Tsabita Ilana

By suffynurcahyati

972K 47.5K 1K

Ditengah kegalauannya menjomblo di usia yang udah gak setengah mateng lagi, Tsabit dihadapkan dalam situasi r... More

blurb
The cast of Tsabita ilana
1. move on, Tsabit!
2. Pertarungan dua kubu
3. Sandiwara
4. Ular berbisa
5. Misi yang gagal
6. Manusia kura kura ninja
7. Titik terang
8. Dua sisi mata koin
9. Pelamar profesional
10. Mimpi
11. Hati yang kokoh
12. Yang merugi dan tidak tahu berterimakasih
13. Serangan hati yang perih
14. Mutiara yang tersembunyi
16. Lana dan bencana 1
17. Lana dan bencana 2
18. Ketika ikhlas menjadi umpan
19. Menyulam cinta diatas duka
20. Kecupan beribu makna
21. Kebahagiaan terakhir
22. Cinta yang diuji

15. Arsalovers

4.5K 217 8
By suffynurcahyati

Minggu pagi yang cerah rasanya kurang lengkap kalau tidak diisi dengan aktifitas pagi. Seperti melakukan jogging di taman, misalnya. Sang mega nampak menyapa ramah suasana pagi ini. Matahari mengintip di sela-sela awan yang berpencar. Pasti menyenangkan bila mencoba mengakrabkan diri dengan alam.

Tsabit akhirnya menerima ajakan Abrar untuk melakukan lari pagi bersama usai sholat subuh tadi. Selagi Abrar menunggu di teras, Tsabit bersiap-siap mandi dan berganti pakaian. Dengan memakai celana training lebar lalu sweater panjang berwarna hijau tosca, nampak sederhana menemani jilbab segiempat yang dipakainya.

Di tempat tidur, Arsa membuka matanya perlahan seraya menggeliat kecil. Pantulan cahaya fajar dari jendela tak mampu menutup kembali matanya. Mau tidak mau ia terbangun dan mendapati Tsabit sedang duduk di kursi rias memakai sepatu.

"Lo mau kemana?" Tanya Arsa dengan suara paraunya sambil mempertegas pandangan mengucek-ngucek mata.

"Mau lari pagi. Sekalian ikut senam juga." jawab Tsabit, tangannya membuat simpul tali sepatu.

"Senam?" Arsa mengangkat separuh tubuhnya agar bisa tegak bersandar. Tsabit mengangguk sambil menipiskan bibirnya dalam kuluman senyum.

"Kata Ka Abrar tiap minggu pagi di lapangan Karang Taruna sana, suka diadakan senam pagi. Siapa aja boleh ikut. Tidak dipungut biaya apapun. Kalau mau ngasih ya seikhlasnya aja." jelas Tsabit. Sebelum Tsabit menjelaskan sedetail itu juga Arsa sudah tahu. Bertahun-tahun ia tinggal disini, tentu hafal betul rutinitas yang diadakan di lingkungannya. Tapi, Arsa seperti melewatkan ucapan yang aneh barusan.

"Lo pergi berdua sama Mas Abrar?" Arsa menarik alis seraya menegakan tubuh.

"Iya."

Tidak ada tanggapan setelah itu. Dalam diam, Arsa memikirkan sesuatu. Bibir bawahnya tergigit setengah. Ia lihat Tsabit telah selesai menalikan sepatunya lalu berdiri, menghadap dirinya hendak bertanya.

"Kamu mau,—"

"Gue ikut!"

Setelah lancang memotong kalimat Tsabit, ia bangkit dari tempat tidur dengan gerak cepat sampai sampai melempar selimutnya ke sembarang arah, menuju kamar mandi. Tsabit terheran-heran melihat tingkahnya. Sepertinya baru semalam Arsa meringis kesakitan seperti anak kecil karena merasakan sakit di dadanya. Kenapa pagi ini ia bisa segesit tupai yang berlari di atas aspal panas? Tsabit dekati pintu kamar mandi. Terdengar gemericik air dari keran.

"Kamu beneran mau ikut?" Tanya Tsabit dari depan pintu kamar mandi.

"Iya. Tungguin!" Jawaban singkat menggema dari sana.

Tidak sampai sepuluh menit, sosok Arsa keluar dari kamar. Tsabit menunggunya di meja rias dibuat tertegun beberapa detik. Arsa hanya mengenakan kaos tanpa lengan warna hitam dan selalu memakai celana basket andalannya. Sepertinya ia punya koleksi celana basket berlusin-lusin. Atau bisa jadi ia punya sampingan berjualan celana di pasar senin. Sambil mengeringkan rambutnya yang basah ia bercermin membelakangi Tsabit.

Dari balik tubuhnya, Tsabit seperti orang bodoh menatap punggung indah suaminya. Sayangnya, selama ia menikah dengan pria itu, belum pernah merasakan pelukan dari sana. Pasti sangatlah hangat dan nyaman.
Aish! Tsabit menggeleng tidak karuan dibawah khayalannya sendiri. Arsa yang sedari tadi selesai bercermin melihatnya keheranan.
"Lo kenapa?" Tsabit terkesiap.

"Nggak kenapa-napa. Udah?" Tsabit berdiri sekaligus menutupi kesalah tingkahannya.

"Lo nggak liat gue udah ganteng gini?" Jawabnya sambil menyisir jambul pendeknya menggunakan jari menghadap cermin lagi.

Tsabit mencebik belagak muntah.

  “Sok ganteng, iya." Ia melengos saja pergi keluar kamar, disusul Arsa. Dia tersenyum kecil.

*

"Di sini nggak cuma buat lari pagi aja. Tapi selain buat senam, ada pasar kaget juga, Bit. Jadi kamu bisa belanja atau wisata kuliner juga." Sambil berlari memutari lapangan, Abrar mendeskripsikan area lapangan olahraga Karang Taruna kepada Tsabit yang juga melakukan aktifitas yang sama.

"Oh gitu, ya Ka. Wah aku bisa sering-sering nih ke sini." Tsabit sumringah.

"Buat olahraga?"

"Bukan, buat wisata kulinernya." Lalu terkikik sambil memeletkan lidah. Abrar tertawa kecil menatap Tsabit. "Kamu tuh bisa aja."

Mereka sudah memutari tiga kali lapangan. Berbeda dengan Arsa yang turut bersama mereka, memilih berlari sendiri. Ia sudah menempuh sepuluh kali putaran. Wajarlah ya, Arsa seorang yang separuh hidupnya bergantung pada olahraga. Hampir semua jenis olahraga dia kuasai. Dari basket, sepak bola, taekwondo, muai thai, boxing dan masih banyak lagi. Jadi jangan heran kalau dia memiliki kesempurnaan pada posturnya. Semua itu mendukung ketampannya serta ketenerannya.

"Lo niat olahraga apa pacaran sih? Lelet banget." Arsa menyetarakan langkahnya beriringan dengan Tsabit dan Abrar. Entah datang darimana tahu-tahu ia sudah meneroboskan diri di tengahtengah antara istri dan kakaknya itu.

"Kamu nya aja yang getol. Lari tuh santai aja. Lari lari kecil aja." jawab Tsabit tidak kalah sewot.

"Bukan lari itu mah. Jalan cepet!" Celetuk Arsa mengusap peluh yang memenuhi keningnya menggunakan punggung tangan.

Baru sepuluh putaran saja, rambutnya sudah basah karena keringat. Tsabit yang melihatnya hanya bisa melongo samar. Sewaktu SMA, Tsabit pernah mengidolakan kakak kelasnya. Dia cowok favorite di sekolah. Dia jago basket. Dan yang Tsabit suka sekali kalau cowok itu sedang bermain basket. Bukan karena hal lain, melainkan karena ia suka melihat pria jika sedang berkeringat. Baginya, itu terlihat macho dan gagah. Dan pria idolanya itu persis sekali dengan pria yang kini berada disebelahnya. Arsa.

"Gimana mau sehat kalo larinya menye-menye kayak gitu. Lari kayak gue nih." pamer Arsa bergaya sok olahragawan hebat. Padahal lawan tiga preman aja K.O, umpat Tsabit. Tsabit hanya acuh terus berlari kecil. Malas meladeni kesombongan Arsa.

"Lo harus bisa. Biar badan lo sehat. Nggak kurus kayak gitu." Mata Arsa tertuju pada tubuh Tsabit. Buru-buru Tsabit mendelik tajam tak terima.

"Maksud kamu, saya kurus?"

"Iya lah. Coba deh sini tangan lo." Tanpa meminta izin Arsa langsung meraih pergelangan Tsabit. Ia tarik sedikit lengan jaket Tsabit hingga sedikit memperlihatkan pergelangan tangan. Ia satukan telunjuk dan jempol melingkari pergelangan tangan tersebut.

"Nih lo liat! Tangan lo gak ada setengahnya tangan gue masa. mini banget gitu."
Tsabit buru-buru melepas kasar tangannya dari perlakuan Arsa.

"Kamu ganteng-ganteng jangan gesrek juga bisa ga? wajarlah. Kamu tuh cowok. Gede tinggi pula. Kalo tangan saya sebesar ukuran tangan kamu, yang ada saya dikira popeye tau gak."

Bibir Arsa berkedut.

"Lagian, ini tuh postur ideal. Tinggi saya 160 centimeter. Begitu juga berat badan saya, 55. Itu termasuk standar ideal wanita Asia. Kamunya aja gak bisa bedain." Tsabit mulai sewot sendiri. Kalau kebanyakan wanita sekarang begitu anti jika disebut gemuk atau gendut. Tapi Tsabit justru sebaliknya. Ia lebih senang dikatakan gemuk ketimbang kurus. Karena tubuh gemuk menandakan jiwa yang kuat. Berbeda dengan gendut ya.
"Ukuran dada, ideal juga?"

Tsabit mengatupkan rahang sambil menyipit menatap Arsa. Arsa melihat Abrar berlari kecil mendahului dirinya dan Tsabit. Pasti dia jengah mendengar pertikaian Tsabit dan Arsa.

"Dada?" Ulang Tsabit mencium curiga.

"Iya. Ukuran dada." Arsa pun menghentikan larinya. Disusul Tsabit. Kemudian ia dekati alat bicaranya ke telinga gadis itu lalu berbisik, "Kalo gue perhatiin, ukuran dada lo belum bisa dikatakan ideal. Nggak bias di besarin lagi?"

Usai kalimat itu berakhir, Arsa memanfaatkan langkah seribunya menjauh dari serangan Tsabit secepat mungkin. Jelas saja, setelah mendengar, wajah Tsabit langsung memerah padam napasnya berembus bak banteng mengamuk, menatap geram Arsa yang mulai menjauh dari pandangan.

