Edenic {✓} SUDAH TERBIT

By bangtannabie

133K 17.4K 4.1K

Bekerja dengan Park Jimin sudah bagaikan mimpi menjadi nyata untuk Min Hanna. Pekerjaan yang tidak terlalu me... More

INFO VERSI CETAK SHOPEE
REVIEW EDENIC VERSI ✨BUKU✨
Prolog
Satu
Dua
Tiga
Empat
Lima
Enam
Tujuh
Delapan
Sembilan
Sepuluh
Sebelas
Dua Belas
Tiga Belas
Empat Belas
Lima Belas
Enam Belas
Tujuh Belas
Delapan Belas
Sembilan Belas
Dua Puluh
Dua Puluh Satu
Dua Puluh Dua
Dua Puluh Tiga
Dua Puluh Empat
Dua Puluh Enam
Dua Puluh Tujuh
Dua Puluh Delapan
End (Wattpad Version)
Let's Have A Talk

Dua Puluh Lima

2.3K 434 111
By bangtannabie

(unedited)

"Yoong, mau ke mana?"

Hanna menatap cemas saat Yoongi berdiri. Ponsel abangnya itu baru saja berdenting beberapa kali dan Yoongi tidak mengalihkan pandang pada Hanna sedikit pun.

"Ke kamar sebentar. Mengurus laporan. Ini tentang cabang kafe baru."

Hanna ingin bergerak protes, tapi gerakannya tertahan karena bobot ringan di pangkuan. Bocah kesayangan sudah terlelap dan menjadikan paha Hanna sebagai bantal. "Dikerjakan di sini saja tidak bisa?"

"Sebentar saja, kok," kata Yoongi sambil melangkah menjauh. "Aku sudah kirim pesan pada Jungkook supaya cepat pulang."

"Yoong, serius, deh. Di sini saja, ya."

Yoongi berbalik dan menatap adiknya sesaat, berpikir. "Kau benar-benar yakin kuncimu hilang?"

Hanna menatap tak percaya. Sefrontal apapun bahasa yang Yoongi gunakan kalau mereka bertengkar karena hal konyol, atau seberapa tajam sindirannya, Hanna tidak pernah terlalu memikirkan mereka, hanya dianggap sebagai angin lalu. Tapi yang satu ini tidak begitu karena Hanna merasa kecewa. "Kau tidak percaya padaku?"

"Bukan begitu," Yoongi menggaruk tengkuk, sekejap merasa tak enak hati, "maksudku, kau di rumah Jimin semalaman. Mungkin kuncinya tercecer di sana."

"Kalau kuncinya jatuh aku pasti sudah dengar."

"Memangnya apa lagi yang kau gantungkan bersama kunci itu? Bukannya mainan kuncimu yang boneka salju itu, ya? Kalau jatuh mungkin tidak bersuara."

"Ada cadangan kunci mobil, kunci lemariku, kunci kamarmu dan kunci kamar Jungkook. Tidak mungkin tidak berbunyi kalau jatuh."

Wajah Yoongi berubah sedatar tembok sejenak. "Kenapa, sih kunci kamarku diduplikat? Siapa yang suruh?"

"Supaya aku bisa mengguyurmu dengan air kalau tidak mau bangun."

Yoongi merotasi mata lalu mengembus napas berat. "Jimin pulang jam berapa?"

"Dia masih terjebak meeting."

"Aku tak percaya dia masih mengurus rapat sialan itu dalam keadaan begini, kalau memang dia menanggapimu serius."

Sungguh Hanna ingin mencolok mulut Yoongi dengan garpu sekarang, tapi suasana hatinya sudah terlampau buruk. Hanna menatap Yoongi lekat dan berkata, "Kau tidak lihat wajahnya tadi? Dia merencanakan sesuatu."

Bibir Yoongi membentuk segaris lurus sempurna, lalu melanjutkan, "Kuharap rencana itu untuk membekap Hwang Jiyeon. Wanita itu benar-benar sudah gila."

"Kurasa tidak begitu."

Yoongi mengangkat sebelah alis. "Terus?"

"Bukan Jiyeon. Kemarin, aku-" Apa benar-benar harus bilang semua? Kejadian itu sangat memalukan. Di depan publik. Sangat bodoh karena tidak melawan. Cuma bisa menangis. Dasar, lemah. Mengatakan kunciku hilang saat bersama Jiyeon sudah cukup, kan? Hanna selalu merasa sangat buruk saat dia tahu hati kecilnya mengutarakan kebohongan, karena faktanya, tidak ada hubungan dengan Jiyeon. Bukan Jiyeon.

"Ah, ya, sudahlah. Masuk saja sana. Aku mau ke kamar." Hanna berkata.

Yoongi memerhatikan Hanna mengangkat Abel perlahan agar anak itu tidak terbangun. Setelah memastikan Hanna masuk ke kamarnya dan menutup pintu, Yoongi berbalik dan menghela napas berat.

Yoongi percaya pada Hanna, tapi dia juga tahu adiknya itu sangat ceroboh. Yoongi tidak ingin ikutan panik dan paranoid kalau meng'iya'kan asumsi Hanna tentang kuncinya yang hilang di taman bermain. Banyak hal yang sudah terjadi setelah Hanna bersama Jimin, Hanna tidak perlu mengatakan semuanya tapi Yoongi tahu. Yoongi bahkan jauh dari sekadar tahu betapa runyam kehidupan teman masa kecilnya itu, namun sepertinya sudah terlambat untuk menginginkan Hanna tidak terlibat.

Yoongi masuk ke kamar, berhenti sejenak di balik pintu. Dia akhirnya membiarkan pintu terbuka sedikit sebelum menempati meja kerjanya.

Min Yoongi mengerang pelan dan mengerjap. Leher dan punggung terasa luar biasa kaku sementara kepala berbaring tak nyaman di atas meja. Cahaya dari layar laptop menyala-nyala. Yoongi mendecak pelan sebelum mengangkat kepala dan menyipit karena laman terakhir pengerjaan dokumennya menyilaukan mata.

"Ya, begini saja terus. Kapan selesainya?" Yoongi bergumam pelan. Telunjuknya kemudian bergerak menghapus huruf 't' yang memenuhi hampir seluruh halaman karena tak sengaja tertimpa tangannya sepanjang Yoongi tertidur. Merasa terganggu karena tingkat kecerahan layar terlalu tinggi, Yoongi mengangkat pandangan melihat ke sekeliling.

"Kok gelap?"

Yoongi meluruskan punggung. Butuh beberapa sekon sebelum matanya terbiasa dan cahaya dari luar serta layarnya membantu Yoongi melihat sedikit lebih jelas. Mati lampu, ya? Yoongi meraih ponsel dan melihat balasan dari Jungkook yang bilang dia akan pulang sedikit terlambat. Belum sempat Yoongi merespon pesan itu, layar ponsel berkedip memperingati baterainya akan habis.

"Oh, sempurna." Meletakkan ponsel lagi agak kesal, Yoongi melihat jam di layar laptop. Hampir jam sebelas. Jimin sudah kembali belum, ya? Yoongi lalu menatap lurus dan memanggil, "Hanna!"

Dia menunggu sejenak, menerka Hanna mungkin sudah tidur. Yoongi melepas kacamata bacanya dan mencoba memanggil lagi sedikit lebih keras, "Hanna?" Tidak ada jawaban. "Duh, bikin khawatir saja," keluhnya gusar sebelum berdiri dan menuju pintu.

Ketika tangannya meraih gagang, Yoongi baru menyadari kalau daun pintunya tertutup rapat. Yoongi berpikir sejenak dan merasa sangat yakin kalau dia membiarkan pintunya sedikit terbuka tadi. Yoongi lalu menekan gagang ke bawah tapi pintu tidak terbuka.

"Apa-apaan?" Yoongi mencoba membuka pintu berkali-kali tapi tidak ada yang terjadi. Pintunya terkunci. Panik mulai menggerayangi seluruh inderanya ketika Yoongi menggedor pintu dengan kasar dan berteriak, "Hanna!!" Yoongi mencoba lagi, menarik gagang sekuat mungkin, "Sialan, Hanna. Ini tidak lucu!"

Dada Yoongi naik turun dengan cepat, mencoba meraup udara sebanyak mungkin. Dia coba untuk tenang sesaat dan mendengarkan suara apa pun sebisa mungkin, namun deru napasnya sendiri memecah hening. Yoongi bersumpah kepalanya berdenyut akan pecah. Yoongi akhirnya berderap kembali ke meja dan mengambil ponsel. Tenang dulu, tenang dulu. Jangan panik. Dengan baterai yang tinggal beberapa persen, Yoongi menelepon ponsel Hanna.

Tengkuknya meremang mendengar nada dering dari lantai atas. Setelah beberapa sekon berlalu, suaranya terputus dan ponsel Hanna sudah tidak aktif ketika Yoongi mencoba lagi. Peringatan lain mencongol di layar. Sebelum ponselnya benar-benar mati, Yoongi mengirim pesan darurat pada Jungkook agar menelepon polisi.

Jantung bertalu hebat saat Yoongi menebar pandang ke seluruh kamar. Matanya berhenti pada pot mini yang ditanami kaktus di kusen jendela. Secepat kilat Yoongi meraih pot putih itu dan mengambil beberapa langkah mundur. Ia lalu mengayun lengan dan melempar sekuat tenaga ke jendela, kepanikan membabat habis benaknya hingga tak mencoba mencari jendela yang bisa dibuka. Suara pecahan kaca luar biasa keras seketika merebak ke mana-mana. Tanpa pikir panjang Yoongi bertumpu sebelah tangan ke bingkai jendela, mengabaikan rasa menusuk di telapak lalu melompat keluar. Ia terkesiap tertahan dan mengumpat pelan saat kedua kaki mendarat di tumpukan pecahan kaca.

Sebisa mungkin Yoongi menahan sakitnya dan berjalan tertatih ke bagian depan rumah.

Jangan sampai. Tolong, jangan.

Hanna membeku.

Telapak tangan diletakkan di pundaknya, perlahan menekan kuat membuat Hanna menahan napas. Suara halus itu menusuk indera dan napas yang dipaksakan tenang menggelitik tidak nyaman di tengkuk.

"Halo, Hanna."

Mata Hanna disambut kegelapan seisi rumah, namun dia tidak perlu menoleh untuk mengenali pemilik suara. "Ji-Jiyeon?"

Hwang Jiyeon menempel semakin rapat. "Kejutan. Apa kau mengharapkan kehadiran lain?"

"B-bagaimana--"

"Ssh. Sekarang, ayo, melangkah mundur. Bersuara sedikit saja, kau akan menyesal." Suara Jiyeon terdengar agak gemetar, namun cekauannya membuat Hanna melangkah mundur perlahan. Hanna melirik pintu kamar Yoongi yang tertutup rapat di lantai bawah dan mendekap Abel erat.

Yoongi.

"Turunkan Abel."

Sekujur tubuh Hanna bergetar ketika dia perlahan melepas Abel dan mendudukkannya di kasur. Mata bulat anak itu melebar, bibir mencuat dan menatap bingung dalam kegelapan. "Ma, kenapa gelap?"

"Ssh." Jiyeon menyentuh wajah Abel dan mengusapnya pelan dengan ibu jari. "Tidak boleh bersuara, ya, Manis. Mama tidak punya waktu. Sebelum kita pergi, Mama ingin bicara sebentar dengan Tante Hanna, ya. Oh," Jiyeon menjeda, lalu beralih pada Hanna dengan sebuah senyum sinis, "atau Mama Hanna. Bukankah itu berlebihan?"

Gorden biru tebal di jendela menghalangi cahaya menerobos masuk. Hanna butuh waktu lebih lama untuk membiasakan penglihatan dalam gelap. Sementara tangannya yang bebas melingkari Abel agar tetap dekat, ia mencoba mengamati sebisa mungkin.

Sosok Jiyeon hanya berupa bayangan yang menjulang, berdiri di hadapan. Hanna pikir deru napas gelisah yang dia dengar adalah miliknya, tapi tidak. Hanna bisa merasakan tatapan Jiyeon menukik tajam padanya, mata mereka saling meneliti, namun Hanna mendapati keragu-raguan dan kegelisahan.

Hanna menahan napas ketika jemari sedingin es menyentuh dagunya. "Aku sudah menunggu sangat lama."

"Untuk menyingkirkanku?" Mata Hanna masih terkunci di wajah Jiyeon yang terlihat samar. Dia tidak bisa melihat apapun dengan jelas. "Ini yang kaumaksud?" Tanpa diduga, Jiyeon justru terkekeh pelan.

"Aku tidak berniat melukaimu, sebenarnya. Kecuali terpaksa."

"Kyungjoon yang menyuruhmu ke sini? Dia yang mengambil kunciku, kan?"

Tangan dingin Jiyeon merayap ke belakang leher Hanna, jempolnya mengelus rahang mengirim sensasi ngeri ke sekujur tubuh. Seolah memperingati, dia dalam posisi menguntungkan untuk mematahkan leher kalau Hanna bergerak sedikit saja.

