Berikan Tanda Silang

By triskaidekaman

17.4K 3K 194

*The Wattys 2021 winner: Mystery/Thriller* • 2018 Nanowrimo novel • Sepatu Adikarun sudah terancam kehilangan... More

Prolog
[01] 1 Menurun
[02] 2 Menurun
[03] 3 Menurun
[05] 5 Menurun
[06] 6 Menurun
[07] 1 Mendatar
[08] 4 Mendatar
[09] 7 Mendatar
[10] 10 Mendatar
[11] 13 Mendatar
[12] 11 Menurun
[13] 12 Menurun
[14] 17 Mendatar
[15] 14 Menurun
[16] 18 Mendatar
[17] 15 Menurun
[18] 20 Mendatar
[19] 20 Menurun
[20] 21 Menurun
[21] 23 Mendatar
[22] 24 Menurun
[23] 25 Menurun
[24] 27 Mendatar
[25] 30 Mendatar
[26] 31 Menurun
[27] 32 Menurun
[28] 37 Mendatar
[29] 40 Mendatar
[30] 37 Menurun
[31] 38 Menurun
[32] 39 Menurun
[33] 40 Menurun
[34] 41 Menurun
[35] 42 Menurun
[36] 29 Menurun
[37] 28 Menurun
[38] 43 Mendatar
[39] 45 Mendatar
[40] 46 Mendatar
[41] 47 Mendatar
[42] 16 Mendatar
[43] 44 Menurun
[44] 34 Mendatar
[45] 35 Mendatar
[46] 19 Mendatar
[47] 33 Mendatar
[48] 36 Mendatar
[49] 8 Menurun dan 9 Menurun
[50] 22 Menurun
[51] 23 Menurun
[52] 26 Mendatar
[53] 26 Mendatar dan 48 Mendatar
Epilog

[04] 4 Menurun

461 88 6
By triskaidekaman

Minggu, 13 November 2033

Sore itu Sepatu menyaksikan hal tak biasa.

Rahadi dan Rini bolak-balik di depan teras. Ponsel Rahadi tak lepas-lepas dari tangan dan telinganya. Tak lama, datang satu mobil pemadam kebakaran. Kecil saja. Mobil itu parkir di depan deretan rumah tusuk sate yang kosong. Beberapa petugas turun dan berlari menuju sebuah rumah.

Nomor 28.

Yang masih kosong.

Sampai detik itu.

Seharusnya Minggu itu dia tidak bekerja, menghabiskan waktunya hanya untuk menikmati ketenangan. Dia berencana mulai menyeduh kopi kiriman Marini dengan mesin tuanya yang lama tak dioperasikan—mungkin nanti Sepatu bisa buka kedai kopi kalau dia sudah dipecat. Lalu dia ingin menghabiskan malam dengan anggur merah dan lagu-lagu My Chemical Romance—band legendaris kesukaannya.

Seperti yang sudah-sudah: kenyataan tak pernah semulus keinginan.

Sepatu belum sempat keluar ketika mobil pemadam sudah mulai berberes. Beberapa muka jengkel naik kembali ke mobil, yang dalam hitungan menit langsung tancap gas. Rahadi dan Rini masih di situ saja. Raut mereka tak begitu kelihatan. Sepatu menduga mereka sangat cemas.

Atau sangat marah.

Atau kebingungan.

Dia pun keluar.

Ingin bertanya ada apa ke Rahadi.

Rahadi melihat Sepatu datang. Dia sibuk memanggil-manggil.

"Sepatu! Kebakaran!"

"Saya baru bangun, R. Gara-gara sirenenya."

"Rumah 28! Fireguards-nya, lagi. They suck, I'm disappointed."

"Rumah itu kosong, kan?"

"Iya."

"Lalu, yang jadi masalah, apa, R?"

"Hei. Memangnya rumah kosong boleh dibiarkan kalau kebakaran?"

Sepatu diam. Mungkin kata-katanya sudah menyinggung? Dia tak pernah tahu. Tak pernah peduli juga.

Tetapi ini bukan situasi yang enak untuk tak peduli.

Dia harus peduli.

Minimal pura-pura.

Ini tetangga dan ketidakpedulian akan pedih di mata—pada waktunya.

"Ya tidak begitu, R."

"Tadi fire alarm kami menyala, Pat. Kebetulan rumah 28 caught fire, electrocuted. You know, korslet. Ini masalah instalasi listrik, Sepatu. Aku tahu rumah 28 dan rumahku punya instalasi sama. Exactly. Rumahmu juga. Pokoknya semua rumah tusuk sate dan deret kita ini juga."

Sepatu mengingat-ingat Presentasi Pengenalan Singkat Kompleks oleh Rajab—Si Pemegang Kunci—waktu dia baru pindah dulu. Seingatnya dia tak menyinggung soal instalasi listrik—kalau ada pun dia tak paham. Tak ada juga bahasan soal rumah siapa atau deret mana atau tusuk mana yang dibangun duluan atau belakangan—kalau ada pun dia tak ingat. Tak ada juga omongan tentang peta—Rajab cuma menyuruhnya berkenalan dengan semua tetangga, dari yang normal hingga yang aneh. Sepatu menurut meskipun dia sudah maklum bertahun-tahun tentang Marini, dan meskipun dia tahu beberapa tetangga kerap melontar tatapan tak suka ketika tahu dia ada main-main dengan Marini.

"Oh, begitu."

Akhirnya cuma itu yang Sepatu ucapkan.

"Not just instalasi listrik, actually. Ada yang lebih penting lagi."

Sepatu diam dengan berang.

Ia ingin bilang ya-sudah-apa-lagi-sehabis-ini, karena Rahadi adalah tipe pencerita yang bicaranya berhenti di tepi jurang. Sepatu tak suka masuk ke jurang ciptaan Rahadi. Di waktu normal, juga di saat ini.

"Peredam api."

Sepatu masih berang.

"Kamu pernah mengecek bahan peredam api di dalam rumahmu? Di tiang? Di wallpaper? Atau dek? Ah, have you gone up there, actually?"

"Asal aman-aman saja, yah... saya sih tidak permasalah...."

"Aku ini property developer. Bahan peredam api semua rumah di sini bukan the best material. Malah jelek, you know. Nggak masuk standar PINFA. Gampang kebakaran."

Tak paham properti, tak paham material, tak paham siapa itu PINFA, bukan berarti Sepatu tak paham peta dan bagaimana cara api menyebar. Sepatu tahu benar konfigurasi kompleks mereka. Tahu di mana rumah Rahadi, tahu di mana rumah 28, dan seberapa besar kemungkinan kebakaran di rumah 28 merambat hingga ke rumah Rahadi.

Dua rumah itu lebih dari berseberangan.

Kalau sampai ada kebakaran di rumah 28, bara akan lebih dahulu merambat ke rumah sebelahnya—27—yang sesama tusuk sate. Jika angin cukup kencang dan arahnya benar, api yang dari rumah 27 bisa melompat ke rumah 23 dan api yang dari rumah 28 sendiri bisa melompat ke rumah 23B. Dari rumah 23, api baru akan merambat ke rumah 20. Dari rumah 23B, api baru akan merambat ke dua rumah kosong dahulu—21 dan 18—barulah api bisa menyentuh rumah 15.

Memusingkan.

Yang pasti: rumah 28 kebakaran, rumah 15 tidak perlu pusing. Malah seharusnya rumah 20—rumah Sepatu sendiri—yang ketakutan duluan. Alasan Rahadi tak masuk akal. Ada yang aneh.

"Rahadi mungkin kamu tidak perlu sekhawatir ini karena saya lihat rumahmu...."

"No, Pat. Tadi kenapa aku bisa tahu itu fire, itu karena Rini bilang oven-nya tak bisa di-turn off. Apinya sempat jumped ke wallpaper di dapur. Aku baru selesai padamkan, ternyata rumah 28 juga kebakaran."

"Dan kamu kira kebakaran itu ada sangkut-pautnya dengan dapur Rini?"

