Edenic {✓} SUDAH TERBIT

bangtannabie द्वारा

133K 17.4K 4.1K

Bekerja dengan Park Jimin sudah bagaikan mimpi menjadi nyata untuk Min Hanna. Pekerjaan yang tidak terlalu me... अधिक

INFO VERSI CETAK SHOPEE
REVIEW EDENIC VERSI ✨BUKU✨
Prolog
Satu
Dua
Tiga
Empat
Enam
Tujuh
Delapan
Sembilan
Sepuluh
Sebelas
Dua Belas
Tiga Belas
Empat Belas
Lima Belas
Enam Belas
Tujuh Belas
Delapan Belas
Sembilan Belas
Dua Puluh
Dua Puluh Satu
Dua Puluh Dua
Dua Puluh Tiga
Dua Puluh Empat
Dua Puluh Lima
Dua Puluh Enam
Dua Puluh Tujuh
Dua Puluh Delapan
End (Wattpad Version)
Let's Have A Talk

Lima

4K 612 62
bangtannabie द्वारा

[edited]

Hanna tidak tahu apa yang salah dengan otak Yoongi hari itu--ketika laki-laki yang masih gemar mengenakan pakaian lengan panjang dan turtle neck di tengah musim semi itu menjemputnya sepulang kantor. Terlebih, mengajak Hanna berbelanja keperluannya.

"Barang-barangmu yang kaupakai sewaktu bekerja dulu, kan, sudah usang semua. Aku akan belikan yang baru."

Yah, memang benar, sih. Hanna belum melengkapi semua kebutuhannya untuk bekerja; nota, stok pulpen, penjepit kertas, pin tambahan, lebih banyak kaus kaki, kemeja. Apalagi sekarang Hanna sadar bahwa dia harus meng-upgrade penampilannya juga. Uang tabungan Hanna tidak banyak dan memang tadinya dia berencana meminjam pada Yoongi. Bagaimana tidak, satu-satunya penghasil uang di keluarga mereka saat ini adalah dia. Tapi kalau sudah diajak begini, setidaknya Hanna tak perlu payah membahas untuk mengganti uangnya nanti. Meski Hanna sebenarnya tak enak, tapi mau bagaimana lagi. Yoongi juga pasti menolak.

Jimin benar-benar tidak kembali setelah jam makan siang, jadi Hanna menghabiskan waktu di tempat Jung Minhee, membuat beberapa catatan pribadi tentang jadwal Jimin untuk seminggu ke depan, mengurutkannya sesuai tanggal, juga hal-hal kecil yang Minhee dan rekan-rekannya di lantai enam ketahui tentang Jimin.

Sebagai asisten--meski Jimin tidak mengatakan apa-apa tentang menjadikan Hanna asisten pribadinya juga--Hanna harus tahu apa yang Jimin sukai dan apa yang tidak. Seperti makanan, hotel kesukaan, jenis pakaian, musik, restoran yang sering dia kunjungi bersama Abel, makanan yang sering dia pesan untuk dirinya atau Abel. Semua tentang Abel otomatis mengikut kalau membicarakan Jimin.

Jujur saja, Hanna memang tidak tahu bagaimana rasanya tumbuh besar tanpa seorang ibu, tapi untuk anak sekecil Abel yang ayahnya juga sibuk bekerja, Hanna merasa kasihan. Lagipula Hanna memang suka anak kecil. Dia akan melakukan dengan senang hati kalau misalnya nanti disuruh menjaga Abel juga.

Meski begitu, ada sedikit rasa jengah yang bercokol di pikiran tatkala teringat bagaimana karyawati yang baru hari ini dikenalnya bisa membicarakan hal buruk tentang Jimin, apalagi menyangkut hal pribadinya. Hanna memang tidak mengenal Jimin terlalu banyak, tapi membicarakan bosmu di belakang? Ya, Hanna tahu semua itu pasti terjadi dalam dunia kerja. Hanna hanya tidak mengerti.

"Jimin tidak banyak kerjaan di kantor, ya, hari ini?"