"Arsa! Berani kamu ya! Nggak sopan! Jangan harap bisa hidup!" Teriak Tsabit menunjuk Arsa menimbulkan reaksi aneh orang sekitar yang melihatnya. Ia pun berlari menyusul Arsa.

"Kejar gue kalo bisa!" Usaha Arsa agar Tsabit berlari sekencang mungkin pun berhasil.

Sekarang volume kecepatan Tsabit bertambah drastis bahkan melewati Abrar yang sedang berlari santai di sana. Ia tidak akan membiarkan Arsa kabur. Harga dirinya sudah diinjak-injak oleh bocah ingusan itu. Tahu apa dia soal ukuran dada? Oh, jangan-jangan diam-diam ia masuk ke dalam organisasi pria mesum di internet.

"Bisa stres saya ngadepin kamu." umpatnya selagi berlari. Sejauh ia memutari lapangan, Tsabit belum berhasil menyamakan langkahnya dengan pria itu. Sungguh kalau urusan olahraga, Arsa masuk kategori ahli. Tsabit hampir ngos-ngosan dibuatnya. Napasnya mulai tidak beraturan.
Hingga ia pun berhenti sejenak, mengatur nafas sambil mengambil posisi seperti ruku'. Ia mengusap Peluh-peluh yang mulai membasahi jilbab. Deruan nafas mencuat dari mulutnya.

"Kok berhenti?" Arsa sengaja mundur untuk melihat keadaan Tsabit. Ia berdiri menunduk di depan gadis itu. "Capek?" Tanyanya.

"Auah!" Ketus Tsabit tak mempedulikan keadaan. Ia langsung saja duduk selonjoran meluruskan kaki di atas aspal.

Memalingkan wajah ketika Arsa turut melakukan hal yang sama. Pria itu menatapnya khawatir.

"Dih, lo marah?"

"Engga."

"Baru segitu doang aja marah. Cepet tua loh." Arsa menyikut genit gadis disampingnya dengan seringai jail.

"Emang udah tua."

"Oiya ya, lupa. Istriku udah tua ya. Tapi tetep cantik kok."

Arsa menekuk lutut lalu memeluknya menghadap Tsabit. Sambil senyum senyum sendiri mengamati ekspresi ngambek Tsabit yang cukup menghibur.

Tsabit belagak pengin muntah sekarang. "Nggak usah sok muntah gitu. Gue tau dalam hati lo seneng kan bisa berdua sama gue." ujar Arsa enteng. Tujuannya hanya untuk melihat raut tidak terima Tsabit yang memang lucu baginya. Dan benar. Tsabit bergidik jijik sambil mengernyit aneh.

"Ngomong nih, sama anduk basah!" Timpal Tsabit sambil menggoyang goyangkan handuk kecil miliknya dihadapan Arsa.

"Gue tau, dalam hati lo seneng kan bisa berdua sama gue?" Dan Arsa benar-benar konyol hari ini. Ia malah mengulang ucapannya sambil menerima handuk Tsabit lalu mengajaknya berbicara.

Yang tadinya wajah Tsabit penuh lipatan kerutan, kini ada cekungan manis yang tertarik dari bibirnya. Sambil memalingkan wajah lagi, ia berusaha mengeluarkan tawa ringannya akibat ulah konyol Arsa.

"Gitu dong, ketawa." Arsa tersenyum puas. Untuk hari ini, matanya tak bosan memandang Tsabit. Ia nampak alami pagi ini.

Keringat di dahinya menambah kesan lain. Sayangnya, Fania tidak seperti Tsabit. Sejak mereka menjalin hubungan, Fania belum pernah sekali pun menemani Arsa melakukan olahraga bersama. Ia terlalu takut berkeringat dan lepek. Padahal Arsa suka sekali dengan wanita yang aktif dan mengeluarkan auranya ketika sedang berkeringat. Tanpa sadar ia membandingkan kedua gadis itu dalam hatinya.

"Besok-besok kalo mau olahraga, jangan ajak Mas Abrar. Sama gue aja. Gue kan suami lo. Lo mau jadi istri durhaka? Ntar kalo gue kutuk jadi batu, mau?" Arsa merapatkan duduknya kepada Tsabit. Tsabit menoleh heran.

"Sejak kapan kamu mikirin saya pergi sama siapa? Kamu kan bukan mama saya."

"Surga lo kan sekarang ada sama gue. Kalo lo gak nurut. Nanti lo jadi Tsabit kundang. Mau?" Ancamnya dengan nada menakutinakuti yang sangat berlebihan. "Pokoknya lo gak boleh pergi sama Mas Abrar," tegas Arsa.

"Cemburu?"

Sontak saja Arsa menoleh. Wajahnya menegang, matanya menatap kanan kiri. Itu reaksi salah tingkah khas Arsa.
"Gue? Cemburu? Sama Mas Abrar? Ya engga lah," ungkapnya enteng sambil mengibas tangan menepuk lutut. "Lo gak tau kan kalo wartawan zaman sekarang udah kayak Tuhan? Ada dimana-mana. Gue gak mau aja, nama baik gue tercoreng lagi kalo istri gue ketauan berdua sama cowok lain."

"Tapi dia kan kakak kamu."

"Nggak usah batu, deh. Tinggal bilang 'iya' doang apa susahnya, sih?" Arsa mendengus sebal.

"Iya bawel." Tsabit melengos, lalu berdiri sambil mengusap celananya. Arsa mendongak. "Lo mau kemana?"

"Mau senam"

"Gue ikut!" Ia turut berdiri sambil membenarkan gaya rambutnya.
Sok ganteng banget ni anak, umpat Tsabit dalam hati memerhatikan tingkah laku Arsa.

"Gue tahu gue ganteng. Ngeliatinnya gak usah mupeng gitu." Tsabit melengos pergi berlalu meninggalkan Arsa sambil berkata, "Terserah!"

*

Rayyan duduk gelisah di dalam bus. Pada deret kursi baris kedua sebelah kanan, ia tatap jalanan yang semakin padat. Memerhatikan palang-palang jalan yang berdiri kokoh. Akan tetapi pikirannya sedang tidak menyertainya dalam keadaan tersebut.

Kalau bukan karena adanya seseorang yang menghubunginya lalu menceritakan suatu hal, Rayyan tidak mungkin nekat meninggalkan Taylornya hari ini, dan memutuskan untuk pergi menemui orang tersebut. Masih dalam kegelisahan, ia tak henti mengabsen butir-butir biji tasbih lewat iringin dzikir dalam hembusan nafas. Sejak itu pikirannya menjadi tidak tenang. Dan lagi sesuatu itu menyangkut kselamatan orang yang ia sayangi.

"Pak, stop! Pak!"

Rayyan pun turun dari bus, mengeratkan tas punggung hitamnya menatap jalan. Ia berjalan menuju tempat dimana dirinya dan seseorang itu akan bertemu.
Sesampainya di salah satu mall, Rayyan melangkah masuk menuju lantai tiga. Disanalah ia bertemu seseorang yang kini sedang duduk manis menikmati dim sum hangat bersama segelas jus alpukat di meja. Tanpa menanyakan lagi, Rayyan sudah tahu penampakan seseorang itu. Ia pernah bertemunya sekali dalam suatu acara.

"Assalamualaikum. Dengan Fania?" Tanya Rayyan memastikan.

Gadis yang dimaksud mengangkat dagu untuk melihat. "Betul. Aku Fania." Fania mengulurkan tangan mengajaknya bersalaman. Tapi buru-buru ia menarik tangan, ketika Rayyan hanya merespon dengan tangkupan tangan di dada sambil tersenyum. Ini pertama kalinya Rayyan bertemu langsung dengan gadis yang pernah ia lihat di televisi digosipkan dengan Arsa. Entah darimana gadis itu mendapat kontak nomor teleponnya. Yang jelas, Rayyan cukup terkejut dengan pertemuan ini.

"Silakan duduk." Rayyan duduk di kursi depan Fania. "Silakan pesan makanan dulu. Aku yang bayar," lanjutnya sambil mencari cari sesuatu di tas.

"Maaf. Saya puasa."

Otomatis gerakan tangan di tasnya terhenti, lalu menatap heran pria itu.

"Puasa? Ini bukannya hari minggu ya?"

"Puasa Yaumul bid'h."
Fania menyingkap rambut ke telinga.

"Puasa apa tuh? Baru denger kayaknya."

"Puasa ayyamul bid'h adalah salah satu amalan puasa sunnah yang dikerjakan tiga hari setiap bulannya, yaitu pada hari tanggal ke13, 14, dan 15 dari bulan Hijriyah." Papar Rayyan dalam sikap tenang. Fania meng-oh santai lalu mengangguk.

"Sebaiknya langsung saja. Ada apa kamu mengajak saya bertemu di sini. Saya masih ada urusan yang harus dikerjakan."

"Kalau kamu sibuk, aku gak maksa buat ketemu. Kamu malah nekat."

"Kalau bukan menyangkut Tsabit. Saya tidak akan berada di sini. Di hadapan kamu." Rayyan membuang nafas berat. "Jadi, tolong. Jelaskan apa maksud kamu mengatakan bahwa pernikahan antara Arsa dan Tsabit hanya sebuah sandiwara semata."

Fania tertawa sinis namun samar. "Kamu cinta mati ya sama perempuan itu? Aku juga cinta mati sama Arsa. Kita sama."

"Tolong jawab pertanyaan saya." Rayyan tidak suka berbasabasi apalagi meladeni pernyataan Fania barusan.

"Baik." keadaan mulai tenang. Fania menaruh tangan di atas meja menatap Rayyan serius. "Itu benar. Pernikahan Arsa dan Tsabit terjadi hanya karena adanya perjanjian. Tidak ada cinta, tidak ada mengenal satu sama lain, tidak ada keseriusan, tidak ada niat ibadah sekalipun. Yang ada hanya main-main." Fania melakukan gerak tanda kutip menggunakan kedua tangan. "Semua itu terjadi karena Tsabit ingin menolong Arsa membersihkan nama baik keluarganya dari media. Kamu kenal Kartika, kan? Mertua Tsabit?"
Rayyan diam mengerti.

"Dia sudah terlanjur mengajak Tsabit bersandiwara dengan mengakuinya sebagai pacar anaknya, Arsa. Singkat cerita, Tsabit memilih menikah ketimbang harus berpura-pura pacaran dengan Arsa."
Rayyan tidak habis pikir. Benarkah yang diucapkan Fania itu? Ia memang sudah menaruh curiga pada pernikahan Tsabit. Tsabit bukan gadis sembarangan yang mau begitu saja menerima lamaran seorang pria. Meskipun umurnya memaksa untuk menikah sekalipun. Tsabit orang yang cerdas.

