Edenic {✓} SUDAH TERBIT

By bangtannabie

133K 17.4K 4.1K

Bekerja dengan Park Jimin sudah bagaikan mimpi menjadi nyata untuk Min Hanna. Pekerjaan yang tidak terlalu me... More

INFO VERSI CETAK SHOPEE
REVIEW EDENIC VERSI ✨BUKU✨
Prolog
Satu
Dua
Tiga
Empat
Lima
Enam
Tujuh
Delapan
Sembilan
Sepuluh
Sebelas
Dua Belas
Tiga Belas
Empat Belas
Lima Belas
Tujuh Belas
Delapan Belas
Sembilan Belas
Dua Puluh
Dua Puluh Satu
Dua Puluh Dua
Dua Puluh Tiga
Dua Puluh Empat
Dua Puluh Lima
Dua Puluh Enam
Dua Puluh Tujuh
Dua Puluh Delapan
End (Wattpad Version)
Let's Have A Talk

Enam Belas

3.4K 575 219
By bangtannabie

Hanna tidak mengabari Jimin kalau dia akan datang hari ini, dan sekarang suara tapak stiletto-nya bergaung di lorong apartemen yang sepi. Hanna berpikir dua kali untuk merogoh ponsel di tas, meski dia tahu tidak akan membawa perubahan apa-apa. Hanna melihat mobil Jimin masih di basement, sudah pasti ayah satu anak itu belum berangkat. Biasanya Hanna akan bertemu Jongsuk di sana, tapi tidak ada senyum manis kebapakan dari pria bertatapan teduh itu hari ini. Hanna melambatkan langkah ketika mencapai pintu kayu cokelat tua dengan angka 03 keemasan yang timbul, berdiri tegak menggenggam tali tas jinjingnya erat-erat.

Tidak masalah, kan? Anggap saja tidak pernah terjadi. Bersikap biasa saja. Kau ke sini untuk bekerja.

Hanna memencet bel beberapa kali, membuat jantung semakin berdebar tak karuan. Di percobaan keempat, terdengar suara gaduh, seruan Jimin yang teredam membuat Hanna tidak bisa mendengar dengan baik dia bilang apa, sebelum pintu dibuka dan kedua mata Hanna membelalak. Wajah lelah Jimin seketika dipenuhi keterkejutan.

"Lho, Han. Kau masuk hari ini?"

Hanna menatap naik ke rambut Jimin yang basah, air menetes dari ujungnya, beberapa helai rambut menempel di wajah. Kaus putih lengan pendeknya juga basah, mencetak bagian depan tubuh, belum lagi kening Hanna dibuat semakin berkerut ketika menatap turun, Jimin hanya mengenakan celana pendek hitam di atas lutut yang basah kuyup, berikut kedua tungkainya.

"Apa yang terjadi?"

Jimin menggaruk belakang kepala, tertawa canggung. "Ah, itu. Bibi Lee sedang sakit jadi--Eh, ya, ampun. Hanna masuk dulu." Jimin cepat-cepat berbalik lalu berseru, "Abel diam di tempat, ya! Jangan keluar, nanti terpeleset."

"Abel baru mandi? Ini sudah jam setengah delapan. Bukannya--" Ketika Hanna mengangkat kepala dari arlojinya, yang diajak bicara sudah menghilang ke kamar mandi di lorong, menyisakan jejak kaki basah di lantai. Hanna mendengar suara tawa Abel dan riuh rendah percakapan mereka karena sudah terlambat ke sekolah. Tawa kecil lolos begitu saja dari bibir Hanna, menyadari ada hal yang dia rindukan dari tempat ini.

Hanna mengikuti ke kamar mandi, melongo sedikit dan Abel berseru semangat, "Tante Hanna datang!"

Tertawa pelan, Hanna berdiri di ambang pintu. "Wah, sepertinya kita akan terlambat ke sekolah, nih."

"Kami semua terlambat bangun, Tante. Sudah dua hari Bibi Lee tidak ke sini."

"Benarkah?" Hanna beralih pada Jimin. Laki-laki itu berlutut di samping bath up, menyiramkan air ke rambut Abel yang masih sedikit berbusa. Dia tidak bereaksi apa-apa. Bahkan saat meraih handuk yang tergantung di kenop pintu, Jimin bahkan tak melirik. Hanna menggigit bibir atas, mendadak diliput rasa canggung. Dia lalu menoleh ke luar menyadari mainan dan buku cerita bergambar milik Abel masih berantakan di ruang tengah.

Kemeja Jimin ada di sandaran sofa, kotak bekal dan botol air minum Abel juga masih di atas konter, beserta tas kertas belanjaan yang satunya tumbang dan dua apel sepertinya menggelinding ke luar.

Jimin sudah melilit tubuh Abel dengan handuk ketika Hanna berpaling lagi. "Jimin, biar aku yang lanjutkan. Kau mandi saja."

"Hah?" Jimin berhenti bergerak sejenak, butuh waktu sedikit lama untuk mencerna. Selama waktu sesaat itu, Hanna bisa melihat lingkar hitam di bawah mata Jimin. "Oh, baiklah. Aku akan beres-beres kalau begitu."

Jimin hendak melangkah keluar, dan Hanna mengulurkan tangan secepat mungkin menyentuh ambang pintu. "Bukan, maksudku ... pakaianmu sudah basah semua, nanti masuk angin. Pokoknya antar Abel ke sekolah dulu, sisanya nanti."

Jimin merespon terlambat dengan anggukan pelan. "Baiklah. Terima kasih, Han."

Hanna memperhatikan Jimin melintas ruang tengah, bertanya dalam hati mau ke mana lagi dia, sebelum pria itu putar balik dengan tawa kering, "Aku lupa. Kamarku di sini."

"Tante, ayo ke kamar." Abel menarik-narik tangan Hanna.  "Nanti terlambat."

Hanna membantu Abel berpakaian lalu mengeringkan rambut dengan hair dryer. Dia memperhatikan tas beserta buku-buku dan alat tulis Abel ada di atas kasur. Piyama juga ada di sana, sementara beberapa boneka Abel ada di lantai. Hanna tidak pernah melihat kamar Abel berantakan begini sebelumnya.

"Kalau Bibi Lee tidak datang ke sini, Abel bersama siapa setelah dari sekolah?" Hanna bertanya, sementara anak itu berdiri diam membelakangi, memandang pantulan dirinya dan Hanna di cermin.

"Abel ikut Papa ke kantor. Makan di sana, tidur siang di sana. Abel tidak suka. Banyak orang keluar masuk dan Abel ditinggal terus."

Kening Hanna mengernyit. Penjelasan singkat Abel sudah cukup menggambarkan situasi kesibukan di kantor. Rumah yang berantakan juga menjelaskan betapa Jimin sangat kewalahan.

Padahal aku tidur seharian di rumah kemarin.

Hanna mendadak diliput rasa tak enak hati. Dia seharusnya datang lebih awal. Jadwal yang sudah ditunda Jimin sebelumnya pasti menuntut didahulukan secara bersamaan.

"Padahal Abel sudah minta diantar ke rumah Tante, tapi kata Papa tidak boleh. Nanti mengganggu Tante yang sedang sakit." Abel berbalik menatap Hanna dengan bibir ditekuk. "Abel mengganggu, ya?"

Hanna mematikan hair dryer lalu memegang kedua pundak Abel sembari mengulas senyum. "Tidak, kok. Abel tidak mengganggu. Kalau kemarin Abel datang ke rumah, Tante pasti senang sekali. Mungkin Papa cuma tidak mau merepotkan orang lain."

Abel mengangguk, entah mengerti atau tidak karena berikutnya dia langsung memanjat naik ke kasur dan memasukkan barang-barangnya.

"Kenapa kasur Abel berantakan sekali? Sehabis mengerjakan PR, ya, semalam?"

"Tidak. Abel tidur di kamar Papa."

"Lho, tumben. Kenapa?"

"Tidak tahu." Abel lalu melihat jam di atas nakas dan buru-buru berlari keluar menyandang tas. "Tante, ayo!"

