[SHRS2] Mahmaa Hadats, Maa Zi...

Oleh fa_mujahiddah11

1.1K 56 30

HAK CIPTA DILINDUNGI ALLAH! -Spin off HALWA V1 [Spiritual-Hurt-Romantis] •Best rank: # •MULAI: 22 Juni 2019. ... Lebih Banyak

S1 | Al-Haadhir.
2 | Pilihan.
3 | Pupus.
S2 | Al-Maadhii.
| Cast (1).
4 | Awal dari Segala Takdir.

1 | Pengkhitbahan.

153 11 6
Oleh fa_mujahiddah11

S1 | Al-Haadhir : Masa Kini.

Rabbi, sesakit inikah rasanya jika berharap kepada hamba-Mu?
•Hani'ah Shafiyatu Lathifa•

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

•Hani'ah's POV ·on·•

"Saya ingin meng-khitbah putri Bapak,"

Aku terkejut mendengarnya. Bukan hanya aku, bahkan Abi dan Ummiku pun sama.

Aku menajamkan penglihatanku, berusaha melihat lebih jelas kepada seorang lelaki yang kini duduk di hadapan Abi.

Dan kulihat, Abi yang tadinya terlihat terkejut, mengubah ekspresinya menjadi seperti semula. Mereka tampak tengah berbincang-bincang. Aku tak dapat mendengarnya dengan jelas, karena kali ini suara yang mereka hasilkan agak pelan.

Tidak seperti tadi, saat lelaki tersebut menyampaikan tujuannya datang kemari, suara yang dihasilkannya lantang dan tegas.

"Oh iya, saya lupa bertanya.." Abi terlihat diam sejenak. "Namamu siapa, Nak?"

Tiba-tiba, jantungku berdegup dengan cepat. Apalagi setelah melihatnya tersenyum. Bukannya karena aku terpana hanya karena uluman senyumnya. Melainkan karena entah mengapa, aku berpikiran bahwa 'dia' lah yang saat ini datang untuk meng-khitbah-ku.

Tanpa sadar, senyuman pun terbit di bibirku. Rasa bahagia seolah menyapaku. Oh, Allah, maafkan aku karena telah berharap seperti ini.

Sebenarnya bisa saja bukan 'dia' yang meng-khitbah-ku, tetapi saat ini hatiku sedang menyebutkan namanya. Seolah memang 'dia'lah yang datang untuk meng-khitbah-ku. Aku tak dapat menerka-nerka, sih. Karena sudah bertahun-tahun aku tidak bertemu dengannya.

Mengapa aku berpikiran bahwa lelaki itu adalah 'dia'? Karena dulu, 'dia' pernah mengutarakan perasaannya padaku. Aku pun memiliki perasaan yang sama dengannya.

Karena itu, aku merasa sangat bahagia jika lelaki yang meng-khitbah-ku benar-benar 'dia'.

Tunggu, mengapa ia lama sekali menjawabnya? Sedari tadi ia hanya diam dan tersenyum.

Ia pun menatap Abi, masih dengan senyuman yang senantiasa terulum di wajah rupawannya. Jantungku lantas berpompa semakin kencang, tubuhku gemetaran, senyuman di bibirku juga masih belum sirna.

Tak lama kemudian, ia menjawab; "Nama saya Faiz. Muhammad Faiz Alhusayn,"

'Deg!'

Dadaku sesak, hatiku nyeri dan perasaanku hancur. Air mataku pun terjatuh.

Mengapa harus ia? Nama yang ia sebut barusan; bukanlah nama yang kuharapkan selama ini, bukanlah nama yang kusimpan rapi dalam hati, dan bukanlah nama yang selalu kudo'akan pada Sang Illahi.

Rabbi! Apa yang harus hamba-Mu ini lakukan?

"Oh, Faiz, ya? Nama yang bagus," puji Abi padanya.

Aku melihat ke arah mereka lagi. Kulihat, lelaki tersebut tersenyum tipis. "Syukran," ujarnya.

Abi mengangguk, "Dan soal khitbah-mu itu, saya menyerahkan keputusannya pada putri saya saja. Tidak apa, 'kan?"

"Iya, Pak. Tak apa,"

"Mi, tolong panggilin Hani'ah!"

"Iya, Bi."

Melihat Ummi yang sedang berjalan ke arahku, segera saja kuhapus air mataku.

"Kamu habis apa?" tanya Ummi dingin, saat melihatku berdiri di belakang dinding pembatas antara dapur dan ruang tamu.

Ya, itulah sikap aslinya. Bukan hanya ia, anggota keluargaku yang lain juga.

"Eum.. ha--habis minum, tadi," Ya Allah, maafkan hamba-Mu ini karena telah berbohong!

"Oh," Ummi memberi jeda, "ayo ke ruang tamu. Ada yang meng-khitbah-mu, tuh." Beliau langsung melengang pergi menuju ruang tamu begitu saja.

Dengan langkah gontai dan hati terasa nyeri, aku berjalan menghampiri mereka. Lalu duduk di samping kiri Ummi, tepat di depan lelaki tadi.

"Hani'ah, Nak Faiz datang ke sini untuk meng-khitbah-mu. Jadi, bagaimana?" Abi bertanya.

Aku melihat ke arah Faiz sekilas. Ia tersenyum ke arahku, lalu menundukkan pandangannya. Lalu, kualihkan pandanganku ke arah Abi.

"Hani'ah belum tau, Bi." ujarku, lalu menatap ke arah Faiz lagi. "Maaf, beri aku waktu. Kau bisa datang ke sini minggu depan," kataku, sedatar mungkin.

Aku bahkan meminta waktu yang cukup lama, padanya. Bukannya aku bermaksud jahat. Hanya saja.. namamu telah lama sirna dari hatiku, Kak Faiz.

Ia mengangkat kepalanya lagi, lalu menatapku. Setelahnya, ia tersenyum. "Eh? Iya, gak apa ...," katanya.

Wajahnya yang semula tampak begitu cerah, kini menjadi amat lesu. Mungkin ia kecewa dengan permintaanku.

"Hm." jawabku seraya mengangguk.

"Kalau begitu, saya pamit pulang dulu." ujarnya lalu berdiri.

Kami pun ikut berdiri.

"Assalamu'alaikum," Ia menyalimi punggung tangan Abi. Lalu menangkupkan kedua tangannya kepadaku dan Ummi.

"Wa'alaikumussalam,"

Setelah memastikan Kak Faiz sudah benar-benar pergi, aku membalikkan badan. Baru saja kakiku akan melangkah, suara Abi terdengar.

"Hani'ah! Apa yang kamu lakukan?" bentak Abi.

Mendengarnya, aku berbalik lagi dan menatap ke arah mereka. "Kenapa? Bukankah kata Abi, Abi akan menyerahkan keputusan tersebut kepadaku?" tanyaku, seraya menatap nanar pada mereka.

Apa yang kukatakan salah? Apa yang kulakukan salah? Mengapa semua yang ada pada diriku, selalu dianggap salah?

Kalau menurut kalian, aku memiliki begitu banyak celah dan kesalahan. Maka berkacalah, lihat diri kalian sendiri! Lalu berkatalah sesuka hati kalian.

"Iya. Tapi yang kau lakukan itu, bisa 'kan tidak perlu bersikap sedingin itu kepadanya?" tanya Abi.

"Lalu sikap kalian kepadaku?" tanyaku balik.

"Kami ini orang tuamu! Hormatilah kami!"

"Dan aku ini anak kalian! Sayangilah aku!"

"Anak durhaka!"

"Tapi kalian telah lebih dulu mendurhakaiku, dengan tidak memberikanku hak untuk disayangi sebagai anak!"

"HANI'AH!"

Air mataku terjatuh lagi. Aku sesegera mungkin berlari dan masuk ke dalam kamar. Tanpa memedulikan teriakan dan omelan dari mereka.

~•~••~•~••~•~••~•~••~•~

Aku membuka kedua mataku, lalu mengedarkan pandangan. Pukul tiga sore. Sebentar lagi Adzan Ashar akan segera berkumandang.

Aku lantas bangkit dari posisi tidurku dan duduk, masih di atas kasur.