"Dan yang harus kamu tahu, diantara mereka tidak ada saling cinta. Kamu tahu apa akibat yang akan diterima perempuan itu nantinya? Selain status janda, Tsabit akan menjadi buah bibir media lalu menjadi bahan olok-olok publik."

  "Lantas, tujuan kamu menceritakan ini kepada saya?"

Fania mengerucutkan bibir, memutar bola mata kemudian kembali menatap Rayyan.

"Aku mau mengajak kamu kerja sama.
Kerja sama yang menguntungkan pastinya."

"Kerja sama apa?"

"Sebenarnya melihat gaya agamis kamu yang seperti ini, aku udah pesimis duluan, sih. Tapi nggak apalah. Gak ada salahnya dicoba. Siapa tahu, perasaan cinta kamu ke Tsabit bisa mendobrak kereligiusan kamu."

"Dari tadi saya perhatikan, kamu hobi sekali bertele-tele ya. Kamu sadar, sudah membuang banyak waktu saya?" Ucap Rayyan dingin. Matanya tajam menatap gadis berparas ayu itu.

  "Oke oke, tuan Rayyan yang terhomat. Aku mau kita kerja sama misahin Arsa dan Tsabit. Aku yakin kamu pasti gak tega melihat Tsabit menderita sama pria yang tidak dicintainya, kan? Begitu juga aku. Aku mau bebasin Arsa dari jerat mamanya. Dia hanya mencintai aku, pacarnya."

Rayyan menelisik gejolak yang hadir dari mata Fania. Ia masih diam membiarkan Fania berceloteh tentang niat busuknya.
"Kalau kamu mau, aku sudah menyiapkan rencana untuk misi kita. Kamu jangan khawatir. Aku bisa main aman. Aku jamin tidak ada yang curiga, bahkan Tsabit sekalipun. Gimana?" Tanya Fania mengakhiri pemaparannya.

Rayyan masih sibuk dalam pikirannya sendiri. Ia tidak menduga Tsabit nekat mengambil jalan ini. Pernikahan bukanlah hal yang mainmain. Itu menyangkut janji dan tanggung jawab terhadap Tuhan. Andai Rayyan tahu sejak awal masalah ini, tentu ia akan bersi keras melarang Tsabit untuk menikah.

"Helloow, Rayyan." Fania memetikan jari tepat di wajah Rayyan. Pria itu terhentak sadar dari lamunan.

"Malah ngelamun. Gimana penawarannku barusan?" Rayyan belum menjawab. Sebagai orang yang mencintai Tsabit diam-diam, tentu ia tidak ingin Tsabit tersiksa karena menikah dengan pria yang tidak dicintainya. Tapi ia tidak ingin menjadi perusak rumah tangga Arsa dan Tsabit. Melihat respon Rayyan seperti itu, Fania memutar bola mata.

"Kamu ragu sama kemampuanku? Kamu tenang aja. Rahasia dijamin aman. Perasaan kamu terhadap Tsabit bakal terbalas. Kalau kamu beranggapan cinta itu tidak harus memiliki, itu bullshit, Rayyan! Omong kosong. Itu cuma quotes-quotes alay gak berguna. Cinta itu harus saling memiliki. Dan dari saling memiliki itulah, cinta akan semakin tumbuh." Gaya bicara Fania sudah seperti motivator hebat yang berpengalaman. Tapi sayangnya Rayyan belum menunjukan ketertarikan sedikitpun.

"Kalau kamu tidak tertarik dengan penawaran ini, setidaknya bantu aku mendapatkan seseorang yang seharusnya jadi milik aku, Yan. Please!" Fania memasang raut meyakinkan. Nampak sekali keinginan terbesarnya mendapatkan kembali sang cinta sejati. Terlihat ketika ia mengutarakan bagaimana ia mencintai Arsa. Setelah terdiam cukup lama, Rayyan angkat suara.

"Kamu benar-benar mencintai Arsa?" Dari sana Rayyan hampir goyah. Ia menerima anggukan mantap Fania. "Kamu juga kan mencintai Tsabit?"

Rayyan diam lagi. Matanya memandang sekilas keramaian lantai tiga yang dipenuhi kebanyakan anak muda dengan gaya pakaian kekinian. Bukan seperti dirinya. Pria sederhana yang hobinya membawa tasbih kemana pun ia pergi.

"Kasih tahu saya apa saja rencana kamu."
Senyum lega Fania terukir jelas di sana. Senyum penuh makna yang terus ada selama mereka berbincang hingga seterusnya.

*

Selama senam berlangsung,Tsabit banyak melakukan kesalahan gerakan. Entah itu terlewat lah, atau tidak seirama dengan musik lah dan masih banyak lagi kekakuan Tsabit. Bukan karena ia tidak terbiasa melakukan senam. Tapi karena perhatian gadis itu sedang tidak fokus pada sang instrukstur senam.

Alih-alih memerhatikan ke depan dimana intrukstur senam memeragakan gerakan, Tsabit malah fokus pada sekumpulan gadis cantik yang sedari tadi mengerumuni Arsa. Memang tidak seberapa sih, ada tiga gadis disana yang berani beraninya menarik perhatian Arsa.