Hanna cepat-cepat berdiri dan meletakkan pengering rambut kembali di dalam lemari. Tak sengaja matanya menangkap sebuah amplop putih bercorak bunga ceri dan pita merah muda di dekat kakinya, separuh tersembunyi di bawah lemari setinggi tubuhnya itu. Hanna membungkuk dan mengambil amplop, membaca nama sekolah Abel dan tulisan yang menujukan surat untuk Jimin.

Jimin terburu-buru memasukkan bekal beserta sebuah apel dan botol minum ke tas Abel. Hanna memerhatikan kerah dan dua kancing teratas kemeja tidak dikancingkan.

"Jimin, aku menemukan ini di bawah lemari Abel. Sudah lihat, belum?"

Jimin berdiri, mengulurkan tangan menyambut amplop dan melihat tulisan di atasnya. "Belum. Sayang, ini apa?"

Abel tidak menjawab. Bibir dikatup rapat-rapat, mendongak menatap balik papanya.

"Ini dari sekolah, kan? Abel lupa berikan pada Papa?"

Abel menganggukkan kepala. Hanna dan Jimin bertukar tatapan bingung saat Abel malah berjalan ke belakang Hanna dan memeluk pinggang Hanna erat-erat.

"Bu Guru berikan itu sebelum kita ke luar negeri."

Hanna berlutut, berhadapan dengan Abel dan menggeser poninya dengan telunjuk. "Abel lupa, ya, kalau diminta berikan amplopnya pada Papa?" Hanna cukup terkejut saat Abel menggeleng.

"Tidak. Abel tidak mau kasih. Itu undangan. Abel tidak mau pergi."

"Undangan apa?" Hanna menoleh saat Jimin bertanya. Surat merah muda bergambar dua hati di depannya sudah dibaca oleh Jimin.

Hanna berpaling pada Abel, bertanya, "Ada acara di sekolah, ya? Kenapa tidak mau pergi?" Abel tidak menjawab. Hanna melihat kegugupan di wajah bocah lima tahun itu, sebelum Abel merapat pada Hanna seolah mencari perlindungan segera setelah Jimin selesai membaca.

"Apa isinya?" Hanna bertanya.

Ekspresi pria itu sulit dibaca saat dia memandangi Abel, lalu berkata tanpa ekspresi, "Ini undangan perayaan hari ibu." Lengan Jimin jatuh di kedua sisi tubuhnya. "Sayang, acaranya besok. Kenapa tidak bilang pada Papa?"

Di pelukan Hanna, Abel menggeleng. "Abel tidak mau."

"Kenapa? Tidak apa-apa. Abel bisa bilang pada Tante dan Papa, kok. Kami tidak akan marah. Janji, deh." Hanna berkata selembut mungkin. Dia menunggu sampai Abel melepas pelukan dan menatapnya tepat di mata.

"Teman Abel bilang datang ke acara itu harus membawa mama. Abel, kan tidak punya mama."

Hanna membeku di tempat, tak sanggup mengatakan apapun melihat wajah polos Abel yang menunggu jawaban. Hanna menoleh pada Jimin yang mematung, seolah bisa melihat serpihan tak kasat mata hatinya berceceran di lantai.

Abel merapat lagi ke rengkuhan Hanna ketika Jimin berlutut di depannya. "Papa marah, ya sama Abel?"

Jimin menggeleng. "Tidak, kok. Kenapa Papa harus marah?"

"Karena Abel tidak jujur."

"Begitu, kah?"

Bibir ditekuk murung, Abel mengangguk. "Maaf, ya, Papa."

"Abel benar-benar tidak mau pergi?"

"Abel mau. Tapi Papa bilang mama sedang pergi untuk menghilangkan mimpi buruk. Pasti mama tidak bisa datang, ya?"

Sama seperti bocah dalam pelukan, Hanna menunggu jawaban dalam diam. Hanna bisa menerka Jimin sedang berpikir keras, karena dia sendiri tidak tahu harus melakukan apa sekarang. Hanna takut salah bicara dan membuat Abel tambah bingung. Jadi dia hanya merangkul Abel merapat, mengelus lengannya pelan.

"Kalau pergi sama Papa saja bagaimana? Tidak apa-apa, kan? Kita tetap bisa main. Acara ini akan menyenangkan."

"Tapi Papa, kan laki-laki."

Jimin memasang wajah bingung dan pipi digembungkan, lalu memiringkan kepalanya sedikit. "Memangnya tidak boleh, ya?"

Abel tidak langsung menjawab. Dia mendongak menatap Hanna, lalu ragu-ragu berkata, "Kalau mengajak Tante Hanna ... boleh tidak, Pa?"

Jimin dan Hanna balas bertatap selama sesaat, sampai Jimin memberikan anggukan pelan pada Hanna dan tersenyum. "Boleh. Kalau Tante Hanna mau."

"Tante mau, ya?" Abel menggenggam tangan Hanna, wajah berseri penuh harap.

Hanna tertawa kecil karena tahu dia tidak akan sanggup menolak. "Tentu saja Tante mau." Hanna terkesiap dan jatuh terduduk saat Abel menghambur ke pelukannya penuh suka cita.

"Terima kasih, Tante!"

Abel sudah ketinggalan satu sesi pelajaran ketika mereka sampai di sekolah. Jimin ikut turun mengantar Abel langsung ke depan kelas dan menjelaskan situasinya sesederhana mungkin pada guru yang mengajar.

Ketika mereka dalam perjalanan ke kantor, Hanna menoleh sebentar, bertanya, "Sungguh tidak apa-apa kalau aku yang datang?"

"Kalau kau tidak keberatan. Kau ada acara besok?"

"Tidak, sih. Tapi bagaimana kalau--"

"Kalau Jiyeon tahu? Dia tidak pernah ada di samping Abel, jadi aku percaya dia tidak punya alasan untuk protes."

"Kau tidak berpikir untuk mencoba memberitahu Abel?"

Jimin diam cukup lama. "Tidak sekarang."

Sesampainya di kantor, Hanna diserbu oleh Jung Minhee dan Taejung, membuat Jimin tersenyum canggung dan mempersilakan kumpulan kecil wanita itu berbincang dan dia lebih dulu memasuki lift. Hanna didera terlalu banyak pertanyaan untuk ditanyakan oleh dua orang tentang kenapa dia tidak masuk, kabar angin yang mereka terima kalau ada kecelakaan kecil, Hanna di rumah sakit, naik jet privat dan semacamnya. Hanna berpikir dia tidak bisa membagikan semua pada orang lain, hingga menciptakan skenario terpeleset saat bermain dengan Abel dan mengalami cedera kepala hingga tidak bisa beraktivitas dan harus kembali lebih awal.

"Tapi bagaimana kalian tahu?"

Ketiga wanita itu duduk mengelilingi meja bundar di kafetaria, dan Taejung mencondongkan badan ke depan lalu setengah berbisik berkata, "Semua orang tahu Tuan Park membatalkan banyak jadwal. Bukankah seharusnya kalian masih di New Zealand sekarang? Banyak telepon, email, dan berkas yang dikirimkan kemari sebagai gantinya."

Hanna menggenggam cangkir kopi sedikit lebih erat. "Begitu, kah?"

"Hanna, apa ada yang terjadi antara kalian?"

Hanna menoleh cepat pada Minhee. "Maksudnya?"

"Park Jimin membatalkan janji temu di luar negeri dan kembali ke sini karena kau cedera, bahkan tidak mau menunggu sedikit lebih lama dan memilih menyewa jet privat. Menurutmu kenapa dia seperti itu?"

"Ehm. Mungkin hanya merasa tidak enak? Aku tidak sengaja jatuh karena main dengan anaknya, kan? Mungkin ... yah, mungkin begitu."

"Benar cuma begitu?"

"Memangnya apa lagi?"

Detik berikutnya, Hanna menyesal sudah merespon. Situasi ini mengingatkannya pada kejadian dua tahun lalu, penyebab dia memilih mengundurkan diri dari posisinya sebagai asisten kepala departemen Humas. Awalnya, ya, hanya seperti ini. Satu dua orang yang berbicara, berspekulasi Hanna terlalu dekat dengan atasannya, lalu kabar miring tak beralasan, rumor, sampai ke berita yang sama sekali tidak benar. Awal mulanya persis begini. Hanna merasa suhu tubuhnya menyentuh nol derajat ketika Taejung dan Minhee memberi tatapan iba bercampur prihatin.

