Kacamata Kedua

By gitlicious

36.3K 7.6K 731

Untuk kalian yang sedang menyambut hari bahagia tanpa mengetahui cerita lain di baliknya, dari kacamata kedua... More

(KK 1) His Wedding
(KK 2) Sorry
(KK 3) Not only me
(KK 4) Concern
(KK 5) The Reason
(KK 6) Last Cry
(KK 7) Apart
(KK 8) Priority
(KK 8) Introduction
(KK 10) First Love
(KK 11) Losing is painful
(KK 12) Harsh Reality
(KK 13) Responsibility

(KK 9)

3.1K 569 33
By gitlicious

Embun pulang lebih dulu karena tuntutan pekerjaan. Kini ia memilih transportasi darat, yaitu kereta. Argo Bromo Anggrek menemaninya selama kurang lebih sembilan jam. Cukup memakan waktu memang, tapi Embun jauh lebih menikmatinya dibandingkan harus berguncang ria di pesawat. Cuaca yang tidak bisa diprediksi akhir-akhir ini membuat Embun enggan menaiki burung besi dalam waktu dekat.

Percakapannya dengan Romi sesampainya di Bandara kemarin menjadi momok yang cukup mengganggu pikirannya. Ayahnya tidak berbicara apa pun selepas pengakuannya tentang Ravindra yang sudah menikah, namun kenapa beliau melakukan hal sejauh itu? Terlebih saat ini sang Ayah belum mengkonfirmasi secara langsung, hal itu membuat Embun bertambah gelisah karena sibuk menerka.

Ingin hatinya bertanya kepada Agung yang jauh lebih berpengalaman mengenai cinta, namun topik pasangan yang dipilihkan orangtua hanya akan mengusik lukanya yang baru saja berpisah dengan Ilana, dan Embun tidak ingin sahabatnya yang satu itu kembali tenggelam dalam kubangan kegalauan. Sedangkan Argi terlampau cuek dalam urusan percintaan yang berbau komitmen Embun ragukan pendapatnya.

Restu dan cinta adalah hal yang berbeda, jika keduanya dibungkus dalam satu paket maka niscaya kebahagiaan yang didapat. Namun bagaimana jika hanya salah satu elemen yang terpenuhi? Apakah Embun akan berakhir seperti Ravindra?

Embun menggelengkan kepalanya pelan. Kebiasaan sebagai seorang perempuan yang berpikir terlampau jauh mengenai suatu hal membuat dirinya terbebani. Ya, dari satu hal yang terjadi Embun bisa memikirkan kemungkinan A sampai Z yang terjadi setelahnya, mulai dari skenario terbaik sampai terburuk. Padahal Embun tahu hal itu hanya membuat dirinya resah, tapi tetap ia lakukan. Dasar perempuan, terlalu mengedepankan perasaan di atas segalanya.

Sesampainya di stasiun Gambir, Argi dan Agung menjemput Embun. Karena kedua orangtua Embun tinggal lebih lama di Surabaya untuk membantu keluarga mendiang budenya, tak ada yang bisa Embun andalkan selain kedua sahabatnya ini. Kebetulan mereka berdua sedang free dan berencana untuk nongkrong bareng.

"Anter gue pulang dulu please. Muka gue kucel sembilan jam di kereta. Pengin mandi."

Agung berdecak. "Muter balik kalau ke rumah lo dulu, lagian lo masih cakep kok." Kemudian Agung mendekati Embun untuk mengendus baunya. "Nggak bau lagi," tambahnya.

"Emang mau nongkrong di mana? Sama siapa? Tumben kok hari Minggu."

"Sama temen-temen les dulu, pada kangen katanya mau ketemu." Argi memberi jawaban.

"Tadinya kita pikir lo bakal lama di Surabaya, makanya nggak ngabarin, ini ngedadak juga soalnya katanya Wisnu mau nyebar undangan."

Embun tertegun, Wisnu yang ada di dalam ingatannya adalah laki-laki berkacamata yang terkesan culun dan memiliki alergi terhadap perempuan. Ya, Embun mendeskripsikannya dengan kata itu karena Wisnu sama sekali tidak bisa berdekatan dengan perempuan. Di tempat lesnya saja jika Wisnu bersebelahan dengan teman perempuan, ia segera meminta tukar dengan teman yang lain. Jika Embun dan teman perempuan lainnya menghampiri Wisnu hanya untuk melihat catatan lesnya yang terkenal begitu rapi, laki-laki itu hanya akan meninggalkan bukunya di meja tanpa mengutarakan sepatah kata.

Berbicara dengan Wisnu layaknya berbicara dengan robot bagi teman-teman perempuannya. Ia merespon, tapi tidak pernah membalas selain dengan gumaman dan gestur tubuh.

"Syok kan lo?" Agung terkekeh pelan saat melihat ekspresi keterkejutan Embun.

"Siapa yang taruhan dulu kalau dia nggak akan nikah?" Embun mendelik ke arah Agung yang pernah menjadikan Wisnu bahan lelucuan di antara mereka.

Argi dan Agung serempak saling menunjuk yang membuat kami bertiga tergelak.

"Jangan suka bully orang jomlo akut makanya, buktinya Wisnu naik pelaminan duluan dibandingkan kalian." Embun menasihati.

Agung hanya menganggukkan kepala, enggan berkomentar lebih jauh mengenai topik pernikahan. Sementara Argi kembali mengutarakan pendapatnya. "Ketika lo udah menemukan orang yang tepat, niscaya naik pelaminan itu bukan hal yang sulit."

Agung hanya terkekeh masam. "Menemukan orang yang tepat tapi di waktu yang nggak tepat juga nggak membuat mudah untuk naik pelaminan."

"Semua tergantung cara pandang kita dalam menilai hal itu," ucap Embun untuk mengalihkan perdebatan yang mungkin saja bisa terjadi.

"Jadi, menurut lo gimana May?" tanya Argi.

"Orang yang tepat itu datang di saat dan situasi yang tepat pula. Kalau ketiga elemen itu nggak benar-benar tepat, gue rasa naik pelaminan itu cukup sulit."

"Sepakat!" Agung menyetujui.

***

Embun, Argi dan Agung akhirnya sampai di salah satu kafe di bilangan Jakarta Pusat, tempat mereka janjian untuk berkumpul dengan yang lain. Saat bertemu dengan teman-teman SMA-nya, Embun merasa jiwa remajanya kembali muncul. Seolah anak SMA yang terperangkap dalam tubuh yang lebih dewasa. 

Gurauan yang mereka lontarkan masih saja sama seperti dulu. Namun di saat mereka mulai membicarakan karir dan topik hangat yang kini menyebar luas di kalangan masyarakat, Embun mulai bisa merasakan perbedaannya. Pemikiran yang mereka keluarkan kini jauh lebih berbobot. Berbagai bidan pekerjaan yang digeluti membuat percakapan menjadi jauh lebih berwarna.

"Jadi, kapan nih kalian nyusul kasih undangan kayak Wisnu?" tanya Andre, salah satu teman kami.

Pertanyaan sakral yang pada umumnya dibahas saat reuni pun sudah terlontarkan. Agung dan Argi sibuk saling melirik satu sama lain sementara Embun hanya mengeluarkan senyum teduhnya. 

"Embun kapan nih Bun? Yang cewek rata-rata pada udah. Tinggal Ghina sama Embun aja yang belum." Sayangnya Ghina tidak datang hari ini. Membuat Embun sebagai satu-satunya perempuan yang belum menikah menjadi bulan-bulanan teror pertanyaan itu. Pertanyaan seputar pernikahan memang kerap kali disinggung untuk kaum perempuan. Terlebih orang yang sudah mempunya karir seperti Embun. Apa lagi yang ditunggu katanya. Seolah menemukan orang yang tepat dan mengejar karir yang lebih tinggi menjadi milik kaum laki-laki saja.

"Kalau jodohnya udah dateng," jawab Embun. Itulah jawaban teraman jika ditanyakan perihal kapan menikah bagi Embun. Jika terus didesak dan ditanya kapan, Embun akan menjawab hanya Tuhan yang tahu mengenai jodoh seseorang.

Embun mengambil si cantik Akila dari gendongan Dian, teman perempuan yang pamit pergi ke toilet untuk membuang urgensinya, dan memilih bermain dengan bayi menggemaskan berpipi tembam yang memasuki usia delapan bulan itu. 

"Udah cocok May," ledek Agung yang membuat Embun mendelik. Ia tahu Agung hanya menggodanya karena pertanyaan teman-teman sebelumnya. Hal itu membuat Argi yang berada di sampingnya terkikik geli.

Dian yang baru saja keluar toilet memasang wajah sedikit masam. Kemudian ia berpamitan dengan yang lainnya. "Gue duluan ya, suami gue udah nunggu di depan, bentar lagi jam Kila tidur soalnya." Tangannya terulur untuk meraih Kila di pangkuan Embun yang sudah mengantuk. Terlihat raut penyesalan yang amat kentara.

Embun paham, jika ia sudah menikah terlebih memiliki buah hati, ia tidak akan bisa seenaknya pergi ke luar dalam waktu yang lama seperti sekarang. Mungkin terasa berat saat dijalani, namun hati Embun menghangat saat mendengar penuturan Dian bahwa suaminya tengah menungguinya di luar. Tandanya suami Dian menghargainya dengan memberikan sedikit rehat dan suntikan hiburan di sela kehidupannya sebagai wanita karir sekaligus ibu rumah tangga yang ia jalani.

"Yan jangan pergi dulu dong, foto dulu ya sebentar! Kapan lagi kita bisa ketemu lumayan lengkap begini?" Erwin mengusulkan. 

"Ah, iya, tunggu sebentar!" Agung segera meminta seorang waiters untuk memotret momen mereka. 

Dian menaruh Kila kembali di pangkuan Embun yang berada di posisi tengah dan mengambil tasnya agar segera dapat meninggalkan kafe sesaat setelah foto. Ia merasa tidak enak jika sang suami menunggu terlalu lama. Setelah beberapa kali jepretan, Dian pun pamit meninggalkan teman-temannya duluan.

Embun sampai di rumah dengan lelah yang luar biasa, ingin langsung memejamkan mata dan berkelana ke alam mimpi, namun tubuhnya yang terasa lengket memberontak ingin dibersihkan. 

Setelah mandi dengan air hangat, Embun merasa jauh lebih baik. Perhatiannya kemudian teralihkan kepada ponselnya yang menampilkan banyak notifikasi dari akun instagramnya, rata-rata berupa menandai foto, request follow Embun juga meningkat drastis, mungkin akibat tanda dari teman-temannya. Namun dari semua request, ada satu nama yang menarik perhatian Embun, yaitu Satria Bramantyo. 

Embun pun meng-klik profil laki-laki tersebut dan cukup terkejut saat mengenali foto yang terpampang pada halaman itu.

"Mas minyak telon? Kok bisa?"

Continue Reading

You'll Also Like

2.7M 130K 57
Mari buat orang yang mengabaikan mu menyesali perbuatannya _𝐇𝐞𝐥𝐞𝐧𝐚 𝐀𝐝𝐞𝐥𝐚𝐢𝐝𝐞
1.3M 17.6K 23
Mature Content || 21+ Varo sudah berhenti memikirkan pernikahan saat usianya memasuki kepala 4, karena ia selalu merasa cintanya sudah habis oleh per...
1.2M 59.8K 68
Follow ig author: @wp.gulajawa TikTok author :Gula Jawa . Budidayakan vote dan komen Ziva Atau Aziva Shani Zulfan adalah gadis kecil berusia 16 tah...
7M 344K 75
"Baju lo kebuka banget. Nggak sekalian jual diri?" "Udah. Papi lo pelanggannya. HAHAHA." "Anjing!" "Nanti lo pura-pura kaget aja kalau besok gue...