My Boss!

By May_Rose22

1.2M 85K 8.4K

WARNING!!!! CERITA INI BERBEDA DENGAN CERITA-CERITA YANG PERNAH SAYA BUAT SEBELUMNYA. AWAS!!! KALIAN BAPER... More

My Boss! 1
My Boss! 2
My Boss! 3
My Boss! 4
My Boss! 5
My Boss! 6
Cast
My Boss! 7
My Boss! 8
My Boss! 9
My Boss!! 10
My Boss! 11
My Boss! 12
My Boss! 13
My Boss! 14
My Boss! 15
My Boss! 16
My Boss! 17
My Boss! 18
My Boss! 19
My Boss! 20
My Boss! 21
My Boss! 22
My Boss! 24
My Boss! 25
My Boss! 26
My Boss! 27
My Boss! 28
Announcement!
My Boss! 29
My Boss! 30
My Boss! 31
My Boss! 32
My Boss! 33
My Boss! 34
My Boss!! 35
My Boss! 36
Lanjut?
My Boss! 37

My Boss! 23

24.7K 2.2K 330
By May_Rose22

Hi, i'm back!
Boleh minta spam komen kalian gak? 😁 Gak maksa kok.
Selamat membaca ❤️

✨✨✨

Suasana meriah di balai keraton menyapa Aurora yang baru saja datang bersama eyang putri, tatapan banyak pasang mata yang mengarah padanya membuat Aurora merasa tidak nyaman. Gadis itu berjalan anggun dengan stelan kebaya warna merah, rambut di sanggul indah dan riasan tipis pada wajahnya.

Ini bukan dirinya, Aurora menarik nafas panjang, menghembuskannya perlahan lalu melengkungkan senyum saat beberapa orang menghampirinya.

"Ini lho sepupumu dari Kalimantan yang eyang ceritakan."

"Hai mbak Rara, aku Kania sepupu paling muda, ini mas Galih anak budhe dan  yang di ujung itu mas Rama, adiknya mas Galih."

Kania mengenalkan sepupu-sepupu mereka yang memang belum pernah sama sekali bertemu dengan Aurora, mengingat bagaimana dulu eyang kakung menentang pernikahan orang tua Aurora. Hanya beberapa kali Aurora pernah mengunjungi eyangnya bersama Alwi dan hanya berdua , itupun tak pernah lama.

"Sana ajak Rara jalan-jalan, acaranya juga belum mulai." Perintah eyang pada Kania yang mengangguk paham

"Enjeh eyang."

"Galih, panggil Rama ya. Kenalkan sama Rara terus jaga kedua putri cantik ini selama jalan-jalan." Eyang kembali mengeluarkan perintah mutlaknya pada cucu tampannya yang mengangguk dan segera beranjak untuk menghampiri Rama

"Eyang mau kemana?" Tanya Aurora

"Eyang mau kedalam dulu, menemui tamu."

Sepeninggalan eyang, Kania langsung mengajak Aurora berjalan mendekati Galih dan Rama yang masih berbincang entah tentang apa.

"Mbak Rara kesini sama siapa? Sama budhe?"

"Eh, enggak. Aku dari Jakarta langsung kesini sendiri." Jawab Aurora

Melihat dua gadis yang mendekat, Rama dan Galih menghentikan perbincangan mereka, tersenyum pada Aurora yang masih terlihat canggung berada diantara mereka.

"Ini lho mas Rama, calon sarjana yang sebentar lagi udah sidang."

"Aku bisa mengenalkan diri sendiri, Nia." Rama menatap Kania yang malah terkekeh jahil

Galih hanya menggelengkan kepalnya melihat Rama dan Kania yang sudah biasa saling mengejek. Lelaki itu memilih untuk mengajak Aurora berjalan terlebih dahulu meninggalkan mereka berdua yang masih melanjutkan pertengkaran kecilnya.

"Rara kerja di Jakarta ya?"

