The Sexy Secret [Terbit 19 Ja...

By IndahHanaco

435K 45.3K 1.4K

Catatan : cerita ini memuat beberapa adegan yang berkaitan dengan kekerasan seksual. Mohon kebijakan pembaca... More

Prolog
Quentin [1]
Cybil [1]
Quentin [2]
Cybil [2]
Quentin [3]
Cybil [3]
Quentin [4]
Cybil [4]
Quentin [5]
Cybil [5]
Quentin [6]
Cybil [6]
Quentin [7]
Cybil [7]
Quentin [8]
Cybil [8]
Quentin [9]
Cybil [9]
Quentin [10]
Cybil [10]
Quentin [11]
Cybil [11]
Cybil [12]

Quentin [12]

8K 1.5K 35
By IndahHanaco

Tidak ada yang lebih mematahkan hati Quentin selain melihat istrinya begitu kalut dan lelaki itu tak bisa melakukan apa pun untuk meringankan beban Cybil. Masalah prostitusi online ini juga membuat Quentin putus asa. Upaya untuk mencari jejak Sandra, sudah dilakukan Lucas meski tak berhasil. Dan Quentin sangat yakin jika sepupunya telah mengusahakan segalanya.

Setelah meninggalkan We Are The Champions, Quentin sengaja mendatangi kantor Lucas yang memang tak terlalu jauh. Dia bersungguh-sungguh meminta tolong pada sepupunya untuk mencari informasi sebanyak mungkin tentang Widya dan Sandra. Jika mungkin, mencari si pembuat situs sehingga Quentin bisa mempolisikannya. Orang-orang yang berada di balik prostitusi, entah online atau tidak, dan mendapat keuntungan dari aktivitas itu, pantas menghabiskan sisa hidupnya di dalam kurungan.

"Yang bikin heran, dua-duanya baru keluar dari rumah penampungannya Cybil. Di situs itu pun cuma ada video-video yang berkaitan sama Sandra dan Widya. Nggak ada orang lain. Bukan berarti aku senang kalau ada cewek lain yang dijual di situs itu." Quentin mengusap wajahnya dengan tangan kiri. Dia bersandar di kursi empuk dengan perasaan lelah yang membuat bahunya tegang. "Kebetulan yang aneh, kan?"

Lucas yang biasanya selalu memasang ekspresi bosan atau merespons dengan kalimat konyol, kali ini menatap sepupunya dengan serius. "Iya, memang aneh banget. Jadi kepikiran kalau ada keterlibatan orang dalam. Maksudku, yang kerja di We Are The Champions. Atau, yang tau banget soal organisasinya Cybil."

"Nah, kamu juga mikir gitu, kan?" sambar Quentin cepat. "Tapi aku nggak bisa mastiin siapa yang pantas dicurigain. Cybil pun belum bisa ditanyai karena masih terlalu shock. Tapi nanti setelah agak tenang, aku bakalan minta istriku untuk bikin daftar orang-orang We Are The Champions yang punya kaitan sama rumah penampungan."

Lucas duduk dengan tubuh tegak, tampak berpikir. "Itu langkah yang bagus. Tapi maaf ya Tin, soal siapa pembuat situs atau cara ngehubungin Sandra dan Widya, aku nggak bisa bantu. Orang yang kumintai tolong udah ngusahain semua cara tapi gagal. Yang bikin situs itu kayaknya genius untuk urusan ngelindungi situsnya. Aku pun nggak paham banget istilah teknisnya."

Lucas yang biasanya santai itu pun tampak muram. Jika sepupunya saja bisa begitu murung, itu artinya situasi yang mereka hadapi memang nyaris tanpa harapan. Quentin memberi usul. "Gimana kalau kita cari orang lain yang kira-kira lebih jago lagi? Hacker atau apalah namanya."

Gelengan Lucas memadamkan harapan Quentin. "Aku udah minta tolong tiga orang yang setauku ahli banget urusan kayak gitu. Tetap aja gagal." Lucas menjawab ponselnya yang berdering nyaring, bicara pelan selama kurang dari dua puluh detik.

"Kencan lagi sama bule buduk? Pantesan ngomongnya pelan banget supaya nggak kedengeran," gurau Quentin. Tak seperti biasa, Lucas hanya tersenyum tipis dan tidak balas mengejek sepupunya.

"Aku udah ikut lelang meski perutku mual banget, Tin. Aku nggak bisa paham, kenapa ada yang tega ngelakuin hal-hal kayak gitu. Nyari duit dengan cara jadi muncikari. Yang ini, dilelang segala. Seolah cewek-cewek itu barang nggak berharga. Benda mati. Orang-orang itu udah nggak punya hati." Lucas meletakkan ponselnya ke atas meja. "Doain aja semoga aku bisa menang."

Rasa lega membanjiri Quentin seketika. Meski sebelumnya Lucas pernah ikut lelang dan gagal menjadi pemenang untuk "menghabiskan malam" dengan Sandra, setidaknya mereka masih punya harapan. Siapa tahu kali ini Lucas menang?

"Aku pasti doain, Luc," kata Quentin sungguh-sungguh.

"Cybil kudu ngawasin orang-orang yang bakalan keluar dari rumah penampungan. Jangan sampai hal kayak gini terulang lagi," usul Lucas. "Kamu kenal juga sama Widya?"

"Kenal. Aku pernah ngewawancarai dia untuk film dokumenternya We Are The Champions. Dia muncul di episode tiga, cerita pengalamannya kabur dari rumah karena dipaksa nikah kontrak sama turis dari Arab. Umurnya baru lima belas tahun."

Quentin bisa melihat tangan Lucas mengepal. Namun lelaki itu buru-buru menarik jemarinya dari atas meja. Tebakan Quentin, sang sepupu pasti sama geramnya dengan dirinya. Mereka berdua memang anak tunggal, tapi bukan berarti tak pernah ingin memiliki saudara kandung. Apalagi Lucas yang sampai SMP berkali-kali merengek ingin memiliki adik. Bahkan sempat mengusulkan agar ayahnya menikah lagi karena ibu Lucas tak mau hamil untuk kedua kalinya. Anjuran yang membuat orangtuanya sempat bertengkar hingga harus dilerai oleh Imelda.

"Kamu tau banget aku pengin punya adik kan, Tin? Aku nggak bisa ngebayangin anak umur lima belas tahun disuruh lelang keperawanan segala. Umur segitu, Widya harusnya masih bersenang-senang di sekolah." Lucas terdiam sesaat. "Kalau dipikir lagi, orangtuanya pun sama aja. Anak sekecil itu disuruh nikah. Kontrak pula." Lelaki itu geleng-geleng kepala.

Obrolan itu membuat leher Quentin seolah tercekik. Lucas baru saja mengungkapkan kebenaran yang dia sudah tahu. Hanya saja, selama ini cuma bermain di kepala Quentin. Akan tetapi, ketika ada yang mengucapkannya, efeknya berbeda. Jauh lebih suram dan keji.

"Ironis banget kan, Luc? Cybil udah nolong mereka semaksimal mungkin. Menyelamatkan Sandra dan Widya. Tapi begitu keluar dari Ciawi, malah ada yang manfaatin mereka. Nggak paham gimana caranya mereka dibujuk atau dipaksa. Aku pernah ngobrol sama Widya, tau banget kalau anak itu pengin sekolah dan sama sekali belum terpikir soal nikah. Apalagi harus jual diri." Quentin memukul lengan kursinya. "Jadi, kamu bisa bayangin gimana kalutnya Cybil, kan?"

Sepupu Quentin itu mengangguk. Tidak ada sisa-sisa kepribadian asli Lucas yang suka sekali bercanda dan seolah tak bisa dikejutkan oleh fakta apa pun itu.

"Makanya, kalau bisa secepatnya Cybil nyari tau soal orang-orang di We Are The Champions, Tin. Yang di Jakarta dan di Ciawi."

"Oke." Quentin bersiap untuk pamit. "Eh iya, kamu mau datang di acara penggalangan dana, nggak? Siapa tau mau nyumbang untuk We Are The Champions."

Setelah mendengar kata-kata Quentin itulah baru Lucas tertawa geli. "Ngapain aku ikut-ikutan nyumbang? Cybil udah punya suami yang kaya raya. Kalau aku jadi kamu, malu banget masih bikin acara penggalangan dana. Menjatuhkan harga diri keluarga Chakabuana aja. Mending semua biaya operasional rumah penampungan, kutanggung sendiri."

Gurauan Lucas membuat Quentin agak santai. Dia tersenyum lebar. "Sialan," makinya.

"Gih, pulang sana dan hibur istri tercintamu. Aku punya banyak kerjaan," usir Lucas seraya menggerakkan tangan kirinya. "Omong-omong, ini pertanyaan yang mainstream, sih. Cuma kepo doang. Kira-kira, kapan kalian mau punya anak? Cybil itu udah nggak muda lagi, kan?"

"Nggak muda lagi? Enak aja," sambar Quentin, tak terima. "Kami masih menikmati bulan madu. Belum mikirin anak." Bahkan sebelum kalimatnya usai, Quentin mendadak membayangkan kehadiran seorang bayi untuk memeriahkan rumah mereka. Sebelumnya, dia tak pernah memiliki gambaran semacam itu di benaknya. "Makanya buruan nikah, Luc. Biar tau gimana hepinya punya istri," tambahnya lagi.

Quentin tidak mengira tema tentang anak yang diucapkan Lucas sambil lalu itu, justru menetap di kepalanya. Setelah pulang dan bertemu istrinya, entah berapa kali dia melirik ke perut Cybil. Namun Quentin tahu, masalah buah hati bukanlah hal sepele. Mereka belum pernah membahas tentang hal itu. Mungkin nanti setelah situasi lebih tenang, dia akan mengajak Cybil bicara. Dia ingin tahu pendapat perempuan itu.

Apakah Cybil ingin memiliki anak darinya? Jika Quentin yang ditanya, jawabannya sudah jelas. Cybil adalah perempuan yang sangat dicintainya. Memiliki keturunan dari perempuan itu akan menjadi hal yang luar biasa.

"Kamu keliatan capek banget," komentar Quentin saat mereka sudah bersiap untuk tidur. Cybil menelentang di sebelah kanannya. Lelaki itu membenahi posisi bantal. "Aku tau, saat ini nggak akan bisa ngasih penghiburan buat kamu. Nggak akan ada kata-kataku yang bikin kamu lega." Quentin menyamankan diri di ranjang. Dia berbaring miring, menghadap ke arah Cybil. Tangan kirinya melingkari pinggang sang istri. "Tapi Lucas janji bakalan ngebantu sebisanya. Dia ikutan lelang juga."

"Makasih, Tin. Kamu jadi ikut susah gara-gara masalahku. Lucas pun jadi repot."

Quentin mengernyit karena tak suka mendengar kalimat istrinya. "Aku nggak mau dengar kata-kata kayak gitu. Aku nggak ikut susah, Cy. Karena masalahmu ya masalahku juga. Aku bukan orang luar," tukasnya dengan nada tegas.

Cybil tak menjawab. Perempuan itu memilih untuk memiringkan tubuh juga dan balas memeluk Quentin dengan tangan kanannya. Wajah mereka hanya berjarak beberapa sentimeter. Aroma parfum Cybil mengambang samar, membuat Quentin terkenang kesalahan fatalnya yang sempat terlupakan karena masalah Widya. Namun dia tak mau menyinggung persoalan salah peluk tadi. Ada hal lain yang lebih penting, kan?

"Tadi berjam-jam aku nelepon sana-sini untuk nyari tau soal Widya. Kasusnya sama aja kayak Sandra, Tin. Widya juga kayak lenyap gitu aja. Teman-temannya di Ciawi pun kehilangan kontak sejak beberapa hari lalu. Aku nggak tau harus gimana lagi. Anak itu..."

Tangis Cybil mendadak pecah. Hati Quentin pun ikut nyeri luar biasa. Setahunya, Cybil adalah perempuan paling tangguh yang dikenalnya secara langsung, selain sang nenek. Namun kali ini istri tercintanya itu terisak-isak karena mencemaskan Widya. Di titik itu, Quentin merasa menjadi suami yang tak berguna.

Tak mampu bicara, Quentin akhirnya hanya mengetatkan pelukan. Tangannya mengelus punggung Cybil yang masih berguncang karena tangis. Dia juga mengecup kening istrinya. "Aku harus ngapain supaya kamu nggak sedih lagi, Cy?" Quentin tak tahan terus berdiam diri.

Cybil tak menjawab. Perempuan itu malah menempelkan pipi kirinya yang basah ke dada Quentin.

oOo

Malam itu terasa panjang karena Quentin kesulitan memejamkan mata. Dia begitu ingin meringankan beban sang istri tapi tak bisa melakukan apa pun. Pada akhirnya, Quentin cuma bisa berdoa semoga lelang yang masih dibuka hingga dua hari lagi itu dimenangkan oleh Lucas.

Quentin bersyukur karena acara penggalangan dana yang tinggal seminggu itu menyedot konsentrasi Cybil. Hingga perempuan itu tidak memiliki banyak waktu untuk mencemaskan Widya dan Sandra. Quentin pun harus mematangkan rencana keberangkatan timnya ke Wakatobi setelah sebelumnya terganjal masalah izin. Tak mau mengganggu konsentrasi Cybil, Quentin menyimpan berita kegagalan Lucas memenangkan lelang.

"Kurasa, untuk sementara ini aku terpaksa nggak ngasih tau Cybil soal perkembangan lelang. Gitu juga kalau ada video baru," beri tahu Quentin pada Lucas. "Aku nggak sanggup ngeliat istriku menderita karena nggak bisa ngapa-ngapain. Lagian, sekarang ini Cybil harus konsen ke acara penggalangan dananya. Aku nggak mau semua jadi kacau."

Lucas setuju dengan pilihannya. "Memang bagusan kayak gitu."

Quentin berusaha menghabiskan banyak waktu bersama istrinya. Saat jam istirahat, dia mendatangi kantor We Are The Champions, membawakan makan siang untuk Cybil. Karena perempuan itu kehilangan selera makan dengan drastis. Hal itu membuat Quentin gundah.

Satu lagi kecemasan yang mengusiknya berkaitan dengan Gilda. Penampilan perempuan itu kini sangat mirip dengan Cybil. Setelah insiden salah peluk itu, Gilda selalu menyambut Quentin dengan senyum lebar tiap kali lelaki itu datang. Gilda seolah tak keberatan pernah keliru dikenali oleh Quentin.

Quentin tentu saja merasa canggung tiap kali berhadapan dengan Gilda. Namun dia berjuang untuk bersikap sopan meski merasa tak nyaman. Meski begitu, Quentin memilih untuk tidak menyinggung soal itu pada istrinya. Cybil tak butuh tambahan masalah yang harus dipikirkan.

Acara penggalangan dana We Are The Champions itu diselenggarakan di sebuah hotel yang letaknya tak terlalu jauh dari kantor Cybil. Menurut sang istri, Cheri yang mengurus masalah tempatnya. Imelda menghadiri acara itu sedangkan Quentin terpaksa absen. Sebabnya, acara itu bertepatan dengan keberangkatan tim dari One World ke Wakatobi. Sebagai bos, Quentin tidak bisa lepas tangan begitu saja. Lelaki itu tetap merasa bertanggung jawab untuk memastikan semua berjalan lancar meski Robby sudah ditugaskan sebagai penggantinya.

Quentin tiba di rumah lewat tengah malam. Cybil belum pulang karena mobilnya tidak terlihat sama sekali. Lelaki itu berusaha menghubungi sang istri tapi gawai Cybil tidak aktif. Quentin menunggu kedatangan Cybil sembari menonton televisi. Namun dia justru tertidur dan baru membuka mata saat mendengar suara pintu ditutup.

"Maaf ya, aku tadi tertahan di hotel karena harus ngejawab banyak pertanyaan dari calon donatur yang baru tau keberadaan We Are The Champions," cetus Cybil begitu melihat suaminya. Perempuan itu tampak lelah tapi juga terkesan senang. Pemandangan itu membuat Quentin bahagia.

"Oma nyumbang banyak, nggak?" canda Quentin.

Cybil berlagak cemberut. "Itu rahasia dapur, Tin. Nggak boleh diumbar ke siapa pun."

Quentin terkekeh geli. Setelah sekian lama, akhirnya Cybil tidak menampakkan ekspresi murung itu. Dia berdiri dengan kedua tangan mengembang. Sang istri pun masuk ke dalam dekapan Quentin. Cybil tampak cantik dengan gaun bermodel sederhana warna terkuois sepanjang betis dengan lengan pendek dan kerah berbentuk bulat.

"Tau nggak apa kejadian paling aneh sekaligus lucu hari ini?" tanya Cybil.

"Apa?"

"Gilda pakai baju sama persis kayak aku."

"Hah?" Tengkuk Quentin terasa dingin.

Cybil mendongak ke arah suaminya. "Kemarin dia nanya aku bakalan pakai baju apa. Aku kasih tau. Nggak taunya, tadi dia muncul dengan gaun yang sama persis. Kayak kemarin waktu kamu salah ngenalin kami, kejadian semacam itu terjadi beberapa kali."

Quentin pun merasa bersalah. "Maaf. Kemarin itu aku beneran teledor. Harusnya aku nggak bikin kesalahan sefatal itu." Lelaki itu terdiam. "Omong-omong, kok Gilda bisa tau persis baju yang kamu pakai? Maksudku, sedetail apa pun gambaran yang kamu kasih, sulit untuk beli yang sama persis. Kecuali kamu tunjukin gambarnya."

"Kan waktu itu belinya bareng dia. Udah lumayan lama sih, sebelum kita nikah." Cybil merenggangkan pelukan. Tatapan seriusnya ditujukan pada sang suami. "Jujur aja, belakangan ini aku cemas sama Gilda, Tin. Terutama sejak dia merombak penampilannya sampai mirip banget kayak aku."

Quentin menahan diri agar tidak berkomentar terlalu jauh. "Kenapa?"

"Karena aku yakin dia suka sama kamu," sahut Cybil, mengejutkan. "Entah apa yang dia rencanain, tapi ini semua nggak kayak Gilda yang kukenal. Aku beneran takut, Tin. Kamu harus hati-hati, ya?"

"Cemburu?" Quentin berakting setenang mungkin. "Tenang deh, Cy. Aku udah jatuh cinta belasan tahun sama kamu. Nggak bakalan tergoda sama orang yang nyaru jadi kamu." Lelaki itu mencium bibir istrinya, mengamuflase kecemasan yang menderu-deru di dadanya.

Lagu : One Call Away (Charlie Puth)

Continue Reading

You'll Also Like

1.5K 54 28
Novel cetaknya sudah terbit Novel ini berbeda dengan novel Saya yang lainnya. Dalam novel ini sengaja saya masukkan unsur sufiistik, agar tidak sepe...
5K 888 21
Holly Fadden punya alergi terhadap lawan jenis. Bencana datang ketika sobatnya, Sarah, mengajak Holly berlibur di cottage pinggir pantai Australia ta...
526K 6.6K 28
Warning konten 21+ yang masih dibawah umur menjauh. Sebuah short story yang menceritakan gairah panas antara seorang magang dan seorang wakil rakyat...
3.6M 69.3K 44
"Kamu milikku tapi aku tidak ingin ada status terikat diantara kita berdua." Argio _______ Berawal dari menawarkan dirinya pada seorang pria kaya ray...