19. Menyulam cinta diatas duka

218 15 0
                                    

Terpaan angin berhasil mengudarakan gelembung-gelembung balon hingga pecah jika semakin tinggi terbangnya. Dan muncul lagi gelembung lainnya yang mengalami nasib yang sama. Mereka berarak diudara menghiasi langit pagi yang cerah. Meenemani seorang gadis kecil yang asyik memainkan busa- busa berbuih lalu meniupnya, cukup menjadi keasyikan tersendiri. Sesekali ia tertawa riang kala salah satu gelembung pecah mengenai wajahnya. Tawa riangnya mampu menularkan kebahagiaan bagi siapapun di sekitarnya. Termasuk dua orang yang memilih duduk disudut taman bermain mengawasi gadis itu dari kejauhan.

"Diva terlihat sangat ceria sekali pagi ini." ucap Abrar.

"Aku baru saja memberinya hadiah karena telah berhasil menghafal surat At-tin. Setelah ini, dia ingin menghafal surat Annaba." jawab seorang wanita berkhimar coklat mahoni serasi dengan gamis lebarnya. Ditangannya terdapat kotak nasi disertai botol minum.

"Apa hadiah berikutnya?"

"Mukena. Dia ingin sekali mukena bergambar little pony. Tapi aku belum membelinya."

Abrar menipiskan bibir seraya mengangguk samar. Ia gulung lengan kemeja panjangnya sebatas siku. Menyandarkan tubuhnya pada kursi berbahan besi bercat sewarna dengan baju yang dikenakan Maudy pagi itu.

"Ngomong-ngomong, sudah sampai mana persiapan sekolahnya?" Abrar menoleh sekilas mendengar pertanyaan yang terlontar dari mantan istrinya.

"Sekolah masih menolak dikarenakan umur Diva belum cukup."

"Sudah kubilang. Umur Diva belum saatnya mengenyam pendidikan formal. Jangan terlalu memaksakan. Biarkan dia bermain sambil belajar. Setelah nanti ia siap menghadapi dunia yang baru." jelas Maudy.

"Tapi kamu sendiri menuntutnya belajar mengaji dan menghafal surat-surat. Menurutku itu sama saja."

Maudy menoleh juga akhirnya lalu menatap serius. "Jelas berbeda, Abrar. Mengaji dan mengenal ilmu agama adalah modal awal seorang anak. Dia harus mengenal Tuhannya terlebih dulu. Jika ilmu agama sudah ia dapatkan insya Allah ilmu-ilmu lainnya mampu dia peroleh. Ibarat kita memilih mengejar Akhirat ketimbang dunia. Jika kita mengejar akhirat maka dunia pun akan mengikuti. Tapi kalau kita mati-matian mengejar dunia, akhirat akan menjauh, dunia pun akan lenyap karena pada kenyataannya dunia bersifat fana."

Sudah lama sekali Abrar tidak mendengar tausiyah-tausiyah ringan yang Maudy paparkan padanya. Dulu sebelum mereka bercerai, mereka adalah dua partner in crime yang serasi. Biasanya selagi mengisi waktu kosong, mereka pergunakan untuk berdiskusi ringan. Baik itu membicarakan agama atau fenomena-fenomena dunia yang kerap terjadi. Abrar mengemukakan pendapatnya berdasarkan ilmu akademik, sedang Maudy menyikapinya dari sisi agama. Dua hal yang berbeda namun saling melengkapi. Begitulah mereka.

"Tapi dalam mengaji hanya mengenal huruf hijaiyah. Bukan alfabet. Sedangkan Diva hidup di Indonesia yang dimana harus mengenal membaca menulis bahasa Indonesia. Bukan Arab."

"Aku juga mengajarkan dia membaca dan menulis. Bahkan dia sudah bisa mengeja nama lengkapnya sendiri lalu menulisnya dengan rapi. Bahkan ia lancar menulis nama kedua orangtuanya. Dan selama proses belajar aku tidak menuntutnya dengan keras. Beruntung Diva memiliki motivasi dan keingintahuan yang kuat. Belajar mengaji dan menghafal semua adalah murni keinginannya."

Abrar tahu Maudy tidak mungkin berbohong. Ia tahu bagaimana Maudy mendidik buah hatinya.

"Perlu bukti?" Maudy menyadarkan. Abrar menegakkan tubuh.

"Tidak perlu. Sejak awal memilih kamu sebagai istri, aku yakin kamu ibu yang pantas untuk anakku."

"Diva juga anakku. Wajar kalau aku memberinya yang terbaik." ucap Maudy.

Tsabita IlanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang