Edenic {âś“} SUDAH TERBIT

By bangtannabie

133K 17.4K 4.1K

Bekerja dengan Park Jimin sudah bagaikan mimpi menjadi nyata untuk Min Hanna. Pekerjaan yang tidak terlalu me... More

INFO VERSI CETAK SHOPEE
REVIEW EDENIC VERSI ✨BUKU✨
Prolog
Satu
Dua
Tiga
Lima
Enam
Tujuh
Delapan
Sembilan
Sepuluh
Sebelas
Dua Belas
Tiga Belas
Empat Belas
Lima Belas
Enam Belas
Tujuh Belas
Delapan Belas
Sembilan Belas
Dua Puluh
Dua Puluh Satu
Dua Puluh Dua
Dua Puluh Tiga
Dua Puluh Empat
Dua Puluh Lima
Dua Puluh Enam
Dua Puluh Tujuh
Dua Puluh Delapan
End (Wattpad Version)
Let's Have A Talk

Empat

4.4K 620 106
By bangtannabie

[edited]

Hanna menunggu sekitar setengah jam. Dia duduk di ruang tunggu dan menjadi penghuni satu-satunya untuk sementara di lantai yang sunyi itu sebelum Jung Minhee datang. Seulas senyum manis adalah sapaan pertama yang dia berikan. Hanna cepat-cepat berdiri dan menunduk memberi salam.

"Selamat pagi!" Hanna menyapa.

"Selamat pagi, Hanna. Sudah lama menunggu?"

"Belum terlalu lama, kok." Hanna menjawab.

Untuk beberapa saat, Hanna terpesona oleh penampilan Minhee yang elegan. Berkelas. Sama seperti dirinya sendiri, Minhee mengikat rambut cokelatnya tinggi di belakang kepala, panjangnya menjuntai hingga punggung dan sedikit bergelombang. Dia mengenakan kemeja satin kerah rendah berwarna cokelat pastel dan rok hitam membentuk lekuk tubuhnya yang menarik. Hanna bisa menghirup aroma ceri dari tubuh Minhee.

Jimin memang tidak pernah mengatakan apapun tentang cara berpakaian, tapi rasanya hal tersebut sudah menjadi aturan tak tertulis bahwa semua karyawan harus berpenampilan sebaik-baiknya.

Untuk hari ini Hanna sudah merasa cukup nyaman dan percaya diri. Rambutnya juga diikat rapi dengan pita hitam dari satin. Kening Hanna bersih dari poni karena menurutnya susah diatur dan mengganggu penglihatan. Meski begitu, rambut-rambut halus agak mencuat di kening. Kemeja hitamnya baru diambil dari laundri tadi malam dan rok putihnya juga masih mengkilap, baru, bersih dari noda.

"Oke, Hanna." Minhee berujar. "Aku langsung saja, ya."

Minhee berjalan ke meja panjang yang kemarin dia tempati. Sekarang hanya ada perangkat komputer dan pot kosong di sana.

"Seminggu belakangan aku menempati meja ini sebagai pengganti sementara. Sebenarnya aku bekerja di bagian perencanaan di lantai tujuh. Mulai sekarang, ini akan menjadi meja kerjamu." Minhee menepuk pelan permukaan meja sembari tersenyum. "Aku tebak tentu ini bukan pertama kali kau bekerja, kan?"

"Tidak. Sebelum ini aku bekerja di Taeyang Company sebagai asisten kepala departemen HUMAS. Sudah dua tahun yang lalu, sih."

Minhee terlihat takjub. "Wah, itu berarti kau sudah punya cukup banyak pengalaman. Semoga tidak sulit untuk membiasakan dirimu di sini, ya."

Minhee lalu membungkuk sedikit dan membuka laci. Dari sana dia menarik keluar beberapa berkas. "Ini panduan tentang GoldenCloud yang mungkin ingin kaubaca di waktu senggang. Isinya diperbaharui dua kali setahun dan ini edisi paling baru. Yang ini, baru aku cek ulang dua hari lalu, isinya pertemuan penting yang harus Tuan Park hadiri untuk dua minggu ke depan. Semacam peraturan tak tertulis kalau klien harus membuat janji setikdanya dua minggu sebelum hari H. Dia tidak suka terburu-buru." Minhee berhenti sebentar untuk mengambil napas. "Dan, yah. Seperti yang kau pasti sudah tahu, Tuan Park punya anak kecil yang baru masuk sekolah dan belakangan dia harus hadir di acara rekreasi atau pentas seni anaknya. Kegiatan seperti itu sudah pasti terjadwal, jadi jangan heran kalau ini juga akan jadi salah satu pertimbangan sebelum menyetujui sebuah pertemuan."

Hanna berusaha mengikuti semua yang Minhee sampaikan dan kalimat terakhir membuatnya kehilangan kata-kata.

"Wow. Itu ... keren."

"Aku tahu. Luar biasa bukan?" Minhee bersidekap dan melanjutkan, "But, well ... Presdir kita bukan presiden Korea Selatan dan bukan satu-satunya orang penting, jadi terkadang dia yang harus mengikuti jadwal orang lain. Mungkin di sini kau harus berpandai-pandai menggantikan tempatnya untuk urusan kantor atau urusan pribadi mendadak. Tidak akan jauh-jauh dari Park Abel--Oh, jangan panik dulu," sergah Minhee cepat-cepat begitu melihat perubahan ekspresi Hanna ketika dia menyebut menggantikan Jimin untuk urusan kantor. "Kau tidak akan dibiarkan bekerja sendiri, kok. Itu gunanya ada aku dan kepala departemen lain. Tapi tetap saja, jangan kaget kalau sewaktu-waktu kau harus menggantikan Tuan Park adalam meeting kalau beliau ada urusan mendadak."

"Yah, kurasa itu yang dimaksud harus selalu siap sedia dalam syarat penerimaan karyawan baru, ya." Hanna berkata, menguatkan diri dalam hening bersama debaran tak menentu yang datang tiba-tiba. Petualangan seperti apa yang akan dia lalui dengan bekerja di perusahaan sebesar ini, Hanna juga tak bisa menebak. Teman-temannya bisa pingsan kalau mereka tahu Hanna diterima bekerja di GoldenCloud. Asisten CEO pula.

"Kutebak kau belum pernah menggantikan atasanmu dalam meeting sebelumnya, ya?" Minhee mengangkat sebelah alis sambil tersenyum.

"Nope, tapi aku selalu hadir, jadi, yah, begitulah."

"Itu bagus. Terkadang sebagai asisten, kita bisa belajar lebih banyak. Menguasai hal baru hanya lewat mengekori ke mana atasan kita melangkah. Terlebih orang seperti Park Jimin, aku rasa tidak ada yang harus kaucemaskan."

Hanna memiringkan kepala sedikit, respons spontan tubuhnya saat bingung. "Maksudnya?"

"Dia sama sekali bukan atasan menyebalkan, kok. Kecuali keadaan super darurat, dia tidak akan mengganggumu di luar jam kerja. Apa yang bisa dia lakukan sendiri kebanyakan juga dikerjakan sendiri, apalagi menyangkut hal-hal pribadi, tapi bukan berarti kau tidak akan dibutuhkan untuk itu, ya. Sudah dua tahun belakangan kantor jadi dua kali lipat lebih sibuk setelah bekerja sama dengan beberapa perusahaan asing dan mengembangkan sayap ke bagian pariwisata. Kau tahu, membangun resor, hotel, semacanya. Sebagian besar fokusnya sekarang ada di situ.

"Ah, ya!" Minhee bertepuk tangan sekali, membuat Hanna terkejut. "Siapkan paspormu juga. Kau tentu harus ikut dia ke luar negeri untuk urusan kantor. Kau tidak keberatan, kan? Aku yakin perihal itu sudah disertakan dalam ketentuan. Sebuah paspor."

Keberatan katanya?

Hanna sudah mau jungkir balik di tempat. Hanna tidak tahu kalau bekerja jadi asisten Jimin berarti dia akan mengikuti atasannya itu ke luar negeri juga. Tadinya, sih. Sebelum dia membaca ketentuan lamaran kerja. Dikatakan fokus utamanya ada pada bagian pariwisata yang baru dibuka, bisa Hanna tebak Jimin akan sering bepergian.

Hanna sangat mencintai traveling. Mengunjungi banyak negara, merasakan perbedaan atmosfir dan suasana, cuaca, suhu, adalah pekerjaan impiannya. Bukannya Hanna pernah melakukan hal semacam itu. Paspornya baru terisi satu kali untuk kunjungan singkat ke Amerika Serikat, urusan pekerjaan. Pun dia tak punya banyak kesempatan untuk berkeliling kota, terlebih tidak ada banyak perbedaan di kota besar seperti New York dan Seoul. Gedung tinggi, jalanan macet, bau asap kendaraan. Tidak banyak hal menarik.

Hanna tahu sebagian besar waktu dia akan bekerja dalam ruangan, tapi membayangkan paspornya akan dipenuhi stempel perjalan ke beberapa negara berbeda, dia tidak tahu bagaimana harus mengekspresikan suka cita.

"Pst. Halo. Min Hanna." Minhee melambaikan tangan di depan wajah Hanna, menarik lagi atensi wanita bernetra cokelat susu itu yang sempat melayang selama beberapa saat. "Kau baik?"

"Hah? Ya. Aku baik, kok. Tidak ada masalah. Aku terlalu bersemangat saja."

Minhee mengangguk-angguk. "Baguslah kalau begitu. Kurasa itu saja untuk sekarang. Ruanganku ada di lantai tujuh. Kalau ada apa-apa, turun saja dan akan ada pegawai membantumu begitu kau keluar lift. Ada beberapa berkas yang kurasa perlu untuk kaupelajari tentang aktivitas Tuan Park dan pertemuan sepereti apa saja yang biasa di hadiri."

Minhee lalu menunjuk ke arah lorong, bagian kanan lantai. "Dapur ada di sebelah sana. Kalau kau mau istirahat, buat minuman atau butuh cemilan, ambil saja dari sana. Fasilitas kantor. Tuan Park tidak terlalu suka makanan manis, jadi sajikan saja kopi untuknya di jam sepuluh pagi. Sudah ada sendok takar untuk masing-masing kopi dan gula, jadi kau tidak usah bingung. Satu sendok kopi dan satu sendok gula. Dia tidak suka kalau kopinya terlalu manis. Selain itu, teh hijau jam tiga sore. Juga, dia biasanya pulang ke rumah saat jam makan siang atau makan di luar bersama anaknya. Itu saja."

Hanna menundukkan kepala sekali lagi sebelum Minhee kembali ke lift, setelah mengingatkan kalau kontrak kerja yang harus dia tandatangani ada pada Jimin dan Hanna harus menunggu.

Setelah dirinya sendirian, Hanna akhirnya punya waktu untuk menyusun isi kepala dan mencerna baik-baik semua informasi yang telah diberikan. Jemari kurus Hanna menelusuri meja, tidak bisa lagi menahan senyum. Meja kayu mahogani itu akan menjadi meja kerjanya. Dengan sendirinya otak Hanna memperkirakan ukuran meja dan mulai menyusun rencana untuk apa saja yang ingin dia letakkan di sana. Dinding krem di belakangnya juga kosong dari hiasan. Hanya ada dua papan kosong berukuran sedang dan pin berwarna-warni di kotak yang tergantung di pengait.

Selamat, Min Hanna. Bekerja di sini akan jadi bab baru dalam hidupmu. Lakukanlah yang terbaik!

**

Jam setengah sepuluh pagi, Hanna yang tengah asik membaca berkas seketika terlonjak dari kursi. Dia langsung berdiri begitu mendengar suara lift berdenting. Agak berdebar-debar, Hanna menanti siapa yang datang, tak lain dan tak bukan adalah atasannya, Park Jimin. Hanna langsung memasang senyum terbaik begitu tatapan mereka bertemu. Hatinya menghangat dan gugup bersamaan saat Jimin membalas senyum itu sebelum berjalan mendekat pada Hanna.
Hari ini dia mengenakan kemeja putih dengan segaris aksen silver di kerah. Surai hitamnya jatuh seperti tirai membelah di kening porselen miliknya. Lalu serangan aroma menenangkan itu kembali menghampiri Hanna.

