17. Lana dan bencana 2

181 13 5
                                    


  Kartika menatap buku-buku yang berjejer rapi di rak. Matanya meng-explore judul-judul yang muncul pada sisi belakang buku hanya dengan duduk di sofa suatu ruangan.

  Kemudian ia edarkan lagi pandangannya ke setiap penjuru ruangan tersebut. Terlalu mewah untuk disebut sebagai ruang kerja. Banyak dekor-dekor berlebihan yang seharusnya tidak ada di sana. Seperti empat guci yang berdiri rapi mengisi ruang kosong diantara pintu. Dalam hatinya ia menggumam.

  "Orang kaya baru."

  Ia melirik jam tangan, menyandarkan diri pada sofa empuk. Rautnya menampakan kecemasan. Sudah satu jam ia berada di sini, tapi sosok yang ia tunggu belum menampakan batang hidungnya. Disaat Kartika hendak keluar dari sana, sebuah pintu yang terbuka mengurungkan niatnya.

  "Sorry, kelamaan nunggu ya?" Sapa pemilik suara nampak berjalan menyusuri dua gucci menuju satu sofa tepat dihadapan Kartika.

  "Kamu hampir saja membuat saya mati bosan di sini. Seharusnya setelah menjadi orang sukses, kamu bisa membedakan mana yang harus diprioritaskan terlebih dahulu, mana yang bukan."

  Wanita yang usianya hampir sepantaran dengan Kartika, tersenyum seadanya. "Dan yang saya lakukan sudah benar. Apa kamu merasa istimewa untuk saya?"

  Mata Kartika mendelik anggun.

  "Prioritasku adalah perusahaan dan kekayaan ini. Bukan orang lain. Termasuk kamu." tambah wanita itu lagi.

  "Setidaknya saya ingat siapa orang yang dulunya mengemisngemis kepada saya, meminta belas kasihan." ucapan itu sukses membuat wanita yang ia sapa Tamara itu kesulitan menelan ludah. Ia edarkan sejenak pandangannya ke arah guci-guci kesayangan. Layaknya sebuah tamparan, Tamara merasakan sindiran halus menibannya.

  "Waktu saya tidak banyak. Ada perlu apa ke sini?" Alih Tamara kembali menghadap Kartika.

  "Apa maksud kamu berbicara kepada media tentang keberadaan saya sebagai sahabat kamu yang berperan dalam bisnismu ini?"

  Tamara menarik sudut bibir kanannya. "Pertanyaan kamu ada hubungannya dengan sindiranmu tadi."
Kartika mengerut samar.

  "Justru karena saya tidak ingin menjadi sosok kacang lupa kulitnya. Maka saya mempublikasikan nama kamu sebagai sosok yang berpengaruh dalam kesuksesan saya. Dengan bangga saya menyebut nama Kartika Saraswati sebagai seorang yang dulu saya mintai belas kasihan lalu mengemis kepadanya. Bukankah itu yang kamu inginkan?"

  "Tenar dan terkenal. Namamu terpajang sebagai sosok yang berpengaruh. Menjadi pusat perhatian media." Nadanya melebih- lebihkan.

  "Itu semua betul, kan Kartika? Lantas, salah saya di mana?"

  "Saya memang menyukai hal itu. Tapi bukan dari seorang benalu seperti kamu."

  "Sampai kapan kamu terus egois menganggapku seperti itu? Hubunganmu dengan Dirga sudah jauh lebih baik. Begitu juga saya dan suami saya. Sampai kapan kamu mengurung diri dalam masa lalu kita?"

  "Masa lalu tetaplah masa lalu. Meski tidak akan terulang, tapi akan tetap terkenang. Saya menanamkan prinsip itu," balas Kartika.

  "Itu artinya kamu egois." timpal Tamara. Tangannya gesit mengambil kotak silver berisi rokok. Ia masukan ke ujung bibir bersamaan tangan satunya memantik api dalam korek gas.

  "Keegoisan kamu telah membunuh kebahagiaan anakmu sendiri, Arsa. Aku tahu seberapa cintanya dia terhadap Fania. Mereka harus mengorbankan cintanya, hanya demi keegoisan kamu, Kartika." Ada gumulan asap tipis mengudara di atas kepala Tamara berasal dari mulut.

  "Tahu apa kamu soal Arsa? Saya ibunya. Saya yang merawatnya, saya yang membesarkannya. Saya tahu betul apa yang membuatnya bahagia. Hati-hati dalam ber-statement." Telunjuk Kartika mengajung ke arah wajah Tamara.

Tsabita IlanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang