15. Arsalovers

4.5K 217 8
                                    

Minggu pagi yang cerah rasanya kurang lengkap kalau tidak diisi dengan aktifitas pagi. Seperti melakukan jogging di taman, misalnya. Sang mega nampak menyapa ramah suasana pagi ini. Matahari mengintip di sela-sela awan yang berpencar. Pasti menyenangkan bila mencoba mengakrabkan diri dengan alam.

Tsabit akhirnya menerima ajakan Abrar untuk melakukan lari pagi bersama usai sholat subuh tadi. Selagi Abrar menunggu di teras, Tsabit bersiap-siap mandi dan berganti pakaian. Dengan memakai celana training lebar lalu sweater panjang berwarna hijau tosca, nampak sederhana menemani jilbab segiempat yang dipakainya.

Di tempat tidur, Arsa membuka matanya perlahan seraya menggeliat kecil. Pantulan cahaya fajar dari jendela tak mampu menutup kembali matanya. Mau tidak mau ia terbangun dan mendapati Tsabit sedang duduk di kursi rias memakai sepatu.

"Lo mau kemana?" Tanya Arsa dengan suara paraunya sambil mempertegas pandangan mengucek-ngucek mata.

"Mau lari pagi. Sekalian ikut senam juga." jawab Tsabit, tangannya membuat simpul tali sepatu.

"Senam?" Arsa mengangkat separuh tubuhnya agar bisa tegak bersandar. Tsabit mengangguk sambil menipiskan bibirnya dalam kuluman senyum.

"Kata Ka Abrar tiap minggu pagi di lapangan Karang Taruna sana, suka diadakan senam pagi. Siapa aja boleh ikut. Tidak dipungut biaya apapun. Kalau mau ngasih ya seikhlasnya aja." jelas Tsabit. Sebelum Tsabit menjelaskan sedetail itu juga Arsa sudah tahu. Bertahun-tahun ia tinggal disini, tentu hafal betul rutinitas yang diadakan di lingkungannya. Tapi, Arsa seperti melewatkan ucapan yang aneh barusan.

"Lo pergi berdua sama Mas Abrar?" Arsa menarik alis seraya menegakan tubuh.

"Iya."

Tidak ada tanggapan setelah itu. Dalam diam, Arsa memikirkan sesuatu. Bibir bawahnya tergigit setengah. Ia lihat Tsabit telah selesai menalikan sepatunya lalu berdiri, menghadap dirinya hendak bertanya.

"Kamu mau,—"

"Gue ikut!"

Setelah lancang memotong kalimat Tsabit, ia bangkit dari tempat tidur dengan gerak cepat sampai sampai melempar selimutnya ke sembarang arah, menuju kamar mandi. Tsabit terheran-heran melihat tingkahnya. Sepertinya baru semalam Arsa meringis kesakitan seperti anak kecil karena merasakan sakit di dadanya. Kenapa pagi ini ia bisa segesit tupai yang berlari di atas aspal panas? Tsabit dekati pintu kamar mandi. Terdengar gemericik air dari keran.

"Kamu beneran mau ikut?" Tanya Tsabit dari depan pintu kamar mandi.

"Iya. Tungguin!" Jawaban singkat menggema dari sana.

Tidak sampai sepuluh menit, sosok Arsa keluar dari kamar. Tsabit menunggunya di meja rias dibuat tertegun beberapa detik. Arsa hanya mengenakan kaos tanpa lengan warna hitam dan selalu memakai celana basket andalannya. Sepertinya ia punya koleksi celana basket berlusin-lusin. Atau bisa jadi ia punya sampingan berjualan celana di pasar senin. Sambil mengeringkan rambutnya yang basah ia bercermin membelakangi Tsabit.

Dari balik tubuhnya, Tsabit seperti orang bodoh menatap punggung indah suaminya. Sayangnya, selama ia menikah dengan pria itu, belum pernah merasakan pelukan dari sana. Pasti sangatlah hangat dan nyaman.
Aish! Tsabit menggeleng tidak karuan dibawah khayalannya sendiri. Arsa yang sedari tadi selesai bercermin melihatnya keheranan.
"Lo kenapa?" Tsabit terkesiap.

"Nggak kenapa-napa. Udah?" Tsabit berdiri sekaligus menutupi kesalah tingkahannya.

"Lo nggak liat gue udah ganteng gini?" Jawabnya sambil menyisir jambul pendeknya menggunakan jari menghadap cermin lagi.

Tsabit mencebik belagak muntah.

  “Sok ganteng, iya." Ia melengos saja pergi keluar kamar, disusul Arsa. Dia tersenyum kecil.

Tsabita IlanaWhere stories live. Discover now