Edenic {✓} SUDAH TERBIT

By bangtannabie

133K 17.4K 4.1K

Bekerja dengan Park Jimin sudah bagaikan mimpi menjadi nyata untuk Min Hanna. Pekerjaan yang tidak terlalu me... More

INFO VERSI CETAK SHOPEE
REVIEW EDENIC VERSI ✨BUKU✨
Prolog
Satu
Dua
Tiga
Empat
Lima
Enam
Tujuh
Delapan
Sembilan
Sepuluh
Sebelas
Dua Belas
Tiga Belas
Empat Belas
Lima Belas
Enam Belas
Tujuh Belas
Delapan Belas
Sembilan Belas
Dua Puluh
Dua Puluh Satu
Dua Puluh Dua
Dua Puluh Empat
Dua Puluh Lima
Dua Puluh Enam
Dua Puluh Tujuh
Dua Puluh Delapan
End (Wattpad Version)
Let's Have A Talk

Dua Puluh Tiga

4.1K 512 171
By bangtannabie


Menunggu hari Sabtu itu rasanya lama sekali.

Bukan karena Hanna ingin satu hari partikular itu cepat-cepat datang, mungkin alasan yang lebih tepat adalah karena dia ingin kemelut tidak nyaman di dada cepat hilang.

Hanna bahkan tidak benar-benar yakin dia merasa cemas untuk apa atau untuk siapa. Berkali-kali Hanna mengatakan pada dirinya bahwa kecemasan itu tentu saja tidak datang dari apa yang telah terjadi, melainkan untuk apa yang akan terjadi. Hanna ingin percaya begitu.

Sudah beberapa hari berlalu sejak dia melepaskan keperawanan dengan senang hati pada Park Jimin. Sudah cukup berpengalaman di dunia kerja, Hanna sadar betul pada satu aturan tak tertulis yang sebaiknya jangan pernah dilanggar : jangan berkencan dengan bosmu. Masalahnya, Hanna tahu itu sudah terlambat sekali sekarang. Orang-orang tahu kalau mereka dekat, lantas apalagi yang bisa disembunyikan? Tentu saja dia tidak akan dengan gamblang menyerukan di lobi bahwa, “Hei! Aku tidur dengan Park Jimin!”.

Tentu tidak. Itu cari mati namanya.

Opsi lain, jika perasaan pada atasan itu tulus adanya, salah satu di antara mereka berdua mungkin harus menyerahkan surat pengunduran diri. Kalau yang satu itu, ya, sudah jelas, dong siapa yang harus hengkang. Sedikit tidak rela, tapi kalau memang harus sampai begitu, Hanna rela bekerja jadi pelayan Kim Seokjin saja di restorannya.

Jujur saja, Hanna benar-benar merasa tolol dengan memikirkan segala macam skenario itu.

Yang jelas, Hanna tidak bisa melihat Park Jimin dengan cara yang sama lagi setelah malam itu. Bukan hal yang benar-benar buruk, hanya saja wajahnya akan bersemu merah dengan cepat setiap kali mereka beradu tatap. Jimin akan melempar senyum super manis padanya dan boom! Wajah Hanna akan berubah semerah tomat sampai semua orang di ruang pertemuan mengira dia terkena demam mendadak. Dirinya yang sekarang sudah melihat setiap inci tubuh itu tanpa busana tidak bisa berhenti merepetisi apa saja yang sudah mereka lakukan. Katakanlah ini pikiran mesum, tapi siapa yang mampu menahan diri jika sudah berhadapan dengan Park Jimin yang, bisa dibilang, juga sudah membuka hati dan menyerahkan diri sepenuhnya.

Jadi sepanjang pagi itu Hanna tidak bisa berhenti menahan senyum, menciptakan gambaran mesra di kepala selayaknya novel romansa, menerka-nerka apa lagi yang bisa mereka lakukan dan kapan akan dilakukan. Belum lagi sekarang setiap gestur bahkan yang paling sederhana sekali pun jadi luar biasa istimewa, misalnya mereka akan berpegangan tangan setelah mengantar Abel ke gerbang sekolah, berjalan pelan kembali ke mobil sembari mengobrol ringan tentang menonton film di bioskop, mencari destinasi liburan, atau kado untuk ulangtahun Abel berikutnya.

“Hei, buatkan kopi untukku sekalian, dong.”

Hanna terkesiap sejenak. Kepala reflek menoleh ke asal suara di belakangnya. Min Yoongi dengan rambut hitam berantakan dan piyama putih polkadot menduduki kursi paling pinggir di meja makan sambil menggaruk kepala.

“Hei, kau bangun lebih awal.” Hanna berucap sembari meraih cangkir kopi yang biasa Yoongi gunakan dari rak di atas kepalanya.

“Kan, mau mengantar Jungkook ke sekolah.”

Alis Hanna bertaut dan dia melirik heran sekilas. “Ini, kan hari Sabtu. Kookie saja belum bangun, tuh.”

“Oh. Hari sabtu, ya.”

Setelah menuangkan air panas ke dalam gelas dengan takaran kopi dan gula yang pas di lidah Yoongi, Hanna membawa cangkir di kedua tangan dan memindahkannya ke meja, lalu perlahan ikut duduk di sisi lain meja, berhadapan dengan Yoongi.

“Belum apa-apa kau sudah pikun, Yoong.”

“Maklum. Orang sibuk, kan memang suka lupa hari.”

“Akui saja kalau kau pelupa. Jimin tidak begitu, tuh.”

“Karena kau selalu menyodorkan jadwal dan tanggal pertemuan ke bawah hidungnya.”

Hanna mendecak pelan. “Cukup adil. Okelah.”

Yoongi menyesap pelan kopi instannya setelah ditiup beberapa kali, lalu mengeluarkan desahan lega setelah cairan itu membasahi kerongkongan dan menyebar hangat di dada. “Ngomong-ngomong tentang Jimin, aku jadi ingat apa yang anaknya bilang kemarin. Atau kemarin satunya, aku lupa.”

Waduh.

Bola mata Hanna reflek bergerak ke arah lain, menghindari tatapan Yoongi sebisa mungkin. Degupan luar biasa mulai berirama di dada. Berusaha bersikap normal, Hanna menyeruput teh tanpa suara. “Bilang apa memangnya?”

Aduh, tolol. Kau, kan sudah dewasa. Kenapa harus setakut ini sih kalau ketahuan Yoongi?

Hanna ingat betul pagi itu Abel datang ke kamar, dengan bibir maju dan wajah polos menunjuk AC yang tak bersalah, yang menurut bocah lima tahun itu adalah tersangka utama kenapa Hanna dan Jimin tidur tanpa busana. Abel memang tidak bertanya apa-apa lagi hari itu dan terus mengoceh tentang memanggil orang untuk membetulkan AC, tapi Hanna juga tidak bisa menebak kira-kira apa yang bisa dipikirkan anak kecil tentang hal itu.

“Dia bilang AC di kamar yang tidak biasanya ditempati Jimin sudah rusak.”

Tuh, kan?

“Oh, ya? Terus?”

“Kebetulan kalian berdua sedang tidur di situ.”

Mati sajalah kau, Han.

“M’hm?”

“Dan saking kepanasannya sampai tidak pakai baju.”

Meski sudah meperkirakan apa yang akan didengar, Hanna kaget juga karena tubuhnya bereaksi di luar kendali dengan tersedak, sedikit menyemburkan teh di mulut sampai luber membasahi dagu. Hanna mencabut berhelai-helai tisu sambil terbatuk-batuk menyedihkan.

“Abel bilang begitu?”

“Dia sedih sekali, kau tahu?”

Lantas atensi Hanna terenggut sepenuhnya pada wajah datar abangnya yang serata tembok. “Dia sedih? Karena aku dan Jimin....”

“Abel bilang kalau kalian sudah tidak berteman lagi, karena itu kalian tidur bersama.”

Tunggu dulu. “Hah?”

“Siapa yang memberitahunya kalau teman tidak boleh tidur bersama?”

Hanna memutar otak setengah mati, menerawang langit-langit ruang makan dengan mata dipicingkan.

Siapa yang kira-kira bilang begitu pada Abel?

Serta-merta Hanna melayangkan tamparan ke kening dengan telapal tangan. Walau sekejap kemudian rasa panas menyebar, Hanna tak tahan merutuk dan menertawakan diri sendiri. Itu karena dia teringat hal konyol yang diucapkannya di kastil di Selandia Baru waktu itu, karena tidak berpikir ada jawaban lain yang lebih pantas untuk diberikan pada Abel yang sekiranya mudah dimengerti oleh anak itu.

Em, sayang. Tante dan Papa Abel, kan berteman, jadi tidak boleh tidur bersama.”

“Kau yang bilang, ya?” Yoongi berkata santai lalu meneguk kopinya lagi. “Yah, dengan ucapanmu begitu dan Abel yang paham kalau kalian tidak menikah, mungkin dia patah hati mengira kalian sudah tidak berteman. Makanya, hati-hati kalau bicara pada anak kecil.”

Hanna menggeleng kuat, berusaha menahan tawa. “Tapi yang kukatakan, kan tidak salah. Teman memang tidak boleh tidur bersama.”

“Jadi esok hari dia juga tidak boleh menginap di rumah temannya, begitu?”

“Ya, tidak begitu juga, dong. Kan, beda cerita,” cecar Hanna memprotes defensif.

“Kalau begitu belajarlah mengunci pintu sebelum melakukan seks. Bagaimana bisa kalian lupa kalau ada anak kecil yang rasa penasaran super tinggi juga tinggal di dalam rumah?” Selagi Hanna mendadak terdiam melotot dengan pipi bersemu merah, Yoongi melanjutkan, “Aku tidak bodoh. Seks atau tidak itu urusan kalian. Aku tidak perlu mengajarkan kalian untuk pakai pengaman, kan? Terkena penyakit kelamin itu tidak enak, jadi lebih baik berjaga-jaga saja. Dan ini saran opsional saja, akan kuhargai kalau kau ambil, kalau tidak juga, ya, terserah, sih. Pikirkanlah dan bicarakan dengan Jimin seandainya kalian serius. Setidaknya beritahukan pada ayah dan ibu kalau kalian berkencan. Pacarmu itu memang teman baikku, tapi kalau dia menidurimu hanya untuk melepas hawa nafsu, aku tidak akan tinggal diam.”

Hanna memperhatikan dalam diam ketika Yoongi perlahan bangkit seperti kakek tua yang sedang sakit pinggang lalu berjalan menjauh dengan roti isi ala kadarnya di tangan. Pria itu tidak mengatakan apapun lagi dan masuk kembali ke kamarnya. Baru setelah itu senyum perlahan terukir di wajah Hanna.

“Wah, perhatian juga, ya.”

Hanna memang belum memberikan jawaban atau penjelasan apapun pada siapa pun, karena momen itu sendiri masih terlalu mengejutkan untuknya. Park Jimin itu juga tidak menunggu dan hanya berlalu setelah meninggalkan sebuah kecupan di pelipisnya, tersenyum dan berjalan menjauh sementara Hanna mematung di tempat saat hendak memasukkan bekal makan siang Abel ke dalam tas.

Baru saja kemarin, saat memeluk Hanna dari belakang dan mengistirahatkan dagunya di pundak wanita itu, Jimin seenaknya berkata, “Hanna, bagaimana menurutmu kalau kita menikah saja?”

Ah, bisa benaran gila.


Hanna mengamati riasan sederhananya di cermin sembari menyisir rambut legam yang sengaja dibiarkan jatuh di dada. Dia melangkah mundur sedikit dan memindai penampilan dari atas sampai bawah beberapa kali. Skinny jeans hitam, kaus putih, dan kardigan beige-nya sama sekali tidak terlihat buruk. Mungkin tidak ada apa-apanya kalau teringat selera berpakaian Hwang Jiyeon yang sangat elegan, tapi Hanna berpikir, pakaian seperti apa lagi yang bisa membuatnya betah dan nyaman berlama-lama di taman bermain kalau bukan yang seperti ini? Cepat-cepat Hanna menggelengkan kepala.

Menyangkut pautkan Jiyeon pada segala hal itu tidak baik. Sama sekali.

Hanna menoleh ke arah pintu begitu mendengar suara deru rendah mesin mobil. Agak tak sabaran, dia mengambil tas kecil di atas kasur lalu memeriksa isinya sekali lagi sebelum melangkah turun. Ibu sudah membukakan pintu terlebih dulu, menyambut Jimin dan Abel, mempersilakan mereka masuk.

Abel langsung memaksa turun dari gendongan Jimin dan berlari memeluk kaki Hanna dengan senyum merekah. “Tante, kita jadi pergi ke taman bermain, kan?” serunya antusias.

Hanna tergelak pelan. Selain karena ketidaksabaran dalam nada bicara anak itu, juga karena tidak melihat ada sedikit pun gurat ‘kekecewaan’ di wajahnya. Entahlah kalau Jimin sudah mengatakan sesuatu. Jadi setengah menuntut jawaban, Hanna bertatapan beberapa sekon dengan iris gelap Jimin yang hanya dibalas senyuman hangat hingga matanya menyipit.

Hanna lalu berdiri berhadapan dengan Ibu setelah Jimin berpamitan dan membawa Abel keluar lebih dulu. Dia menjawat tangan ibunya sambil tersenyum. “Bu, kalau misalnya sudah larut dan aku belum pulang, tidak usdah ditunggu, ya.”

“Mau menginap di rumah Jimin lagi, ya?” Ibu berkatan dengan mata disipitkan dan nada menggoda. Mendengar kekehan pelan anaknya, ibu menepuk pelan bokong Hanna dan melanjutkan, “Aku tahu ada sesuatu antara kalian. Ya, sudah. Sana pergi dan hati-hati. Selamat bersenang-senang.”

“Oke. Aku sayang padamu, Bu.” Hanna mengecup pipi ibu sekilas sebelum berderap turun menyusul Jimin yang tengah membungkukkan badan di kursi belakang, memasang sabuk pengaman Abel.

Hanna sudah berdiri di belakangnya ketika Jimin selesai, agak terkesiap ketika pria itu menariknya mendekat setelah menutup pintu dan tubuh mereka bertubrukan pelan.

“Tidurmu nyenyak?”

“Yep, bagaimana denganmu?”

“Sekarang aneh rasanya tidur di kamarku. Bisa tidur lebih nyenyak kalau tidur di kamar utama karena masih ada sisa aroma parfummu.”

Hanna menyisir surai pirang Jimin dengan telunjuk, tangan satunya menemukan tempat di pundak pria itu. “Kalau begitu nanti kita bisa gunakan kamar itu lagi.”

“Boleh juga.” Jimin tersenyum manis, lalu menyelipkan jemarinya di tangan Hanna. “Kau sudah siap?”

“Aku yang seharusnya bertanya begitu padamu.”

“Jiyeon meneleponku tadi. Dia bilang sudah menunggu kita di sana.”

“Semua akan baik-baik saja, oke?”

“Tapi kenapa aku merasa kau yang lebih gugup?” Jimin bertanya balik dengan seulas senyum.

Hanna menggigit bibir, tidak menyiapkan diri untuk tudingan itu walau tidak sepenuhnya salah juga. Dia memang gugup.

Takut. Cemas. Berbagai macam perasaan buruk menyesak hatinya perlahan-lahan sedari kemarin, membayangkan apa saja yang mungkin terjadi nanti. Walau tanpa belas kasih Jimin ternyata mengerjainya beberapa malam lalu, tapi penuturan pria itu tidak bisa begitu saja diusir dari pikiran.

Bagaimana kalaul Jiyeon tidak sendiri?

Kecupan mendadak yang singkat di bibir menyadarkan Hanna seketika. Mata membola bersitatap dengan netra Jimin yang setenang danau di bawah langit sore tak berawan. Senyumnya luar biasa hangat dan memesona ketika berkata, “Kita akan baik-baik saja.”

Mereka berkendara santai menuju Lotte World, tidak terburu-buru sama sekali untuk memenuhi janji di taman bermain dalam ruang terbesar di mana Hwang Jiyeon menunggu. Jimin memutar playlist lagu-lagu populer Disney lewat pengeras suara, menyetelnya tidak terlalu keras, setidaknya cukup untuk membuat Abel ikutan bernyanyi dengan semangat.

Dua sampai tiga lagu terus berlanjut sampai Jimin memarkirkan mobil dengan sempurna setibanya mereka di tujuan. Selepas mematikan pemutar audio, Jimin dan Hanna bertatapan selama beberapa sekon, netra saling meyakinkan tanpa suara dan kata-kata, disegel dengan pautan tangan erat sebelum menoleh pada bocah kecil yang sekarang melihat kanan dan kiri tak sabaran.

“Kita sudah sampai, ya, Papa?” tanyanya dengan mata melebar.

“Iya, kita sudah sampai. Abel ingat kita ke sini mau bertemu siapa?”

Abel diam sejenak, meski kaki diayunkan antusias, matanya mencari jawaban dengan melihat Jimin sebelum menjawab ragu, “Mama?”

Hanna tidak ingin menginterupsi, jadi dia biarkan Jimin lanjut berkata, “Apa Abel sudah tak sabar bertemu mama?”

“Ehm, tidak juga, sih. Mama itu orang baik, kan? Tidak suka marah-marah, kan?”

Hanna melihat kegugupan merambat di wajah Jimin dan bagaimana genggamannya di tangan Hanna semakin erat. “Semoga saja, ya?”

Meski diliputi kebingungan sesaat, Abel bisa dengan mudah melupakan segala hal saat tangan mungilnya dipegangi Hanna dan Jimin, berjalan bersisian memasuki kawasan dan banyak orang di mana-mana.
Hanna memerhatikan agak gugup ketika Jimin merogoh ponsel di kantung celana dan membuat panggilan. Tak lama setelah itu matanya tertuju ke satu arah dengan tatapan dingin. Jimin di dalam mobil tadi menyanyikan lagu Disney mendadak hilang. Air mukanya mengeras tanpa sedikit pun senyum. Hanna yang berdiri tidak sampai semeter darinya seolah bisa merasakan hawa dingin menusuk dari tubuh pria itu membuatnya ikut waspada. Hanna tidak suka ini. Ketika bersama Jiyeon, Jimin-nya menghilang entah ke mana, terkubur tembok pertahanan yang menjulang tinggi, keras, dan dingin.

“Hampir satu jam aku menunggu.”

Alunan suara halus menusuk itu membuat Hanna menoleh. Potongan rambut pendek membingkai wajah tirus dan leher jenjang Hwang Jiyeon dengan apik. Sejenak Hanna merasa ngeri karena aura yang kelewat mendominasi belum lagi dengan dress merah tanpa lengan yang dia kenakan seolah memamerkan lekuk tubuhnya yang sempurna; menghilangkan fakta bahwa dua orang anak sudah terlahir dari rahimnya.

“Bisakah setidaknya kau berpakaian dengan benar?” Jimin mendesis pelan dengan gigi terkatup. “Ini bukan kencan.”

“Seingatku aku ini bukan istrimu yang bisa kau atur.”

“Dan ini kesan yang ingin kau tunjukkkan di pertemuan pertama dengan anakmu?”

Jiyeon memiringkan kepala dengan segaris senyum. “Kesan seperti apa? Apapun yang kukenakan aku adalah ibunya.”

Hanna bersumpah lirikan Jiyeon padanya terkesan meremehkan sebelum wanita itu menekuk kaki mensejajarkan kontak mata dengan Abel sementara Jimin mengusap rambut frustrasi. Hanna mendekat ke punggung Jimin dan mengusap pundaknya perlahan.

“Halo, cantik.” Jiyeon menyapa.

Hanna berusaha keras membaca ekspresi wanita itu namun senyum manisnya menyembunyikan segala hal dengan sempurna membuat Hanna tidak  nyaman.

“Halo juga, Tante.” Abel menjawab ramah seperti biasa.

“Eits, kok panggil tante, sih? Panggil ‘mama’, dong.”

Hanna lumayan kaget ketika Abel mendongak menatapnya, diikuti tatapan kesal dari Jiyeon karena anak itu seolah meminta persetujuan Hanna. Memaksakan seulas senyum, Hanna mengangguk.

Abel menoleh pada Jiyeon lagi. “Oke. Mama.”

Entah kenapa Hanna merasa hatinya luar biasa pedih mendengar itu.