Hanna langsung menoleh, Yoongi sudah memecah gelembung pikirannya. Laki-laki itu berjalan di sampingnya, mendorong troli.

"Beberapa jadwal hari ini sudah dibatalkan dan direschedule minggu depan. Dia bilang mau menjemput Abel, kan? Katanya kalau tidak kembali berarti Abel sudah boleh pulang."

"Oh, iya. Dia pasti menemani anaknya di rumah dulu."

"Bukannya Jimin bilang dia mempekerjakan orang lain untuk menjaga Abel?"

Yoongi berhenti sebentar di rak handuk, memilih sambil berkata, "Ya, namanya anak kecil, dekat pada ayahnya, baru sembuh pula. Aku tidak bilang Abel manja, lho, ya." Yoongi mengambil dua helai handuk dan meletakkan mereka di dalam troli. "Tapi tanpa ibu, dia pasti bergantung sepenuhnya pada Jimin. Jimin juga, mungkin sudah bertekad untuk jadi ayah super."

Ayah super. Seperti ayah Yoongi yang super baik. "Oh, ya, Yoong. Kudengar, Jimin punya dua hyung. Benar, tidak?"

Yoongi mendelik di balik kacamata bacanya yang bulat sempurna seperti Harry Potter. "Tahu dari mana? Jimin yang bilang?"

"Tidak. Kami belum banyak berbincang, kok. Tadi aku bertemu dengan pegawai yang ternyata kakak kelasku dan dia mengajakku makan siang dengan teman-temannya. Di sana mereka mengatakan hal-hal tentang Jimin." Hanna berhenti, memindai kaus kaki yang digantung. "Aku tidak suka mereka."

Yoongi mendecak pelan. "Kenapa juga kau mau berkumpul dengan wanita-wanita pembual seperti mereka? Yang suka menggosip di mana-mana. Menyebarkan kabar angin yang tidak tahu kebenarannya. Berkeras dengan opini mereka saja, seolah sudah yang paling benar."

"Ya, mana aku tahu kalau mereka akan membicarakan Jimin seperti itu."

"Apa lagi yang mereka katakan?"

"Jawab dulu." Hanna mengambil lima pasang kaus kaki hitam dan dua pasang stoking warna kulit. "Benar, ya? Jimin punya dua hyung."

"Iya, benar," jawab Yoongi, membuang muka.

"Di mana mereka sekarang? Ah, lupakan." Hanna mengibas-ngibas tangan di depan wajah. "Aku ingat, mereka bilang kakak Jimin ada di Selandia Baru."

"Yap."

"Ibunya?"

Yoongi memasukkan dua pasang kaus kaki pria untuk dirinya sendiri. "Kenapa, sih, memangnya? Kenapa kau penasaran sekali?"

"Aku, kan, asistennya Jimin." Hanna membalas tegas. "Salah, ya kalau aku mau tahu?"

"Tanya sendiri sama Jimin, sana."

"Ih, kau, kan temannya!"

"Kami sudah lama tidak bersama-sama. Kau, kan, tahu itu."

"Ya, tapi kau pasti tahu sedikit lebih banyak tentang masa lalunya, kan? Siapa orangtuanya, seperti apa keluarga mereka, bagaimana ceritanya Jimin bisa menikah muda, ke mana istrinya, kenapa mereka bercerai."

Yoongi berhenti melangkah dan memutar tubuh, berdiri berhadapan dengan Hanna. "Tidak usah bertanya-tanya terlalu banyak tentang urusan pribadinya, kecuali dia sendiri yang memberitahumu, atau kau sendiri yang perlahan mengerti seiring waktu. Hormati privasinya, karena Jimin sangat membutuhkan itu. Bahkan kalau untuk sekarang yang kau tahu tidak lebih dari Jimin dan Abel, ya, sudah, terima saja dan lakukan pekerjaanmu dengan benar."

Hanna merengut. Ia mengambil sekotak pena dari rak dan melemparnya agak kasar ke dalam troli. "Iya, iya! Cerewet."

