Edenic {✓} SUDAH TERBIT

By bangtannabie

133K 17.4K 4.1K

Bekerja dengan Park Jimin sudah bagaikan mimpi menjadi nyata untuk Min Hanna. Pekerjaan yang tidak terlalu me... More

INFO VERSI CETAK SHOPEE
REVIEW EDENIC VERSI ✨BUKU✨
Prolog
Satu
Dua
Tiga
Empat
Lima
Enam
Tujuh
Delapan
Sembilan
Sepuluh
Sebelas
Tiga Belas
Empat Belas
Lima Belas
Enam Belas
Tujuh Belas
Delapan Belas
Sembilan Belas
Dua Puluh
Dua Puluh Satu
Dua Puluh Dua
Dua Puluh Tiga
Dua Puluh Empat
Dua Puluh Lima
Dua Puluh Enam
Dua Puluh Tujuh
Dua Puluh Delapan
End (Wattpad Version)
Let's Have A Talk

Dua Belas

3.4K 571 137
By bangtannabie

Hanna terbangun dengan kepala berdentum-dentum keesokan paginya.

Rasanya seperti ditimpa beton; kepala sakit, lehernya tegang, pokoknya bagian atas tubuhnya sakit semua. Hanna tidak tahu seberapa serius keadaannya karena dia sendirian. Tapi mengamati bagaimana dia bisa melihat, mendengar, menggerakkan tangan dan kaki dengan baik, Hanna tenang sedikit.

Sepertinya aku tidak terluka parah.

Tidak butuh waktu lama untuk Hanna memutar lagi kejadian mengerikan di istana kelabu pagi itu. Abel, Nyonya Park, guci, lalu kepalanya yang malang. Tapi lebih daripada itu, bentakan Nyonya Park membuat bulu kuduk Hanna berdiri.

"Kau dan anak iblismu itu! Kalian tidak pantas hidup! Kalian harusnya dibakar di neraka! Kau menghancurkan hidup anakku! Kau membunuh cucuku!"

Hanna yakin seratus persen--kecuali kalau otaknya rusak parah--bahwa Jimin pernah bilang, cucu yang dimaksud, Park Hansol, meninggal karena sakit, bukan karena--ah, kenapa jadi tambah runyam?

Hanna terbatuk, meringis merasakan mulut dan kerongkongannya kering kerontang. Hanna tidak yakin sudah berapa lama dia tidak sadarkan diri, sampai badannya kaku semua begini.

Mungkin beberapa jam?

Bahkan menoleh ke meja di samping rasanya otot-otot tertarik semua. Hanna benar-benar ingin minum. Botol mineral di atas meja tampaknya masih dalam jangkauan, jadi Hanna menggerakkan tangan kanan untuk menjadi tumpuan. Hanna menyesali niatnya dalam sedetik. Ketika dia mencoba mengangkat kepala sedikit saja, rasanya seperti ditinju dari semua arah, berdenyut-denyut nyeri luar biasa. Terhempas lagi ke bantal membuat kepalanya hampir pecah.

Oh, Tuhan. Ini tidak baik.

Hanna mengernyit menahan sakit. Telapak tangan diletakkan di kepala, disambut kain bertekstur kasar. Hanna meraba-raba, menyadari seluruh kepalanya diperban semua. Ya, ampun separah apa, sih? Hanna mengatur napas yang memburu, dadanya nyeri. Tenang, tenang dulu.

"Hanna?"

Suara familiar itu membuat Hanna menoleh. Sebelah matanya dibuka sedikit, kepala masih terlalu nyeri untuk dicoba bekerja memfokuskan pandangan. Sosok di pintu berderap secepat mungkin padanya, memegang pergelangan tangan Hanna.

"Ada apa? Apa kepalamu sangat sakit?"

Hanna mengangguk singkat. Jimin berkata akan memanggil dokter, Hanna menahan lengannya. "Mana Abel?"

"Han, tidak usah khawatirkan itu. Aku panggil dokter dulu, ya."

Hanna menguatkan cengkeraman. "Aku tidak apa. Tinggal saja di sini ... sebentar." Meski ada jeda sesaat, yang Hanna yakin Jimin menatapnya tidak setuju, tapi dia akhirnya mendudukkan diri juga di kursi. Hanna mengerjapkan mata beberapa kali sebelum bisa mengamati laki-laki di depannya dengan baik. Hanna tidak terlalu ingat Jimin pakai baju apa kemarin, tapi kemeja biru yang dia kenakan terlihat tidak asing. "Apa yang terjadi?"

"Kau tidak ingat?" Keterkejutan absolut terdengar jelas dari suara Jimin. Sebisa mungkin Hanna menggeleng.

"Bukan ... bukan begitu. Sudah berapa lama ... berapa lama aku tidur?"

"Han, kau pingsan seharian penuh. Sekarang sudah pagi lagi, jam tujuh pagi hari Minggu."

Memangnya kemarin hari apa? Pelan-pelan Hanna menyusun ingatan beberapa hari di belakang, keberangkatan mereka di hari Kamis, mendarat Jumat pagi, lalu jalan-jalan sebentar. Terus di hari Sabtu, dan sekarang hari Minggu. Oh, iya. Ini hari Minggu. Otaknya masih bekerja dengan benar.

"Di mana Abel? Apa dia baik-baik saja?"

"Abel tidak apa-apa. Dia di hotel bersama Namjoon hyung."

"Lalu ibumu?"

Hanna bergidik sedikit ketika tangan dingin Jimin menggenggam tangannya. "Tidak usah khawatirkan itu, Hanna. Ibuku bersama Hoseok hyung. Dia mungkin sudah tidak ingat."

Hanna bernapas lega. "Syukurlah."

"Kenapa kau lakukan itu?"

Hanna diam sejenak, merespon dengan lambat. "Melakukan apa?"

"Menolong Abel."

"Jim, aku yang kena saja sudah begini--ngomong-ngomong apa yang terjadi pada kepalaku?"

"Kau mendapat enam jahitan."

Kening Hanna mengernyit. Bercanda, bukan? "Oh."

"Maafkan aku. Seharusnya ini tidak perlu terjadi kalau aku ada bersama Abel."

Hanna mendapat gambaran lebih jelas dari apa yang terjadi kemarin. Dia ada di dapur bersama Hoseok. Niatnya hendak membuat sarapan, tapi malah keterusan mengobrol sampai Hoseok menyadari kalau Abel tidak di sana. "Bukan salahmu. Aku terlalu asik ngobrol dengan Hoseok."

"Kau seharusnya tidak bertindak seceroboh itu, Han."

"Dan membiarkan Abel yang kena? Sudah gila, ya?" Hanna diam sejenak, mengerjap, menyusun kata-kata di kepala. "Kalau aku saja bisa sampai dijahit begini, bisa bayangkan kalau terjadi pada Abel? Dia anakmu satu-satunya."

Jimin tidak menjawab. Manik gelapnya terkunci pada Hanna dengan ekspresi yang sulit dibaca. Selama beberapa saat dia diam, sebelum genggamannya dikuatkan sedikit. "Terima kasih, Hanna."

Jimin lalu bangkit. Dia membetulkan letak selimut dan berkata, "Akan kupanggilkan dokter."

Hanna tidak ada pilihan selain membiarkan dua puluh menitnya yang berharga diberikan untuk pemeriksaan. Matanya disenter bergantian, ditanyai ini-itu, tidak boleh begini-begitu, hindari ini dan itu. Kepala Hanna sudah cukup sakit untuk membiasakan mata dengan ruangan yang terang benderang karena cahaya dari luar. Untungnya Jimin cukup peka, jadi dia menutup gorden sedikit, menyisakan segaris tipis di tengah-tengah.

"Aku sudah telepon Yoongi. Setelah beberapi hari, dan kalau keadaanmu sudah cukup pulih, kita akan kembali ke Korea."

"Hah?"

"Kita akan pulang, Hanna. Kecuali kau tak keberatan dirawat di sini selama beberapa waktu."

"Bagaimana dengan meeting-nya?"

"Lupakan itu dulu. Aku sudah minta bantuan Namjoon hyung. Sisanya sudah kubatalkan dan kuundur."

"Jimin, aku minta maaf. Jadwalmu jadi berantakan."

Jimin mengusap punggung tangan Hanna pelan-pelan dengan ibu jari, tersenyum. "Jangan dipikirkan."

Jujur saja, sebenarnya Hanna ingin bertanya. Seberapa keras pun berpikir, atau mungkin ini karena otaknya masih 'sakit', Hanna tidak menemukan jawaban atas apa yang menyebabkan Nyonya Park kehilangan kendali kemarin. Ingin membanting guci seberat itu ke kepala anak kecil. Kenapa? Lalu bentakannya kemarin, bukan untuk Abel, tapi untuk orang lain, dan dia pikir Hanna adalah orang lain itu.

Hwang Jiyeon, kah?

Tapi Hanna tidak bisa bertanya. Selain karena tak enak dan tidak tahu bagaimana baiknya mengutarakan kalimat, juga karena kepalanya yang masih sakit. Bahkan tanpa dia sadari, Hanna tertidur lagi ketika Jimin sedang mengupas buah sambil menjelaskan bagaimana dia berusaha keras menjelaskan situasi pada Abel sampai harus berbohong sedikit.

Langit sudah gelap ketika Hanna bangun lagi. Pandangannya langsung bersirobok dengan langit malam, dan tampaknya Jimin sudah hapal bahwa langit kelam Selandia Baru akan berhias permata jadi dia membuka tirai kembali; bentang biru gelap bertabur bintang dan atap beberapa gedung yang lebih rendah di seberang rumah sakit. Hanna merutuk kesal dalam hati. Seharusnya mereka bisa jalan-jalan ke tempat menarik, liburan sejenak, mengajak Abel main. Tapi sekarang sudah terbaring sakit begini, jadwal pertemuan semua sudah dibatalkan, dan mungkin akan kembali lebih awal.

"Benar-benar berantakan."

"Apa yang berantakan? Isi kepalamu?"

Hanna menoleh ke pintu. Hoseok masuk membawa buket bunga dan makanan kecil. "Yah, mungkin memang ada bagian otakku yang tercecer sedikit." Hanna berkata pelan. "Bukankah kau harus menjaga ibu?"

"Ibuku baik-baik saja. Dia mungkin tidak ingat kalau sudah menimpuk kepala anak orang sampai bocor. Khawatirkan keadaanmu sendiri."

"Separah itu?"

Hoseok menarik kursi ke samping kasur, membuka jaket kulitnya dan disampirkan di sandaran. "Apanya? Kepalamu? Kau tidak tahu seberapa banyak kau berdarah?"

"Maksudku ibumu, astaga."

"Oh." Hoseok merogoh isi plastik yang dia bawa dan mengeluarkan jus mangga. "Yah, namanya kehilangan orang yang disayang, Han. Mau bagaimana lagi? Mau jus?"

"Perutku sedang tidak enak."

"Mau makan apa?"

"Tidak usah, kau saja."

"Jangan menolak tawaran baik calon kakak ipar."

"Hoseok, aku dan Jimin cuma rekan kerja." Hanna berkata datar. Dia tidak mengerti bagaimana dengan mudahnya orang-orang bisa mengatakan sesuatu tanpa memikirkan perasaan orang lain. Walau mungkin konteksnya bercanda, tapi hati Hanna sudah serasa diaduk-aduk. Dia bahkan tidak yakin atas perasaannya sendiri. Hanna terlalu takut untuk memastikan. "Tidak ada hubungan spesial antara kami."

"Jahitan di kepalamu itu juga tidak?"

"Itu gerakan reflek. Siapapun yang melihat kejadian itu duluan pasti akan menolong Abel."

"Aku, sih, lebih pilih menarik ibuku, ya. Daripada kepalaku yang bocor."

"Kalau seperti itu, dia masih bisa melemparkan gucinya."

"Dan kepalamu bocor lebih baik? Sebegitu tidak berharga, ya otakmu?"

"Lebih baik aku daripada Abel."

"Tuh, kan. Kau sayang pada Abel."

Hanna menatap Hoseok tak berkedip. Topi rajut sewarna daun kering yang dia kenakan terlalu mencolok disanding dengan jins sobek dan pakaian serba hitamnya. "Terus? Aku sayang Abel seperti aku sayang Jungkook."

"Siapa Jungkook?"

"Adikku."

Hoseok mengembus napas pelan. Dia membatalkan niat meminum jus mangga dan meletakkannya lagi di atas meja. "Oke, aku minta maaf. Aku tidak bermaksud membuat situasi antara Jimin dan kau jadi tidak enak."

Hanna menurunkan pandangan, jarinya memainkan selimut sebagau usaha menutupi kegugupan dan dada yang tiba-tiba sesak. "Tidak begitu juga, sih."

"Dengar, ya. Aku akan jujur padamu, kalau aku sangat menyukaimu. Bukan sebagai wanita," Hoseok menambahkan cepat-cepat. "Tapi sebagai teman hidup adikku. Aku tahu kau orang baik."

"Aku tidak sebaik yang kaukira. Aku rasa kita belum kenalan terlalu baik, malah. Jangan tersinggung, ya."

"Setidaknya lebih baik daripada Hwang Jiyeon."

Nama itu sukses membuat atensi Hanna kembali tertuju pada Hoseok. Nama yang sudah mengganggunya berhari-hari. Terlalu banyak rahasia membuat kepalanya pening. Ditambah Yoongi tidak pernah cerita apa-apa. Sampai Ibu Jimin membenci Jiyeon seperti itu, apa yang sudah terjadi?

"Kemarin, kau tidak jadi ... tidak jadi bilang padaku kenapa mereka menikah."

Hoseok diam sejenak. "Serius mau tahu? Kau yakin sudah tidak apa-apa?"

Hanna agak lambat menjawab. "Iya."

Hoseok menaikkan kedua kaki ke atas kursi dan duduk bersila. "Kurasa Jimin itu sudah dimabuk cinta, dibodohi, waktu dia berkenalan dengan Jiyeon. Aku sendiri tidak mengerti. Kalau tidak salah waktu itu Jimin masih kelas tiga SMA, ketika mereka pertama kali berkencan."

"Bagaimana mereka bisa kenal?"

"Entahlah. Mungkin lewat teman-temannya. Jimin tidak pernah cerita secara detil." Hoseok melipat lengan di atas lutut dan mengistirahatkan dagunya di sana, membuat tubuh terkesan jadi lebih kecil. "Ayah dan ibu menaruh harapan lebih pada Jimin, kau tahu? Karena dia pintar. Tidak mengertilah aku kemana otak pintarnya itu dalam berhubungan dengan lawan jenis. Mungkin salahku juga, tidak memperhatikan pergaulannya dengan baik. Jujur saja, aku tidak suka Jiyeon. Apalagi ayah dan ibu."

"Lalu kenapa mereka diizinkan menikah?"

Hoseok menaikkan bahu sejenak. "Yah, mau bagaimana lagi. Jiyeon sudah hamil."

Hanna tersedak salivanya sendiri, terbatuk-batuk sampai dada nyeri. Hoseok cepat-cepat bergerak mengambil air dan pelan-pelan membantu Hanna duduk dan minum.

"Sudah kubilang jangan paksakan dirimu. Kau pasti syok."

"Aku tidak apa-apa," kata Hanna dengan suara serak. Dia tidak tahu sampai mana dia kuat berbohong. Kepala sudah berdenyut-denyut, entah karena lukanya atau apa yang baru saja dia dengar, Hanna tidak tahu lagi. "Anak itu--"

"Hansol."

"Dan ibumu luluh?"

"Ya, dan tidak juga. Gara-gara kabar Jimin menghamili pacarnya ini, didengar langsung dari mulut yang bersangkutan, ayahku syok dan sakit. Sejak muda kondisi jantungnya tidak terlalu sehat. Jadi semenjak itu ayah mulai sakit-sakitan. Jimin yang belajar bisnis mulai menggantikannya mengurusi beberapa hal, padahal baru masuk kuliah."

