First Love

De etherealdusk

375K 11.6K 121

Cowok yang menjadi crush plus first love si cewek, kembali lagi. Tapi, cewek ini gak pernah tau kalau dia lah... Mais

First Love
1. Senior Menor
2. Om Dav?
3. Junior Kampret
4. Tupperware?
5. Sahabat Lama
6. Aneh?
7. Makan Malam
8. Tutut?
9. Pembokat Day | Davi's Anger
Bewara!
11. Putus, Aye!! (Re-post)
12. Wut da hell?!
13. Jealous Much?
14. Getting Hotter
15. Puyeng
16. Perang Dingin, Man!
17. Truth
18. Tampol gue! Ini nyata?!
19. Lamaran(?)
20. The Wedding
21. They don't know the truth
22. Almost
23. It's Time (Ending)
EPILOG
Special Chapter

10. Permintaan Maaf

11K 404 7
De etherealdusk

(Re-Post)

2 hari sudah Davi diemin gue. Like bener-bener diemin. Kita kayak gak kenal. Gue ngelirik dia, dia langsung buang muka. Bayangin, sakitnya tuh disini *nunjuk perut*. Ok, gue salah fokus. Itu artinya, gue lagi nahan boker kalo sakitnya di perut.

Gue juga kesel, gara-gara marahan ini, Davi melupakan tugasnya sebagai pembokat gue. Wei, kapan lagi dapet pembokat gratis plus ganteng pula? Ada yang kek gitu? Gue rasa gak ada deh.

Selama dikelas, gue cuma uring-uringan gak jelas. Banyak yang mencoba ngomng sama gue, tapi gue malah asik sama pikiran gue sendiri. Penjelasan yang dikasih dosen pun, gak ada satupun yang masuk ke otak. Cuma kayak angin lalu yang asal lewat dikuping gue.

Ini salah Deana! pikir gue. Iya, ini emang gara-gara dia makanya gue bisa diem-dieman sama Davi. Punya toa sih, gak pa-pa. Asal liat sikon, gak asal jeplak di muka umum plus didepan orangnya juga. Kalo waktu itu gak ada Davi sama Vina, terserah Deana deh, mau ngatain gue selirnya Davi apa gimana. Tapi ini.... Ah, sudahlah. Nasi sudah jadi bubur dan buburpun sudah diperut. Eh?

Hari ini, detik ini gue mau nyelese-in semuanya. Se-mu-a-nya. Biar gak ada kesalah pahaman lagi diantara gue sama Davi. Gak enak loh, diem-dieman gini sama Davi. Gak ada yang bisa gue ceng-cengin. Biasanya, 'kan dia yang jadi korban gue.

Gue memutuskan untuk ke kelasnya Deana. Gue pengen ngajak dia untuk jelasin semuanya ke Davi. Karena secara harfiah, ini mutlak kesalahan Deana.

Gue berlari kecil untuk kekelasnya Deana. Koridor yang tadinya sepi. jadi gaduh gara-gara suara tapakan kaki gue. Bodo amat deh. Yang penting gak diomelin sama dosen dan cepet sampe kelasnya Deana.

"DEANA!!" pekik gue.

Deana malah ngelirik gue dengan tatapan membunuhnya. Loh, bukannya gue yang harusnya kesel disini? Kok malah dia yang seolah marah?

Tiba-tiba kepala seseorang menyembul dari dalam kelas. Ternyata itu dosen yang lagi ngajar di kelasnya Deana. Wah, ini mah udah bunyi sirine. Danger!

"Kamu ngapain teriak-teriak di kelas saya? hah?" kata pak--entah siapa namanya sambil jewer kuping gue. Duh, kuping unyuku....

Gue merintih, "Aduh duh, Pak. Sakit--aw!"

Sang dosen pun melepaskan jewerannya. Hueee, merah dah ini kuping gue.

"Siapa kamu? Ada apa kamu kesini?"

Gue tersentak kaget. Karena sedari tadi gue sibuk ngomong pake bahasa isyarat sama Deana. "Eh? Apaan Pak?" tanya gue polos. Si Dostu--dosen tua-- ini malah melototin gue. Seremnya mak..., "Eh, iya, anu Pak. Emang kucing saya kangen banget sama Bapak. Sampe ikutin saya ke sini loh," lanjut gue ngelantur. Keyna bego!