Aurora yang tadi fokus dengan langkahnya langsung menoleh pada Galih

"Iya mas, ini juga dari Jakarta langsung kesini."

"Liburan?"

Aurora sempat meringis tapi memilih mengangguk karena terlalu malas memberikan alasan lain.

"Udah lama juga gak ke Jogja. Mas Galih kerja dimana?" Pertanyaan klasik yang sebenarnya terdengar konyol bagi Aurora sendiri nyatanya di tanggapi baik oleh Galih

Galih tertawa pelan "kerja di..."

"Mbak Rara, Mas Galih, acara sudah mau mulai." Suara Kania menginterupsi keduanya.

"Duluan saja, nanti kami menyusul" sahut Galih yang hanya menoleh sekilas lalu berdiri menghadap Aurora.

"Udah siap?"

"Hah? Siap nonton pertunjukan maksudnya?"

Galih menggeleng mengamati Aurora dari atas hingga bawah, "siap duduk tegak berjam-jam dan memasang senyum terbaik."

Demi apapun itu adalah hal yang paling tidak ingin Aurora lakukan, tapi mengingat tak mungkin lagi dirinya bisa menghindar membuat gadis itu hanya bisa memerosotkan kedua bahunya lalu mengangguk pasrah.

"Apa boleh buat, ayo!" Aurora menarik keatas sedikit kain jariknya yang langsung membuat Galih melotot tak percaya.

"Rara, turunkan itu! Kita di keraton." Galih celingukan berharap tak ada yang melihat perbuatan Aurora.

Dengan segera Aurora menuruti perintah Galih dan memasang wajah masam, ia tak bisa berjalan cepat dengan bawahan jarik yang membatasi lebar langkahnya, belum lagi di tambah heels yang membuat kakinya sakit.

Galih menghela nafas lega, lalu dengan segera mengamit tangan Aurora dan mengajaknya menuju tempat dimana semua keluarga sudah berkumpul.

***

"Lebih baik aku balik hotel duluan."

"Eh, No! Ini ajakan Sri Sultan, kita tamu mereka, Faiz. Hargai sambutan tuan rumah."

Faiz berdecak kesal, ia bukan tipe orang yang suka dengan acara-acara seperti ini. Berangkat ke Jogja pun Faiz harus di paksa dulu oleh Wendra mengingat urusan bisnis mereka berhubungan dengan orang terpenting di daerah istimewa itu, sangat tidak etis jika Faiz membatalkannya hanya karena frustasi kehilangan Aurora.

"Calm down, anggap ini liburan. Nanti aku akan bantu kamu cari Aurora, tapi kita selesaikan dulu urusan disini. Okay?"

Wendra menepuk pundak sahabatnya setelah mendapatkan anggukan malas dari Faiz. Mereka berdua berjalan menuju tempat yang sudah di sediakan, berusaha duduk tenang hingga Faiz menangkap siluet sosok yang sangat familiar di matanya. Perempuan berstelan kebaya merah yang baru saja datang bersama lelaki tinggi yang mengamit tangannya.

"Ara?" Tanpa sadar Faiz berdiri hingga membuat Wendra langsung menarik lengannya agar kembali duduk.

"Stupid! What are you doing?" Maki Wendra pelan

Faiz mengabaikan ucapan Wendra, matanya fokus pada satu titik, ia tak mungkin salah mengenali gadisnya, tapi sangat tidak mungkin Aurora bersama anggota keraton karena seingatnya Aurora tak memiliki keluarga di Jogja. Apa Faiz yang terlalu merindukan Aurora hingga matanya salah menilai seseorang? Namun hati Faiz sangat yakin bahwa yang duduk di seberangnya, di barisan ketiga dan di apit dua lelaki itu adalah Aurora.

"Wen, i'm not crazy, right? Itu Aurora." Bisik Faiz tanpa mengalihkan sedikitpun pandangannya.

