21. Kebahagiaan terakhir

332 17 1
                                    

"Kita ke sananya naik apa, Om?"

"Naik mobil ayah."

"Tapi kok ayah nggak ikut, Om?"

"Ayah kan kerja, Sayang."

"Ibu juga nggak ikut?"

"Engga, Diva sayang." Arsa mengusap lembut pipi Diva hanya agar gadis kecil itu tidak mencecar dirinya dengan banyak pertanyaan.

"Tante Tsabit ikut nggak, Om?" Tanyanya lagi.

Arsa memilih diam sibuk menyeduh susu dalam botol tupperware hijau milik Diva. Setelah itu ia beralih menutup rapat makan siang yang sudah disiapkan Tsabit sejak pagi tadi. Kotak makan tiga warna itu ia susun rapi bersama botol minum.

"Om, Diva pengin minum susu." pinta Diva bernada manja. Ditariknya jersey biru kebanggan Arsa.

"Nanti aja minum susunya kalau Diva udah sampe di Taman Mini ya." Kalau susu itu Diva minum sekarang, itu artinya Arsa bakal kerepotan lagi membuat susu diperjalanan. Diva suka sekali susu. Dia pernah menghabiskan hampir sepuluh gelas susu dalam sehari. Beruntung Mas Abrar dan Mba Maudy menduduki kriteria orang tua tersabar.

"Diva mau sekarang, Om. Diva aus." rengeknya sambil mengetuk-ngetuk meja makan.

"Kalo aus minumnya air putih. Om ambilin air putih aja ya." Arsa berusaha menahan sabar. Aslinya kepalanya sudah bertanduk.

"Enggak mau, Om. Diva maunya susu. Om Arsa pelit!" Dengan gaya marah seperti orang dewasa, Diva melipat tangan di dada sambil menekuk wajahnya sebal kemudian berbalik badan. Arsa menggeleng tak berdaya. Ia hembuskan napas berat seraya mengacak-ngacak rambutnya.

"Yaudah, yaudah. Diva duduk manis di sini ya. Om Arsa bikinin susu lagi buat kamu." Arsa menggendong tubuh mungil Diva ke atas kursi makan, hendak menuju dapur.

"Yang itu aja om. Yang tadi om masukin ke tas putih itu." Gadis kecil itu menunjuk-nunjuk tas berukuran sedang yang tadi ia lihat berisi bekal makan siangnya.

"Ini buat nanti di sana. Kamu minum susu yang om bikinin aja. Tunggu di situ jangan keana-mana. Oke?"

Akhirnya Diva menurut. Duduk manis di kursi memperhatikan Arsa yang sibuk berkutat di dapur. Berhubung kedua orangtua gadis itu sedang sibuk, alhasil Kartika mengusulkan kepada Arsa dan Tsabit untuk menemani Diva jalan-jalan. Ia sendiri pun sedang disibukkan mengurus berkas-berkas perusahaan sang suami.
Di dapur sana, Arsa sibuk menakar jumlah susu bubuk yang harus ia seduh. Jangan sampai seperti bulan lalu. Arsa pernah berinisiatif membantu Abrar kewalahan mendiamkan Diva yang sedang tantrum waktu itu. Arsa menuang tiga sendok susu bubuk dan menyeduhnya dengan air mendidih. Alih-alih meringankan, Arsa justru menambah kesusahan Abrar. Diva tidak minta susu. Dia hanya ingin Abrar menemaninya bermain.

"Ah… pas nih kalo gini." ucap Arsa seorang diri usai mengecap rasa susu yang dibuatnya. Sambil tersenyum puas ia berjalan menuju meja makan.

"Tara! Susu buat Princess Diva sudah siap." Dengan gaya ala-ala chef kenamaan, Arsa membawa segelas susu itu dengan tangan meninggi kemudian mendarat tepat di hadapan Diva. Gadis kecil itu menganga bahagia menyambut kedatangan susu coklat kesukaannya.

"Makasih, Om Arsa."

Selagi menemani Diva menikmati susunya, Arsa menoleh ke arah kamar. Memastikan seseorang dari sana segera muncul dan mereka bersiap untuk berangkat. Jam tangannya menunjukan pukul sembilan pagi. Arsa berdecak lalu menegakan tubuh di atas kursi, kepalanya mendongak tinggi.

"Bit, masih lama nggak? Udah jam sembilan nih. Inget besok weekend. Gue males macet-macetan di jalan." Teriaknya berharap Tsabit menyahut.

"Iya sabar. Sebentar lagi."

Tsabita IlanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang