Edenic {✓} SUDAH TERBIT

By bangtannabie

133K 17.4K 4.1K

Bekerja dengan Park Jimin sudah bagaikan mimpi menjadi nyata untuk Min Hanna. Pekerjaan yang tidak terlalu me... More

INFO VERSI CETAK SHOPEE
REVIEW EDENIC VERSI ✨BUKU✨
Prolog
Satu
Dua
Empat
Lima
Enam
Tujuh
Delapan
Sembilan
Sepuluh
Sebelas
Dua Belas
Tiga Belas
Empat Belas
Lima Belas
Enam Belas
Tujuh Belas
Delapan Belas
Sembilan Belas
Dua Puluh
Dua Puluh Satu
Dua Puluh Dua
Dua Puluh Tiga
Dua Puluh Empat
Dua Puluh Lima
Dua Puluh Enam
Dua Puluh Tujuh
Dua Puluh Delapan
End (Wattpad Version)
Let's Have A Talk

Tiga

4.5K 642 103
By bangtannabie

[edited]

Hari berganti, namun ingatan Hanna tentang Park Jimin masih sangat segar.

Setelah hari itu, Hanna jadi ingin tahu lebih banyak tentang Jimin. Sayangnya, tidak banyak yang bisa ditemukan di internet selain beberapa foto dan berita dari peresmian tertentu. Tidak ada informasi seputar keluarga, meski secara singkat salah satu artikel menyebutkan bahwa dia punya saudara laki-laki. Brothers. Artikel itu berbahasa Inggris. Jimin juga tidak memiliki akun sosial media, sehingga tidak ada foto ataupun sekadar nama. Ayahnya sudah tiada karena masalah kesehatan serius, setidaknya itu yang Hanna tahu. Tidak ada apapun tentang ibunya, apalagi istrinya.

Jujur saja, Hanna merasa agak kurang ajar dengan memeriksa latar belakang orang seperti ini. Terlebih, ingin mengetahui tentang kehidupan pribadi orang tersebut. Ini mengingatkan Hanna pada kelakuan penggemar fanatik di luar sana yang entah bagaimana bisa mendapatkan foto tidak resmi dari masa kecil idola mereka. Namun di saat yang sama, Hanna juga berpikir, bukankah ini yang memang terjadi? Konsekuensi seorang selebriti, di mana garis antara informasi umum dan personal memburam.

Jimin memang bukan seperti selebriti di televisi atau acara musik, tapi statusnya kurang lebih sama di antara para pengusaha besar. Dia masih muda, kaya, cerdas, dan dikenal karena sikap yang luar biasa baik, sopan, dan rendah hati. Hanna bahkan baru tahu kalau GoldenCloud punya yayasan yang menampung anak-anak yatim piatu dan membiayai mereka sekolah.

Semakin banyak kita memberi dan berbagi, semakin banyak kita menerima.

Orang-orang kaya itu suka membagikan harta mereka secara sukarela. Meski beberapa yang Hanna kenal juga pelit bukan main--membuat gadis itu ingin menyumpahi mereka supaya mati tersedak uang koin--banyak juga dari mereka adalah orang dermawan yang mencoba membuat dunia menjadi sedikit lebih baik. Hanna sangat mengagumi mereka. Menurutnya, itulah alasan kenapa mereka hanya menjadi semakin kaya dan sahaja.

Hanna masih mengenakan piyama Doraemon ketika keluar kamar. Jam enam pagi, Hanna sudah mendengar kelontangan piring dan peralatan makan dari lantai bawah. Hanna menunduk dari beranda lantai dua, disambut ibunya yang sedang mengeluarkan piring dan gelas dari lemari untuk disusun di meja makan.
Rambut ibu tidak terlalu tebal seperti milik Hanna namun mereka punya warna kecokelatan yang sama. Kerutan halus di sudut mata ibu tampak kentara kalau dia tersenyum namun garis usia itu malah membuat ibu terlihat semakin manis dan awet muda. Pada putrinya yang masih bau iler, ibu meminta tolong untuk membangunkan Jungkook.

Hanna mengangguk. Kelopak matanya masih terasa agak berat karena sesi menonton drama western favoritnya yang baru disudahi setelah jam dua pagi. Sambil mengikat rambut yang berantakan, Hanna masuk ke kamar Jungkook yang terletak di sebelah kamarnya.

Aroma parfum laki-laki yang menyengat menyerbu hidung Hanna ketika dia membuka pintu, seketika mengingatkan Hanna pada aroma Jimin yang manis dan segar, lalu merutuki betapa buruk selera Jungkook dalam memilih parfum.

"Ugh, sumpah hidungku jadi sakit begini. Berapa botol kauhabiskan dalam sebulan, Jung? Seleramu norak," oceh Hanna.

Si pemilik kamar tak menggubris sama sekali karena masih bergelung nyaman di bawah selimut. Hanna mengambil bantal yang berserakan di lantai. Dia juga tidak mengerti bagaimana tepatnya si adik bungsu itu tidur. Semua bantal ada di bawah dan remaja itu hanya bertemankan selimut.

Hanna mengayunkan bantal di tangan dan dihantamkan ke badan Jungkook. "Bangun, astaga. Nanti kau ditinggal Yoongi."

"Ahh, sebentar lagi! Pergi sana, pergi."

"Kubilang bangun, ya, bangun."
Jungkook tidak bergerak.
"Hei, tidak dengar, ya?!"

"Lima menit lagi."

"Ini sudah siang!"

Kali ini Jungkook mengangkat kepala dengan gerakan malas lalu menyipitkan mata untuk melihat jam. "Baru jam enam lewat dua puluh."

Hanna berdecak pelan. Dia memutuskan untuk melakukan bagian yang paling disukainya : menarik kaki Jungkook sampai adiknya itu terjatuh dari kasur.

"Cepat mandi sana, dasar bau!"

Setelah memastikan Jungkook benar-benar bangun, ditandai dengan aksi protes sambil menggerutu serta tindakan barbar Hanna menyeretnya dari kasur, Jungkook akhirnya bergerak ke kamar mandi. Dia tidak berhenti mengomel betapa dia sangat tidak semangat karena hari ini ada mata pelajaran matematika. Mengabaikan ocehan Jungkook dengan gelengan pelan, Hanna akhirnya bisa membantu ibu dan ayah menyiapkan sarapan di dapur.

Setelah bisnis kafe Yoongi sukses, kurang lebih tiga tahun lalu, ayah sudah tidak bekerja lagi. Yoongi memintanya berhenti dari kantor di mana ayah bekerja sebagai manajer keuangan selama satu dekade. Ayah nyaris kepala enam meski begitu tubuhnya masih sehat dan segar bugar. Jadi, di waktu kosong, ayah membantu ibu, jalan-jalan mengelilingi komplek, atau berkebun. Mereka juga jadi punya lebih banyak waktu untuk mengawasi Jungkook supaya tidak salah pergaulan, begitu katanya.

Ayah dan ibu sudah tidak asing dengan siapa Jungkook berteman dan ke mana biasanya dia pergi di waktu luang. Tidak tanggung-tanggung, ayah dan ibu mengenal rata-rata teman sekelas Jungkook termasuk orang tua mereka. Semacam perkumpulan orang tua siswa yang membuat Jungkook sebal bukan main karena dia selalu dilibatkan dalam kelas tambahan, aktivitas sosial, dan sebagainya.

Hanna agak heran juga karena ketimbang bermain dengan teman-teman, Jungkook lebih sering menghabiskan waktu di rumah. Bukan hal yang buruk. Hanya saja, kadang dia khawatir kalau adiknya tidak bergaul dengan baik atau menyembunyikan masalah. Yoongi selalu menceramahinya tentang ini, karena menurutnya tidak ada yang aneh dari Jungkook dan Hanna harus membiarkan Jungkook melakukan apa yang anak itu inginkan.

Oke, Hanna mengerti. Adiknya menghabiskan waktu di rumah untuk main game, belajar mengedit video yang mana adalah kegiatan yang paling Jungkook cintai, atau nonton film di televisi, jadi seharusnya ayah dan ibu tidak perlu terlalu khawatir. Sudah pasti, Hanna mengatakan itu untuk dirinya sendiri juga.

Sudah hampir jam tujuh pagi ketika Jungkook turun. Dia langsung dicereweti ibu karena menghabiskan terlalu banyak waktu di kamar mandi. Hanna juga tidak paham apa yang membuat Jungkook begitu lama bersiap-siap. Oke, jangan salah paham. Adalah sebuah kebohongan besar kalau Hanna bilang adiknya tidak terlalu tampan. Jungkook itu tampan. Sangat malah. Min Yoongi si wajah datar itu tidak ada apa-apanya jika mereka dibandingkan. Namun dengan penampilan ala anak sekolahan yang begitu-begitu saja, Hanna tidak mengerti.

Seragam, rambut disisir rapi, dasi, dan parfum beraroma menyengat yang super norak itu.

Parfum lagi, parfum lagi. Ada apa denganmu, sih, Hanna? Besok tanya saja pada Jimin dia pakai parfum apa lalu semprot isinya ke seluruh rumah.

"Kakak kenapa?" tanya Jungkook. Sehelai roti tawar dia gigit karena kedua tangan memegang toples selai dan pisau.

"Apa yang kenapa?" Hanna bertanya balik.

"Kepalamu sendiri dipukul-pukul pakai sendok begitu. Sudah gila, ya?"

Hanna hampir menggeplak kepala Jungkook kalau saja ketidakhadiran seseorang disadari olehnya. "Mana Yoongi? Sudah jam berapa ini? Nanti Jungkook telat."

Ayah menoleh ke kamar Yoongi. "Tadi sudah keluar, kok, tapi masuk lagi. Mungkin ada yang tertinggal."

Kadang Hanna dibuat lupa siapa anak tertua di rumah kalau dia juga harus menggedor kamar Yoongi seperti sekarang ini. Dalam hati dia hanya bisa mencibir bahwa ini adalah risiko menjadi anak perempuan satu-satunya.

"Yoong!" panggilnya. "Kau sedang apa? Ayo, cepat berangkat nanti Jungkook terlambat ke sekolah!"

"Aku sakit perut. Tunggu sebentar!"

"Kenapa, sih, kau ini? Makan apa kemarin malam?"

"Sudah, diam!"

"Nuna, aku sudah selesai," ujar Jungkook, menatap malas pada kakaknya yang seolah ingin melubangi pintu. "Aku pergi duluan saja atau bagaimana?"

"Ih. Yoong, di mana kunci mobil?"
"Hah?!"

"KUNCI MOBIL!"

"Di atas meja makan-
--Eh, kau mau apa?"

"Mau antar Jungkook duluan. Bye!"

"YA, MIN HANNA!"

Hanna paling bahagia kalau berhasil membuat Yoongi naik pitam dan teriak-teriak seperti bibi penjual di pasar. Yoongi itu terlalu hemat kata dan suara. Ada dan tidak adanya dia di rumah nyaris tidak ada bedanya. Jadi, ya, menyenangkan saja rasanya memecah hening dan membuat dia marah-marah. Hanna sudah tidak takut lagi, karena Yoongi juga tidak akan bisa beretahan terlalu lama atas kekesalannya pada Jungkook atau Hanna.

Dia itu sok cuek, tapi perhatian. Menyebalkan, tapi baik hati. Kombinasi yang aneh.

"Masih ada uang jajan, tidak?" Hanna bertanya setelah mereka sampai di gerbang sekolah.

Jungkook melirik lewat sudut mata. "Memangnya kalau aku bilang tidak, Kakak punya uang?"

"Hahah. Mulutmu ini, ya."

"Aku bercanda," cengir Jungkook. "Baru tadi malam diberi uang Yoongi hyung."

"Ya, sudah. Bagus kalau dia cepat tanggap begitu. Kalau ada keperluan sekolah yang lain, atau keperluan apa sajalah, cepat beritahu, ya. Jangan mendadak."

Jungkook mengangguk singkat. "Ah, ya. Memangnya kau sudah diterima bekerja?"

"Yoongi bilang padamu?"

"Aku melihatmu bersiap-siap dengan pakaian baru dan dandanan norak itu, ingat?"

Hanna mengangkat tangan menggestur ingin memukul dengan geraman tertahan. Bukan benar-benar ingin dilakukan, hanya gemas saja. Setidaknya Jungkook menjauh sedikit, mengangkat tangan melindungi kepalanya.

"Liar sekali."

"Bicara apa barusan?"

"Tidak, tidak. Ya, sudah, deh. Aku turun," kata Jungkook sembari membuka pintu mobil.

"Belajar yang baik. Kalau tidak ada keperluan penting, jangan keluyuran dan langsung pulang. Bilang dulu pada ibu dan ayah kalau mau ke suatu tempat. Mengerti?"

"Iya, iya. Duh, aku ini sudah besar," keluh si bungsu.

"Dan jangan khawatir. Aku akan dapatkan pekerjaan itu dan akan berikan semua yang kau mau."

"Aku akan anggap itu janji." Jungkook menyahut sebelum menutup pintu lalu berjalan menjauh dengan senyum halus tersemat di wajah tampannya.

Mengantar Jungkook yang sudah kelas dua SMA ke gerbang sekolah menyadarkan Hanna pada betapa cepat waktu berganti. Rasanya baru kemarin ketika ibunya dan ayah Yoongi menikah. Rasanya belum lama lalu sewaktu Jungkook lahir dan Hanna membuai adik bayinya itu saat ibu bekerja. Aroma bedak bayi, minyak telon, dan sabun khusus untuk mencuci pakaian bayi. Hanna senang mengingat momen berharga dengan aroma-aroma tertentu dari momen itu. Rasanya seolah baru terjadi kemarin.

Sekarang Jungkook sudah besar. Sudah jadi remaja tampan yang digemari perempuan. Kadang pikiran Hanna bisa jadi seacak ini, menerka-nerka apa begini rasanya membesarkan seorang anak, melihat mereka tumbuh besar. Lalu begitu saja pikiran acak itu mengingatkannya pada Jimin.

"Baru kemarin bertemu dia, kok. Sabar, sabar. Kabar baik pasti datang."

Sayangnya, hal baik yang Hanna tunggu harus datang dibarengi kabar kurang sedap dulu. Ketika Hanna sampai di rumah, Yoongi sedang menuruni tangga sambil berkata, "Jimin baru saja meneleponku. Anaknya di rumah sakit sekarang karena demam tinggi. Kau mau ikut atau tidak?"

Hanna bahkan tak sempat berpikir. "Hah?"

Yoongi merotasi mata dan mendengus pelan. "Aku sedang mencoba memberimu kesempatan untuk menjadi sedikit lebih mencolok, oke? Ide ini kurang ajar sekali dan waktunya tidak pas, tapi aku juga sudah lama tidak bertemu Jimin. Karena kita serumah dan kalian juga sudah kenal, wajar kalau aku mengajakmu, kan? Ayo, ikut."

Meski Hanna belum sepenuhnya mengerti apa yang Yoongi bicarakan, dia tidak melawan dan merelakan diri diseret lagi ke mobil. Tidak terpikir apapun oleh Hanna selama perjalanan, namun ketika mereka sudah di lift, barulah dia tersadar bahwa mungkin ini adalah momen untuknya bertemu istri Jimin.

Seperti apa dia, ya? Pasti cantik. Apa Abel satu-satunya anak mereka? Mungkin karena masih muda, ya.

"Eh, Jimin umur berapa, sih?" Pikiran Hanna bersuara dengan sendirinya tanpa dia sadari. Cepat-cepat dibungkamnya mulut.

"Berapa umur Jimin?" Yoongi mengulangi."

"Tidak usah dijawab juga tak apa. Aku keceplosan."

"Dia lahir di tahun yang sama denganku, jadi usianya dua puluh delapan. Abaikan saja kalau kaudengar dia memanggilku dan Seokjin dengan sebutan 'hyung'. Itu hanya tradisi konyol antara kami yang sulit dihilangkan."

Hanna berfokus pada kalimat pertama dan mengabaikan sisanya. "Umur berapa dia menikah? Anaknya sudah sebesar itu."

"Dia nikah muda."

Jawaban singkat Yoongi membuat Hanna bingung untuk sesaat. Dia sendiri juga tidak paham apa alasannya. Dia merasa gugup, entah kenapa. Hanna bahkan tidak 'mengenal' Jimin begitu banyak. Bahkan mereka tidak bisa dibilang teman. Jelas-jelas baru berjumpa sekali.

Perasaan ini mengingatkan Hanna sewaktu masa SMA dulu. perasaan yang sama saat dia mati-matian mencari tahu siapa pacar pemain basket dari sekolah tetangga yang Hanna sukai; penasaran secantik dan seunggul apa cewek itu jika dibandingkan dengan dirinya.

Sekarang Hanna merasa dirinya sudah gila.

Jomblo mengenaskan.