Wendra mengamati perempuan yang di maksud Faiz, sekilas memang mirip Aurora, tapi kebaya keraton serta tatanan rambut yang di sanggul serta riasan tipis pada wajah gadis itu sedikit membuat Wendra tak yakin.

"Well, itu terlihat mirip gadismu. But i'm not sure. Orang asing tidak bisa masuk barisan keluarga keraton apalagi berpakaian seperti mereka kecuali memang gadismu itu memiliki darah bangsawan."

Yang menjadi obyek perbincangan Wendra dan Faiz kini terlihat mengobrol dengan lelaki di sebelahnya yang tadi datang bersamanya.

"Oh Damn! She's your girlfriend, bro! Aku ingat senyum itu." Wendra menahan suaranya

"Shut up! Sejak kapan kamu mengamati senyum gadisku, eh?" Faiz melirik tajam sahabatnya yang dengan cepat menggelengkan kepala.

"You know what i mean, setiap orang mempunyai ciri khas yang bisa dengan mudah di kenali." Jawab Wendra

Acara di mulai, para penari satu persatu mulai keluar dan menampilkan kebolehannya di tengah ruangan, sedikit menghalangi pandangan Faiz terhadap Aurora hingga lelaki itu menggerak-gerakkan kepalanya mencoba mencari celah di antara pertunjukan agar fokusnya dari Aurora tak hilang.

Tiba-tiba Faiz berdiri lalu berjalan meninggalkan acara tanpa sempat Wendra cegah sebelumnya.

"Sh*t! Faiz!"

***

"Aku antar ke mobilku aja, disana ada sandal." Galih berjongkok membantu Aurora melepaskan heelsnya

"Nanti di marahin eyang." Aurora berpegangan pada pundak Galih  di depannya.

"Nanti biar mas Galih yang ngomong sama eyang, kaki kamu berdarah, Ra. Pakai sandal mas dulu, kita obatin luka kamu sekalian di mobil."

Aurora menggeleng "gak usah mas, Rara bisa bisa jalan tanpa sendal kok."

Galih berdiri setelah selesai melepaskan heels Aurora dan menentengnya tanpa malu. "Atau mau di gendong?"

Aurora melotot dan dengan segera memakai sendal Galih, oh yang benar saja! Ternyata sepupunya itu memiliki selera humor yang cukup ekstrim.

Tanpa mereka sadari, pemandangan itu di saksikan dengan Faiz yang berdiri di antara pilar, mengamati kedekatan seseorang yang mirip Aurora dengan lelaki lain yang menyesakkan dada. Faiz tak tahan, ia yakin itu adalah Auroranya dan Faiz akan membawanya pulang.

"Ara."

Suara itu, suara yang ia rindukan beberapa hari ini namun juga mati-matian ia hindari hingga terdampar disini kini kembali terdengar di telinganya. Aurora dan Galih sontak menghentikan langkah mereka, Galih yang mengerutkan kening dan Aurora yang langsung bersembunyi di balik punggung lebar sepupunya.

"Maaf?"

Faiz berdehem, pandangannya yang semula terfokus pada Aurora kini menatap lelaki yang memiliki tinggi sama dengannya itu.

"Bisa aku bicara sebentar dengan Ara?"

Galih menolehkan kepalanya pada Aurora yang memberikan gelengan kepala, pertanda gadis itu tidak menyetujui permintaan Faiz.

"Ah maaf, sepertinya lain kali. Rara kurang sehat dan kami akan pulang." Jawaban Galih membuat Faiz tak terima.

"Aku tidak butuh persetujuanmu sepertinya, karena Ara adalah calon istriku." Faiz melupakan tata krama, melupakan siapa yang sedang di hadapannya dan dimana dirinya berada. Faiz hanya menduga bahwa Galih merupakan salah satu bangsawan lain yang sedang berusaha mendekati Aurora. Ck! Tidak akan Faiz biarkan itu terjadi. Lelaki itu bahkan mengaskan kalimat terakhirnya.