"Hanna, orang-orang berpendapat kalau sebenarnya kau itu ibu Abel," Taejung cepat-cepat menambahkan, "tapi aku tahu itu tidak benar."

"Han, kau tidak perlu merahasiakan ini dari kami, kok."

"Merahasiakan apa?"

"Kau berkencan dengan Jimin, ya?"

Sudah lewat jam tiga sore, dan Hanna sedang mengaduk teh di dapur untuk dirinya sendiri ketika mendengar denting lift. Hanna sedikit melongo, melihat punggung Jimin menjauhi lift, mengibaskan surai dengan jari. Hanna memperhatikan Jimin menoleh sebentar ke meja kerjanya yang kosong sebelum masuk ke ruangannya sendiri. Hanna menyeduh segelas teh lagi, teringat ini jam biasanya Jimin minum teh.

Sehari ini saja, Hanna sudah diberi setumpuk berkas yang harus diperiksa dulu olehnya sebelum diberikan pada Jimin untuk meminta tanda tangan. Belum lagi dering telepon tiada henti, juga sudah tiga kali meninggalkan gedung untuk menghadiri janji karena Jimin terjebak di ruang meeting sekaligus menjemput Abel dan menitipkan anak itu pada ibu dan ayah di rumah. Untungnya Hanna sempat makan siang di rumah juga meminum obat-obat yang dokter berikan sebelum kembali. Sudah terlalu banyak beraktivitas di hari pertama kembali bekerja, Hanna mengakui kepalanya masih sering pusing. Dia bisa merasakan pekerjaannya butuh waktu sedikit lama untuk selesai dan dalam keadaan ditinggal pengasuh selama beberapa hari, serta pekerjaan yang menumpuk, Hanna hanya ingin melakukan pekerjannya sedikit lebih baik.

Hanna mendorong pintu terbuka dengan bahu, terhenti sebentar melihat Jimin membaringkan kepala di atas kedua tangan yang dilipat di meja. Hanna baru menyadari Jimin tertidur ketika dia berjalan mendekat dan pria itu tak bereaksi apa-apa. Hanna memaki dirinya dalam hati karena lupa memastikan apa Jimin sudah makan siang atau belum.

Pelan-pelan Hanna meletakkan nampan di sudut meja lalu dia berjalan ke sisi kursi Jimin. Hanna menyentuh lengan pria itu dan mengguncangnya pelan.

"Jimin, bangun. Jangan tidur begini, nanti lehermu sakit." Tidak ada reaksi, Hanna berpindah ke sisi lain, terhenti sesaat melihat wajah lelah Jimin. Sinar matahari sore jatuh tepat menyorotnya, jadi Hanna bergeser sedikit menjadikan tubuhnya sebagai tameng. Hanna menekuk kaki, setengah berlutut menyamakan tinggi dengan wajah Jimin dan menyapu rambutnya dengan telunjuk.

"Jimin."

Hanna berdiam diri saat Jimin mengerjap dan perlahan membuka mata. Mereka bertatapan dalam diam selama beberapa waktu. Jimin menurunkan satu lengan agar bisa melihat lebih jelas.

"Apa ada yang mencariku?"

"Tidak juga. Kalau kau mau aku bisa putuskan sambungan telepon untuk sementara."

"Sepertinya bukan ide buruk."

"Apa tadi malam kau tidur sama sekali?"

"Mungkin beberapa jam. Kau tahu, kadang kalau terlalu lelah kau justru tidak bisa tidur."

"Sudah makan siang?"

"Belum."

Hanna berdiri dan Jimin duduk tegak mengikuti gerakannya. "Akan kupesankan makanan dari restoran biasanya."

Jimin duduk bersandar di kursinya memerhatikan Hanna bicara di telepon. "Pisahkan saja semuanya, ya Bibi. Nanti kami campurkan sendiri. Iya, kimchi lobaknya jangan lupa. Terima kasih."

Hanna memutus sambungan dan menyodorkan cangkir teh. "Kau harus istirahat. Maaf, gara-gara aku kau jadi repot begini."

Jimin menyeruput teh perlahan dan mengembalikan cangkir ke atas meja. "Siapa bilang-bilang gara-gara kau?"

"Kudengar dari Jung Minhee, banyak telepon dan berkas yang masuk sebagai ganti pembatalan jadwal di Wellington kemarin. Seharusnya aku tidak memaksa pulang."

"Kau tidak akan bisa istirahat di sana."

"Lebih baik daripada harus merepotkan banyak orang begini."

"Ini hal biasa, Hanna. Kesehatanmu lebih penting."

Hanna mengembus napas perlahan. Dia lalu mengembalikan cangkir ke atas nampan, bermaksud mengembalikan mereka ke dapur tapi Jimin lebih dulu melingkari pergelangan tangannya.

"Apapun yang kau dengar, jangan pedulikan."

Meski tahu betul apa yang Jimin maksud, Hanna memasang sebuah senyum. "Kau bicara apa?"

"Aku tahu mereka membicarakanmu. Maaf kalau itu membuatmu tidak nyaman dan aku tidak tahu harus berbuat apa. Tapi kumohon, tetaplah di sini."

"Memangnya aku mau ke mana?"

"Kudengar dari Yoongi hyung. Alasanmu meninggalkan pekerjaan sebelumnya."

Hanna mendengus dan merotasi mata. "Dia mengatakan banyak hal tentangku padamu tapi pelit sekali melakukan sebaliknya. Itu tidak adil."

"Kalau kau ingin tahu sesuatu, tanyakan langsung padaku."

menanyakan langsung? Di kepalanya, Hanna punya banyak sekali pertanyaan, sampai dia bingung kalau harus memilih satu, bingung harus memulai dari mana. Lebih bingung lagi apa haknya menanyakan itu semua. Hanna menggeleng pelan. "Lupakan saja. Pulanglah lebih awal dan istirahat. Biar Abel di rumahku malam ini."

"Kau tidak bertanya kenapa aku menciummu?"

Gerakan Hanna mengangkat nampan terhenti seketika. Pikirannya dilempar lagi ke kamar mandi berlantai dingin, aroma shampo, suara napas bergaung di antara dinding, jemari dingin Jimin di lehernya, napas beraroma mint, bibir Jimin bergerak pelan di bibirnya. Mendadak Hanna merasa dada diiikat-ikat; sesak, berat.

"Kau sudah minta maaf. Aku akan anggap itu--"

"Aku menyesal."

"Aku tahu--"

"Aku menyesal sudah minta maaf."

Hanna menatap Jimin lurus. Lelah terpatri jelas di wajahnya, kepala disandarkan ke punggung kursi dengan kedua lengan di pangkuan, jemari bertaut. Matanya yang sayu tak berkedip sedikit pun saat berkata, "Melakukan itu bukan sebuah kesalahan. Kuharap kau tidak berpikir begitu."

"Jadi aku harus berpikir bagaimana?"

Jimin berdiri, berjalan ke hadapan Hanna. Hanna menunggu, mengatupkan bibir saat Jimin jadi sangat dekat, ujung sepatu mereka bersentuhan. Aroma lemon segar itu tak lagi membuat Hanna tenang. Perasaannya justru berkecamuk, beradu antara betapa ingin dia menyerbu ke dalam pelukan atau berlari keluar ruangan. Hanna beranikan diri mendongak, menyisakan beberapa senti antara wajahnya dan Jimin.

Jimin berkata lirih, "Aku juga tidak mengerti."

Pandangan Hanna jatuh pada bibir Jimin. "Kau mengizinkan putrimu mengundangku ke perayaan hari ibu. Kau menciumku dan meminta maaf, lalu kau bilang itu bukan sebuah kesalahan."

"Aku tahu. Hanna--"

"Wow."

Spontan Hanna berbalik dan Jimin menegakkan tubuh. Penat di wajahnya mendadak sirna diganti tatapan dingin pada Hwang Jiyeon yang berdiri di pintu.

"Apa yang kau lakukan di sini?"

"Aku hanya ingin berkunjung." Jiyeon melangkah menjauhi pintu sambil menyilangkan tangan di depan dada. "Karena tidak ada orang di luar, kuketuk juga tidak disahut, jadi aku masuk saja. Maaf mengganggu waktu kalian."

Hanna merasa diintimidasi oleh tatapan dan senyum Jiyeon, sebisa mungkin menghindari kontak mata. Dia berdiri tegak di tempat, bingung apa harus keluar sekarang atau apakah tindakan itu hanya akan membuat dirinya terlihat sebagai kriminal yang ingin melarikan diri.

"Aku tidak lama, kok." Jiyeon memusatkan atensi pada Jimin. "Aku ingin bertemu putriku."

"Dia tidak di sini." Jimin menjawab datar.

"Ya, aku tahu. Aku bisa lihat dia tidak di sini, karena kurasa kalian masih cukup punya malu untuk bermesraan di depan anak kecil, bukan? Jadi di mana Abel?"

"Akan kuhubungi kau nanti. Aku sibuk."

"Kau menghindar terus, Jimin."

Jimin meletakkan telapak tangan di punggung Hanna sejenak. "Han, kau boleh pulang. Abel tinggal di sana malam ini, ya. Maaf merepotkanmu lagi."

Hanna menggumamkan 'tidak masalah' sekilas, dan sambil lalu mendapati wajah kesal Jiyeon mengikutinya melangkah keluar. Sebelum menutup pintu, Hanna melihat Jiyeon melangkah maju dengan gusar pada Jimin, sementara pria itu bergeming. Dia menoleh sejenak pada Hanna dan mengangguk sekali agar Hanna menutup pintu.

"Apa yang kau lakukan? Kenapa kau begini?!"

"Sudah kubilang. Aku sibuk. Pengasuh kami sedang sakit dan tidak ada yang menjaga Abel di rumah."

Jiyeon tertawa getir. "Dan kau lebih memilih menitipkan anak itu pada orang asing saat ibu kandungnya ada di sini?"

"Untuk Abel, kau orang asingnya."

"Karena kau menolak menerima kenyataan bahwa dia bukan milikmu."

Jimin mengabaikan Jiyeon dan melangkah menuju pintu. "Tunggu aku selesai atau kembali lain waktu."

"Aku mengenalinya, kau tahu." Jiyeon agak meninggikan suara. "Asistenmu itu. Min Hanna, kan? Wajahnya tidak asing."

Jimin berbalik. "Maksudmu?"

"Penasaran saja, bagaimana kau bisa bertemu dengannya lagi."

"Bicara yang jelas atau kutinggal."

"Aku yakin pernah melihatnya di suatu tempat. Sudah lama sekali." Jiyeon berjalan mendekat, tersenyum miring. "Aku tidak tahu apa gunanya informasi ini, tapi menurutku situasi ini menarik. Apa dia tahu?" Melihat perubahan ekspresi di wajah Jimin, Jiyeon tersenyum senang. "Wah, sudah kuduga kau ingat. Keren, ya. Rasanya kau benar-benar bisa mendapatkan semua yang kau inginkan."

"Kau membuang-buang waktuku, kau tahu?"

"Bukankah dia gadis itu? Siswi SMA yang ada di dompetmu. Apa fotonya masih ada di sana?"


I'm having a flu right now. No other symptoms. Just flu. And it's been a few days. Wish me a speed recovery. Happy monday, Y'all 🌹❤️

5.12.2018
(Repub19072021)

Continue Reading

You'll Also Like

67K 6K 48
Sebuah cerita Alternate Universe dari tokoh jebolan idol yang banyak di shipper-kan.. Salma-Rony Bercerita mengenai sebuah kasus masa lalu yang diker...
246K 36.8K 68
Jennie Ruby Jane, dia memutuskan untuk mengadopsi seorang anak di usia nya yang baru genap berumur 24 tahun dan sang anak yang masih berumur 10 bulan...
1.3K 211 26
Berawal ketika sebuah kecelakaan tak terduga, mengakibatkan Kim Jungkook koma hingga tak bisa melangsungkan acara pernikahannya bersama dengan Kang A...
1M 85.6K 30
Mark dan Jeno kakak beradik yang baru saja berusia 8 dan 7 tahun yang hidup di panti asuhan sejak kecil. Di usia yang masih kecil itu mereka berdua m...