My Boss!

By May_Rose22

1.2M 85K 8.4K

WARNING!!!! CERITA INI BERBEDA DENGAN CERITA-CERITA YANG PERNAH SAYA BUAT SEBELUMNYA. AWAS!!! KALIAN BAPER... More

My Boss! 1
My Boss! 2
My Boss! 3
My Boss! 4
My Boss! 5
My Boss! 6
Cast
My Boss! 7
My Boss! 9
My Boss!! 10
My Boss! 11
My Boss! 12
My Boss! 13
My Boss! 14
My Boss! 15
My Boss! 16
My Boss! 17
My Boss! 18
My Boss! 19
My Boss! 20
My Boss! 21
My Boss! 22
My Boss! 23
My Boss! 24
My Boss! 25
My Boss! 26
My Boss! 27
My Boss! 28
Announcement!
My Boss! 29
My Boss! 30
My Boss! 31
My Boss! 32
My Boss! 33
My Boss! 34
My Boss!! 35
My Boss! 36
Lanjut?
My Boss! 37

My Boss! 8

35.6K 2.4K 148
By May_Rose22

"Assalamualaikum." Faiz memasuki rumah orang tuanya dengan langkah tenang

"Wa'alaikumussalam. Ah, ini dia yang di tunggu-tunggu akhirnya datang ."

Faiz tersenyum mendengar ucapan ayahnya yang tengah duduk di sofa bersama seorang pria yang sangat ia kenal.

"Apa kabar paman?" Faiz meraih tangan Haikal dan membungkukkan badannya, mencium tangan pria itu dengan santun.

Haikal melebarkan senyumnya dan menepuk-nepuk punggung dah Faiz ringan. "Paman sehat, bahkan semakin sehat semenjak Anna kembali ke Indonesia."

Faiz hanya tersenyum lalu ikut bergabung untuk duduk di sofa lain. Faiz mengedarkan pandangannya berniat mencari keberadaan ibunya yang nyatanya ia malah mendapati sosok gadis bergamis biru dengan hijab berwarna senada tengah berjalan ke arahnya membawa nampan berisi beberapa cangkir. Faiz segera mengalihkan pandangannya saat mata mereka beradu pandang.  Anna meletakkan satu per satu cangkir teh ke depan Haikal, Firdaus dan juga Faiz.  Sejenak Anna mendongak dan menatap Faiz dengan senyum lembut.

"Apa kabar mas Faiz?"

"Baik." Jawab Faiz singkat tanpa membalas senyum Anna yang cantik dengan tatapan teduh itu.

"Duduk sini, nak. Kita ngobrol bersama." Firdaus mempersilahkan Anna agar duduk di samping Haikal yang berarti berseberangan dengan Faiz.

"Mama dimana?" Tanya Faiz mengabaikan Anna yang sedari tadi mencuri pandang padanya.

"Tante masih di dapur menyusun kue." Anna menjawab pertanyaan Faiz yang sebenarnya Faiz tujukan pada papanya.

Firdaus memperhatikan ekspresi Faiz yang berubah dingin sejak melihat kedatangan Anna, entah apa yang di pikirkan oleh Faiz , yang jelas Firdaus bisa memastikan bahwa butuh kesabaran dan perjuangan jika Anna menginginkan untuk sekedar bisa dekat dengan Faiz.

"Faiz, bisa ajak Anna berkeliling? Sudah lama kalian tidak saling ngobrol seperti dulu."

Faiz menatap papanya tak percaya, bahkan lelaki itu terlihat enggan bergeser dari duduknya untuk mengikuti perintah papanya, namun melihat tatapan serius yang Firdaus berikan, mau tidak mau Faiz tetap berdiri dan mengajak Anna untuk berkeliling.

Faiz berjalan seraya memasukkan kedua tangannya kedalam saku celana dengan Anna yang juga berjalan di sampingnya dengan kepala tertunduk.

"Kapan kamu kembali dari Kairo?"

Anna mengangkat kepalanya lalu tersenyum melihat Faiz sudah mau mengajaknya berbicara. "Sudah lumayan lama, mas. Cuma Anna langsung ngajar di pesantren jadi tidak pulang ke rumah."

"Kita ke taman belakang saja."

Anna mengangguk masih dengan senyumnya yang berbeda dengan Faiz. Faiz tetap berekspresi datar, lelaki itu hanya asal mengajak Anna ke taman belakang karena ia juga tidak tahu harus mengajak Anna kemana untuk berkeliling rumah. Sebenarnya Faiz sangat malas melakukan hal-hal seperti ini, jika bukan karena papanya sudah pasti Faiz memilih untuk beristirahat di kamarnya.

Anna dan Faiz duduk di bangku panjang dengan jarak di antara mereka yang cukup jauh, Faiz sengaja duduk di ujung bangku dan mengeluarkan ponselnya saat benda itu bergetar menandakan sebuah pesan singkat masuk.

From : Aurora

Pak, kira-kira berapa hari perjalanan mengurus proyek di Kalimantan? Ada beberapa hal yang harus saya selesaikan sebelum pergi.

Faiz tersenyum tipis membaca pesan dari Aurora yang terkesan tidak pernah merasa sungkan ataupun takut padanya. Selama menjadi bos besar di perusahaannya, baru kali ini ada sekretaris yang berani mengirimkan pesan singkat padanya hanya untuk menanyakan hal seperti ini. Biasanya sekretaris Faiz memilih untuk bertanya langsung disaat jam kerja karena merasa itu lebih sopan daripada bertanya melalui pesan singkat, tapi Aurora tetaplah Aurora yang tidak akan pernah merasa takut padanya bahkan saat Faiz marah sekalipun.

To: Aurora

Tergantung mood saya.

Lagi-lagi Faiz mengulum senyum setelah mengirimkan balasan pesannya untuk Aurora, ia sudah bisa memastikan bahwa saat ini gadis itu sudah mengeluarkan umpatan-umpatan untuknya .

"Apa mas Faiz sedang sibuk?"

Faiz menoleh, ia melupakan satu hal bahwa dirinya tidak sedang duduk sendiri, ada Anna di sampingnya yang mungkin juga sudah melihatnya tersenyum sendiri.

Faiz segera menormalkan ekspresinya lalu menggeleng. "Hanya membalas pesan seseorang."

"Sepertinya orang spesial hingga bisa membuat mas Faiz tersenyum sendiri." Anna langsung mengerutkan keningnya melihat Faiz yang malah semakin tersenyum lebar.

"Bagaimana jika aku mengatakan dia adalah calonku?"

Seketika ekspresi Anna berubah menegang, gadis itu meremas ujung hijabnya karena menahan sesak yang tiba-tiba membuatnya susah bernafas, sebisa mungkin Anna membalas senyum Faiz meski rasanya ia tak rela Faiz mengatakan bahwa lelaki itu sudah memiliki calon.

Melihat ketegangan Anna, Faiz terkekeh ringan lalu berdiri dari duduknya. "jangan terlalu serius jika ngobrol dengan saya. Lebih baik kita masuk, sepertinya sebentar lagi hujan."

Anna menengadahkan wajahnya ke langit, melihat awan hitam yang mulai berarak menutupi sinar matahari.

"Jadi itu benar calon mas Faiz?"

Kini mereka sudah berjalan beriringan menuju ruang utama dimana keluarga mereka berkumpul.

Faiz terdiam sejenak lalu menggeleng. "Bukan."

Seketika Anna merasakan lega mendengar hal itu, berbeda dengan apa yang sedang Faiz rasakan.


Di tempat lain, Aurora sedang berjalan memasuki kantor penerbitan novelnya yang berada tak jauh dari pusat kota. Aurora yang berjalan seraya menunduk karena membaca balasan pesona dari Faiz yang selalu membuatnya emosi tiba-tiba saja menabrak seseorang hingga dirinya hampir terjatuh dan beruntungnya seseorang berhasil menarik tangannya hingga insiden jatuh memalukan itu tidak terjadi.

"Hati-hati."

Aurora mendongak lalu tersenyum dan mengusap tengkuknya melihat siapa kini yang berdiri di depannya dengan sangat tampan.

"Pak Dean. Maaf, saya tadi sedang membaca pesan masuk jadi tidak memperhatikan jalan."

Dean Bagaskara, pemilik gedung yang merupakan owner dari penerbit dimana Aurora berada hanya bisa menghela nafasnya, ia sudah kenal lama dengan Aurora karena perusahaannya sudah menerbitkan lebih dari tiga novel karya gadis itu.

"Berapa kali saya bilang, panggil saya Dean. Atau mau novel kamu saya batalkan untuk terbit?" Senyum jenaka yang Dean berikan sellau bisa membuat Aurora ikut tersenyum bahkan tertawa kecil.

"Baiklah, maafkan saya."

"Kamu mau ke ruang editor?" Tanya Dean.

"Ya, mbak Sintia sudah menunggu sejak satu jam yang lalu, sepertinya dia akan mengamuk lagi jika saya tidak segera kesana." Aurora mengedikkan bahunya dengan kekehan kecil yang di sambut gelak tawa oleh Dean.

"Nikmat mana yang bisa aku dustakan melihat  senyum dan tawa tampan, Dean." Batin Aurora.

"Nanti setelah selesai urusannya dengan Sintia, temui saya di kantin ya."

Aurora segera mengiyakan ajakan Dean, mana mungkin Aurora akan menolak ketika di ajak secara langsung oleh lelaki seperti Dean.

"Siap!"

Dean menggelengkan kepalanya lalu mengacak rambut Aurora sekilas sebelum berjalan berlawanan arah dengan Aurora.

"Cantik." Gimana Dean mengulum senyum. Entah sejak kapan dirinya mulai menyukai Aurora,menurutnya gadis itu selalu bisa membuatnya tertawa dengan segala tingkah lakunya.

"Mbak!"

Sintia mengalihkan perhatiannya dari layar komputer di depannya lalu melambaikan tangannya menyuruh Aurora yang berdiri di ambang pintu agar segera masuk.

"Kurang lama, Ra! Lumutan gue nungguin lo datang!"

Aurora hanya meringis mendengar omelan Sintia yang sudah seperti kakaknya sendiri itu. "Macet mbak."

"Alasan lo macet mulu dari dulu, padahal gue juga udah tahu kalau lo bohong."

Aurora terkikik lalu merangkul lengan Sintia "mbak kan tahu aku kemana dulu sebelum kesini."

"Kan bisa sepulang dari sini, Ra! Ih sana, jangan peluk-peluk."

Aurora mencebikkan bibirnya lalu melepaskan rangkulannya pada lengan Sintia .

"Nih lihat! Lo suka cover yang mana?"

"Yang pertama bagus mbak. Padahal kan kalau cuma lihat cover bisa kirim lewat email gak harus kesini juga."

Sintia menyipitkan matanya lalu menatap Aurora yang duduk di sampingnya. "yakin mau di kirim lewat email? Lo gak mau ketemu pak Dean? Kan dulu lo sendiri yang minta kalau ada apa-apa mau ke kantor langsung biar sekalian bisa ketemu pak Dean."

Sekali lagi Aurora terkikik lalu menganggukkan kepalanya. "iya juga sih, tadi kami udah ketemu di depan. Nih juga udah di tungguin di kantin."

"Kemajuan pesat ya." Cibir Sintia meski sebenarnya ia juga senang mendengarnya.

"Ya udah, aku pergi dulu. Ini udah selesai kan? Makasih mbak Sintia cantik."

"Eh, Ra! Lo mau kemana?!" Teriak Sintia melihat Aurora yang sudah pergi dari ruangannya begitu saja.

"Dasar, mudahan aja Lo gak sakit hati kalau tahu kelakuan pak Dean yang sebenarnya." Sintia menghela napasnya lalu kembali melanjutkan pekerjaannya.

Aurora yang sudah sampai di kantin langsung mencari keberadaan Dean, namun nihil, tak ada tanda-tanda lelaki itu duduk di salah satu bangku yang ada disana, hingga sebuah tepukan pelan pada bahunya membuat Aurora menoleh.

"Ayo sini." Dean mengajak Aurora untuk duduk di salah satu kursi dengan sudah membawa secangkir kopi.

"Bapak darimana?"

"Ra!" Peringatan Dean ketua Aurora masih memanggilnya bapak "bersikaplah selayaknya aku ini temanmu."

"Oke." Jawab Aurora cepat. "Jadi, tadi darimana?"

"Menukar kopiku, aku memesan kopi hitam tapi yang di antar malah vanilla latte. Itu jus alpukat kamu juga sudah aku pesankan."

Aurora menatap segelas jus di depannya lalu kembali menatap Dean. "Kan kamu bisa menyuruh pelayan untuk menggantinya, gak perlu jalan kesana sendiri buat nukar kopinya."

Dean mengedikkan bahu. "kan sambil nungguin kamu, daripada cuma duduk disini."

Arora mengangguk dan mulai meminum jus alpukat di depannya.

"Kamu gak bosen setiap ke kantin minumnya jus alpukat?"

"Aku bukan tipe orang yang cepat bosan."

Dean tertawa mendengar jawaban Aurora yang selalu di luar dugaannya. "Kamu gak pengen pindah kerja? Aku gak akan nolak kalau kamu masukkan lamaran ke kantor penerbit."

"Kan tadi aku udah bilang kalau aku bukan tipe orang yang cepat bosan, mungkin nanti kalau udah bosan aku bakalan ngajukan lamaran jadi asisten kamu." Jawab Aurora yang langsung di tanggapi semangat oleh Dean.