Hasutan Jiyeon begitu halus ketika mengajak Abel main. Tadinya Hanna dan Jimin mengikuti sangat dekat di belakang Jiyeon dan Abel sambil berpegangan tangan erat, sebelum Hanna memperhatikan Abel sering menoleh ke belakang mencari Jimin serta beberapa kali melepas pagutan tangannya dari Jiyeon. Hanna membisikkan pada Jimin agar menggandeng tangan Abel yang satunya, beberapa kali ditolak karena Jimin juga tidak mau Hanna jalan sendirian.

“Tidak apa. Aku tidak akan jauh-jauh di belakangmu. Kasihan Abel.”

Sebenarnya, otak Hanna membuat gambaran gila kalau-kalau Jiyeon mendadak meraup anak itu ke dalam gendongan dan membawanya lari. Jantung Hanna berdetak tidak nyaman sedari tadi membayangkan situasi itu. Di tempat seramai ini, apa saja bisa terjadi.

Mengangguk enggan, Jimin melepas pautan tangan mereka dan menggandeng Abel, mengabaikan mentah-mentah senyum di wajah Jiyeon.

Jadi tindakan Hanna berikutnya tak lebih dari mengamati wajah Jiyeon. Memproses setiap kata yang lolos dari bibir tipisnya yang merekah. Caranya yang tidak terlalu mulus berkomunikasi dan menjawab pertanyaan Abel, sampai tingkah anak itu yang mendadak bungkam dan lebih banyak menyuarakan keingintahuan pada Jimin yang semakin waktu tampak semakin kesal pada agenda ini.

Belum lagi ketika dia harus ke toilet. Butuh sedikit usaha untuk Hanna meyakinkan Jimin bahwa dia akan menjaga Abel, meski kemudian, setelah punggung Jimin menjauh, Hanna ketakutan setangah mati dan keyakinan yang barusan dia suapkan untuk menenangkan Jimin seketika menguap di udara.

“Kau terlalu dekat dengan anakku.” Jiyeon berkata datar saat mereka menunggu antrian untuk menaiki carousel. Antensi Abel sepenuhnya terenggut oleh kuda-kuda berlampu dan warna-warni hingga tak menyadari ketegangan antara dua wanita itu sama sekali.

“Lalu?” Hanna memberanikan diri menjawab.

“Menjauhlah.”

“Kenapa aku harus melakukan itu?”

Jiyeon menatap Hanna dengan pandangan menusuk. “Kau merusak pendekatan antara ibu dan anak. Apa hal sederhana itu harus kujelaskan juga padamu? Kenapa pula kau ikut ke sini?”

“Abel mengajakku.”

Rahang Jiyeon mengeras sebelum dia mendengus menahan tawa. “Kaupikir aku percaya? Kau memohon pada Jimin untuk membawamu ke sini, kan?”

Hanna berusaha menahan diri agar tetap tenang dan agar suaranya tak terdengar bergetar. “Kau sendiri yang bilang aku dekat dengan anakmu.”

“Kaupikir kau sedang melakukan hal yang benar, huh?”

“Aku mengisi kekosongan tempat seorang ibu yang meninggalkannya tanpa perasaan. Aku tidak berpikir itu sesuatu yang salah.”

Hanna meremang ketika Jiyeon tertawa pelan. “Di situ kesalahanmu. Sok tahu. Jimin yang merebut anak ini dariku. Padahal dia sama sekali tidak berhak.”

“Diam.” Hanna berusaha keras untuk tidak menyumpal mulut Jiyeon dengan sepatu, membalas tatapan wanita itiu lebih tajam. “Abel bisa mendengarmu.”

“Terus? Suatu hari juga dia harus tahu.”

“Tante, antriannya sudah longgar!” Abel mengguncang tangan Hanna, terlupa akan eksistensi Jiyeon dan malah menarik-narik Hanna diajak maju.

Baru saja Hanna hendak menggendong Abel untuk dinaikkan ke atas kuda, Jiyeon sudah mengulurkan tangan lebih dulu dan mendudukkan anak itu di sana. Jiyeon kemudian menempati kuda di samping Abel, tak peduli meski dressnya tersingkap hingga celana pendeknya terlihat dan dipandangi orang-orang.

Hanna kemudian mendapati perubahan ekspresi di wajah Abel.

Anak itu menatap ke bawah, ke permukaan lantai yang beberapa meter di bawah kakinya dan nyaris tergelincir karena gamang. Kengerian kentara di wajah Abel ketika dia mengulurkan tangan tangan berusaha meraih Hanna namun Jiyeon menggapai tangan satunya.

“Mau ke mana? Sebentar lagi mainannya menyala, kok,” ucapnya agak memaksa.

“Abel mau turun!”

“Tunggu saja sebentar.”

“Tidak mau.”

Abel mulai merengek ketika Hanna mendekapnya dan menyingkirkan tangan Jiyeon agak kasar. “Dia bilang tidak mau, ya, jangan dipaksa!”

“Siapa, sih, kau? Abel ini anakku!” Jiyeon menguatkan suara, sukses membuat beberapa kepala menoleh pada mereka. Dia lalu mengulurkan tangan ingin menggendong Abel. “Sini, Nak.”

“Mama....”

“Iya, begitu, sama Mama--“ Jiyeon membeku di tempat dengan tatapan nyalang karena Abel justru merangsek ke dekapan Hanna dan memeluk sangat erat, membenamkan wajah di leher Hanna sambil terisak pelan.

“Abel tidak mau main itu. Kudanya tinggi sekali.”

Tanpa memutus kontak mata dari Jiyeon, Hanna mengelus punggung Abel dan berjalan mundur. “Iya, Sayang. Tidak apa. Kita main yang lain saja, ya.”

“Min Hanna!” Jiyeon berderap cepat lalu mencengkeram lengan Hanna, nyaris melubangi kulitnya dengan kuku yang tajam, menarik Hanna kasar. “Kau benar-benar menguji kesabaranku, wanita jalang--“

“Hentikan.”

Jimin menengahi mereka tiba-tiba, mengerahkan tenaga pada pergelangan tangan Jiyeon hingga melepas cekauannya dari Hanna, menatapnya lurus menusuk. “Kalau kau tidak bisa bersikap baik, kau tidak akan melihat Abel lagi.”

“Ini keterlaluan, Jimin.”

“Bukan salahku kalau Abel tidak bisa menerimamu.”

“Kau tidak berhak.”

“Sayangnya kau salah. Hukum berkata aku adalah ayahnya, hak asuhnya ada padaku dan Hanna akan segera jadi ibunya. Abel tahu dan dia tidak keberatan sama sekali, jadi kurasa kau yang harus melangkah mundur.”

Hanna tidak bersiap.

Keterkejutannya bukan datang dari kalimat Jimin. Tidak sama sekali. Tapi Hanna benar-benar tidak siap ketika seruan Jiyeon berikutnya begitu kuat, menusuk telinga, dan Hanna terlambat menjauhkan Abel dari sana atau menutup telinganya sebisa mungkin agar Abel tidak mendengar.

“Abel bukan anakmu!”

“Hwang Jiyeon!”

Hanna balik badan dan berjalan menjauh secepat yang dia bisa, namun Abel terlanjur mengangkat kepala dan menatap Hanna dengan wajah bingung yang sukses mematahkan hati jadi dua.

“Tante, itu tadi maksudnya apa?”

“Bukan, Sayang. Bukan apa-apa. Jangan didengar, ya.”

“Kenapa bilang Abel bukan anak Papa?”

“Itu tidak benar. Tante itu bohong.”

Belum kemelut di dada sirna, Hanna memaksa mematung di tempat karena keterkejutan luar biasa. Dia terkesiap. Sebuah lengan berbalut switer hitam melingkari sisi kanan tubuhnya sekaligus mendekap Abel yang sedang berada dalam gendongan.

Perutnya bergejolak tidak nyaman dan jantung seakan melompat keluar ketika Hanna merasakan telapak tangan menempel di lekuk pinggangnya dengan kasar, menegaskan bahwa itu bukan Jimin. Aroma parfum menyengat dan asap rokok meringsek ke hidung membuat Hanna mual. Dia mencoba bergerak tapi cengkeraman di pinggangnya justru menguat, menubruk paksa punggungnya dengan tubuh seseorang.

“Shussh. Jangan membuat terlalu banyak gerakan. Nanti diperhatikan orang. Jangan berisik juga, atau kalian akan terluka.”

Hanna menatap ngeri ketika tangan bertato itu menyusup mulus di lengannya sebelum diletakkan di pundak Abel.

“Ayo, berjalan perlahan saja. Ke lorong toilet itu. Ada lorong menuju pintu keluar.”

Hanna mendekap Abel sangat erat ke tubuhnya, mungkin cengkeramannya akan meninggalkan jejak di lengan Abel, namun dia tidak peduli. Tubuhnya di dorong pelan dari belakang oleh pria yang fisiknya sudah jelas mengalahkan Hanna. Hanna menatap lurus ke lantai, air mata nyaris luruh memburamkan pandangan.

Jimin, tolonglah. Tolong temukan kami.

“Kau pasti tahu siapa aku, kan?”

Badan Hanna bergetar hebat begitu satu nama menyerbu masuk, reflek memeluk Abel semakin erat yang kini mulai bergerak tidak nyaman, bingung, mengira orang yang memeluk Hanna dari belakang adalah Jimin.

“Kyungjoon?”

Tawa berat Kyungjoon terdengar mengerikan. Hanna merasa pusing dan dada berdenyut nyeri ketika semakin mereka berjalan memasuki lorong, semakin sedikit orang berlewatan.

“Kau harusnya tidak perlu terlibat dalam hal ini, kau tahu?”

Sumpah Hanna ingin muntah ketika Kyungjoon mengecup singkat telinganya.

“... Tapi kau membuatku ingin bermain-main dulu.”

Mereka berbelok di ujung lorong, ke lorong suram lain menuju pintu keluar yang mengarah ke parkiran. Hanna menjerit pelan tatkala Kyungjoon membalik paksa tubuhnya dan didorong kuat ke dinding selagi mencengkeram kuat pundaknya. Abel yang merasa terjepit meronta namun gerakannya terhenti karena Kyungjoon menyandar sangat dekat ke arah mereka.

Hanna bisa melihat parasnya dengan jelas. Rambut panjang Kyungjoon ditiup pelan pendingin ruangan ke wajah Hanna, berikut membawa napas apek bercampur bau tembakau yang menyesakkan. Kyungjoon menyampirkan tudung jaket di kepalanya, namun dalam jarak sedekat itu tak ada yang tidak bisa Hanna lihat meski dalam cahaya temaram sekali pun.

“Wah, kau ini benar-benar cantik, ya, Hanna. Sayang sekali harus terjebak dalam sebuah kisah tragis. Sekarang, apa dulu, ya, yang harus kulakukan padamu dan anak ini?”

Kyungjoon menjeda sebentar, memandang Abel yang kemudian langsung menyembunyikan wajahnya di lekuk leher Hanna. Kyungjoon kemudian terkekeh.

“Bukankah dia mirip denganku?”[]

23122018-06012020-08082021

Haloo!!
Apa kabar? I hope you guys are having a wonderful weekend 🥰
Bie mau ngucapin terima kasih buat yang sudah membaca pertama kali dan masih di sini setelah sekian kali.

This is a sincere words from me : it means a lot.

Sekarang naskah Edenic sedang aku revisi, and i'm hoping for things to run smoothly.

So what do you think about Edenic book version? Gimana menurut kalian? Are you excited??

Because I do 🥰

Continue Reading

You'll Also Like

5.7K 1.1K 13
▶ bagaimana kehidupan Arini dan Kamal setelah ibu tercinta mereka pergi untuk selama-lamanya? ft yoongi, wendy, hueningkai, yuna #FanfictionLokal © s...
10.7K 1K 32
[COMPLETED] Buku kedua dari "i like you" Cuma kisah anak band biasa yang tidak jauh dari percintaan. "Terkadang takdir semesta memang tidak sesuai de...
438K 4.6K 85
•Berisi kumpulan cerita delapan belas coret dengan berbagai genre •woozi Harem •mostly soonhoon •open request High Rank 🏅: •1#hoshiseventeen_8/7/2...
3.1K 412 5
"Aku cinta kamu?" "Ya, aku cinta kamu." Disclaimer©Masashi Kishimoto.