"Lalu Jiyeon?"

Hoseok tertawa getir. "Saat Hansol sakit, dia justru lari dengan selingkuhannya. Aku tidak mengerti apa yang ada di kepala wanita itu. Aku tidak tahu di mana kurangnya adikku."

"Di-dia selingkuh?"

"Yep." Hoseok lalu tertunduk, memerhatikan kakinya yang digoyang-goyangkan gelisah.

"Ada apa?"

"Kasihan saja pada Jimin. Dia sibuk bekerja dan kuliah, lalu mengurus Hansol yang sering keluar masuk rumah sakit, tertekan pada rasa bersalahnya ke ayah dan ibu, juga tidak tahu harus mencari Jiyeon ke mana. Jimin mengurus semuanya sendiri." Hoseok diam sejenak. Hanna merasakan perubahan atmosfir yang begitu kentara ketika Hoseok mengangkat kepalanya lagi. Matanya menatap kosong ke jendela. "Hansol sudah tidak sadar dua hari, sebelum dia mengembuskan napas terakhir di depan Jimin. Aku tidak pernah melihatnya begitu hancur."

Hoseok berpaling pada Hanna, tidak menyadari bagaimana lawan bicaranya itu sudah tidak utuh hati dan pikirannya di sana. "Aku tahu Jimin itu bodoh, karena dia masih memberikan kesempatan pada Jiyeon. Mungkin menceraikan Jiyeon adalah salah satu tindakan paling berani yang pernah dia lakukan, demi ibu dan mendiang ayah. Walau dia tidak pernah mengatakan apapun, tapi aku tahu dia masih menyalahkan dirinya sendiri. Mungkin itu juga alasannya menjauh dari banyak orang dan memilih membesarkan Abel sendirian."

Hanna sudah tidak fokus. Kepalanya tambah sakit. "Kau bilang ... dia masih, masih mencintai Jiyeon?"

"Kemungkinan, atau tidak sama sekali. Tidak ada yang tahu." Hoseok mengulurkan tangan dan menggenggam tangan Hanna. "Han, aku tahu kau orang baik. Aku bisa lihat kau sangat menyayangi Abel. Dan kau tidak bisa menipuku, kau peduli pada Jimin. Kau hanya harus bersabar sedikit, dan maafkan aku kalau terkesan memaksa. Aku tidak tahan melihat adikku menderita lagi."

Hanna menatap kosong ke pangkuan. Suara yang dikeluarkannya nyaris berupa bisikan tipis. "Mereka masih punya Abel."

"Apa?"

"Jimin dan Jiyeon. Masih ada Abel di antara mereka." Hanna menatap Hoseok tepat di mata. Air sudah mendesak ke pelupuk. Baru kali ini Hanna merasa sangat rapuh.

Hoseok tidak langsung menjawab. Dia berpikir, menimbang, lalu menggenggam tangan Hanna lebih erat. Kalimat berikutnya yang dia lontarkan sukses membuat air mata Hanna luruh begitu saja tanpa pertahanan.

"Hanna, aku bahkan tidak yakin apa Abel itu benar anak Jimin atau bukan."


26.11.2018
(repub17012021)

Continue Reading

You'll Also Like

1.3K 211 26
Berawal ketika sebuah kecelakaan tak terduga, mengakibatkan Kim Jungkook koma hingga tak bisa melangsungkan acara pernikahannya bersama dengan Kang A...
2.2K 579 6
Jika takdir yang memisahkan kita, tetapi kenapa takdir juga mempertemukan kita kembali?
113K 18.4K 187
Jimin membutuhkan biaya untuk operasi transplantasi ginjal sang bunda namun dia bingung mencari uang kemana dalam waktu kurung 2 bulan. Sementara CEO...
119K 15.6K 11
[Complete] Because I can't come to you Yoora hanya bisa bersembunyi, disaat bombardir cintanya untuk Taehyung telah menjadi nyata.