"Perasaan, Arsa gak ganteng-ganteng banget, deh. Kok cewekcewek itu mau maunya sih nempelin Arsa terus. Mana Arsanya sok kegantengan lagi." gerutu Tsabit keki memandang dari jarak yang tidak jauh dari Arsa dan kerumunannya.

"Mereka nggak tahu aja, kalo cowok yang mereka gilai itu, cowok cemen yang takut minum obat. Kalo tau juga langsung turun tuh pamornya." Sesekali Tsabit fokus pada instruktur senam walau nyatanya perhatiannya tidak bisa lepas dari aktifitas Arsa dengan fansfans centilnya itu.

Selagi senam, Tsabit terus menggerutu tidak jelas seraya komatkamit entah berbicara apa. Sekarang ia melihat Arsa tengah melayani fans-fansnya itu berfoto bersama. Tsabit langsung belagak muntah lalu mencebik tak senang. "Belum mandi tuh dia, Mbak. Jangan mau. Ntar kebauan loh." cibirnya lagi tanpa ada yang mendengar.

Tsabit mengambil inisiatif mendekati mereka dengan menyamarkan langkahnya seolah-olah sedang senam. Perlahan langkahnya mendekat ke arah kerumunan. Tidak ada yang curiga, termasuk Arsa sekalipun. Pria sibuk dengan fans-fansnya. Hingga akhirnya Tsabit bisa mendengar percakapan mereka. Ia berpura-pura merentangkan tangan lalu melompat-lompat.

"Ka Arsa kapan-apan ajarin aku taekwondo ya. Aku seneng deh ngeliat kakak lagi taekwondo waktu di posting di ig itu." ungkap girang salah satu gadis berambut panjang ikal sebatas punggung dikepang, memakai kaos longgar dan celana leging.

"Siap. Rumah kamu dimana emang?" Jawab Arsa sok ramah sambil sibuk menerima beberapa bungkusan coklat. Rupanya ada beberapa fans yang memantau aktifitasnya hari ini lewat akun instagramnya. Seorang yang terkenal macam Arsa, kurang afdhol kalau tidak memposting kegiatannya di media sosial.

"Di munjul Ka. Nggak jauh dari sini."

"Kak Arsa kapan main ke Bandung lagi? Anak -pada kangen mau meet up sama lunch bareng tau."

Tsabit ternganga. "Ampe ngajak makan siang segala? Gila juga nih anak," gumam Tsabit menggerak gerakan tubuhnya tidak jelas. Ia kembali memasang telinga.

"Iya nanti ya kalo kakak gak sibuk. Kalian pada darimana?"

"Dari Bogor, Ka. Sengaja kesini mau ngeliat kakak olahraga," sahut salah satu leader fanbase Arsa. Mereka kompak memakai kaos seragam hitam bertuliskan 'ArsaLovers'. "Kak, aku mau dong, jadi baju kakak. Biar bisa nempel terus sama kakak."
Khusus kalimat yang ia dengar barusan, Tsabit benar-benar ingin muntah sekarang. Bisa-bisanya mereka merayu rayu Arsa. Padahal umur mereka masih ABG. Dapat kosakata darimana, sih?

"Kalo gue sih jijik. Bau keringet tahu." celetuk Tsabit asal, tanpa sadar terdengar oleh salah satu dari mereka.

"Yaelah, biasa aja kali. Sirik ya." celetuk salah satu fans Arsa yang mendengar itu. Gayanya serasa paling cantik sedunia. Tsabit melirik tak kalah sinis.

"Kamu punya masalah sama saya?" Tsabit menghentikan aktifitasnya. Menoleh pada gadis berusia sekitar 14 atau 15 tahun itu.

"Lo yang cari masalah. Ngapain pake nyindir-nyindir gitu. Kalo gak kenal siapa Arsa, gak usah nyinyir gitu bisa kali." Gadis itu memilin-milin rambutnya sok kecentilan.

Tsabit takjub! Di zaman sekarang, anak muda seperti dia atau mungkin teman-temannya sudah berani bersikap tidak sopan terhadap orang yang lebih tua. Semoga saja orang orang seperti mereka hanya ada beberapa. Jangan ada lagi generasi seperti ini. Tsabit bertolak pinggang lalu menatap gadis si Arsalovers itu secara intens.

"Saya yang nggak kenal Arsa, atau memang kamu yang nggak pernah nonton TV? Harusnya kamu tahu dong seluk beluk Arsa serta kehidupan barunya. Oh! Atau status barunya."

"Elo yang sok tau. Lo pikir lo siapa? Emang lo tau kehidupan Arsa kayak apa?" Berani-beraninya gadis ABG berbandana merah itu menunjuk nunjuk wajah Tsabit dengan tampang sok. Tsabit menyingkirkan telunjuk itu dari wajahnya.

"Hei, anak kecil. Tolong dijaga ya mulut kamu. Orang tua kamu nggak ngajarin sopan santun ya?"

"Kalo gue nggak mau jaga mulut gue kenapa? Masalah buat lo? Apa gue harus jungkir balik terus bilang 'wow' gitu?"