"Nope. Kau salah, Sayang. Dia akan marah besar kalau tahu aku ke sini tanpa sepengetahuannya."

"Kenapa?"

"Ehm, karena merusak rencana?"

"Jadi ini bukan bagian dari rencana?"

"Rencananya."

"Oh, ya?" Hanna mencoba mengulur waktu. Ia ingat ponselnya ada di suatu tempat di kasur, namun Hanna terlalu takut untuk bergerak. Jaraknya dan Jiyeon terlalu dekat. Keberadaan Abel di situasi memuakkan ini membuat Hanna tidak bisa berpikir jernih. "Jadi, di mana dia sekarang?"

"Entahlah. Mungkin ... bersama Jimin?"

"Apa yang-"

"Dia belum membalas pesanmu, kan?"

Amarah menggelegak di sekujur tubuh seketika. Hanna menghempas tangan Jiyeon dari wajah, menjaga Abel agar tetap dekat. Kepanikan dan rasa khawatir membuncah di dada dalam sesekon membayangkan hal buruk yang akan dilakukan Jiyeon dan Kyungjoon pada Jimin, menyusup ke rumahnya sebagai pengaluh perhatian. Atau lebih buruk, pikiran Hanna merujuk ke satu hal di mana dia dan Abel dijadikan sandera.

Hanna meraup udara sebanyak-banyaknya hingga dada berdenyut sakit, bersiap untuk teriak. "YOONG--mmph!"

Secepat kilat Jiyeon menerjang dan Hanna merasa sesak. Kedua tangan wanita itu melingkari lehernya dan mencekik tanpa ampun. Jiyeon merangkak naik ke kasur dan duduk di atas Hanna, menumpukan kekuatannya pada lengan yang menekan leher Hanna sekuat tenaga selagi tangan satunya membekap mulut.

"Jangan paksa aku melukaimu, Hanna!" Jiyeon mendesis tajam. "Diam."

Namun usaha Hanna menendang-nendang sekuat mungkin dan mencoba menyingkirkan tubuh wanita itu yang memberatkan perutnya hingga semakin kesulitan bernapas membuat Jiyeon semakin tersulut. Dia membebaskan leher Hanna selama selama sepersekian sekon, hanya cukup untuk Hanna meraup udara seadanya sebelum lehernya dicekik sekuat mungkin.

Hanna tersedak. Lehernya sakit bukan main.

"Kubilang diam!"

Jiyeon melepas bekapan dari mulut Hanna yang kini terasa pahit. Meneguk saliva mengirim rasa nyeri menusuk ke kerongkongan. Bibirnya bergetar hebat mencoba bicara dan dada sesak bukan main. Air mata mendobrak pertahanan dan Hanna mencoba bicara, namun ia bahkan tak diizinkan tenang mengatur kata barang sesekon saja. Detik berikutnya Jiyeon menarik keluar sesuatu dari saku celananya dan ujung runcingnya ditodongkan tepat ke wajah Hanna membuat wanita itu membeku seketika.

"Ya. Ini pisau dapur ibumu. Jangan paksa aku melakukan ini di depan putriku."

Hanna merasakan cengkaman Jiyeon di lehernya melonggar, meski sentuhan wanita itu masih menempel di kulitnya. Atensi keduanya terpecah ketika rengekan kecil lolos dari Abel.

Hati Hanna yang sudah remuk rasanya hancur berkeping mendapati Abel sudah di luar jangkauan lengan, melipat kedua kaki ke dada dan gemetaran di sudut kasur. Bibir ditekuk. Hanna mencoba melihat dengan jelas, namun hanya kilau samar air mata di wajah Abel yang menyerobot masuk pengamatan, mematah hati jadi dua.

"Papa...." Bibir kecilnya bergerak pilu. Abel bahkan tak bisa melihat terlalu jelas dalam gelap. Namun kasur berguncang begitu hebat, Hanna ditindih orang jahat. Abel tidak mengerti. "Mana Papa Abel? Abel mau pulang."

Hanna berusaha menjulurkan lengan menggapai Abel, namun Jiyeon menarik kausnya erat, memaksa Hanna duduk. Tangannya yang menggenggam pisau kemudian diarahkan pada Abel. Hanna bahkan tak sempat bereaksi apapun sebelum beberapa barang dilemparkan padanya.