Ingatanku terputar kembali. Tentang Kak Faiz yang dulu tiba-tiba menghilang, kini tiba-tiba datang untuk meng-khitbah-ku. Juga, tentang pertengkaranku.

Sungguh, hatiku sudah lelah menahan rasa sakit ini! Kupeluk kedua lututku, lalu menangis lagi. Beginilah aku jika sedang sendirian; menangis, hanya menangis.

Allah, jika orang tuaku saja tak menginginkanku. Lalu untuk siapa, Kau menciptakanku? Berbagai macam pertanyaan hinggap di kepalaku.

Adzan Ashar pun berkumandang. Setelah merasa lebih tenang, kuhapus jejak-jejak air mataku lalu berjalan menuju kamar mandi.

Setelah selesai, kuhamparkan sajadahku dan mulai memakai mukena. Lagi-lagi, aku menangis pada saat sedang bersujud. Dan saat aku duduk, air mataku masih mengalir deras. Karena setiap sedang bersujud, aku selalu berharap bahwa itu adalah sujud terakhirku.

Maafkan aku, ya Allah. Akan tetapi, sungguh, aku tidak sesabar dan setabah itu! Kumohon, aku takut.. jika ujian yang Kau beri terlalu berat dan aku tak mampu menjalaninya, aku malah akan membenci-Mu.

Pada sujud kedua rakaat keempat, aku melamakan sujudku. Memperbanyak do'a. Sekaligus kembali berharap, bahwa Dia akan mengirimkan malaikat mautnya padaku sekarang.

Namun nyatanya, aku mampu bangkit dan duduk kembali. Kutolehkan kepalaku ke kanan, lalu ke kiri. "Assalamu'alaikum warahmatullah, assalamu'alaikum warahmatullah."

Aku menengadahkan kedua tanganku ke atas. "Ya Allah Yang Maha Pengasih, berilah aku kesabaran dan ketabahan dalam menjalani ujian-Mu, berilah aku keimanan dan ketaqwaan agar aku bisa selalu beribadah kepada-Mu. Ya Allah Yang Maha Penyayang, sayangilah aku. Baiklah, aku tidak akan menuntut kasih sayang kepada keluargaku lagi. Karena kasih sayang yang paling kuinginkan, adalah kasih sayang-Mu. Yaa muqallibal quluub, tsabbit qalby 'alaa diinik."

Setelah selesai berdo'a, akup un melakukan kebiasaanku. Berdzikir kepada-Nya, yang lalu kulanjutkan dengan membaca Al-Qur'an. Al-Qur'an adalah surat cinta dari-Nya. Tidak ingin kah kalian dicintai oleh-Nya?

"BRAKK!"

Pintu kamarku dibuka dengan kasar. Aku menghentikan aktivitasku, lalu menoleh ke arah pintu.

"Kenapa, Mi?" tanyaku.

Al-Qur'an masih berada di kedua tanganku. Aku masih akan melanjutkan membacanya, karena baru setengah jam berlalu sejak aku membuka dan mulai membacanya.

"Temanmu datang." ujar Ummi, lalu keluar dari kamar.

Tanpa menjawab apapun, aku menutup Al-Qur'an-ku lalu menaruhnya ke atas nakas samping kasur. Setelah kulepas mukena yang sedari tadi kupakai dan memasangkan kain cadarku kembali, aku langsung keluar dari kamar.

~•~••~•~••~•~••~•~•~•~

"Qaidah?" panggilku memastikan.

Qaidah Mahbubah nama lengkapnya, ia adalah teman sebangkuku saat masa Madrasah 'Aliyah dulu.

Gadis bergamis abu-abu dengan cadar yang berwarna senada itu pun menoleh. "Assalamu'alaikum,"

"Wa'alaikumussalam." Kami berpelukan sebentar. Lalu duduk berdampingan.

"Kayfa haaluki? (Apa kabar?)" tanyaku.

"Alhamdulillah, bi khayr. Wa anty? (Alhamdulillah, baik. Dan kamu?)"

"Alhamdulillah, bi khayr …." Aku memberi jeda. "Ada urusan apa?"

"Aku ingin mengunjungimu, udah lama kita gak ketemu. Dan," katanya menggantung.

"Kenapa, Qa?" tanyaku, bingung.

Kulihat, ia tersenyum di balik cadarnya. Terlihat dari matanya yang agak menyipit. "Ini, datang, ya!" ujarnya seraya menyodorkan sebuah ... undangan pernikahan?

Aku mengambil undangan tersebut, lalu membacanya sebentar. "MaasyaaAllah! Kamu beneran mau nikah, sama Qahthan?"

Ia mengangguk, "Iya, Ni. Alhamdulillah," jawabnya seraya tersipu malu.

Qahthan Ma'rifatullah, teman sekelasku dan Qaidah semasa Madrasah 'Aliyah. Namun sebelumnya, ia dan Qaidah pernah satu sekolah dan sekelas saat Madrasah Tsanawiyah.

Dan sejak saat itu juga, Qaidah menyimpan perasaan kepada Qahthan. Bahkan Qaidah pernah merasa sedih, saat ia mengira bahwa Qahthan tidak memiliki perasaan yang sama dengannya. Itu karena sikap Qahthan yang agak cuek, kepadanya.

Aku menaruh undangan tersebut ke atas meja, lalu menggenggam kedua tangan Qaidah. "Barakillah ya, Qa. Semoga lancar sampai hari spesial itu tiba,"

"Na'am. Syukran jiddan, (Iya. Makasih banyak,)" jawabnya.

"Sebentar ya, kuambilkan minum dulu." Aku melepas genggaman tanganku dan berdiri.

"Maaf ya, ngerepotin,"

"Gak apa-apa kok, Qa. Kamu 'kan jarang ke sini. Apalagi nanti setelah menikah, pasti sibuk ngurusin keluarga barumu!" candaku seraya terkekeh kecil.

Qaidah ikut terkekeh. "Iya, ya?"

"Ya udah, aku ke dapur dulu, ya!"

"Iya,"

Setelah selesai, aku membawa nampan yang berisikan dua gelas sirup berperisa jeruk. Berjalan menuju ruang tamu, lalu menaruh nampan tadi ke atas meja.

"Silakan diminum," ujarku mempersilakan.

Qaidah mengambil salah satu gelas tersebut. "Makasih, Ni!" ujarnya, lalu mulai meminum minumannya.

"Iya. Sama-sama,"

"Hani'ah," panggilnya, setelah menaruh kembali gelas tersebut ke atas meja.

"Iya, Qa, kenapa?"

"Kamu, kenapa? Matamu sembab. Habis nangis lagi?"

Aku tersenyum kikuk. "Eum, iya,"

"Ada apa? Tentang keluargamu?" Qaidah memelankan suaranya.

"Iya. Tapi, ada hal lain lagi,"

Qaidah memang mengetahui hubunganku dengan keluargaku yang agak buruk dan retak. Karena kami pernah saling bercerita satu sama lain tentang kehidupan kami, dulu.

"Hal lain? Apa, itu?"

"Eum, aku …" Aku menggantungkan kalimatku. Sebenarnya aku agak ragu untuk bercerita, tapi aku juga ingin membagikan hal yang telah membuat hatiku terasa gundah. "… aku di-khitbah,"

Qaidah tampak terkejut. "Hah? Sama siapa?" tanyanya. "Jangan-jangan sama.. Farukh, ya?" tebaknya dan itu salah.

Aku menghela napas. Tiba-tiba dadaku terasa sesak lagi. "Inginku sih, iya. Tapi Allah berkehendak lain,"

"Loh, bukan Farukh? Terus siapa, dong?" tanyanya lagi.

Aku tersenyum getir. "Kak Faiz,"

"Hah?!" pekik Qaidah, "Kak Faiz? Bukannya ia udah lama pergi, ya?"

"Iya. Tapi 'kan ia masih hidup. Jadi bisa aja kembali," candaku. Bukan juga sih, karena aku mengatakannya untuk menghibur diriku sendiri.

Qaidah terkekeh kecil. "Iya, sih. Tapi Ni, aku masih gak nyangka, loh. Ia 'kan udah belasan tahun pergi, terus tiba-tiba dateng buat nge-khitbah kamu. Namun sayangnya, hatimu sudah bukan untuknya lagi, ya?"

