang menyuruhmu tertawa, eoh?"

"Kau membuatku tertawa, Doyoung. Kau menyebalkan."

Setelahnya tidak ada percakapan lagi. Doyoung membiarkan Sejeong beristirahat karena mungkin semalaman ia tidak tidur dengan cukup juga luka di sudut bibirnya yang belum sepenuhnya mengering.

Tak berapa lama keduanya sampai di kantor mereka, memarkir mobil dalam basement kantor tersebut. Pukul 8.45 menit. Doyoung benar-benar berusaha untuk mengebut dan sampai dengan cepat.

"Tunggu!" Doyoung menahan lengan Sejeong saat perempuan itu hendak keluar dari mobil. Sejeong menatapnya bingung. Mau apa lagi?

Doyoung mengambil bungkusan plastik yang ia simpan dalam dashboard mobil, sampai Sejeong sadar apa yang hendak Doyoung lakukan.

"Kemarilah." Tanpa aba-aba lebih Doyoung segera meraih tengkuk Sejeong dan menariknya, membuat kedua wajah mereka seketika berjarak amat dekat. Doyoung mengulurkan jarinya dimana sudah ia oleskan sebuah salep luka yang tadi dibelinya.

Sejeong hanya terdiam saat Doyoung mulai mengoleskan salep pada lukanya. Jarak wajah yang begitu dekat membuat Sejeong merasakan hal aneh pada dadanya. Apalagi saat ia bisa merasakan deru napas lelaki itu menyapu permukaan kulit wajahnya.

"Apa selama ini Johnny seperti itu saat marah?"

"Ini yang terparah. Sejujurnya dia jarang untuk meluapkan marahnya. Biasanya ia hanya mengomel saja."

Doyoung selesai mengoleskan salep pada luka Sejeong. Dia meniup pada bagian luka di sudut bibir itu supaya salepnya cepat mengering.

"Kau tidak sikat gigi?!" Doyoung mengernyit mendengar ucapan Sejeong, lalu spontan menyentil dahi perempuan tersebut.

"Sadar dirilah. Kau juga bau badan."

Sejeong meringis pelan. Memang kalau urusan menghina Sejeong, Doyoung selalu lancar berbicara. Keduanya memutuskan segera keluar dari mobil dan menuju ruangan meeting. Mereka tidak boleh sampai terlambat.

"Kenapa kau menghalanginya memukulku?"

Sejeong melirik Doyoung yang berjalan di sampingnya. Masa bodoh kalau kedatangan mereka yang bersamaan ini sudah menarik perhatian banyak orang. "Itu masalahku. Sejujurnya aku marah denganmu karena ikut campur."

"Tapi aku tidak tahan. Dua kali aku bertemu dengannya dan saat itu pula aku melihatnya berperilaku seperti itu. Cemburu padaku? Yang benar saja.."

Sejeong mengedikkan bahunya. "Lalu? Aku harus memutuskannya?"

"Itu juga terserah padamu. Kau yang tahu apa yang membuatmu bahagia." Doyoung melebarkan langkahnya dan memotong jalan perempuan itu dengan tiba-tiba berdiri di hadapannya. Tentu saja Sejeong terkejut sampai kepalanya membentur dada bidang lelaki itu. Dengan kesal ia mendongak dan menatap Doyoung. Ah, mereka sampai lupa dimana mereka sekarang.

Tapi satu yang tidak bisa Sejeong abaikan. Tentang bagaimana Doyoung menatap lurus kearahnya sekarang membuat kondisi jantungnya tidak baik.

"Kau bahagia?"

Pertanyaan yang terlontar langsung dari mulut lelaki itu sukses membuatnya bungkam. Apa ini? Mengapa lidahnya kelu saat harusnya ia bisa langsung menjawab pertanyaan itu? Ia bahagia bersama Johnny. Harusnya kalimat itu bisa ia ucapkan dengan mudah.

Kemana dirinya yang dulu, selalu yakin tentang kebahagiaannya dan lelaki itu? Mengapa kini ia ragu?

"Kalian sedang apa?"

Keduanya kompak menoleh begitu seseorang menginterupsi. Segerombol orang dengan pakaian rapi mereka berjalan mendekat. Hanya dua orang yang paling mencolok berjalan di depan memimpin yang lainnya.

Jung Jaehyun sebagai Kepala Departemen Keuangan dan Lee Taeyong sebagai Kepala Departemen Produksi.

Sejeong yang tahu situasi segera memundurkan tubuhnya, menjauh dari Doyoung yang memang berdiri dengan jarak yang sangat dekat dengannya. Ia kemudian membungkuk spontan pada dua orang yang merupakan atasannya itu, walaupun biasanya ia bersikap santai dengan kepala departemennya.

"Kalian datang tepat waktu. Ayo masuk dan kita bahas proyeknya sebelum mereka datang!" Taeyong berucap sambil menepuk pelan bahu Doyoung, lalu melewati keduanya untuk masuk pada ruangan berdinding kaca yang ada di belakang mereka. Disusul dengan yang lain, terutama orang-orang yang dikenal Sejeong. Tentu saja, mereka teman-teman satu timnya.

"Kim Doyoung!" Doyoung menghentikan langkahnya sebelum benar-benar masuk ke ruangan. Ia sedikit menoleh untuk melihat Sejeong yang memang menjadi orang terakhir yang masuk.

"Aku bahagia."

Lelaki itu tidak bisa menyembunyikan senyumannya. Ia tersenyum begitu Sejeong berucap demikian. Entahlah dengan penglihatannya yang memandang itu sebaliknya dari kedua mata perempuan itu. Ia memutuskan untuk mengangguk sekali sambil memberi kode untuk sahabatnya itu masuk ke ruangan bersamanya.

"Bagus."

Tak tahu mengapa Sejeong merasa tidak puas dengan reaksi lelaki itu. Biasanya Doyoung yang paling paham akan dirinya. Entahlah. Ia tidak mau ambil pusing soal ini. Pekerjaan sedang menantinya.

Tapi sungguh Sejeong tidak bisa berhenti memikirkannya, tentang jawaban sederhananya.

Apa benar ia bahagia sekarang?

***

To be Continue...

---

Hai, maaf menghilang, barangkali aku dicariin, hehe :)

واصل القراءة

ستعجبك أيضاً

437K 34.3K 58
Kisah si Bad Boy ketua geng ALASKA dan si cantik Jeon. Happy Reading.
120K 12.1K 34
" Pada akhirnya akan selalu ada hal baik yang menerpa kita setiap harinya, biarlah takdir yang mengubah dan biarkan waktu yang menentukan , jangan ka...
400K 57.6K 43
#HTLSeries (1) ✔Revisi Backstreet itu enak. Setidaknya bagi Marsha dan Yuta. Walaupun hanya untuk sementara. Karena berikutnya, ada hal-hal yang dis...
507K 33.1K 27
Setelah empat tahun, Jeffrey Adito pulang ke Indonesia. Ia kembali untuk menjemput lagi cinta yang ia tinggalkan, Janisha Sabira. Namun, kepergiannya...