"Satu lagi." Yoongi berkata, membuat Hanna yang sudah berjalan mendahuluinya berbalik badan dengan raut wajah sebal. "Jangan dengarkan apa yang orang-orang katakan tentang Jimin, terutama para penggosip itu. Percaya padaku, karena mereka juga tidak tahu apa-apa tentang Jimin."

Malam itu, setelah membeli semua keperluannya dan menodong Yoongi untuk membelikan camilan dan stok kulkas, Hanna akhirnya bisa berbenah membersihkan badan. Dia duduk di meja belajarnya, menyalin catatan lama yang berantakan ke nota yang baru. Beberapa catatan penting yang harus selalu Hanna ingat dia catat di sticky note, agar besok bisa ditempelkan di komputer dan meja kerjanya.

Hanna baru saja hendak mematikan lampu kamar ketika ponselnya berdenting. Hanna mengecek pesan yang masuk dari Jimin.

"Hanna, besok tolong datang dulu ke rumahku, ya. Alamatnya sudah kusertakan. Terima kasih."

111 Dokseodang-ro, Hannam-dong, Yongsan-gu, Seoul. Complex D, Building D2, 2nd floor, number 2-03.

Hanna tertawa datar. Dia tidak lagi kaget ketika membaca alamat tempat tinggal atasannya. Siapa yang tidak tahu komplek Hannam The Hill? Tempat itu seperti surga dunia, kumpulan apartemen-apartemen mahal, juga pilihan orang-orang terkenal, rumah para artis karena kawasannya yang tenang dan aman. Hanna dengar harga sewa setahunnya bisa mencapai enam juta dolar Amerika Serikat untuk tipe menengah saja. Hanna tidak akan pernah bermimpi untuk bisa membeli satu. Kalau nanti bisa membeli satu unit apartemen sederhana untuk tempatnya tinggal sendiri saja sudah syukur.

Setelah memastikan kedua alarmnya hidup--ponsel dan jam beker--Hanna menghempaskan badan ke atas ranjang. Dalam hening malam Hanna memandang ke langit-langit kamar yang dia pasangi tempelan bintang-bintang kecil bercahaya biru. Di dinding yang berseberangan dari kasur, Hanna juga memasang lampu kunang-kunang berwarna sama yang sudah dikurangi intensitas cahayanya, membingkai koleksi foto polaroid Hanna dan kawan-kawan yang kini sudah jarang bertemu.

Hanna suka warna biru. Warna itu yang mendominasi keseluruhan kamar. Seprai, pembatas buku, pin, dekorasi, karpet bulu, dan bantal-bantal kecil. Untuk Hanna, warna biru mengingatkannya pada laut dan langit-luas, bebas, tenang namun menyimpan banyak misteri.

Berbaring di atas seprai birunya, dengan cahaya-cahaya biru pudar, Hanna memejamkan mata dengan seulas senyum.

Hari ini tidak buruk juga. Kerja bagus, Hanna.

**

Hanna kira hari ini dia harus adu mulut dan memohon lagi agar Yoongi mau mengantarnya ke rumah Jimin. Hanna bisa saja naik taksi, tapi dia sedang ingin berhemat karena tidak mau minta uang lagi pada abangnya itu, sementara Hanna tidak terlalu suka naik angkutan umum. Bukannya berlagak. Hanna hanya tidak suka berdesak-desakan, duduk samping-sampingan dengan orang asing. Apalagi dia pernah salah melihat nomor bis dan berakhir jauh sekali dari rumah. Waktu itu Hanna masih sekolah dan sambil menangis dia menelpon Yoongi minta dijemput karena hari sudah gelap. Sungguh pengalaman memalukan.

Tapi nyatanya, ketika Hanna sedang mengoceh mengekori Yoongi agar mau mengantarnya, sudah ada sebuah mobil sedan hitam menunggu di depan rumah, lengkap dengan seorang laki-laki berusia sekitaran empat puluh dengan setelan jas rapi.

"Nona Hanna?"

Hanna yang masih mengenakan sandal rumah dan rambut dijepit lalu menuruni tangga menuju pagar, Yoongi mengikutinya di belakang. "Ya?"