"Ikat dia."

Hanna mendongak dan menatap nyalang ke arah Jiyeon. "Kau gila."

Jiyeon lalu mengeluarkan ponsel, menyalakan senter dan melempar benda tipis itu ke kasur. Cahayanya menyebar suram di antara mereka bertiga. Abel beringsut semakin ke sudut. Hanna mengamati Jiyeon sesaat, mendapati lebam kebiruan di rahang dan lehernya.

Menyadari ke mana pandangan Hanna terarah, Jiyeon menekan kepala Hanna ke bawah dengan kasar. "Cepat lakukan, sialan. Ikat dia."

Sungguh Hanna ingin melawan. Dia ingin teriak dan menerjang wanita ini, bergulat di lantai, masa bodoh. Namun ketika Jiyeon mengarahkan pisaunya lebih dekat ke leher Abel, berjarak setipis kertas saja pada kulit bayinya, Hanna tak punya pilihan. Pandangannya dikaburkan air mata ketika mengambil tali yang dilempar Jiyeon, tak luput melihat selotip hitam di sampingnya.

Hanna menggigit bibir kuat-kuat ketika mengambil kedua pergelangan tangan Abel dan mulai menyimpul tali. Hanna merasa sangat jahat ketika Abel menggeleng kuat dan menangis.

"Jangan ikat Abel, Ma. Abel janji tidak akan nakal. Abel tidak mau diikat."

Hati Hanna sakit bukan main. Dada serasa dihimpat beban ribuan ton. Rengekan Abel dan panggilan barunya dari anak itu sukses membakar habis hatinya tak bersisa.

Tidak pantas dipanggil begitu. Tolong jangan panggil begitu.

"Mama, jangan ikat Abel."

Hanna sudah berusaha menyimpul talinya tidak terlalu erat, namun bahkan itu tak luput dari Jiyeon. Wanita itu merapatkan Abel ke tubuhnya dengan gerakan kasar. "Ikat yang benar!" Desisnya tajam. "Sekarang tutup mulutnya."

"Jangan lakukan ini." Hanna mendongak, suara bergetar hebat. Dia mencoba menemukan kasih keibuan Jiyeon di mana saja, sedikit saja. Sejenak ia melihat iris wanita itu ikut berguncang namun Jiyeon cepat-cepat beralih.

"Lakukan sekarang, Min Hanna."

"Dia anakmu."

"Lakukan atau hidup kalian berdua berakhir sekarang!"

Hanna bersumpah dia tak akan pernah memaafkan dirinya sendiri atas apa yang dia lakukan. Seluruh tubuhnya sedingin es, air mata tak lagi terbendung ketika dia mengarahkan selotip yang sudah disobek itu ke wajah Abel. Abel menggeleng lebih keras, berusaha menjauhi Hanna.

"Tidak mau. Abel tidak mau."

"Maaf, Sayang. Sungguh, Tante minta maaf."

Hanna menampung wajah mungil Abel setelah selotip di tangannya membungkam anak itu. Maafkan aku. Jimin, maafkan aku.

"Kau tahu kau tak berhak apapun atas Abel." Jiyeon berkata dengan suara pelan. "Tidak kau ataupun Jimin."

"Jangan katakan itu di sini."

"Abel juga harus tahu."

"Jangan, Ji."

"Jimin bukan ayah kandungnya."

Hanna tidak tahan lagi. Dia tahu tindakannya ini percuma. Dia mungkin akan berakhir terluka. Namun perubahan ekspresi di wajah Abel ketika Jiyeon bicara menyulut api di tubuh Hanna. Dia mencoba merebut pisau dari Jiyeon meski harus menutupi bagian tajam dengan telapaknya sendiri. Hanna meringis menahan pedih yang membelah permukaan kulit. Setidaknya Jiyeon panik karena gerakan mendadak itu, namun Hanna kalah cepat ketika Jiyeon menghempas tubuh mereka ke kasur. Bobot tubuhnya menekan Hanna dalam posisi terlentang, kembali ke posisi semula ketika wanita itu duduk di atas Hanna, menatap nyalang dan emosi memuncak.

Hanna menahan napas ketika bagian tajam pisau menggores kulit lehernya.

"Aku tidak berniat mengakhiri hidupmu tapi kau memaksaku."

"Kau tidak pantas jadi seorang ibu." Hanna mendesis.

"Hah, luar biasa sekali untukmu berkata begitu. Aku sudah banyak menderita. Aku datang untuk mengambil apa yang sejak awal milikku."

Hanna meneguk saliva, mengabaikan perih yang menekan. "Jimin lebih menderita karena kau menelentarkan putramu."

Jiyeon terkekeh sinis. "Selalu saja membawa-bawa anak itu. Aku menyesal dia mati. Tapi aku tak bisa bohong bahwa aku menyesali kehadirannya juga. Aku tidak mencintai Jimin. Tapi Abel, adalah darah dagingku dan Kyungjoon."

"Kalian tidak kembali karena itu."

Cahaya lampu senter dari ponsel menimpa langsung wajah Jiyeon. Hanna hilang akal sejenak ketika bulir air mata jatuh ke wajahnya.

"Aku tidak ingin melakukan ini, Hanna. Aku tidak punya pilihan." Satu tangan Jiyeon menarik turun kerah kausnya, mengekspos lebam kebiruan menghitam di pundak dan dadanya. "Aku sangat mencintai Kyungjoon. Aku tidak bisa menolak."

Hanna membelalak. Ia mengamati wajah Jiyeon yang kini berbanding 180 derajat dari ekspresi yang ditunjukkannya ketika pertama kali mereka bertemu. Kemarin dia sangat angkuh, mengintimidasi, kuat. Namun Jiyeon yang sekarang seperti batu karang yang ratusan tahun diterjang air; terkikis, rapuh, sendirian.

Apa yang sebenarnya terjadi?

"Kehidupan kami sudah sempurna." Jiyeon berkata, "Percaya atau tidak aku pernah bahagia, Hanna. Tapi ayah Jimin merusak semuanya. Ayahku bunuh diri karena kebangkrutan itu. Ayah Kyungjoon jadi kriminal karena membunuh istrinya sendiri dan menghabiskan sisa hidupnya di penjara. Kami hancur begitu saja."

Emosi dalam dirinya membuat Jiyeon menekan mata pisaunya lebih dalam. Hanna mencengkeram pergelangan tangan wanita itu, "Jiyeon."

"Aku tidak ingin melakukan ini sejak awal. Tapi aku tidak ingin membuatnya berjuang sendiri. Ketika aku tahu aku hamil Abel, aku ingin mengakhiri semuanya. Aku bersumpah ingin balas dendam mengerikan ini berakhir. Tapi Jimin bahkan tidak bisa melepasku begitu saja."

Jiyeon menghapus air matanya, lalu berkata tajam, "Menyuruhku memilih antara kebebasanku dan Kyungjoon atau bayiku. Pilihan apa yang kupunya?"

"Jimin sangat mencintaimu." Dada Hanna berdenyut nyeri, tak percaya atas apa yang diucapkannya. "Kau punya pilihan untuk meninggalkan Kyungjoon."

Jiyeon menggeleng. "Aku tidak mau menghabiskan sisa hidup dengan pria yang tidak kucintai. Tidak dengan keluarganya yang sudah merusak kehidupanku."

"Tapi itu bukan salah Jimin."

"Itu salahnya. Dia egois. Dia merebut putriku dariku."

"Mungkin karena dia ingin mencoba membuatmu tinggal." Hanna meneguk saliva pahit ketika Jiyeon tertawa pelan. "Kyungjoon bahkan tidak memperlakukanmu dengan baik."

"Ya. Ya, kau benar. Dia memperlakukanku dengan buruk. Tapi itu bukan dia yang sebenarnya. Jimin membuatnya seperti ini."

"Berhenti menyalahkan--"

"Jimin membuatnya menjadi monster." Jiyeon mendesis tepat di hadapan wajah Hanna, membungkuk sangat dekat sampai Hanna harus menolehkan wajah. "Kyungjoon hanya ingin keadilan. Tapi Tuan Park sialan itu mengetes keberanianku dan suamiku. Dia tahu aku istri Kyungjoon. Dia terpaksa bungkam demi martabat sialan yang dia agungkan. Dia ingin aku pergi. Kulakukan. Bodohnya dia, putranya terlalu mencintaiku. Jadi sekalian saja, kubuat anak bungsunya menderita. Malang sekali, Jimin terlahir dengan seorang ayah yang licik. Dia membalas balik perbuatanku. Mudah sekali untuk mereka menciptakan kasus fiksi, menyeretku dan Kyungjoon ke pengadilan. Aku sudah hamil saat itu. Kuakui, tindakan Jimin sungguh tak terduga."

Jiyeon menjauhkan tubuhnya lagi, tersenyum miring. "Aku setuju. Kupikir kuselamatkan diriku dan Kyungjoon. Jimin mengambil Abel, dia mengirimku ke Jepang. Kupikir semua selesai. Tapi bahkan di akhir hayat, Pak Tua keparat itu tetap belum puas. Hanya beberapa hari sebelum dia meninggal, tuntutan itu dilanjutkan. Kyungjoon ditangkap tanpa sepengetahuanku, Jimin sudah mengambil anakku, mereka pindah, menghilang, mustahil untuk kutemukan waktu itu. Aku baru tahu apa yang terjadi pada Kyungjoon setelah dikabari teman kami. Lima tahun hidup Kyungjoon dan hidupku hilang begitu saja. Kuakui aku lelah Hanna."

Senyum memudar dari wajah Jiyeon, berganti dengan tatapan dingin menusuk. "Kyungjoon mungkin akan memukuliku lagi kalau tahu aku sudah bertindak di luar rencana. Abel tidak pernah menjadi priotitasnya. Tapi setelah urusannya dan Jimin selesai, toh cepat atau lambat ini akan terjadi juga. Kau hanya bernasib malang, terseret ke tengah badai karena Jimin jatuh cinta padamu."

Ketakutan merayap dari ujung kaki yang berubah sedingin es hingga kepala berdenyut nyeri. "Apa yang akan kalian lakukan pada Jimin?" Air lolos dari pelupuk, bibir Hanna gemetaran. "Tolong jangan lukai Jimin."

"Kalau dia berkooperasi dengan baik, mungkin kalian akan bertemu lagi. Tapi kalau abangmu di lantai bawah itu mendadak menghubunginya, mungkin dia akan panik. Entah apa yang akan Kyungjoon lakukan."

Kengerian mendesak di dada seketika. "Apa yang kaulakukan pada Yoongi?"

"Oh, jangan khawatir. Hanya menguncinya. Tak kukira dia akan ada di rumah."

Teriakan dari lantai bawah merenggut atensi sesaat. "Hanna! Sialan, Hanna. Ini tidak lucu."

Dengan senyum sinis tersemat di wajahnya, Jiyeon perlahan bangkit. Dia menyambar ponselnya dan mematikan senter. "Jangan bertindak gegabah setelah ini, Hanna." Jiyeon memasukkan ponsel ke saku celana. Pisau dapur itu masih dalam genggamannya ketika dia mengangkat Abel.

"Berhenti." Hanna mencoba bangkit. Kepala pening bukan main karena gerakan mendadak yang dia buat. "Jangan ... jangan bawa Abel. Kumohon."

Jiyeon mengacungkan pisaunya ke wajah Hanna sekali lagi. "Berhenti atau kau akan terluka."

Jiyeon mendekap Abel di dalam pelukan, mengabaikan tangisannya yang teredam. Dia perlahan melangkah mundur, menatap lekat pada Hanna dalam gelap. Jiyeon mencapai ambang pintu dan berbalik ketika Hanna tiba-tiba menerjangnya dari belakang. Jiyeon menahan jeritannya sendiri ketika kuku-kuku Hanna menggores kulit dada dan lengannya tanpa ampun, berusaha melepaskan Abel.

Jiyeon mengerahkan seluruh tenaga melepaskan cengkaman Hanna dari tubuhnya, menyikut wanita itu sekuat mungkin dan mengayunkan tangan hingga kontak mereka terlepas. Jiyeon membeku di tempat ketika bunyi 'dug' keras terdengar.

Lalu tidak ada suara apapun lagi.

"Hanna?"

Jiyeon menunduk, berusaha melihat. Ia menahan getaran tubuh ketika menekuk kaki dan menelusuri rangka kasur mencari Hanna. Kakinya bersentuhan dengan tubuh wanita itu, namun tangan Jiyeon berhenti bergerak ketika jemarinya menyentuh sesuatu yang hangat.

"Ha--Hanna?"

Ponsel Hanna berbunyi redam di bawah bantal. Sekujur tubuh Jiyeon mendingin ketika dia meraih ponsel , melihat nama Yoongi di layar. Menekan lama satu tombol, Jiyeon mematikan ponsel itu.

Suara pecahan kaca menggelegar dari lantai bawah, Jiyeon terkesiap dan bangkit berdiri. Ia mencium aroma besi berkarat dari tangannya sendiri sebelum melangkah gontai meninggalkan kamar.

"Maaf, Hanna."

Jiyeon berlari secepat mungkin menuruni tangga, berusaha mengabaikan degupan jantung yang memburu dan rasa bersalah menggerogoti hati seketika. Wanita itu sudah ditengah tangga teras ketika sosok tertatih muncul dari samping rumah.

Mereka beradu tatap sejenak, Min Yoongi menatapnya dengan ketakutan absolut.

Yoongi butuh sepersekian sekon untuk memroses ketika seorang wanita tak dikenal menuruni tangga teras rumahnya, membawa sesuatu dalam gendongan. Kedua telapak kaki dan tangannya berdenyut pedih, mengaburkan konsentrasi sesaat. Ketika wanita itu bergerak lagi membelakangi Yoongi menuju mobilnya, Yoongi diserang kesadaran mendadak pada sepasang mata di gendongan wanita itu, menatap lurus padanya putus asa.

"Abel?"

Yoongi berjalan secepat mungkin, namun Hwang Jiyeon sudah di dalam mobil. "Berhenti! Abel!!" Yoongi berteriak sekuat mungkin, menopang tubuh pada pagar rumah ketika mobil menjauh. "ABEL!!"

Pintu-pintu tetangganya terbuka, bahkan beberapa datang dari kejauhan setelah mendengar suara kaca yang Yoongi pecahkan. Dengan putus asa Yoongi mencoba mencari kata ketika mereka menanyainya apa yang terjadi.

"Polisi, tolong panggil polisi. Keponakanku diculik." Serta-merta Yoongi tersadar dan memandang lagi ke dalam rumah. Tepat sebelum dia melangkah, Jungkook berlari dari arah lain, menatap panik mendengar teriakan Yoongi dari kejauhan.

"Hyung! Apa yang--Hyung, kakimu kenapa?"

Yoongi meraih pundak Jungkook dan mendorongnya ke arah rumah. "Cepat periksa Hanna di dalam. Aku akan nyalakan listriknya." Jungkook membuka mulut menuntut penjelasan, namun Yoongi mendorongnya sekuat tenaga. "Cepat, Kook!"

Masih mencoba menerka-nerka situasi berantakan dan membingungkan ini, Jungkook melepas tas dan membiarkannya jatuh di halaman. Kegelapan menyambut namun Jungkook berpegang erat pada selasar. Tungkai panjangnya memanjat menaiki tangga rumah, melangkahi dua sampai tiga anak tangga sekaligus.

"Nuna!" Jungkook memanggil. Ia agak terengah ketika mencapai ambang pintu dan menyipit karena kegelapan absolut. "Nuna, kau di dalam? Aku tidak bisa melihat--"

Klik.

Pencahayaan di seantero rumah menyala sekaligus. Iris cokelat Jungkook langsung jatuh pada sesosok yang terbaring dengan kolam merah menggenang di lantai. Jungkook merasa jantungnya lepas dan jatuh menghantam dasar perut hingga bergejolak tidak nyaman seketika.

"Nuna?"

Ini adalah sepetik scene baru yang aku masukkin untuk Hanna dan Jimin di versi baru. It's a long one, actually tapi buat sekarang secuil ini aja dulu, hehe. Aku masukin dan ngurangin banyak bagian, dan deadline kurang dari 10 hari. I think I'm not doing this fast enough, but I'm doing my best.

Dan, di chapter ini sendiri, aku bikin beberapa perubahan 😁 I really hope you guys like it.

Wish me a luck !!

And thank you so very much 🥺

Continue Reading

You'll Also Like

69.3K 6.3K 49
Sebuah cerita Alternate Universe dari tokoh jebolan idol yang banyak di shipper-kan.. Salma-Rony Bercerita mengenai sebuah kasus masa lalu yang diker...
2.2K 579 6
Jika takdir yang memisahkan kita, tetapi kenapa takdir juga mempertemukan kita kembali?
5.3K 731 17
This book for Jeno and Siyeon side. I just don't like a rain, not hate it ㅡ Jeno Then why your hand always trembling when a rainy days? ㅡ her ✓ NCT's...
74.6K 4.7K 56
WARNING!! Terdapat kata-kata hingga perilaku yang membuat readers kejang-kejang✅ Awal cerita: 10-23-2021 °°°°°°°°°°°°°°°°°°°° SKLIRÓS bercerita tenta...