Galih yang pandai menutupi keterkejutannya memberikan senyum terbaik saat melihat seseorang berjalan mendekati mereka.

"Eyang kakung." Galih menunduk hormat dan segera menarik lembut Aurora di belakangnya agar berdiri di sampingnya dan menyambut eyang kakung.

Aurora menunduk sambil meremas ujung kebayanya, ia bahkan tak berani membayangkan bencana apa yang akan segera menimpanya nanti.

"Mati lo, Ra! Eyang Kakung malah datang." Batin Aurora

"Ono opo, le?" (Ada apa, nak?") Tanya eyang Kakung pada Galih lalu menatap Faiz yang berdiri di dekatnya.

"Kamu orang Jakarta itu? Yang tadi sama mas Wendra?"

"Iya pak, saya yang tadi bersama Wendra." Jawab Faiz

"Ada apa kalian disini? Acara belum selesai, ayo masuk!" Eyang Kakung lalu menatap Aurora yang tak berani mendongak

"wong wadon ora apik kluyuran nemoni lanangan, Iki uduk pasar malam. Eling!(Perempuan tidak baik kelayapan menemui laki-laki, ini bukan pasar malam. Ingat!)

"Enjeh eyang, ngapunten." (Iya eyang, maaf.)  Jawab Aurora yang memang fasih bahasa Jawa.

Sementara Faiz lelaki itu sama sekali tak mengerti percakapan mereka.

"Galih, ajak Rara masuk!" Perintah eyang

"Enjeh," Galih kembali mengamit tangan Aurora lalu menatap Faiz sejenak "Monggo mas."

"Kamu kenal cucu saya?"

Faiz terdiam sejenak, Aurora selalu memiliki hal-hal mengejutkan yang tak pernah ia duga sebelumnya.

"Iya pak, saya calon suami Aurora." Jawab Faiz yang nyatanya malah membuat eyang Kakung terkekeh geli.

"Ya,ya, anak muda jaman sekarang. Ayo kita masuk dulu, tidak bagus menemui putri keraton seperti ini."

Faiz hanya pasrah mengikuti langkah eyang Kakung yang mengajaknya kembali ketempat acara.

***

"D*mn bro! Darimana aja?!" Sambut Wendra dengan kesal setelah sahabatnya itu kembali duduk disampingnya.

"Wen, kasih tahu aku caranya hadapin keluarga keraton. Aku harus ngapain?!"

Wendra hampir saja tersedak ludahnya sendiri, ia mengamati ekspresi serius Faiz yang membuatnya menggelengkan kepala.

"Hell, yeah! Aurora benar-benar putri keraton?!"

"Cucunya Raden Tjokro Hadiningrat."

"Oh My God!" Wendra tercengang lalu segera mengikuti arah pandang Faiz yang masih memperhatikan Aurora di seberang sana.

"Keturunan paling ditakuti dan di segani karena terkenal keras dan tegas. Gak ada yang berani macam-macam sama cucu Raden Tjokro, sekelas anak menteri aja di tolak waktu mau lamar Kania."

Faiz menoleh cepat menatap Wendra lalu menelan ludahnya kasar. "Mampus!"

Continue Reading

You'll Also Like

1.2M 60.2K 50
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...
374K 32.7K 31
Arvi dan San adalah sepasang kekasih. Keduanya saling mencintai tapi kadang kala sikap San membuat Arvi ragu, jika sang dominan juga mencintainya. Sa...
2.2M 102K 53
Mari buat orang yang mengabaikan mu menyesali perbuatannya _𝐇𝐞𝐥𝐞𝐧𝐚 𝐀𝐝𝐞𝐥𝐚𝐢𝐝𝐞
274K 19.5K 30
Adhitama Malik Pasya pernah menikah dengan gadis belia. Satu bulan pernikahan, lelaki itu terpaksa bercerai dari istrinya. Tujuh tahun berlalu, ia t...