Aku mengangguk pelan. "Yah, begitulah," ujarku, jeda tiga detik, "yang tidak kuharapkan datang, malah datang. Sedangkan yang selalu kuharapkan datang, malah masih menghilang."

"Ni, maaf berkata seperti ini. Tapi, sebaiknya kamu jangan menolak khitbah-nya hanya karena kamu sedang menanti ikhwan lain. Kamu tau 'kan, tidak baik menolak lelaki yang baik dan shalih,"

"Iya, aku tau itu,"

"Dan lagi, jangan menanti sesuatu yang tidak pasti. Itu hanya akan membuat hatimu semakin lelah,"

Aku terdiam mendengarnya. Dalam hati, aku membenarkan seluruh perkataan Qaidah. Penantian tanpa kepastian ini, memang telah membuat hatiku semakin terasa lelah.

"Iya, benar. Penantian ini membuat hatiku semakin lelah, dari hari ke hari. Syukran atas nasihatmu," jawabku kemudian.

"Afwan, Ni." Tiba-tiba, ia bangkit dari posisinya. "Aku pulang dulu, ya! Nanti kesorean," pamitnya.

Aku ikut berdiri. "Iya, Qa. Fii amanillah,"

"Jangan lupa dateng ke pernikahanku, ya!"

"Iya. Aku akan datang, kok. InsyaaAllah,"

Kami berbincang sambil berjalan ke arah teras rumah.

"Assalamu'alaikum,"

"Wa'alaikumussalam warahmatullah,"

Setelah memastikan Qaidah sudah benar-benar pergi, aku pun kembali masuk ke dalam kamarku. Sesampainya di kamar, aku melanjutkan kembali aktivitasku yang sempat tertunda.

~•~••~•~••~•~••~•~••~•~

Aku menutup dan menaruh kembali Al-Qur'an-ku ke rak buku. Lalu kuambil salah satu novel untuk kubaca.

Kulirik sekilas ke arah jam dinding, sudah pukul lima sore. Sebelum Adzan Maghrib nanti, aku harus sudah berangkat untuk mengajar mengaji. Karena masih agak lama, aku memutuskan untuk membaca novelku dulu.

Namun di tengah-tengah aktivitasku, lagi-lagi aku memikirkannya. Aku menghela napasku kasar.

Mengapa bukan dia yang datang? Mengapa malah ia yang kedatangannya tidak kuinginkan sama sekali? Oh, Allah, maaf! Tapi, jujur … aku kecewa padanya.

Jika dulu pada saat aku masih menyimpan rasa padanya, mengapa ia malah pergi dan seolah enggan kembali? Mengapa di saat aku sedang mengharapkan sosok lain, menyimpan nama yang lain dalam hati, ia malah datang?

Aku memijit pelipisku. Memikirkannya membuat pikiranku tidak tenang.

"Astaghfirullaahal'adziim …." Aku berjalan gontai ke arah rak buku, guna menaruh kembali novelku.

Kuputuskan untuk segera bersiap-siap untuk mengajar mengaji saja. Berlama-lama di sini hanya akan membuat hatiku sesak.

Sebenarnya aku lebih suka di rumah, lagipula itu adalah sunnah. Namun mengingat akan kejadian-kejadian yang terjadi hari ini, membuatku agak malas berada di dalam rumah.

Lima belas menit berlalu. Setelah memastikan semua perlengkapanku tidak ada yang tertinggal, aku segera keluar kamar.

"Mi, Hani'ah berangkat ngajar dulu. Assalamu'alaikum." ujarku lalu menyalimi punggung tangannya.

"Wa'alaikumussalam,"

Aku berangkat ke sana berjalan kaki, karena tempatnya lumayan dekat dengan rumahku. Hanya perlu sepuluh menit, aku pun sampai di sana.

"Assalamu'alaikum." seruku seraya masuk ke dalam.

"Wa'alaikumussalam!" jawab anak-anak.

Mereka menghampiriku, lalu menyalimi punggung tanganku secara bergantian.

"Hari ini siapa yang nggak masuk?" tanyaku, setelah duduk di tempat khusus pengajar.