Lemon segar dan bergamot.

"Halo. Maaf, ya, aku terlambat. Abel agak rewel tadi." Jimin berkata. Lalu dia menyebar pandang ke meja Hanna. "Apa semua baik? Kau nyaman? Nona Jung sudah ke sini, kan, tadi?"

"Sudah, Pak. Sudah memberikan ini juga," kata Hanna, menyentuh berkas-berkas di atas meja. "Bagaimana kabar Abel?"

"Kalau demamnya tidak naik lagi, nanti sore sudah boleh pulang. Mungkin dia kelelahan juga karena aktivitas baru di sekolah dan kelas musik yang dia ambil. Abel bilang dia ingin belajar main biola. Ya, aku tidak bisa menolak." Jimin tertawa kecil.

Tak luput dari mata Hanna kehangatan dan kebahagiaan di wajah Jimin tiap kali dia menyebut nama Abel.

"Anak-anak memang sangat aktif dan rasa penasaran mereka sangat tinggi. Akan sangat baik kalau bisa diarahkan ke hal yang tepat untuk menggali potensinya." Hanna sekadar berkomentar.

Hanna teringat sedikit saat Jungkook pertama kali bilang bahwa dia tertarik pada dunia perfilman dan ingin melanjutkan studi ke sana. Waktu itu Hanna masih bekerja dan uang tabungannya masih banyak, jadi dia bekerja sama dengan Yoongi untuk membelikan Jungkook kamera dan laptop baru untuk mendukung hobi barunya.

Hanna senang melakukan itu, karena Jungkook juga sangat rajin mengasah kemampuan. Dia bilang setelah lulus nanti ingin membuka channel Youtube-nya sendiri. Hanna tak keberatan, sih, kalau Jungkook melakukan itu sekarang, tapi ayah dan ibu menyarankan agar Jungkook fokus belajar dulu untuk ujian naik kelas dan mempersiapkan diri untuk ujian masuk universitas nanti.

Keputusan itu belum bulat, karena Hanna mengakui dia lemah pada permintaan adik kecilnya itu dan sampai sekarang masih mendukung Jungkook mewujudkan niatnya. Hanya masalah waktu. Mungkin, kalau nanti ujian semesternya selesai dan nilanya bagus, ayah dan ibu akan luluh.

"Kau sudah punya anak juga?"

Pertanyaan Jimin satu itu sukses membuat Hanna melongo. "Hah?"

"Kau bicara seperti itu tadi, menurutku terdengar seperti orang berpengalaman," kata Jimin, menatap penasaran.

Lantas Hanna cepat-cepat menggeleng. "Tidak, tidak. Aku belum menikah, Pak. Aku punya seorang adik laki-laki delapan tahun lebih muda dan kami cukup dekat. Aku juga sangat mendukung hobinya dan senang kalau dia bisa mengasah kemampuan dari situ. Aku jadi paham apa yang Anda lakukan untuk Abel."

Jimin membuka mulut lebar dan mengangguk-angguk. "Ah, iya. Aku ingat Yoongi hyung bilang dia punya adik laki-laki. Siapa namanya? Kook? Jaekook?"

"Jungkook. Min Jungkook."

"Ah, itu. Sudah kelas berapa dia sekarang?"

"Kelas dua SMA, Pak."

"Ah, iya, iya. Omong-omong, Hanna, ayo ikut aku ke dalam dulu. Ada sedikit yang harus kita bicarakan."

Hanna mengikuti Jimin ke ruang kerjanya. Ketakjuban Hanna masih sama pada pemandangan di luar. Hari ini juga langit Seoul sangat cerah. Dari ketinggian lantai ini, Hanna bisa melihat taman pohon bunga cari yang bermekaran dengan indahnya, membuat satu titik didominasi warna hijau dan merah muda di pertengahan musim semi. Sama seperti kemarin, mereka duduk di sofa rendah dan Jimin menyerahkann sebuah map hitam pada Hanna. Kontrak kerjanya.

Mau dibilang sok teliti, Hanna sebenarnya tidak perlu berpikir dua kali untuk langsung menandatangani kontrak kerja itu. Kenapa pula dia harus berpikir lagi, ketika sudah diterima bekerja di perusahaan besar dan ternama di negaranya? Bukan posisi sembarangan pula. Katakanlah sedikit banyak dia beruntung karena ternyata kakak laki-lakinya berteman baik dengan pemilik perusahaan, tapi Hanna tetap ingin menunjukkan potensi kalau dia layak bekerja di sini.

Namun membolak-balik dokumen dan membacanya hati-hati, Hanna tidak akan munafik. Dia bekerja untuk mencari uang. Baik untuk masa depan sendiri, untuk ayah dan ibu, atau untuk membantu membiayai pendidikan Jungkook. Jadi mata Hanna tak luput dari nominal yang tertera di lembar yang membahas tentang gajinya. Hanna hampir tersedak ludah sendiri. Besarnya hampir tiga kali lipat daripada pekerjaan yang lalu.

Rasanya Hanna ingin menenggelamkan diri ke ubin ketika Jimin tiba-tiba bertanya, mungkin memperhatikan perubahan ekspresi di wajahnya.

"Semuanya baik? Apa ada masalah?" Belum sempat Hanna menggeleng, Jimin menambahkan, "Oh, kalau jumlahnya tidak sesuai, kita bisa--"

"Tidak, tidak."

Jimin mencondongkan tubuh ke depan, siku ditumpukan di lutut dan memiringkan kepala sedikit, mengingatkan Hanna pada kebiasaannya sendiri. "Tidak? Maksudnya tidak sesuai?"

"Bu-bukan, Pak. Maksudnya, tidak ada masalah. Sama sekali. Aku akan tanda tangan sekarang."

"Tidak mau cek sekali lagi? Aku hanya ingin pastikan kau akan benar-benar nyaman bekerja di sini, karena kuharap kau bisa bekerja jangka panjang." Jimin tersenyum sedih. "Susah juga kalau aku harus berganti asisten terlalu sering, karena artinya aku juga harus membiasakan diri lagi."

Hanna menggeleng cepat. "Aku sudah yakin, Pak." Jawaban Hanna dipertegas dengan membuka halaman akhir dan membubuhkan tanda tangannya. "Sudah selesai. Ini." Hanna menyodorkan lagi mapnya pada Jimin yang diterima dengan seulas senyum.

"Terima kasih, ya, Hanna. Semoga kau betah." Jimin lalu berdiri dan ketika Hanna mengikuti gerakannya, Jimin berbalik. "Oh, iya. Kalau kita sedang si luar kantor, tolong panggil Jimin saja, ya. Lebih nyaman untukku. Asistenku yang sebelumnya juga begitu."

Hanna tak sempat berkata. Bukannya ada yang bisa dia katakan juga. Jadi Hanna hanya tersenyum, merapikan roknya sambil menunggu Jimin mengambil jas. Hanna sudah melihat jadwal Jimin untuk hari ini. Ada rapat jam sepuluh tentang pembangunan resort baru di Selandia Baru bersama sebuah perusahaan asing.

Hanna langsung mengangkat pandangkan ketika Jimin berkata, "Kalau kau tidak nyaman berlama-lama pakai rok pendek, boleh pakai celana saja, kok."

"Ah, iya. Terima kasih, Pak."

Hanna berdiri di tempat, menunggu ketika Jimin mengalungkan dasi ke leher. Posisi awalnya sudah benar, tapi kemudian dia menarik salah satu ujung ke bawah, dilepas lagi. Ke atas, dilepas lagi, lalu diulang lagi. Jimin tidak berkata apa-apa namun ekspresinya tidak bisa menipu. Alis tebalnya bertaut dan, lucu melihat bagaimana bibirnya mengerucut karena kepala yang terus menunduk. Surai hitamnya sudah jatuh menutupi mata.

Hanna kira yang seperti ini hanya akan terjadi dalam drama, tapi ternyata Park Jimin tidak bisa memasang dasi juga. Klasik.

Jadi Hanna berinisiatif melangkah maju, agak ragu ketika dia menjulurkan tangan sembari berkata, "Boleh kubantu, Pak?"

Jimin tertawa canggung. "Heheh. Yang ini juga tolong dibantu, ya. Kalau kau tidak keberatan. Kalau ada pertemuan penting saja, kok. Aku tidak pernah bisa pasang dasi."

Pertemuan penting, katanya. Memangnya ada pertemuan yang tidak penting?

Hanna cepat-cepat menggeleng pelan dan membuang pemikiran itu dari kepala.

Otakku ini memang tidak punya sopan santun, sepertinya.

"Tidak masalah. Aku juga sering membantu Yoongi dan Jungkook. Sepertinya sudah jadi kegiatan sehari-hari."

Hanna berdiri tepat di depan Jimin, mungkin hanya berjarak beberapa jengkal. Tinggi Jimin hampir menyamai Yoongi, bahkan dengan sepatu berhak beberapa senti miliknya, tinggi Hanna mencarapi tulang hidung mereka. Dalam diam Hanna mencoba meredam kegugupan, berusaha terlihat serileks mungkin.

Dia tidak mau dadanya yang sudah berdegup luar biasa kencang sampai terdengar, atau bagaimana inderanya dibuai oleh aroma yang kini telah menjadi kesukaannya itu. Sedikit disela aroma mint, yang Hanna yakin berasal dari pasta gigi atau sampo yang Jimin gunakan. Yang pasti, bos ini teramat-sangat-wangi.

"Sudah selesai." Hanna melangkah mundur sedikit. Dia bisa merasakan jemari tangannya sudah dingin. Bukan sepenuhnya karena pendingin ruangan, tapi didominasi gugup.

Jimin berbalik dan menatap pantulannya di cermin panjang yang baru Hanna sadari ada di antara rak tinggi berisi figuran dan puluhan map.

"Wah. Rapi. Terima kasih."

"Sama-sama, Pak," balas Hanna, tersenyum senang.

Jadi, di hari pertamanya bekerja, Hanna melakukan seperti yang Jimin arahkan : mengikutinya dan berkenalan dengan pegawai lain, membiasakan diri, memperhatikan, dan belajar sedikit demi sedikit. Rapat pagi itu berlangsung setidaknya satu setengah jam, membahas tentang pembangunan resor dan siapa saja yang terlibat. Hanna juga jadi tahu kalau GoldenCloud punya anak perusahaan. East Star Line, di Selandia Baru yang akan mengawasi perkembangan pembangunan. Meski begitu, Jimin tetap harus berangkat ke sana dalam waktu dekat. Di sana Jimin membisikkan lagi apa yang sudah dikatakan Jung Minhee tadi, yaitu untuk mempersiapkan paspor.

Seusai rapat, Jimin menyempatkan mengenalkan Hanna pada lebih banyak karyawan, membuat Hanna berjabat tangan dengan banyak orang, berbalas senyum. Mereka semua sangat ramah dan baik. Hanna juga menyaksikan bagaimana mereka menghormati Jimin, namun di saat bersamaan hubungan mereka antara atasan dan karyawan lebih hangat daripada yang Hanna kira.

Jimin akrab dengan dengan semua orang. Dia juga ingat nama mereka. Jimin tidak segan bercanda, tertawa, bertukar lelucon, seolah mereka teman. Di mata Hanna, Jimin justru terlihat semakin berwibawa, masih yang paling mencolok di antara semua orang. Hanna tidak tahu bagaimana harus menguraikan itu. Dia hanya merasa, di tengah sorotan itu Jimin dimiliki, dikagumi dan disegani orang, tanpa mengurangi keakraban mereka dengannya.

Berkat sesi perkenalan sekejap itu, Hanna juga jadi berkenalan dengan seorang pegawai wanita dari departemen keungan, Kim Taejung, yang ternyata adalah kakak kelasnya.

Jimin dan Hanna berpisah di jam istirahat, karena Jimin berkata dia akan makan siang dengan temannya, Kim Taehyung, dokter keluarga mereka yang merawat Abel. Jimin bilang dia mungkin tidak akan kembali dan akan mengabari Hanna nanti kalau Abel jadi pulang ke rumah.

Jadi siang itu, Hanna mengikuti Taejung dan beberapa pegawai wanita lainnya makan di restoran terdekat, agar nanti mereka tidak perlu buru-buru kembali.

"Apa Tuan Park memberimu banyak pertanyaan saat wawancara?" tanya salah satunya yang tinggi jangkung dan berhidung mancung seperti model.

"Tidak, kok. Dia hanya memintaku mengecek kontrak kerja dengan teliti."

"Wah, kudengar asistennya dulu ditanyai banyak sekali pertanyaan. Kalau tidak salah juga pertanyaan apakah mereka keberatan dengan anak-anak. Yah, mungkin untuk menjaga anaknya." Taejung menyahut. "Sudah bertemu Park Abel, belum?"

Hanna mengangguk semangat. "Sudah. Bukankah dia anak yang lucu? Dia juga cepat akrab dengan orang lain. Kuharap Abel cepat sembuh."

"Iya, sih. Dia memang anak yang ramah," kata Nara, satu departemen dengan Minhee, sedikit lebih pendek dari Hanna dan berambut ikal. "Tapi tidak lengket dengan Choi Jiah, asisten Jimin yang kemarin. Mungkin karena itu Jimin menanyakan itu juga saat wawancara kerja. Eh, kau ditanyai itu tidak, sih?"

Hanna berpikir sejenak. Mungkin seharusnya pertanyaan itu ditanyakan Jimin padanya, kalau saja mereka tidak saling kenal, atau bukan karena Yoongi mengajaknya menjenguk Abel di rumah sakit kemarin. Jimin jadi bisa melihat langsung bagaimana interaksi Hanna dan Abel, tapi Hanna tidak yakin apakah tepat untuknya membiarkan orang-orang tahu bahwa kakaknya adalah teman baik Jimin yang lumayan membantu diterimanya dia di perusahaan. Hanna belum terlalu mengenal mereka dan itu insting alaminya untuk berhati-hati bicara.

"Tidak ditanyakan, sih, tapi waktu aku datang pertama kali, ada Abel dan kami sedikit berbincang."

Nara menganggukkan kepala. "Yah, dari situ mungkin dia sudah bisa lihat."

Cha Soojin, juga rekan kerja Taejung, menyilangkan kaki dan mengibas rambut ke belakang. Pada Hanna, dia menatap agak arogan dan sedikit mengangkat dagu. "Jangan mau dibodohi olehnya, ya. Park Jimin itu. Kulihat dari caramu berbicara tentang dia, sepertinya belum apa-apa kau sudah terpesona."

Kening Hanna berkerut sedikit. Dia mulai mendapat firasat bahwa mungkin dia harus jauh-jauh dari orang seperti Soojin di lain waktu. Caranya menyebut nama Jimin sudah membuat Hanna jengkel.

"Dia atasan yang baik, berbeda dari atasanku sebelumnya dan dari orang berpangkat tinggi lain yang pernah kukenal. Bukankah itu wajar?"

"Hentikan, Soojin. Jangan merusak kesan hari pertama Hanna di kantor," kata Taejung, menepuk pelan lutut temannya itu.

"Aku tidak berniat merusak. Hanya memperingati." Soojin menurunkan kaki dan mencondongkan tubuh ke depan. "Dia harus tahu kalau Park Jimin tidak sebaik yang terlihat. Dia itu laki-laki berhati dingin."

Hanna kesal sekali rasanya. Ia merutuki diri kenapa mau diajak ke sana dan betapa menggelikan karena masih ada karyawan yang bisa membicarakan Jimin di belakang, apalagi di depan Hanna, asistennya. Orang yangn jelas-jelas akan menghabiskan paling banyak waktu bersama Jimin.

"Kau ini bicara apa? Tuan Park itu orang baik."

Soojin tertawa dan Hanna tak percaya saat Nara dan Hyemi juga ikut tertawa pelan. Hanya dia dan Taejung yang diam membeku di tempat.

Soojin melanjutkan, "Bagaimana tidak? Dia bahkan jarang berhubungan dengan keluarganya. Dengan kedua saudaranya, yang mengurus East Star Line di Selandia Baru. Seolah dia," Soojin menjentikkan jari, "menghapus mereka dari kehidupannya. Menjauh, tanpa alasan jelas. Dengan ibunya pun dia tak dekat."

"Itu, kan urusan pribadi keluarganya. Bukan urusanku."

"Sudahlah, Soojin."

Soojin meletakkan telunjuk di bibir, meminta Taejung diam. "Keluarga mereka itu aneh. Rumor yang kudengar, keluarga Park hanya ingin anak laki-laki mereka menikah dengan perempuan sederajat. Wanita yang membawa keuntungan pada keluarga, wanita yang jelas asal-usulnya."

"Rumormu sudah basi, Soojin," sergah Taejung. "Kalau kau bicara tentang alasan kenapa Tuan Park dan istrinya bercerai, sudah dikatakan kalau istrinya sakit. Dia tidak bisa merawat Abel karena alasan itu lalu memaksa bercerai."

"Kaupikir aku percaya? Dia tidak bisa mengobati istrinya, memang? Dengan semua uang yang mereka punya, itu omong kosong. Mungkin alasannya karena dia tidak berasal dari kalangan atas seperti mereka."

"Itu, kan menurutmu."

"Rumor ini berasal dari orang terpercaya."

Hanna tidak bisa melakukan apa-apa. kepalanya hanya menoleh dari Taejung di sampingnya dan Soojin di depannya. Baru kali ini Hanna akhirnya mendengar sedikit lebih banyak tentang istri Jimin, tapi Hanna tak suka ini. Dia tidak suka citra Jimin dirusak oleh mereka yang hanya mengandalkan rumor yang tidak pasti kebenarannya. Terlebih tentang kehidupan pribadi seseorang. Namun sayangnya keengganan Hanna ditangkap keliru oleh Soojin sebagai suatu kebingungan dan rasa penasaran.

Dia mencondongkan tubuh lebih dekat pada Hanna dan bicara dengan suara rendah. "Tidak percaya, ya? Park Jimin itu benar-benar pria tidak punya hati. Abel masih sangat kecil, tapi ibunya tidak pernah terlihat dan hak asuhnya ada pada Jimin, padahal anak itu masih di bawah umur. Uang memang bisa menyelesaikan segalanya."

"Aku tidak mengerti apa maksudmu mengatakan semua ini."

"Agar kau berheti-hati saja."

"Untuk apa?"

"Yah, jaga-jaga. Atasan yang kaukagumi itu, menceraikan dan mengusir istrinya setelah melahirkan Abel."

15.11.2018

Continue Reading

You'll Also Like

27.2K 2.1K 9
[COMPLETED] [Min Yoongi version 2] "Ini untuk sahabatku- Min Yoongi." ©Nandd_ , 2019.
74.5K 4.7K 56
WARNING!! Terdapat kata-kata hingga perilaku yang membuat readers kejang-kejang✅ Awal cerita: 10-23-2021 °°°°°°°°°°°°°°°°°°°° SKLIRÓS bercerita tenta...
5.3K 731 17
This book for Jeno and Siyeon side. I just don't like a rain, not hate it ă…ˇ Jeno Then why your hand always trembling when a rainy days? ă…ˇ her âś“ NCT's...
379K 65.9K 84
CERITA KELIMA SUGAMINNA Cast : â–ŞPark Jimin â–ŞPark Minji (OC) Other Cast : â–ŞMember BTS â–ŞOC Genre : â–ŞFamily, Romance / NC 21 â–ŞSad / hurt / Kekerasan Par...