"Kamu mau saya jewer lagi? Kamu ngapain kesini?!" tegasnya.

Gue meringis, "Saya cari Deana, Pak. Dia... ehm, dia anu Pak, dicariin sama Bu Rina. Iya, Bu Rina," jawab gue asal.

Mata si dostu ini berubah menjadi berbinar-binar. Dih, cacingan kali ya, tuh matanya? Sekarang kedip-kedip gitu lagi. Ini apalagi? Blushing ceritanya gitu? Najis tralala nih, dosen. Gak inget umur apa yak, yang lebih pantes jadi kakeknya Bu Rina? Eh.

Dostu ini nyengir lebar, "Oh, Bu Rina, ya? Kalo gitu, saya izinin Deana untuk keluar dari kelas saya. Tapi ada syaratnya," kata pak dostu.

Raut wajah gue menjadi semangat '45. "Apa Pak?" tanya gue gak sabaran.

"Ehm, saya titip salam, ya, ke Bu Rina. Bilang aja dari Pak Beri," balasnya.

Gue memutar mata jengah. Gue kira syaratnya apaan. Dasar ABG tua, tingkahmu semakin gila--eh, kenapa jadi dangdutan? Ck.

Tapi namanya lucu juga ya, kayak nama penyakit 'beri-beri'.

"Iye Pak, nanti saya sampein. Kalo gitu, saya sama Deana permisi ya, Pak? Assalamu'alaikum," Kata gue langsung manggil Deana untuk keluar kelas.

Sedari tadi, Deana mencoba memberontak. Tapi gue semakin mengeratkan cengkeraman gue di pergelangan tangannya. Gue sebel sama dia.

Deana menghentakkan tangannya kasar. Hingga cengkeraman gue pun lepas. "Apaan sih, Vhar?! Sakit tau," ringisnya.

Gue mendengus, "Gara-gara lo nih, gue kehilangan pembokat gratis!" sungut gue sebal.

Deana mengernyit, "Pembokat? siapa?" tanya Deana.

Gue cuma melengos sambil narik kembali tangannya tanpa menjawab pertanyaan Deana tadi. Biarin aja. Biar dia mikir.

Gue membawa Deana sampai ke fakultas hukum--tempat dimana Davi berada. Gue yakin, di jam segini dia pasti masih ada kelas. Ya iyalah, gue aja yang bandel maen kabur aja. Ah, sekali-kali cabut dari kelas gak dosa.

Jujur, sebenernya gue gak tau dimana kelasnya Davi. Yang gue tau, ya dia cuma mahasiswa hukum semester 6. Itu doang. Lagian, rajin amat gue kalo sampe tau kelas yang bakal diikuti dia hari ini. Terlebih, gue sama dia lagi selek.

Gue cuma jalan ke kiri-ke kanan, tanpa tujuan. Tadinya, Deana cuma nurut aja. Tapi kali ini dia menghentikan langkahnya.

"Gue capek, Vhar. Lo mau narik gue kemana sih? Tujuan lo apa? Kalo gak jelas, mending gue balik deh," kata Deana dengan nada frustasi.

Gue nyengir 3 jari, "Hehe, sebenernya gue juga gak tau dimana kelasnya Davi," jawab gue watados.

"HELL! LO NARIK GUE BUAT NYARI DAVI TAPI LO GAK TAU DIA LAGI DI KELAS APA?!" pekik Deana. Dasar toa mesjid! Gak tau, masih ada orang di sini apa yak? Malu-maluin derajat bangsa aja.

Refleks, gue langsung membekap mulutnya. "Lo berisik banget kenapa sih?! Masih banyak orang, De. Walaupun gak banyak sih." sungut gue.

Deana memutar bola matanya, "Ya, elo bego, ngajak gue nyari Davi, tapi lo nya gak tau dia lagi ada kelas apa. Sia-sia dong tadi jalan kesono kemari?"

Gue cuma nyengir gak jelas. "Ah, tau ah," lanjut Deana.

Blablabla.... Alhasil, gue di beri tausiyah panjang kali lebar sama Deana. Nih oranh sejak kapan jadi banyak bacot begini? Gue kira, gue doang yang banyak bacot, ternyata dia juga. Hadeh.

Gue berdo'a dalam hati, agar ada orang--siapapun yang dateng kemari terus diemin Deana. Kuping gue udah panas dapet pencerahan dari dia. Gak nyelo masalahnya.

"Ehem," suara deheman seseorang mampu mendiamkan kicauan Deana. Syukurlah, do'a gue dijabah.

Deana ngelirik gue seolah bilang, lo-kenal-? nya. Gue cuma angkat bahu acuh. Gue juga gak tau siapa nih orang. Mukanya asing bagi gue.

Gue mandang dia dengan tatapan menyelidik. "Sori, tadi gue denger lo berdua lagi nyariin Davi ya? Oh, sori, sampe lupa gue. Gue Kevin, temennya Davi." kata orang yang bernama Kevin ini. Dia mengulurkan tangannya dihadapan gue. Mau gak mau, gue pun menjabat tangannya.

"Keyna," jawab gue.

Tangannya beralih ke Deana. "Gue Deana," jawab Deana.

"Jadi lo tau Davi ada kelas apa sekarang?" tanya gue to the point.

Kevin mengangguk, "Yuk, gue anter."

Ternyata, kelasnya Davi ada di lantai paling atas gedung--bukan di rooftop. Ketemu Davi aja begini perjuangannya. Geez, capek, man, naikin anak tangga segitu banyaknya--gatau pasti banyaknya berapa, karena gue belum sempet ngitungin.

Sampe diatas, gue berhenti sejenak untuk mengatur nafas gue yang masih tersenggal-senggal. Begitu pula dengan Deana--yang mukanya udah merah banget.

"Hosh... gak... lagi... hosh... lagi... gue... hosh... naek tangga sampe sini lagi. Capek... hosh," kata Deana terengah-engah.

Gue mengacungkan jari telunjuk gue keatas, "Sama!" seru gue. "Masih jauh, Kev?" tanya gue pada Kevin.

"Tuh, kelasnya," kata Kevin seraya menunjuk suatu ruangan. Gue hanya ber-oh-ria sambil mengekorinya di belakang.

Kita sudah sampe di depan kelasnya Davi. Ternyata, dia lagi konsentrasi belajar. Berarti Davi tipe orang yang suka menggunakan otaknya. Gue sih, males banget. Otak gue udah bebel, di polokkin buku terus. Prinsip gue, pinter gak pinter yang penting sekolah. That's enough. Jangan ditiru, kay?

Kenapa Davi keliatan ganteng banget ya, kalo lagi serius gitu? Ah, dia mah disaat apapun pasti selalu terlihat ganteng. Ck, kenapa lu dilahirin sebagai cogan, Dav?

"Ehm, lo kesini bukan cuma mau ngeliatin Davi doang, 'kan?" suara deheman Kevin langsung menyadarkan gue kembali ke realita. Hah, saking seriusnya ngeliatin Davi, sampe lupa kalo gue kesini gak sendiri.

Gue menggaruk tengkuk gue yang gak gatel, "Heee," gue cuma nyengir lebar.

Deana menghela nafas panjang sambil menggelengkan kepalanya, "Dasar! Gak bisa dikit lo ngeliat cogan? Mending panggil sana."

Gue menggeleng kuat, "Hell no! Lo yang harusnya manggil dia. Ini gara-gara lo, ya!" sungut gue tak mau kalah.

Deana memutar kedua bola matanya jengah, "Iye elah," jawabnya gak ikhlas.

tok tok tok

suara pintu diketuk, sehingga membuat aktifitas belajar-mengajarpun terhenti. Seorang dosen keluar dari dalam kelas dengan tatapan garangnya. Sialan, gak ada dosen yang gak garang apa? Kayak pak Riko gitu yang masih muda, ganteng, gak pernah ngomel, baik hati. Tapi sayang, pelit nilai. Huuu.

"Ada apa?!" ketusnya. Etdah, salam aja belom ini gua, udah di semprot kek begitu. Ngeselin amat.

"Assalamu'alaikum, Pak." kata gue sambil senyum manis.

"Ya, wa'alaikumsalam. Kenapa?" jawabnya datar.

"Saya mau bertemu Davian, Pak. Boleh dia izin hari ini tidak mengikuti kelas bapak?" tanya Deana.

Sang dosen berpikir sebentar. Dia mengelus-elus dagunya biar terlihat sedang berpikir keras. "Boleh. Tapi, lain kali tidak ada izin-izin lagi. Kalian tau 'kan, kalo Davian sudah memasuki semester 6."

Gue mengangguk pasti, "Siap, Pak. Kali ini doang kok. First and last," kata gue nyengir lebar.