Fix! Fansnya Arsa anak alay semua.
Pertikaian kecil itu akhirnya menarik perhatian Arsa. Melihat Tsabit sedang adu mulut dengan salah satu fansnya, Arsa buru-buru mengambil tindakan. Ia menengahi keduanya dibantu beberapa fans yang lain. Fans yang lain menjauhkan gadis ABG itu, sedang Arsa mengambil alih Tsabit agar menjauh. Ia eratkan kedua tangan di pundak Tsabit seraya menghadapnya. Beberapa orang sekitar menatap heran.

"Kalo cemburu, yang elegant dikit. Masa cemburu sama bocah. Nggak malu sama umur?" Ucap Arsa agak berbisik. Harusnya kan Arsa menenangkannya dengan kata-kata romantis. Malah menjatuhkannya seperti ini. Tsabit melepas kasar tangan Arsa dari tubuhnya.

"Siapa yang cemburu? fans alay kamu aja yang cari masalah. Dia yang mulai duluan." jawab Tsabit sewot memalingkan wajah sambil melipat tangan.

"Ah masa? Lo nggak mepet-mepet deket gue biar bisa denger obrolan gue sama Arsalovers, kan?" Arsa iseng menaik turunkan alis. Senyumnya mengandung kadar gula berlebih. Tsabit harus kebal. "Atau lo mau daftar jadi Arsalovers, juga?"
Tsabit mengendik menaikan bahu jijik sambil mengangkat satu sudut bibit sebelah kanan.

"Saya punya kegiatan lebih penting selain jadi Arsalovers kebanggaan kamu itu." Arsa mengulum senyum sambil mengangguk sok paham. Ia akui, ini pertama kalinya Arsa merasakan titik kebahagiaan lain. Entah dari mana asalnya kebahagiaan itu. Tapi ia tahu, perasaan bahagia itu muncul sejak ia senang melihat tingkah cemburu Tsabit. Walaupun gadis itu tidak mengaku, setidaknya kesewotan yang Tsabit tunjukan tidak bisa dibohongi. Ia senyum lagi.

"Ngapain senyum-senyum sendiri?"

"Lo masih mau di sini?" Tanya Arsa mengubah rautnya menjadi datar. "Kalo masih mau di sini, jangan cari masalah lagi. Gue mau nemuin fans-fans gue lagi di sana."

Wajah Tsabit sekarang persis seperti tumpukan pakaian kusut yang belum disetrika. Ia mendengus panjang.

"Oh silahkan. Saya tahu diri kok. Saya yang akan pergi."

Tsabit pun berbalik lalu pergi meninggalkan Arsa yang menatap kepergiannya lama sampai-sampai salah satu fansnya meneriakinya berulang-ulang agar ia menyahut.

*

Usai menemui fans-fans alaynya. Arsa langsung saja berlari mencari sosok Tsabit. Sejak perdebatan tadi, pikiran Arsa menjadi tidak tenang. Walaupun jiwanya sibuk meladeni Arsalovers, tapi pikiran dan hatinya saling berpencar memikirkan keadaan gadis itu. Bahkan sesekali ia mengedarkan matanya menatap sekitar barangkali Tsabit tidak jauh dari tempat ia berkumpul. Sayangnya, Tsabit benarbenar menepati janjinya untuk pergi menjauh.
Untungnya Arsa hafal area lapangan ini. Jadi, ia bisa mengabsen tempat mana saja yang belum dijelajahinya. Dan satusatunya tempat yang belum ia cari adalah taman bermain dan olahraga. Dugaannya pun benar. Dari kejauhan Arsa bisa melihat Tsabit sedang sibuk bergelantungan pada besi penyangga yang biasa dipakai pengunjung taman untuk berolahraga. Arsa tidak langsung menghampirinya, melainkan memerhatikannya dari tempat ia berdiri.

Dilihatnya gadis itu sedang susah payah berpindah dari deretan bar satu yang bar lain dalam keadaan bergelantungan. Tangannya yang kecil, ia amati nampak menegang kaku menggenggam bar-bar itu dengan kuat. Belum lagi wajah kelelahan yang terpancar dari sana. Arsa semakin nyaman menikmati pemandangan dihadapannya itu. Ia menyandarkan tubuh pada besi ayunan anak seraya melipat tangan di dada. Ada senyum tatkala ia mendapati Tsabit sedang terjatuh dari besi penyangga itu. Bukan karena menertawakan kecerobohannya, melainkan mengagumi ketangguhan gadis itu. Arsa bisa menyimpulkan bahwa Tsabit bukan gadis lemah yang cengeng. Ia gadis kuat dan pemberani. Lihat saja, sudah berkali-kali ia terjatuh, tapi masih saja terus berusaha melewati bar-bar itu dengan sempurna.
Tsabit mencoba lagi bergelantungan pada alat bernama hanging knee rise itu. Setelah posisinya telah mantap bergelantunga pada ujung bar, Tsabit hendak memindahkan tangan pada bar berikut. Sayangnya gerakan itu harus ia urungkan karena ada sesuatu yang memegangi kedua kakinya dari bawah. Sontak Tsabit menatap ke bawah.

"Kamu ngapain? Lepasin kaki saya." perintahnya melihat Arsa tengah memegangi kakinya, tepatnya pada betis.

"Kalo posisi kaki lo nggak rapet, lo nggak bakal bisa melewati bar ini dengan sempurna." Arsa menggenggam erat betis Tsabit. "Pertama-tama yang harus lo lakuin itu, lurusin kaki. Setelah itu bahu agak naik. Gunanya untuk menguatkan otot perut, paha, dan lengan."