Ketika mereka mencapai bagian khusus anak-anak dan balita, lalu tiba di depan kamar rawat Abel, Hanna yakin ada yang tidak beres dengan otaknya atau apakah dia punya otak sama sekali. Dia bahkan meragukan apakah otaknya masih di dalam tempuruh kepala atau tidak. Hanna hilang akal total. Seperti jiwanya sudah direnggut, dibuang, dicampakkan ke galaksi lain.

Tersihir. Membeku di tempat. Tidak bisa bergerak atau bicara.

Hanna pikir dia sudah melihat versi terbaik Park Jimin di kantor kemarin; kemeja, celana kain, sepatu mengilap, penampilan rapi ala pria kantoran. Sekarang Park Jimin berdiri di depannya, mengenakan celana jins, kaus putih polos dan jaket hitam, disertai rambut agak berantakan.
Lalu seolah gerakan selanjutnya sudah bisa diterka, Jimin menyapu surainya ke belakang dengan tangan, dan tersenyum.

"Oh, Hanna! Kau datang juga."

Yoongi mendahului Hanna untuk menjabat tangan Jimin dan memberi pelukan singkat. "Bagaimana kabar Abel?"

"Kemarin sudah ke sini dan diberi obat. Kau tahulah, Hyung. Sejak bayi Abel sering demam dan flu. Kemarin malam dia tidak mau minum obat dan panasnya naik terus, jadi aku bawa dia ke sini lagi. Taehyung bilang sudah tidak apa-apa, kok. maaf, ya membuatmu khawatir."

"Astaga, kau ini sudah seperti siapa saja. Berapa kali coba, aku bertemu Abel? Bisa dihitung jari," kata Yoongi sambil menunjukkan telapak tangan pada Jimin. "Keterlaluan sekali."

Jimin tertawa. "Iya, deh. Maaf, maaf."

Lucu ketika Hanna memperhatikan cara Jimin tergelak. Badannya seolah ditarik magnet ke tubuh Yoongi, lalu memukul pelan pundak abangnya. Rasanya kalau tidak ada Yoongi di depannya, Jimin akan jatuh tersungkur.

"Tidak akan begitu lagi, deh. Janji." Jimin baru akan membuka mulut untuk menyapa Hanna, namun ponselnya berbunyi. "Maaf, ya. Aku permisi dulu. Hyung, silakan masuk kalau mau."

Yoongi masuk lebih dulu. Mengekor di belakangnya, Hanna sudah memasang senyum untuk diberikan pada istri Jimin. Keningnya justru berkerut saat hanya menemukan Abel di atas kasur dengan sebuah boneka beruang besar dan perawat yang berusaha membujuknya makan.

"Oh, Tante yang kemarin!" sorak Abel riang. Caranya bicara benar-benar sebelas dua belas dengan Jimin, membuat Hanna gemas. "Halo, Tante!"

"Hai, Abel." Hanna mengusir semua pikiran aneh di kepala. Dia duduk di tepi kasur, merasa hati menghangat dan tenang karena keramahan bocah lima tahun di hadapan. "Papa bilang Abel tidak mau minum obat, ya."

Pipi Abel menggembung dan dia memeluk boneka beruang putihnya lebih erat. "Tidak mau. Abel ingat rasanya sangat pahit."

Hanna menggetil pelan pipi Abel. "Lalu, Abel lebih suka di sini?"

Abel yang membalas dengan gelengan bukanlah reaksi yang membuat Hanna terkejut. Namun jawaban yang dia berikan membuat lidah Hanna kelu.

"Kasihan Papa. Banyak telepon masuk ke ponsel Papa tapi Papa terus di sini bersama Abel. Abel dengar Papa minta maaf terus dan Abel tidak suka. Papa tidak melakukan kesalahan apapun."Abel lalu menatap tepat ke netra Hanna. "Benar, kan, Tante?"

Hanna tidak tahu harus jawab apa. Tatapan polos Abel membungkam seribu bahasa juga karena kedewasaannya memperhatikan Jimin. Hanna tahu dia harus bicara hati-hati karena dia sendiri juga tidak tahu masalanya apa dan di mana.

"Well. Apapun alasannya, Abel tidak perlu khawatir terlalu banyak. Papa, kan sudah dewasa, jadi dia pasti tahu mana yang lebih baik. Yang pasti, Abel harus cepat sembuh." Hanna berpaling pada perawat yang berdiri di samping kasur Abel lalu meminta mangkuk makanan yang dia bawa. "Makan sedikit, ya. Biar Tante suapkan."