"Memang tidak, sih."

"Lalu?"

"Pat, sebenarnya... eh... uh...."

Sepatu yakin Rahadi belum lupa dulu dia pernah memaki Sepatu di depan Rini dan Abra, hanya gara-gara Sepatu menolong Abra saat anak perempuan itu kejang. Sepatu yakin di atas seratus persen kalau Rahadi bersumpah tak akan minta tolong apa pun kepadanya lagi setelah itu.

"Begini, Pat... aku titip Rini dan the kids ke... ke rumahmu dulu... ya.... Do you mind? Help me, please?"

Suara Rahadi yang biasa meyakinkan, kini segera mengecil dengan cepat.

"I know I was wrong about Abra. Kamu tak seharusnya... yah, kamu tahu.... I'm sorry, Sepatu. Pokoknya aku minta maaf...."

Dari Sekretaris Besar, Sepatu pernah mendapat sebuah pesan. Jangan pernah percaya orang yang tiba-tiba berbalik arah. Sepatu cuma tertawa. Dia pikir itu tidak akan terjadi pada dirinya. Dengan diam saja di pojokan, Pengkhianatan takkan pernah dia alami.

Dia keliru.

Dia merasa tertipu seperti nganga di mulut sepatu.

"Bagaimana? Please, Pat?"

Rumah mereka semua adalah bentuk persaingan sempurna.

Semua berukuran sama. Luas tanah sama, luas teras sama, luas bangunan sama.

Konfigurasi sama—cuma cermin kiri-kanan.

Sepatu sendiri yang membuatnya berbeda.

Di petak bangunan yang ditempatinya, dia menyimpan penuh barang.

Berkas teka-teki silang yang ditolak bosnya.

Botol alkohol bekas yang belum sempat dia loakkan.

Botol anggur bersejarah yang belum sempat dia jajakan di lapak Tokopedia.

Koleksi cakram porno tempat dia mencari inspirasi posisi sanggama dengan Marini.

Kartu-kartu perpustakaan yang tak pernah dia pakai.

Buku-buku yang rajin ditumpuknya sedari muda—dari bazar, dari hadiah, dari curian perpustakaan—tetapi belum dia baca juga sampai sekarang.

Setumpuk majalah panas bersampul seragam: tulisan kecil-kecil tak menarik yang mengelilingi potret badan perempuan minim pembungkus, yang lebih sering membuatnya menelan ludah daripada buku resep.

Dan yang paling memalukan: sejumlah poster di tembok. Minuman panas. Perempuan panas. Kota-kota panas. Film panas.

Semua panas.

Tanpa sadar, rumah Sepatu telah dirancangnya sendiri menjadi rumah yang sombong.

Yang misoginis.

Yang tak ramah pada anak-anak.

Yang dipagari kawat berduri dengan tajuk "panas".

Namun saat itu, Sepatu memutuskan untuk menerjang api penyucian.

"Boleh."

"Thank you, Pat! Thank you! Aku urus material stuffs sama Rajab dulu, biar dia cepat schedule-kan renovasi buat kita."

Usai beberapa balas basa-basi, Sepatu berbalik pulang. Dia membersihkan kepanasan rumahnya sebisa mungkin.

Ketika berkemas, dia melihat kalender, lengkap dengan catatan penderitaan yang tersemat di tanggal besok. Sepatu teringat akan beberapa draf teka-teki yang harus dia bereskan malam itu juga.

Dan sekarang Rini beserta dua anak kecilnya mau menginap.

Seketika, Sepatu menyesal telah mencoba menjadi tetangga yang baik.

Karena pemecatan mungkin saja terjadi lebih awal.


*


"Om Patuuu!"

Abra berlari kencang ke arah Sepatu. Sepatu sendiri belum terlalu siap menyambutnya. Beruntung, posisinya cukup bagus dan dia cukup sigap. Abra masuk ke pelukannya dalam sekali tangkap. Di belakangnya ada Rini—istri yang entah bagaimana tabah mendengar celotehan alih kode tanpa henti dari Rahadi selama belasan tahun. Ibra, kakak laki-laki Abra, tampak malas dan mengantuk.

"Mama, Ibra mau langsung tidur. Besok ulangan."

"Salam dulu sama Om Patu. Om Patu tunjukin kamu kamar tidurnya."

Ibra menjengit, "Tapi kan, kata Papa...."

"Salam sama Om. Sopan santun, Ib. Ada Mama."

"Tapi kan Om-nya lagi gendong Abra."

Rini memelotot, "Ibra. Kamu dengar Mama."

Tak tahu karena lelah, karena mengantuk, atau karena takut dengan ibunya; Ibra menghela napas. Dia menyeret langkah ke arah Sepatu yang baru berdiri, masih menggendong Abra. Dia mengulurkan sebelah tangan dengan berat. Sepatu menyambutnya dengan tangan yang satu lagi terasa begitu berat (delapan belas kilogram).

"Om," sahut Ibra malas.

"Kamarnya di atas, ya."

"Ya, Om."

"Naik tangga, lalu belok kiri. Kamar yang pertama."

"Ya, Om."

"PR kamu udah beres?"

"Udah, Om."

"Kamu ngantuk?"

"Iya, Om."

"Jangan lupa cuci muka, tangan, dan kaki dulu, ya. Handuk ada di kamar. Di atas credenza."

"Beres, Om."

Dan Ibra segera berlalu menuju tangga. Dalam hitungan menit, terdengar bunyi cebur-cebur di kamar mandi loteng. Rini masih mengawasi suaminya dari jauh. Rajab sudah tampak di depan pintu 15, bercakap-cakap berdua dengan Rahadi. Persis di bawah lampu. Serius dan pekat. Abra masih merengek kepada Sepatu, minta diajak bermain.

"Kamu besok harus sekolah, kan."

"Sebentar aja, Om."

"Besok-besok masih bisa," Sepatu menolak halus. Benaknya sibuk membongkar lemari taktik. Dia mencari kode di mata Rini. Sayang, Rini tak kunjung menoleh ke arahnya. "Jangan bikin Mama marah. Kamu naik, cuci muka, tangan, dan kaki. Terus tidur."

"Tapi Mama...."

"Mama masih nungguin Papa ngobrol sama Om Rajab."

"Om Rajab? Dia kan jahat."

Sepatu memastikan Rini tidak sontak menoleh ketika Abra bilang begitu.

"Jahat bagaimana?"

Rupanya Rini dengar. Dia berhenti menerawang ke rumahnya sendiri, melangkah masuk, dan buru-buru menggendong Abra. Tentunya tanpa permisi kepada Sepatu.

"Abra, istirahat dulu yuk. Jangan ganggu Om Patu lama-lama. Om Patu masih mau kerja."

Rini mengedarkan tatapan pentung kepada Sepatu.

"Maaf, Rini. Saya lanjut kerja dulu. Banyak deadline."

"Ini hari Minggu, Sepatu."

"Tak apa, untuk hari kerja berikutnya."

Tatapan pentungnya belum berhenti.

Sepatu pikir itu peringatan. Bahaya kalau dia mendengar terlalu banyak informasi dari Abra. Bisa jadi juga Abra memang tahu sesuatu, dan Sepatu tidak (atau belum) boleh tahu.

Maka Sepatu kembali ke kamarnya yang terletak di lantai bawah. Dia sengaja selalu tidur di situ—dan memilih mengorbankan kamar lotengnya untuk Rini, Ibra, dan Abra—demi menjaga akses ke jendela besar.

Dia akan lebih cepat lari kalau ada apa-apa.

Dia akan lebih cepat menyelinap ke minimarket kalau-kalau dia butuh minuman penguat tenaga.

Peluangnya tetap hidup akan lebih tinggi jika omongan Rahadi benar—jika dia mengalami kebakaran.

"Jangan sekarang, Sepatu. Besok saja. Besok bisa kuberitahu sesuatu."

"Tidak bisakah...."

"Kubilang jangan, ya, jangan. Kamu mau Abra lagi yang kena?"

Sepatu mati kutu. Rini mendaki tangga tanpa menoleh. Sepatu tak punya pilihan selain masuk kamar, kembali ke mejanya yang berserakan draf.

Sonrisa majalah yang konservatif. Ketika semua orang di tahun 2020-an sudah kadung menganggap pembuatan teka-teki silang adalah pekerjaan komputer, penyusunan draf dengan tangan atau mesin cetak dianggap pemborosan dan merusakkan lingkungan saja. Direktur Sonrisa tak mau terhanyut arus komputerisasi. Sepatu terpaksa menurut. Meskipun Sepatu sempat belajar bagaimana cara mengoperasikan Forge, Eclipse, bahkan Microsoft Excel untuk menciptakan teka-teki silang, direkturnya tak pernah mau menerima. Sepatu sangat berharap dirinya bisa menggunakan pengetahuan komputer tersebut sebagai nilai jual agar bos menaikkan gajinya, tetapi itu tak pernah terjadi.

Teka-teki bukanlah bagian vital dari sebuah media cetak. Dari dulu begitu, sekarang begitu, dan sampai nanti tetap akan begitu juga.

Entah mengapa Sepatu kehilangan gairah. Draf-draf tua di depan matanya semacam berlari dalam putaran. Membangkitkan kantuk. Mencitrakan domba-domba yang melompati galah. Dia memutuskan menekan tanda silang merah pada berkas-berkas kertas di mejanya.

Lelahnya menyeret Sepatu tidur di meja bulat.


*


Sabtu, 19 November 2033

Jam satu malam Sepatu bangun karena Abra menangis dari lantai atas. Menjelang resital, anak itu menjadi sangat pencemas, sedikit-sedikit menjerit dan memanggil ibunya. Sepatu sudah bertanya kepada Rahadi kapankah instalasi material PINFA selesai. Hanya dijawab 'tanggal 19'.

Tanggal hari ini.

Sepatu berasumsi: nanti ketika pagi datang, Rahadi akan ikut datang menjemput istri dan dua anaknya.

Lalu mengembalikan haknya memasang poster-poster panas di tembok kesayangan.

Dia membentangkan badan di kasur, menunggu mata pedasnya terlelap.

Kesadarannya tak kunjung hilang. Abra mengentak-entak dari atas, Ibra balas berteriak, Rini melerai hingga terengah-engah.

Sepatu memutuskan bangun saja, lalu beranjak menuju kamar kecil yang hanya ada meja bulatnya itu. Sebelum dia sempat melangkah terlalu jauh, dia teringat pada draf yang baru diterimanya kemarin. Draf Linda dalam amplop cokelat yang gepokannya tebal bukan main.

Amplop yang hanya bertuliskan alamat itu dia gunting dari ujung ke ujung. Hati-hati sekali. Orang ini gila sekali bisa menjejalkan draf sekian ratus lembar dalam amplop yang demikian pas. Dari dalamnya keluar segepok kertas putih. Sepatu perlu menekuknya dengan keras untuk bisa mengeluarkan seluruh isi amplop itu.

Terakhir, amplop draf Linda dia letakkan di bawah tumpukan kertas putihnya.

Dengan alamat yang menghadap ke atas.

Sepatu mulai dengan lembar pertama. Pedas yang menari-nari di matanya seperti tersiram air. Hilang sama sekali. Pandangannya tak lepas-lepas sampai lembar keenam. Demikian seterusnya.

Sepatu tak sadar dirinya mulai bekerja lagi.


*


Sabtu pagi diinjak Rahadi dengan langkah pelan. Dia mengintip rumah 20. Rumah Sepatu yang dangdut: terkadang lampunya menyala semua tetapi Sepatu tak ada di rumah, terkadang mati semua tetapi Sepatu ada di rumah. Dia sedang menjelajah jendela bawah ketika melihat pendar lampu dari kamar atas. Samar-samar ada suara Rini dan Abra.

Setidaknya Rahadi tenang. Selang seminggu sejak kebakaran, istri dan anak-anaknya masih baik-baik saja tinggal di atas.

Berarti Sepatu yang tinggal di bawah.

Sama dengan kodratnya—yang selalu ada di bawah ketika berjalan.

Rahadi mengendap lewat teras. Beberapa botol alkohol berbaris di bawah pegangan tangga, sudah nyaris dia injak. Hanya ada lampu remang berkelap-kelip di langit-langit teras. Dari balik jendela di teras, tampak berkas sinar kuning. Sinar semacam itu tak biasa untuk ukuran Sepatu. Rahadi tahu bahwa biasanya Sepatu membawa pulang draf untuk diperiksa di rumah, bahwa biasanya dia bekerja malam sampai pagi ketika ada draf yang harus dikebut, dan biasanya dia menggunakan lampu putih ketika mengerjakan itu. Terasnya pun jadi terang-benderang pada saat-saat semacam itu.

Ini, tidak.

Rahadi penasaran apa yang membuat Sepatu berbeda.

Dia mendekat. Tangga menuju teras memang kayu, tetapi kuat. Tidak berderak oleh sepatu. Rahadi lega sekali meskipun tetap memelankan langkah.

Rahadi tiba di puncak teras. Matanya sudah cukup awas dalam gelap. Dia mengintip sebisanya lewat jendela. Tidak ditutup. Dia mencoba masuk. Tidak dikunci. Ruang tengah Sepatu masih berantakan, sedikit berbau alkohol. Tampak beberapa benda yang tak penting. Lemari. Dinding dengan poster Miyabi dan pin-up spageti (entah apa hubungannya). Rahadi menggeleng, mendecak masam, lalu melanjutkan penyelidikan. Dia membelok sembarangan. Ketika sadar ujung lorong itu adalah dapur, dia berbalik dan menuju sebuah kamar dengan pintu setengah terbuka.

Di dalamnya ada sebuah meja.

Di atasnya ada selembar amplop cokelat, segepok kertas yang masih tebal, dan segepok kertas yang lebih tipis di sebelahnya. Di atas mereka semua, ada Sepatu yang tengah tertidur. Dengkuran kasar mengalun dari mulutnya yang setengah terbuka. Rahadi memanjangkan leher, mengintip lebih dalam. Dia tak berani menyorotkan senter, takut Sepatu terbangun.

Setelah berkali-kali memicingkan pandangan, Rahadi bisa melihat tulisan di amplop dengan jelas.

Itu alamat Linda.

Rahadi berjingkat cepat, segera kembali ke teras. Dia melirik jam tangannya. Tanpa pikir panjang dia menekan tombol sambung cepat. Hanya dua nada sambung, dan telepon itu sudah diangkat. Seluruh kode campur yang biasa Rahadi ucapkan ke Sepatu lenyap ditelan angin malam.

"Bagaimana?"

"Kau benar. Dia mencoba berkomunikasi. Ada TTS-nya di meja Sepatu. Aku baru lihat."

"Oke, kalau begitu."

"Oke bagaimana?"

"Kita perlu singkirkan dia."

"Yang benar?"

"Iya. Gilirannya nanti. Setelah Paul."


Continue Reading

You'll Also Like

203K 5.8K 50
[Budayakan VOTE Sebelum Membaca] The Billionaire Prison [Love is Difficult] Sungai Thames, London. 📌 "Bersihkan semua, jangan sampai ada yang tertin...
158K 15.6K 10
© cover by just-anny TheWattys2016 Edisi Kolektor Rank #10 Cerita Pendek - Rabu, 13 Januari 2016 Diga mengerti apa yang membuat Anny sebal, apa...
235 101 8
Tatapannya amat sedih, sampai kupikir mungkin dia punya kehidupan yang lebih malang dariku. © hidrolisis, 2021
17.1K 3.5K 19
Di dunia ini, tidak ada yang sempurna, mereka hanya berusaha tidak memperlihatkan cela. © 2020 all rights reserved by fluoresens and radarneptunus.