"Tenang, Ra. Aku gak segalak bos kamu. Pasti lebih nyaman kerja sama aku dari pada sama bos kamu yang sekarang."

"Kok tahu kalau pak Faiz galak?" Aurora menopang dagunya menatap Dean dengan santai yang ternyata membuat lelaki itu merasa jantungnya berdetak cepat.

"Ehm, semua orang juga tahu kali Ra kalau pengusaha muda yang memiliki banyak perusahaan itu sosok yang galak dan dingin."

Aurora menggeleng. "Dia itu cerewet, banyak maunya. Siapa bilang dia dingin?"

"Cerewet?" Dean membeo sedikit tak percaya dengan ucapan Aurora.

"Banget, kalau galak sih iya, tapi dia gak dingin atau apalah itu. Pak Faiz orangnya bawel banget, sering ngajak debat gak bermanfaat."

Dean tersenyum melihat Aurora yang sangat ekspresif ketika bercerita. "Terus?"

"Udah deh, jangan bahas dia. Mending kita bahas yang--"

Ucapan Aurora terhenti saat ponselnya berdering, gadis itu mengerutkan keningnya saat melihat nama Faiz di layar ponselnya. Aurora meletakkan jari telunjuk di depan bibirnya memberi isyarat pada Dean agar tidak berbicara. Dasar Aurora!

"Ya,pak?"

"Lain kali  salam dulu kalau menjawab panggilan!"

Aurora menjauhkan ponsel dari telinganya guna meyakinkan bahwa yang menelponnya adalah benar-benar Faiz. Sejak kapan Faiz memprotes hal seperti ini? Arora mengedikkan bahunya.

"Kamu dengar saya?!"

"Iya pak, ya ampun. Bisa tidak sehari saja bapak tidak marah-marah?" Aurora memutar bola matanya.

"Kamu dimana?"

"Saya? Memangnya ada apa pak?"

"Cepat pulang, saya sudah menunggu di depan kos-kosan kamu, penting!"

"Ada ap--" Aurora mengeram kesal saat panggilannya di tutup begitu saja oleh Faiz tanpa membiarkan Aurora untuk bertanya lebih lanjut.

"Ada apa?" Dean yang sedari tadi diam kini bersuara dengan kening berkerut.

"Bos galak nungguin aku, katanya ada hal penting."

"Ini sudah bukan jam kerja, Ra. Dia tidak punya hak menyuruh kamu." Ujar Dean dengan nada tidak suka mendengar bahwa Faiz menyuruh Aurora untuk pergi.

Aurora hanya bisa menghela nafasnya. "Sepertinya ini mengenai perjalanan proyek baru ke Kalimantan. Biasanya pak bos gak pernah ngajak bertemu di luar jam kerja."

"Aku antar ya." Dean ikut berdiri melihat Aurora beranjak dari duduknya.

"Gak usah, aku bisa naik taksi. Lagian gak terlalu jauh kok." Tolak Aurora merasa tidak enak dengan tawaran Dean.

"Kebetulan aku juga mau pulang, jadi sekalian aja. Udah, ayo!"

Dean yang sudah menarik tangannya membuat Aurora mau tidak mau mengikuti lelaki itu. Aurora menatap tangannya yang masih di genggaman oleh Dean, ia merasa tidak ada yang spesial saat ini sebaliknya, Aurora merasa tidak nyaman dengan sentuhan fisik mereka. Dengan pelan Aurora menarik tangannya yang hanya di balas senyum oleh Dean

"Maaf." Ujar Dean melepaskan genggaman tangannya "masuk, Ra." Dean membukakan pintu mobil untuk Aurora dan mempersilahkan gadis itu agar segera masuk.

Sebenarnya belum selesai, tapi udah kepanjangan 🤣 spam komen kalian menentukan kecepatan update 💚

Continue Reading

You'll Also Like

3.6M 38.6K 32
(⚠️🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞🔞⚠️) [MASIH ON GOING] [HATI-HATI MEMILIH BACAAN] [FOLLOW SEBELUM MEMBACA] •••• punya banyak uang, tapi terlahir dengan satu kecac...
1M 106K 27
Karmina Adhikari, pegawai korporat yang tengah asyik membaca komik kesukaannya, harus mengalami kejadian tragis karena handphonenya dijambret dan ia...
1M 44.2K 37
Mereka teman baik, tapi suatu kejadian menimpa keduanya membuat Raka harus menikahi Anya mau tidak mau, sebagai bentuk pertanggungjawaban atas apa ya...
2.5M 37.6K 50
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...