Melupakan perdebatan yang terjadi tadi, Tsabit menuruti instruksi Arsa. "Sekarang tarik napas dalam-dalam. Tarik lewat hidung hembuskan lewat mulut," lantas Tsabit melakukannya dengan baik.

"Oke bagus. Sekarang lo pindahin tangan lo ke bar pertama, jangan ragu. Harus mantap dan jangan takut." Instruksi Arsa persis seperti guru olahraga yang sedang melatih muridnya. "Nanti dipertengahan bar-baru gue lepas."

Tsabit serius mempraktekan instruksi Arsa dengan sangat baik. Sambil terus maju memindahkan tubuh dari bar satu ke bar lain Tsabit lakukan dengan sekuat tenaga. Tepat dipertengahan, Arsa benar-benar melepas genggaman di kakinya.

"Ayo sedikit lagi. Pasti bisa." Arsa menyemangati serius.

Perlahan namun pasti, akhirnya Tsabit berhasil melewati lintasan bar pada hanging knee rise itu dengan sempurna. Ia pun bersorak kesenangan dalam posisi yang sama. Saking kegirangan, ketika melompat turun, Tsabit tidak bisa menyeimbangkan tubuh hingga tanpa sengaja tubuhnya mendarat tepat di tubuh Arsa. Posisi mereka tidak seintim seperti di sinetron di televisi. Posisi Tsabit tetap berdiri tapi gerak jatuhnya mendorong dada Arsa sampai ia mundur hampir tersungkur ke belakang. Untungnya tenaga Arsa lebih kuat sehingga mampu menopang tubuh Tsabit.
Ada semburan panas memenuhi wajah Tsabit. Tapi itu tidak bertahan lama setelah ia menyadari konfliknya terhadap pria itu.

"Udah selesai jumpa fansnya?" Ucap Tsabit sembari membenarkan posisinya.

"Udah. Kenapa? Nyesel ya nggak bisa ikut?"
Tsabit memutar bola mata lalu melengos duduk pada batu besar yang disediakan untuk duduk pengunjung. Arsa mengekor dan duduk disebelahnya.

"Lo marah?"

Tsabit acuh sambil meminum air mineral.

"Marah mulu. Hobi ya? Bukannya berterimakasih."

"Terimakasih buat apa?"

"Lah, barusan gue bantuin lo naik hanging itu. Terus kalo gak ada gue, mungkin lo udah nyusruk tadi ke tanah. Kecil-kecil badannya berat." ungkap Arsa seenaknya.

"Iya iya. Terimakasih ya kura-kura ninja." jawab Tsabit singkat kemudian menyibukan diri meluruskan kaki sambil mencium lututnya.
"Kok lu demen banget sih manggil gue kura-kura ninja. Emangnya gue kayak kura-kura apa?" Protes Arsa tiba-tiba sambil menggaruk kepala.

Tsabit menyembunyikan bibirnya rapat. Kalau ia mengatakan alasan sebenarnya memanggil kura-kura ninja, pasti Arsa semakin besar kepala.

"Engga juga. Asal manggil aja."

"Aneh!"

Mereka terdiam dalam kesibukan masing-masing. Ditengah kesibukannya bermain ponsel, Arsa sedang berpikir keras memikirkan sesuatu. Ada yang ingin ia tanyakan mengenai satu hal yang mengganjal di hatinya. Tapi haruskah ia mengatakan hal itu sekarang? Sepertinya Tsabit sedang lelah. Belum lagi perkelahian yang mereka alami tadi akan menambah beban Tsabit.

"Kamu kenapa ngeliatin saya kayak gitu?" Tanya Tsabit salah tingkah menjadi objek penglihatan Arsa sejak tadi. Tatapan yang diberikan itu aneh. Ia seperti ditatap ribuan juri kontes menyanyi.

"Gue mau nanya sama lo. Tapi lo mau nggak jawab dengan jujur?"

Pertanyaan Arsa kali ini, cukup membuat Tsabit penasaran. Selain penasaran, Tsabit mencium ketidak enakan dari sana. "Insya Allah. Mau nanya apa?"

"Kata orang, insya Allah itu 99,99% artinya iya. Berarti lo jawab jujur ya."

"Iya. Mau nanya apa emang?"

Ada jeda sejenak sebelum akhirnya Arsa menanyakan, "lo siap kalau kita bakal bercerai?"

Ada ribuan martil menghentam keras jantung serta kepala Tsabit hingga membuat dirinya sulit berpikir jernih.

Continue Reading

You'll Also Like

793K 35.5K 17
Sudah terbit! Dipublikasi pertama kali, di wattpad : 13 Agustus 2019 Untuk info pemesanan buku, bisa hubungi : 0812-5335-3619
43.7K 3.9K 31
Yuuri harus rela melepaskan cinta pertamanya yang tak mendapat restu, lalu dipaksa menikahi seseorang yang tak pernah ia kenal sebelumnya. Namun, keh...
22.5K 1K 22
Cinta... Aku tak tahu apalah artinya. Bagiku bisa mencintaimu kekasih halalku merupakan suatu keharusan. Menerima segala kekurangan dan kelebihanmu...
364K 20.9K 84
"Manusia saling bertemu bukan karena kebetulan, melainkan karena Allah lah yang mempertemukan." -Rashdan Zayyan Al-Fatih- "Hati yang memang ditakdirk...