"Selamat pagi." Lelaki itu tersenyum ramah dan menunduk hormat. "Saya Jang Jongsuk. Supir Tuan Park. Saya diminta menjemput Anda untuk dibawa ke rumah beliau."

Hanna membuka mulut dan mengangguk. "Ah, iya, iya. Aduh, syukurlah." Hanna mendelik pada Yoongi dan meninju lengannya pelan. "Dasar, Pelit! Jimin lebih pengertian daripada kau."

"Terserah, deh. Pak, hati-hati, ya membawa adikku di mobilmu. Dia agak liar," canda Yoongi, yang langsung mendapat sorotan tajam dari Hanna yang sudah di tengah anak tangga untuk bersiap.

Seperti biasa, Hanna menguncir satu rambutnya. Ia mengenakan kemeja putih berbahan licin dan rok span biru muda, nyaris sewarna dengan langit Seoul pagi itu. Hanna menikmati perjalanannya sambil berbincang dengan Jang Jongsuk, bertanya sudah sejak kapan bekerja dengan Jimin dan apakah pekerjaannya berat. Setelah percakapan itu, Hanna seratus persen yakin bahwa apa yang dibicarakan pegawai waktu itu di restoran sama sekali tidak benar, hanya berdasar rumor yang tak jelas asal-usulnya.

"Tuan Park baik sekali padaku. Walau banyak orang tidak percaya, tapi aku sudah berusia lima puluh tahun lebih. Tidak banyak yang mau mempekerjakanku, tapi tidak dengan beliau. Aku diberikan bayaran yang bagus, yang kurasa lebih daripada yang seharusnya kudapatkan. Pekerjaanku juga tidak berat, dia juga memberi hari libur dan tidak terlalu banyak menggangguku di luar jam kerja. Dia orang yang menyenangkan. Anaknya juga lucu."

Ketika memasuki area komplek, Hanna mendapati bahwa bangunan yang ditempati Jimin ada di bagian belakang keseluruhan lahan komplek. Ada empat gedung yang berbatas langsung dengan kaki perbukitan, bangunan modern berdinding putih gading yang Hanna rasa masing-masingnya tidak lebih dari tujuh lantai. Beranda-beranda dihiasi tanaman hijau, dinding kaca menjulang tinggi, dan pohon-pohon yang tumbuh segar di banyak sisi. Hanna juga melihat ada area taman bermain dalam perjalanannya ke mari. Tempat yang tepat untuk Jimin tinggali bersama putri kecilnya.

Jang Jongsuk memimpin Hanna menuju bangunan apartemen kedua. Di lantai dua, mereka berbelok ke arah kiri dari lift, berhenti di pintu nomor 03. Hanna menunggu sampai pintu dibuka dari dalam setelah Jongsuk membunyikan bel. Seorang wanita yang Hanna tebak mungkin seumuran ibunya, berbadan gempal, berseragam merah muda--seragam baby sitter yang sering Hanna lihat-- menyambut kedatangan mereka. Hanna dipersilakan masuk, dan dengan sopan diingatkan untuk melepas sepatunya dan diganti dengan sandal rumah.

Hanna mendapat perasaan menggelitik di hati saat melihat rak sepatu di dekat pintu diisi oleh beberapa sepatu kerja dan sepatu kets milik Jimin disandingkan dengan sepatu-sepatu mungil yang kebanyakan berwarna merah muda milik Abel.

"With blue skies ahead, yes I'm on my way
And there is no where else that I'd rather be."

Suara nyanyian anak kecil membuat Hanna menoleh ke asal suara. Di sebelah kirinya, yang Hanna lihat adalah dapur, Abel duduk di meja marmer panjang, masih dengan piyama merah muda. Di depan Abel, Jimin menumpukan telapak tangan ke meja, dengan celana dan kaus hitam tersenyum mendengarkan Abel bernyanyi sebelum bergabung dengannya.

"With the sun beating down, yes I'm on my way
And I can't keep this smile off my face."

Menyadari presensi lain di ruangan, Jimin menoleh.

Lagi-lagi Hanna merasa membeku sesaat ketika Jimin tersenyum padanya.

"Tante Hanna!" Abel bersorak, melambaikan tangan dengan semangat. Hanna bisa melihat semburat kemerahan di pipi Abel, wajah cerianya menyiratkan keadaan yang lebih baik daripada saat pertama mereka bertemu.

"Halo, Abel. Apa kabar?" Hanna berjalan mendekat dan mengulurkan tangan. "Sudah sehat?"

"Abel mau sekolah hari ini, tapi kata Papa belum boleh."

Jimin berdiri tegak. Sambil mengelus rambut Abel, berkata, "Jangan hari ini, ya. Istirahat hari ini dan besok. Kau bisa kembali ke sekolah minggu depan di hari Senin. Oke?"

"Nanti kalau Abel bosan di rumah, bagaimana? Papa akan sibuk bekerja di kantor. Siapa yang main sama Abel?"

Jimin mencubit pelan pipi Abel yang tembam. "Sabar, ya. Papa akan pulang lebih awal setiap hari supaya bisa menemani Abel main." Jimin berpaling pada Hanna. "Sudah sarapan, Hanna?"

"Sudah, Pak."

"Sekarang kau sudah tahu di mana aku tinggal, mungkin nanti akan sering bolak-balik ke sini, ya. Tidak usah sungkan, anggap saja rumah sendiri. Kalau butuh apa-apa, ambil saja atau minta tolong Bibi Lee." Jimin membuat gestur dengan dagu ke arah belakang Hanna. Bibi Lee tersenyum pada Hanna saat dia berbalik untuk menyapa. "Bibi Lee yang menjaga Abel di rumah saat aku bekerja, juga membantu membereskan rumah. Kau tahu, aku tidak mungkin bisa mengerjakan sendiri."

"Saya mengerti, Pak."

"Ada beberapa berkas yang ditinggalkan asistenku kemarin di sini. Kurasa cukup penting untuk kaupelajari. Tunggu di sini sebentar, ya." Jimin berjalan ke arah berlawanan. Ia berbalik sebentar. "Ngomong-ngomong, ini bukan kantor. Kalau mau, kau bisa panggil aku Jimin saja."

Butuh sedikit waktu untuk Hanna memproses apa yang Jimin bilang. Di belakang atasannya itu, Hanna bisa dengan mudah menyebut namanya seolah mereka teman lama. Tapi di depan orangnya sendiri, lidah Hanna mendadak kelu.

"Tante suka menyanyi, tidak?" Abel bertanya, merebut atensi Hanna seketika.

"Lumayan, sih, tapi suaraku tidak terlalu bagus. Bagaimana dengan Abel?"

"Abel sangat suka menyanyi. Seperti Papa," jawabnya semangat.

"Papa sering bernyanyi untuk Abel?"

Abel mengangguk. "Setiap malam Papa menyanyikan lagu pengantar tidur. Kalau Abel sedang bosan, kami juga menonton film musikal bersama dan menyanyi bersama. Suara Papa Abel sangat bagus. Kalau Tante dengar, pasti tante suka."

"Oh, ya?"

Satu hal lagi yang Hanna ketahui lewat kepolosan Abel, bahwa Jimin suka menyanyi dan menurut Abel suaranya bagus. Hanna tentu saja percaya. Kejujuran anak kecil adalah sesuatu yang harus dipertimbangkan, mau bagaimanapun. Jadi ketika tidak lama Jimin keluar, membawa sebuah map hitam di tangan, lalu menyapu surainya ke belakang, dada Hanna mulai berdebar tak menentu.

Kaus hitam lengan pendek yang Jimin kenakan membuat otot lengan atasnya terlihat sedikit. Hanna bertanya-tanya apa masih ada waktu untuk Jimin berolahraga karena pastinya otot seperti itu akan didapatkan dengan kerja keras. Kaus yang dimasukkan ke dalam celana membuat Hanna bisa memperhatikan lingkar pinggang Jimin yang kecil.

Membayangkan pria bertubuh maskulin namun wajah seperti malaikat itu bernyanyi, Hanna penasaran akan seindah apa semua kombinasi itu dijadikan satu.

"Hanna? Kau baik?"

Hanna tersadar dari imajinasinya dan menggelengkan kepala. "Ya? Ya. Oh, maaf, Pak."

"Apa kemarin kau punya banyak pekerjaan? Aku harap kau tidak terlalu memaksakan dirimu mempelajari semuanya dalam satu waktu, ya," kata Jimin, menatap Hanna lembut. "Pelan-pelan saja. Kau juga akan belajar seiring jalan nanti, sedikit demi sedikit. Jangan sampai mengganggu waktu istirahatmu."

Sebelum mereka berangkat bekerja, Hanna merasa diberi kesempatan untuk mengenal Jimin lebih baik. Pria itu menyempatkan diri membuat sarapan bersama Abel. Nona Lee malah tidak banyak membantu. Jimin sendiri yang menyiapkan roti bakar, mengoles selai, membuat susu dan teh. Hanna juga suka melihat bagaimana Jimin berbincang dengan Abel, bagaimana dia menempatkan diri sebagai teman anak umur lima tahun, meladeni ocehan tiada henti. Hanna menatap dengan perasaan hangat, namun kesedihan terselip membuatnya tiba-tiba ingin menangis saat Jimin berlutut, menyamakan tingginya dengan Abel dan membelai wajah anak itu.

"Papa pergi dulu, ya. Baik-baik di rumah. Kalau kangen Papa, boleh telepon, kok."

Lalu Abel merentangkan tangan selebar mungkin, menghambur memeluk leher Jimin dan memberi kecupan singkat di pipinya. "Hati-hati, Papa. Semoga harimu menyenangkan."

Jimin lalu mengecup kening Abel dan mengelus kepalanya sekali lagi sebelum bangkit. Keduanya saling melambai di depan pintu sebelum Abel diajak masuk lagi oleh Nona Lee.

Entah kenapa ada perasaan asing yang bercokol di hati Hanna saat melihat interaksi ayah dan anak itu. Mereka saling membutuhkan, ikatan itu bisa dirasakan bahkan oleh orang di luar lingkaran milik mereka berdua: aman, kuat, namun di saat bersamaan sangat rapuh, sensitif. Seperti mereka tak sempurna tanpa satu sama lain.

Hanna pernah melihat dan merasakan sesuatu yang seperti ini sebelumnya. Tepat di saat itu dia tidak bisa mengingat, tapi setelah berada di dalam mobil menuju kantor, Hanna mendapat pesan dari Yoongi yang mengatakan akan menjemput Hanna sepulang kerja.

Ya, mungkin di situ. Hanna pernah merasakan perasaan serupa saat melihat Yoongi kecil dan mendiang ibunya yang terbaring di ranjang rumah sakit. Kasih sayang dan kepedulian keduanya sangat kuat dan visibel, namun di antara interaksi-interaksi manis itu mereka takut kehilangan.

Menoleh pada Jimin yang memandang ke luar dalam diam, Hanna bertanya-tanya apa yang membuat hawa seperti itu ada antara Jimin dan Abel, saat hanya mereka berdua saling memiliki satu sama lain.

17.11.2018
[re-pub.7.08.2020]

पढ़ना जारी रखें

आपको ये भी पसंदे आएँगी

5.7K 1.1K 13
▶ bagaimana kehidupan Arini dan Kamal setelah ibu tercinta mereka pergi untuk selama-lamanya? ft yoongi, wendy, hueningkai, yuna #FanfictionLokal © s...
2.2K 579 6
Jika takdir yang memisahkan kita, tetapi kenapa takdir juga mempertemukan kita kembali?
Stuck On You Lil_Wings द्वारा

फैनफिक्शन

558 62 10
Sejauh apapun berlari, Chaeyoung akan kembali pada rasa yang sama
19.3K 2.1K 26
Murid berandalan sekolah sepertinya tidak akan punah. Sequel dari BASTARD