"Digerakkan terus ya, biar ototnya lemas. Kaki kamu igu sebenarnya bisa sembuh lagi. Saraf-sarafnya masih bisa berfungsi, hanya saja kamu terlalu takut selama ini untuk menggerakkannya."
Novia menganggukkan kepala saat mendengar penjelasan Dokter Irawan. Pagi ini dia memang sudah berkeringat karena belajar menggerakkan kakinya lalu mencoba berjalan sedikit demi sedikit.
"Baik dok. Jadi di rumah juga boleh?"
Dokter Irawan menganggukkan kepala.
"Bisa, tapi jangan sendiri. Minta Dokter Raihan menemani ya?"
Novia langsung tersenyum dan menganggukkan kepala.
"Baiklah. Kamu sudah lelah untuk hari ini. Jadi kita akhiri sesi ini ya."
Novia kembali menganggukkan kepala lalu mendorong kursi rodanya sendiri. Saat itulah Rania tiba-tiba masuk ke dalam ruangan Dokter Irawan. Dia tidak melihat Novia karena hanya fokus kepada pria di depannya itu.
"Dokter maaf mengganggu. Ada telepon dari rumah, di ruang staf. Katanya istri anda tidak bisa menghubungi ponsel anda."
"Owh iya. Ponselku mati batrenya. Terimakasih ya."
Dokter Irawan mengangguk kepada Rania lalu beralih ke Novia yang kini tengah bersiap keluar dari ruangan itu.
"Novia, saya antar ke ruangannya Dokter Raihan sekalian ya? Mumpung searah."
Novia belum sempat menjawab saat tiba-tiba Rania sudah berada di belakang kursi rodanya.
"Saya saja dok. Mari dok."
Novia ingin menolak tapi Rania sudah mendorong kursi rodanya keluar. Membuat Novia langsung menoleh ke belakang.
"Maaf. Saya bisa sendiri."
Ucapannya itu membuat Rania menghentikan kursi rodanya dengan kasar. Membuat Novia hampir jatuh.
"Saya bisa teriak di sini atas dasar melukai orang dengan sengaja."
Ucapan tajam Novia membuat Rania kini bersedekap dan menatapnya kesal.
"Jangan mentang-mentang di atas angin. Aku tahu kamu hanya memanfaatkan dokter Raihan. Aku tidak akan tinggal diam."
Setelah mengatakan itu Rania tiba-tiba melangkah meninggalkannya. Membuat Novia mengusap dadanya dan beristighfar. Karyawan rumah sakit itu sudah lancang kepadanya.
Novia perlahan menjalankan kursi rodanya dengan perlahan. Sampai kapan konfrontasi ini akan berakhir? Akhirnya dia menemukan suatu cara.
*****
"Maksudmu apa dek? Aku gak mau."
Novia kini menatap Raihan yang menggelengkan kepalanya dengan cepat. Mereka tengah duduk di bangku kantin. Raihan memang mengajaknya makan di sini. Lalu Novia mengutarakan maksudnya.
"Bukan begitu mas. Tapi kalau tidak dengan cara ini dia akan mengganggu kita terus. Kita harus tegaskan kalau mas milikku dan aku milikmu. Tidak ada yang lain."
Ucapan Novia itu membuat sudut bibir Raihan terangkat. Lalu pria itu tersenyum. Membuat Novia mengernyit.
"Kenapa malah senyum?"
Senyum Raihan makin lebar lalu tangannya terulur untuk mengusap pipi Novia.
"Aku suka istilah kamu milikku dan aku milikmu. Mine."
Tentu saja pipi Novia langsung memerah. Dia tidak sadar mengatakan itu.
"Mas ih. Udah sana telepon Rania dan minta ke sini."
Raihan menghela nafasnya. Rambutnya yang sudah panjang melebihi telinga itu kini tampak begitu lebat. Novia mengulurkan tangan untuk menyibak rambutnya itu.
"Baiklah."
Akhirnya Raihan mengeluarkan ponsel dan menelepon Rania.
"Udah."
Raihan kini meletakkan ponselnya ke atas meja. Lalu tangan pria itu beralih untuk menggenggam jemarinya. Lalu dibawanya jemari itu ke depan mulutnya. Novia terkesiap saat kecupan di ruas-ruas jarinya.
"Aku memuja tangan ini."
Novia hanya menghela nafasnya karena sikap Raihan yang begitu manis ini.
"Dokter Raihan."
Suara penuh semangat itu mengalihkan mereka berdua. Rania dengan wajah berseri sudah berdiri di depan meja mereka.
"Rania. Please..."
Raihan menunjuk kursi yang ada di depan mereka. Rania langsung mematuhinya. Wanita dengan semerbak harum melati itu malah membuat Novia menutup hidungnya. Dia mual.
"Saya cuma ingin menegaskan kalau istri saya adalah dokter Novia. Tidak ada yang lain dan saya tidak berniat untuk menceraikannya ataupun berpoligami. Saya rasa itu sudah membuat kamu paham."
Ucapan telak itu tentu saja membuat Rania langsung terlihat muram.
Novia hanya menunduk dan menunggu reaksi Rania. Ini kejam memang, tapi kadang-kadang wanita seperti Rania perlu perlakuan seperti ini.
"Saya mencintai dokter melebihi istri anda."
"Astaghfirullah."
Novia mendengar Raihan mengucapkan itu. Lalu tangan Raihan terulur ke bahu Novia. Membawanya masuk ke dalam pelukan hangat suaminya itu.
"Maaf kalau selama ini saya bersikap memberi harapan. Tapi tidak ada yang istimewa diantara kita. Saya mencintai istri saya."
Novia perlu untuk membantu Raihan. Dia kini menatap Rania yang wajahnya sudah tampak memerah.
"Kamu cantik Rania. Masih banyak pria lain di luar sana yang akan menjadi suami kamu. Lagipula saya tidak mau berbagi dengan siapapun. Terimakasih waktumu yang telah terbuang dengan menemani suami saya."
Rania kini beralih menatapnya. Satu tetes air mata sudah menetes di pipinya.
"Saya tetap mencinta Dokter Raihan."
Setelah mengatakan itu Rania langsung beranjak dari duduknya dan pergi meninggalkan mereka berdua.
*****
"Drama banget gak sih?"
"Iya."
"Terlalu sinetron ya?"
"Huum."
Novia tengah tidur di atas paha Raihan saat ini. Sore ini mereka memutuskan untuk duduk santai di taman belakang rumah Raihan.
"Kok mas suka sama cewek drama gitu."
Celetukannya membuat Raihan menunduk dan mengusap rambutnya dengan lembut.
"Bukan suka, cuma dia dulu tuh orangnya easy going gitu. Enak diajak bicara cuma itu."
"Aku padahal di London gak punya temen cowok juga."
Sindirannya tentu saja membuat Raihan menghentikan gerakan tangannya.
"Gak boleh."
Novia hampir tersenyum saat mendengar nada cemburu itu.
"Mas aja bisa temenan sama Rania sampai dia baper. Masa aku gak boleh?"
Novia niatnya menggoda Raihan tapi pria itu kini malah terlihat muram. Novia tentu saja berusaha bangkit dan duduk. Lalu menatap Raihan yang terdiam.
"Mas..."
Tangan Raihan menangkup wajah Novia, lalu perlahan ciuman itu terasa. Begitu lembut tapi intens.
"Aku masih merasa bersalah tentang itu dek. Apa yang bisa aku lakukan untuk membuatnya benar?"
Bersambung
Ngantukkk hoaaahhmm..
Owh iya udah open po ya mas rasa cinta