Kali ini si dosen menatap Kevin, "Kamu Kevin kan? Kenapa kamu disini? Memangnya tidak ada kelas?" tanya dosen itu pada Kevin.

Kevin tersentak, "Eh? Ada pak, cuma dosennya belum dateng. Saya hanya mengantar Keyna dan Deana yang ada perlu dengan Davian," jawab Kevin tenang.

Dosen itu hanya ber-oh dan segera memanggil Davian untuk menemui gue. Davian tetaplah Davian. Dia masih cuek sama gue, bahkan dia langsung pergi gitu aja. Huh, harus ekstra sabar nih. Tenang, Key, lo pasti bisa bikin dia baikan sama lo, batin gue mantap.

Gue dan Deana mengekor dibelakang Davi. Kevin? Dia tidak ikut, karena dia bilang sedang ada urusan. Saat Davi hendak menuju kantin, gue malah menyeretnya ke taman kampus. Karena, pasti di taman situasinya lebih aman dan gak rame.

"Shoot!" tukasnya. Anjir, gak pake basa-basi dulu gitu? Beneran marah nih orang.

"Ehm...." gue bingung mau ngomong apa. Deana kenapa malah diem aja coba?! Harusnya dia 'kan yang tanggung jawab.

"Gue gak ada waktu buat liatin kalian berdua diem aja," tukas Davi sarkastik. PMS nih orang gue rasa.

"Oke, gini. Sebenernya, gue cuma mau minta maaf kak, soal kejadian di kantin tempo hari. Kebiasaan gue suka ngomong asal jeplak, padahal Vhara belom sempet cerita ke gue sedetail-detailnya. Gue refleks aja bilang gitu sambil teriak. Asli, gue gak maksud buat bikin kak Davi marah sama Vhara. Gue juga gak maksud buat bikin--ehm, hubungan kak Davi sama pacar kakak jadi putus. Sori, kak. Gara-gara gue ini semua terjadi," Jelas Deana. Huh, dari tadi kek.

Davi menatap Deana sinis, "Lo ngomong gini juga gak bakal ngerubah situasi 'kan? Toh, gue tetep putus sama Vina," jawabnya sarkastik.

Belum sempat Deana menjawab, gue udah memotong haknya ngomong, "Gue yang bakal jelasin ke dia. Sejelas-je-las-nya." tukas gue.

"Ehm, kalo gitu kayaknya waktu gue disini udah selesai. Gue balik dulu ya, Vhar? Maaf kak, sekali lagi." Deana pun langsng ngeloyor pergi ninggalin gue dan Davi disini berdua. Tanpa aba-aba, gue langsung narik tangannya untuk menuju ke fakultas kedokteran.

Vhara? Vhara itu namanya Keyna? Kok gue ngerasa deja vu ya? Seperti gue pernah ngalamin cuma beda suara yang ngomong. Apa iya Keyna itu dia? Tapi, wajahnya gak ada mirip-miripnya sama sekali. Apa karena faktor pertumbuhan? Gak, gak mungkin. Gue tau jelas wajah dia gimana. Dan pasti, gak ada mirip-mirip nya sama Keyna. Walaupun dari cara ngomong, hampir mirip.

Gue dan Keyna sudah sampe di fakultasnya Vina. Keyna mau jelasin semuanya ke Vina kalo berakhirnya hubungan gue sama dia cuma kesalah-pahaman. Tapi gue gak terlalu bersemangat liat Keyna yang pengen nyatuin lagi gue sama Vina. Gue ngerasa, gue udah move on dari dia.

Keyna menarik salah satu lengan mahasiswi yang kebetulan lewat. Gak tau deh, apa yang pengen dibuat. "Eh, bentar deh. Gue mau tanya dong, lo liat Vina gak?" tanya Keyna.

Alis orang itu bertautan, "Vina? Vina siapa ya? Mahasiswi kedokteran yang namanya Vina gak cuma satu," jawabnya.

"Eh? siapa yak namanya?" Keyna malah berguman sendiri. Dasar geblek.

"Andrea Vinata Darwin," jawab gue datar.

Mahasiswi teesebut mengangguk mengerti, "Oh, Vinata. Tadi sih, gue liat dia lagi di taman belakang kampus sama cowok gitu. Loh, lo bukannya Davian cowoknya Vinata, ya? Gue kira cowok itu elo, taunya bukan, toh," jelasnya.

