The Sexy Secret [Terbit 19 Ja...

By IndahHanaco

435K 45.3K 1.4K

Catatan : cerita ini memuat beberapa adegan yang berkaitan dengan kekerasan seksual. Mohon kebijakan pembaca... More

Prolog
Quentin [1]
Cybil [1]
Quentin [2]
Cybil [2]
Quentin [3]
Cybil [3]
Quentin [4]
Cybil [4]
Quentin [5]
Cybil [5]
Quentin [6]
Cybil [6]
Quentin [7]
Cybil [7]
Quentin [8]
Cybil [8]
Quentin [9]
Cybil [9]
Quentin [10]
Quentin [11]
Cybil [11]
Quentin [12]
Cybil [12]

Cybil [10]

8.5K 1.5K 51
By IndahHanaco

Perjalanan ke Bali membuat Cybil bahagia, lebih dari perkiraannya. Dia tak pernah mengira bahwa Quentin akan menyusul. Belum lagi pertemuan dengan calon donatur yang memang menetap di pulau itu, Dewa Ardika. Ketertarikan lelaki itu pada organisasi yang dibentuk Cybil, memberi harapan bahwa mereka akan segera bekerja sama.

Gilda memang mendapati mereka sedang berciuman, tapi Cybil tidak merasa keberatan. Lagi pula, toh tak lama lagi dia akan mengumumkan pernikahannya dengan Quentin. Tinggal tunggu waktu sebelum Gilda mengetahui hubungan sesungguhnya Cybil dan Quentin. Meski memiliki hubungan dekat dengan Gilda, Cybil tidak bisa benar-benar terbuka untuk masalah pribadi. Dia ingin menyimpan bagian tertentu dalam hidupnya untuk diri sendiri.

Setelah urusannya dengan Dewa Ardika yang memiliki resor mewah di daerah Ubud dan Legian selesai, Cybil langsung menuju lobi. Karena dia tahu suaminya menunggu di sana. Ketika dia tidak mendapati Quentin di tempat itu, Cybil berniat hendak menelepon pria itu. Namun dia belum sempat meraih ponsel dari dalam tasnya saat Quentin dan Gilda melewati pintu masuk. Cybil melambai ke arah keduanya.

"Kalian dari mana?" tanya Cybil. Tatapannya tertuju pada Quentin yang terlihat serius. Lelaki itu memang tersenyum ke arahnya, tapi tampak jelas jika dia sedang memikirkan sesuatu.

"Kami keliling di sekitar sini, Mbak," Gilda yang menjawab. "Tapi nggak lama karena terlalu ramai. Maklum, Kuta."

Ya, hotel tempat mereka menginap berada di kawasan Kuta yang tak pernah sepi. Sejak tiba di Bali dua hari lalu, Cybil belum sempat keluar dari hotel. Namun memang tujuannya ke Bali bukan untuk berlibur.

"Cy, balik ke kamar dulu, yuk," ajak Quentin. "Aku pengin mandi."

Entah kenapa, sejak menikahi Quentin, perempuan itu tak pernah berhasil melenyapkan bayangan bathtub raksasa di resor kakek mertuanya tiap kali mendengar kata "mandi" atau "kamar mandi". Pipi Cybil memanas sebagai respons.

"Oke."

Setelah berpamitan pada Gilda, pasangan itu pun langsung menuju lift. Quentin menggenggam tangan Cybil dan nyaris tak bicara hingga mereka tiba di kamar. Ini malam terakhir mereka di Bali sebelum terbang ke Jakarta esok siang.

"Kamu kenapa? Kok kayaknya lagi bete. Nggak kayak biasa," celetuk Cybil, tak tahan dengan kebisuan yang memerangkap mereka.

"Nggak apa-apa, kok. Cuma lagi mikirin sesuatu, soal kerjaan."

"Emangnya ada masalah di kantor?" desak Cybil. Quentin baru saja menutup pintu kamar.

Quentin tertawa kecil. "Mikirin kerjaan bukan berarti ada masalah, Cy," balas suaminya dengan suara lembut. "Gimana hasil meeting-nya? Ada sinyal positif?"

"Mudah-mudahan. Belum janji apa-apa tapi keliatannya dia tertarik banget."

Quentin berdiri di depan sang istri, mencubit dagu Cybil. "Optimis aja, semoga dia beneran tertarik. Kalaupun nggak, langit belum akan runtuh dalam waktu dekat. Kamu masih punya aku."

Cybil tersenyum mendengar kalimat suaminya. "Aku memang beruntung, kan?"

"Banget," balas Quentin percaya diri. "Aku mandi dulu, ya? Baru keliling sebentar, badan udah lengket nggak keruan."

"Oke. Selama kamu mandi, aku mau pesan makan malam, ya? Tapi makannya di sini aja. Aku capek."

Quentin buru-buru menggumamkan persetujuannya. "Aku pun memang berniat untuk menyekapmu di kamar sampai pagi."

Cybil geleng-geleng kepala. "Makin lama, kamu makin fasih aja ngomong jorok."

"Aku nggak ngomong jorok, Cy. Kamu aja yang otaknya nggak beres."

"Hah? Otakku nggak beres, ya?" Cybil berkacak pinggang. "Kalau gitu, mulai besok kita nggak boleh tidur sekamar selama sebulan ya, Tin. Karena kayaknya aku harus ngeberesin otakku," imbuhnya. Cybil membuat tanda petik di udara.

"Hah? Enak aja! Kamu nggak bakalan bisa seenaknya ngusir aku ke kamar tamu setelah pulang nanti. Ogah!"

Cybil mencubit hidung Quentin hingga lelaki itu mengaduh. Setelahnya, pria itu menarik istrinya mendekat dan menghadiahi Cybil ciuman yang keras sebagai balasan. Alhasil, niatnya untuk mandi terpaksa tertunda karena Cybil memberi respons tanpa malu-malu. Quentin yang ceria pun sudah kembali.

"Cy, kapan kamu mau bilang ke Gilda kalau kita udah nikah?"

Pertanyaan yang dilontarkan Quentin setelah pasangan itu makan malam di kamar, cukup mengejutkan Cybil. "Kenapa? Takut Gilda ngegodain kamu, ya?" tebak perempuan itu, diikuti tawa gelinya.

"Nggak, sih. Cuma, dia kan orang terdekatmu. Wajar kalau dia tau."

Jawaban Quentin memang masuk akal. "Iya, sih. Dari kemarin udah kepikiran."

"Tapi?" sambar lelaki itu.

"Nggak ada tapi-tapian. Memang harusnya Gilda udah kukasih tau. Takutnya ntar salah paham, ngira aku nggak percaya dia bisa jaga rahasia. Padahal nggak gitu juga, kan?"

Cybil merasa sudah berbuat tak adil. Bagaimanapun, Gilda adalah orang terdekatnya selama lebih dua belas tahun terakhir. Cybil memang bukan pribadi terbuka yang ringan sekali bicara tentang rahasianya. Namun, tetap saja dia tak sepatutnya menyembunyikan berita pernikahannya dari Gilda.

"Nanti deh aku ngomong sama Gilda," janji Cybil.

Hari pertama Cybil kembali bekerja, Cheri menyambutnya dengan senyum lebar. "Wah, makin segar aja yang habis keliling Jawa dan Bali," guraunya. Gadis itu mencium kedua pipi Cybil dengan hangat. Berbeda dengan Gilda atau Cybil, Cheri bukanlah korban kekerasan seksual atau perdagangan manusia. Gadis berusia 24 tahun itu berasal dari keluarga harmonis dan tidak kekurangan secara materi.

Keduanya berkenalan saat Cybil menjadi pembicara di sebuah acara bincang-bincang yang digelar oleh universitas tempat Cheri kuliah. Gadis itu mengajukan banyak pertanyaan selama acara dan masih berlanjut setelahnya. Begitu lulus kuliah beberapa bulan silam, Cheri mendatangi kantor We Are The Champions, menawarkan diri untuk membantu. Tidak butuh waktu untuk berpikir dua kali, Cybil pun menerima gadis itu, menjadi salah satu bawahannya.

Karena faktor pendidikannya, Cybil cukup sering mengandalkan Cheri dalam beberapa hal. Gadis itu membuat laporan yang jauh lebih baik dan detail dibanding Gilda. Cheri juga mampu menghadapi tamu dengan luwes. Jika melakukan presentasi pun cukup mumpuni. Karena itu, Cheri bisa dibilang bekerja serabutan demi menangani beberapa tugas sekaligus.

Meski belum genap sembilan bulan bergabung dengan We Are The Champions, Cybil bisa melihat efisiensi yang terjadi karena kehadiran Cheri. Sesekali, gadis itu bahkan menginap di kantor jika sedang banyak pekerjaan. Cybil memang menyiapkan sebuah kamar di lantai empat. Dulu dia pun sering menginap jika merasa terlalu lelah untuk pulang. Beberapa bulan silam, kamar itu sempat direnovasi agar lebih nyaman jika ada yang terpaksa tidur di sana.

Masih sehubungan dengan Cheri, yang membuat Cybil lega adalah Gilda tampaknya tidak merasa tersisih karena kehadiran gadis itu. Keduanya bahkan cukup akrab dan bahu-membahu membantu Cybil. Terutama saat perempuan itu menjalani proses rehabilitasi. Karena itu, jika melihat orang-orang yang diurusnya, Cybil merasa beruntung karena keberadaan Cheri dan Gilda. Pekerjaannya lebih mudah dan ringan.

"Cher, gimana persiapan acara pengumpulan dananya? Lancar-lancar aja, kan?" Cybil memberi isyarat agar sang resepsionis mengikuti ke ruangannya. Cheri menyambar sebuah map tebal sebelum mulai menjajari langkah atasannya.

""Lancar, Mbak. Nggak ada kendala berarti. Urusan tempat udah beres. Daftar undangan pun udah rapi. Laporannya semua ada di sini." Cheri berjalan mendahului Cybil untuk meletakkan map yang dibawanya ke atas meja. Lalu gadis itu beralih ke sudut kanan ruangan yang cukup luas itu, tempat sebuah lemari pendek ditempelkan ke dinding. Di atasnya ada dispenser dan botol-botol kaca berisi bahan minuman, dari cokelat hingga kopi.

"Cher, jangan bikinin kopi. Teh manis aja," sergah Cybil. "Perutku lagi kurang enak."

"Oke, Mbak."

Cybil menghela napas tanpa sadar. Lalu dia menaruh tas di atas meja dan menarik kursi untuk diduduki. Satu lagi perubahan besar dalam hidupnya sedang terjadi. Tadi pagi dia baru saja memastikannya. Berbeda dengan sebelumnya, kali ini Cybil tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Faktor keluarga dan masa lalu yang membuatnya menjadi rumit untuk Cybil. Dia seolah sedang berada dalam kegelapan tanpa setitik cahaya sebagai penunjuk arah.

"Mbak, kemarin Salsa sempat nelepon ke sini. Karena hape Mbak nggak aktif. Katanya Widya mau keluar dari Ciawi." Cheri meletakkan segelas teh panas di depan Cybil.

"Lho, kenapa?" Cybil kaget dengan berita itu. "Apa orangtuanya datang dan ngajak Widya pulang ke Cianjur?"

"Nggak, Mbak. Bukan orangtua Widya yang datang, tapi bibinya. Kemarin itu orangnya sempat ke sini, waktu Mbak baru mulai acara bedah buku di Bandung. Aku sengaja nggak ngasih kabar ke Mbak karena nggak mau ganggu. Aku cuma ngasih alamat rumah penampungan. Lagian, nggak nyangka kalau bibinya Widya mau ngajak anak itu tinggal di rumahnya."

Seingat Cybil, Widya memang pernah menyebut tentang bibinya yang menetap di Jakarta. Hanya saja, anak itu tidak tahu alamatnya dan tak berminat tinggal bersama sang kerabat. Alasannya, Widya takut bibinya akan memaksa gadis belia itu kembali ke Cianjur.

"Widya sendiri yang pengin tinggal sama bibinya? Bukan dipaksa keluar dari rumah penampungan?" desak Cybil dengan kepala mendadak pening.

"Iya, Mbak. Saya udah mastiin soal itu sama Salsa. Memang Widya yang mau."

Cybil mengangguk paham. "Ya udah, nanti saya ngomong langsung sama Widya. Pengin tau gimana detailnya."

Cheri meninggalkan Cybil untuk mempelajari dokumen yang tadi diberikannya. Berita tentang Widya membuat Cybil terusik. Bukannya dia tak senang melepas gadis itu. Namun dia dihantui kecemasan. Bagaimana jika Widya dipaksa pulang ke Cianjur dan tetap dinikahkan?

"Ada masalah ya, Mbak?" tanya Gilda, dua jam kemudian. Perempuan itu sedang duduk di depan Cybil. Mereka baru saja membahas tentang Widya. "Kok kayaknya Mbak lagi suntuk, selain masalah Widya. Padahal sampai pulang dari Bali dua hari yang lalu, masih keliatan banget hepinya. Lagi berantem sama Mas Quentin, ya?" tebaknya.

Cybil sudah berjuang bersikap seperti biasa. Cheri bahkan tidak menyadari jika sang bos sedang memiliki kekusutan pikiran. Namun Gilda yang sudah mengenalnya lebih lama, tidak bisa dibohongi. Perempuan itu bisa menangkap apa yang membebani Cybil sejak pagi.

"Kami nggak pernah berantem. Quentin itu laki-laki yang sabar banget, Gil." Cybil tersenyum saat mengingat suaminya. Ini kali pertama perempuan itu membahas tentang Quentin dengan seseorang.

"Berarti, dari tadi Mbak mikirin Widya?" duga Gilda.

Cybil menggeleng. "Nggak, sih. Memang ada masalah lain yang bikin aku pusing. Masalah serius. Dan kamu bener, berkaitan sama Quentin tapi bukan karena kami berantem."

Gilda menunjukkan ketertarikannya dengan jelas. Perempuan itu memajukan tubuh, kedua tangannya terlipat di atas meja kerja Cybil yang memisahkan keduanya. "Sejak kapan sih Mbak dan Mas Quentin pacaran? Selama ini aku nggak pernah tau kalau kalian lagi dekat. Makanya, kaget banget waktu di Bali kemarin."

Pengakuan Gilda itu membuat Cybil tersenyum lebar. Dia masih bisa membayangkan ekspresi Gilda dengan tubuh membatu tatkala mendapati Quentin menciumnya.

"Kami nggak pacaran, Gil. Jangan kaget kalau kubilang kami udah nikah lebih tiga bulan." Pengakuan itu meluncur mulus. Namun tetap saja tidak membebaskan Cybil dari perasaan bersalah karena menyimpan fakta itu dari orang dekatnya. Terutama saat dia melihat betapa pucatnya Gilda.

"Udah nikah, Mbak? Di mana? Kenapa Mbak nggak pernah cerita?"

"Kami memang nikah diam-diam. Kejadiannya sebelum aku ke Vietnam untuk wawancara Michelle Weller." Cybil menghela napas. "Maaf ya Gil, kami memang sengaja nyembunyiian soal ini untuk sementara."

Kekagetan Gilda tampaknya bisa diatasi perempuan itu dengan baik. Pengalaman hidup yang sudah dilaluinya, membuat Gilda bisa menguasai diri dengan baik. Itu pendapat Cybil. "Selamat kalau gitu, Mbak. Semoga kali ini Mbak bahagia dan nggak gagal lagi," ucap Gilda.

Cybil berdeham setelah mengucapkan terima kasih. "Tadi pagi aku baru tau kalau lagi hamil. Quentin belum kukasih tau. Entahlah... rasanya ini terlalu rumit. Aku nggak tau harus ngapain. Aku takut, Gil."

Lagu : Thank You For Loving Me (Bon Jovi)

Halo, Kalian,

Ada seri baru lagi dariku dan beberapa teman penulis. Kali ini, temanya adalah #AddictedSeries. Naskah ini agak berat dibanding yang biasa kutulis, mengangkat tentang kecanduan alkohol. Juga mengulik sedikit tentang sekte sesat yang memang pernah atau masih ada.

Kayak biasa, ada beberapa penulis lain yang terlibat. Kalian bisa cek detailnya di bawah ini :

Senin & Kamis : Comedor - YouRa_muriz

Selasa & Jumat : Sexy Secret ada di sini

Rabu & Sabtu : Let Us Be Happy - junabei

Jangan lupa komen dan bintangnya ya. Karena dukungan kalian sangat berguna untuk ngomporin semangat kami. 

Continue Reading

You'll Also Like

790K 45.6K 18
Ijinkan aku mendoakanmu sebab hanya dengan doa aku bisa menautkan rinduku yang tak berujung. (Dante. A Xian) // Antara Pada akhirnya, aku mengerti ba...
540K 58.6K 37
Di usia yang melewati empat puluh, Garen masih belum memikirkan pernikahan karena fokus kepada dua anak laki-laki yang ia asuh sejak kakaknya meningg...
871K 44.1K 20
Teman Rasa Pacar adalah karya kelima milik JessJessica (@AbelJessica) setelah Bad Boys Series. Tulisan ini dilindungi oleh UU RI HAK CIPTA. Berdasark...
273K 32K 32
Menghabiskan satu milyar dolar dalam seminggu? Ah, itu sih gampang! Semua orang berpikir begitu setelah menonton pengumuman akbar yang dilakukan Vinc...