"Syahida, Bu!" jawab seorang anak perempuan yang baru berusia tujuh tahun.

"Kenapa?" tanyaku lagi.

"Izin, Bu. Katanya mau ikut orang tuanya pergi," jawab anak perempuan tadi. Aku mengangguk, menanggapinya.

"Ada lagi?"

Aku mengedarkan pandangan. Memeriksa murid-muridku satu per satu. Takutnya ada yang tidak hadir, tetapi ia merupakan murid baru atau tidak terlalu dikenal di antara murid lainnya.

Tak ada jawaban. Aku mengangguk. "Baiklah. Oh, iya. Jangan lupa, minggu depan kalian akan mengikuti ujian. Seperti biasa, ujiannya adalah; ujian tertulis dan hafalan Al-Qur'an untuk remaja, juga ujian praktik shalat dan hafalan hadits untuk anak-anak. Belajar yang benar, ya! Biar nilai kalian bagus nantinya," ujarku.

"InsyaaAllah, Bu! Aamiin," jawab para murid serempak.

Kata-kata itu sengaja kuajarkan kepada mereka, sebagai jawaban bila diberitahukan hal seperti ini.

Tunggu, minggu depan? Berarti.. bertepatan pada waktu aku harus menjawab khitbah dari Kak Faiz, ya? Astaghfirullah, bagaimana, ini?

Segera saja kutepis sekelebat pikiran barusan. Aku harus fokus mengajar terlebih dahulu, saat ini. "Aqilla," Aku memanggil salah satu nama muridku.

Karena urutan mengaji sesuai dengan nomor absen. Sedangkan untuk menyetor hafalan; baik hafalan hadist maupun hafalan Al-Qur'an, dipersilakan menyetor bagi yang sudah siap.

Aku tidak ingin terlalu memaksa dan keras kepada muridku. Anak nakal yang tidak mau menurut? Bisa pelan-pelan, kok. Jangan terlalu keras memarahinya, apalagi sampai menggunakan kekerasan. Karena itu hanya akan menjadi kenangan buruk dalam ingatannya.

Muridku yang bernama Aqilla pun menghampiriku. Ia mulai membaca Iqra' miliknya. Bacaannya sudah lancar. Diusianya yang baru lima tahun ini, bacaan Iqra'-nya sudah sampai Iqra' tiga. Meskipun sesekali kubenarkan bacaannya.

Tapi, mengapa aku merasa seakan sedang diawasi? Bukan hanya sekarang. Sejak di rumah saat bertengkar dengan orang tuaku, saat aku dan Qaidah mengobrol di ruang tamu, juga saat ini.

Kuedarkan pandanganku ke sekeliling. Tak ada siapa-siapa. Apa hanya perasaanku saja?

"Ya Allah, lindungilah hamba!" Aku beristighfar sebanyak mungkin.

~•~••~•~••~•~••~•~••~•~••~•~••~•~

Assalamu'alaikum!

Gimana chapter ini?
Cerita ini bakal update setiap Hari Senin, ya! InsyaaAllah.
Vote jika suka!:"

Sekian, syukran.

Wassalamu'alaikum!

| 24 Juni 2019 |
By : kwati7970.

Lanjutkan Membaca

Kamu Akan Menyukai Ini

17M 755K 43
GENRE : ROMANCE [Story 3] Bagas cowok baik-baik, hidupnya lurus dan berambisi pada nilai bagus di sekolah. Saras gadis kampung yang merantau ke kota...
555K 21.3K 46
⚠️ WARNING!!! : YOUNGADULT, 18+ ‼️ hars word, smut . Tak ingin terlihat gamon setelah mantan kekasihnya berselingkuh hingga akhirnya berpacaran denga...
800K 51.7K 33
Semua orang mengira Saka Aryaatmaja mencintai Juni Rania Tanaka, namun nyatanya itu kekeliruan besar. Saka tidak pernah mencintai Rania, namun menola...
1.5M 137K 48
Kehidupan Dinar Tjakra Wirawan berubah, setelah Ayah dan kakak laki-lakinya meninggal. Impiannya yang ingin menjadi seorang News anchor harus kandas...