Vina sama cowok lain? Perasaan baru dua hari kita pisah, kenapa dia deket sama cowok lain? Apa emang sewaktu gue pacaran sama dia, dia juga udah punta gebetan? Sialan.

Keyna langsung mengamit tangan gue, dan menuntun gue menuju ke taman belakang. Gue sibuk akan pertanyaan-pertanyaan yang mengiang-ngiang di kepala gue sedari tadi. Sampe gue gak sadar kalo Keyna udah berhenti.

Kontan, Keyna menarik lengan gue hingga menjadi berbalik arah. Kenapa lagi ini?

Gue menatapnya bingung dan menunggu Keyna mengatakan sesuatu, "Eh, itu, Vina nya gak ada disini. Kita cari di tempat lain, yuk," Katanya sedikit gugup. Tapi, Keyna berusaha menutupi kegugupannya.

Gue mengernyit, "Lo gak bohong 'kan? Atau lo lagi nutupin sesuatu dari gue?" tanya gue menyelidik.

"Eng-enggak lah! Ngapain gue bohong sama lo. Apa pula yang mesti gue tutupin dari lo?" sangkalnya. Ayolah, gue udah pernah bilang belom kalo Keyna itu gak bakat bohong? Keliatan jelas kali di matanya kalo dia lagi bohong.

Gue ingin menengok ke arah taman, tapi tangan Keyna segera menahan kepala gue agar gue gak jadi nengok. "Jangan!" pekiknya.

Gue makin bingung sama tingkahnya. Tubuh Keyna gemetaran, wajahnya sedikit memucat, dia pun langsung menggigiti kukunya. Gue udah pernah bilang 'kan, kalo mukanya Keyna itu bisa jadi moodbooster? Nah, seperti sekarang ini. Mukanya lucu banget. Nge-gemesin. Sayang, kelakuannya kayak abang-abang. Coba aja Keyna kalem, pasti banyak yang ngantri deh. Lagian, mukanya Keyna juga cantik kok. Malah, cantikkan dia daripada Vina. Tapi bener kata orang, nobody's perfect, right?

Tangan gue terulur untuk menggenggam tangannya yang masih menempel di pipi gue. Gue menunduk dan menatap lurus ke matanya, "Dengan cara lo seperti ini, malah makin bikin gue curiga sama lo, Key," kata gue lembut.

Gue pun menengok ke belakang, dan gue mendapati Vina sedang... kissing. Ya, dia kissing dengan orang yang gue kenal baik--teman merangkap sahabat gue, Kevin. Gue cukup tau aja sama mereka berdua.

Gue segera berbalik dan menarik Keyna menjauh dari pemandangan tak menyedapkan mata itu.

Jadi, yang salah disini siapa? Gue, Vina atau... Kevin?

***

a/n

Hueee udah jadi nih, re-post-nya FL chapter 10. Sumpah, ini mah jadi kayak dirombak abis-abisan. Cuma ada beberapa part yang sama. Sori, ya kalo chapter ini jelek abis. Gue agak ngestuck sebenernya. Cuma, pas gue inget adegan Davi-Keyna pegang-pegangan tangan, gue jadi semangat lagi. Wkwk.

Maap kalo chap ini agak mengecewakan. Dan, mohon dimaklumi kalo ada kata-kata yang tiak berkenan atau terlalu nyablak. Karena, gue emang orang yang suka nyablak dan gak terlalu serius. Hihi, enjoy yaaa!! =)

Lop yu to the neptune and keliling galaksi. wakaka.

Continue lendo

Você também vai gostar

CINTA DALAM DO'A De alyanzyh

Ficção Adolescente

3.9M 233K 60
[USAHAKAN FOLLOW DULU SEBELUM BACA] Menikah di umur yang terbilang masih sangat muda tidak pernah terfikirkan oleh seorang gadis bernama Nanzia anata...
7.2K 833 46
"Aku bukan Anna mu Bara!" Ucap Anna ngotot dengan pandangan menunduk, tetapi diam - diam hati nya berbicara 'Rinduku padamu begitu dalam, namun aku h...
2.3M 124K 53
[PART MASIH LENGKAP] "Lihat saudaramu yang lain! Mereka berprestasi! Tidak buat onar! Membanggakan orang tua!" Baginya yang terbiasa dibandingkan den...