Hanna merasa cukup senang dan lega. Entahlah bermula dari mana dan sejak kapan, dia selalu berhasil merebut hati anak-anak. Mungkin karena dia banyak menghabiskan waktu dengan Jungkook sejak adiknya itu bayi sekaligus belajar bagaimana cara ibu menanganinya. Abel juga anak yang ramah, jadi tidak ada kesulitan sama sekali untuk mereka bergaul. Dia dan Abel jadi akrab dalam waktu singkat. Hanna senang Abel menghabiskan sarapannya.
Hanna menanti-nanti kapan ibu Abel akan tiba tapi sampai Yoongi kembali, tidak ada yang datang. Abangnya itu tadi berbincang dengan Jimin di koridor. Hanna tidak bisa mencuri dengar apapun sama sekali.

Jimin memangku Abel. Anak itu duduk dengan nyaman dan tenang di paha ayahnya, melambai semangat pada Hanna.

"Tante, nanti kalau tidak sibuk main ke rumah Abel, ya?"

Hati meleleh. Bagaimana Hanna bisa menolak?

Hanna dan Yoongi hampir masuk ke lift ketika Jimin mengejar mereka.

"Kenapa, Jim? Ada yang tinggal?"

"Tidak, tidak." Jimin menggeleng, agak tersengal. "Ada yang mau kusampaikan pada Hanna. Sebentar saja."

"Oh, oke." Yoongi melangkah lebih dulu saat pintu lift terbuka. "Aku tunggu di parkiran, ya."

Selepas kepergian Yoongi, Jimin tersenyum canggung sambil menggaruk tengkuk.

"Hanna, maaf, ya kalau ini mendadak sekali, tapi apa besok kau bisa datang ke kantor lagi?"

Berinteraksi dengan Abel sudah membuat Hanna lupa. "Maaf?"

"Itu, um. Aku rasa aku tidak punya waktu untuk terlalu lama memilih. Besok datang ke kantor dan temui pegawai yang menyambutmu kemarin. Bisa, tidak?"

Hanna membelalak dan menunjuk wajahnya sendiri. "Maksudnya aku diterima?"

Jimin mengangguk tegas. "Ya. Tahun ini Abel mulai sekolah dan dia tidak suka diantar jemput supirku. Bibi yang menjaganya di rumah juga sudah berusia lanjut dan tidak bisa berkendara. Aku sudah banyak mengundur dan membatalkan janji untuk tinggal bersama Abel. Aku tahu ini sebenarnya bukan bagian pekerjaanmu, tapi kalau kau bersedia membantuku untuk yang satu itu, maksudku ... semacam asisten pribadi, aku akan sangat berterimakasih. Bayarannya--"

"Tidak masalah!" Hanna menyela. "Oh, astaga. Kau tidak bercanda, bukan? Aku benar-benar diterima?"

"Iya, Hanna." Jimin tersenyum manis. "Aku tidak bercanda."

Rasanya Hanna sudah mau jungkir balik. Masa menganggur dua tahun akhirnya berakhir dan dia diterima bekerja di perusahaan besar. Menjaga anak atasan sesekali juga masa bodohlah. Sama sekali tidak masalah. Lagipula dia dan Abel sudah berteman. Hanna yakin itu bukan pekerjaan sulit.

"Terima kasih!" Hanna membungkukkan badan berkali-kali.

Jimin tertawa lepas, berusaha membuat Hanna berhenti. "Sudah, sudah. Nanti punggungmu sakit. Terima kasih juga karena sudah datang. Tadinya aku berniat meneleponmu. Sekarang pulanglah. Hati-hati di jalan."

Hanna masuk ke mobil dengan senyum merekah. Tawa kering lolos dari bibir tipis Yoongi.

"Biar kutebak. Jimin memintamu datang ke kantor besok."

"Wah, apa itu yang kalian bicarakan di luar tadi?"

"Tidak juga. Apa lagi yang Jimin katakan?"

"Tidak banyak, sih. Ah, dia juga minta tolong menggantikan antar jemput Abel kalau dia sedang tidak bisa keluar. Itu saja, kok. Lagipula, memang begini pekerjaannya, kan? Membantu Jimin. Untuk selalu siap sedia kapanpun dia butuh."

"Yang pernah bekerja jadi asisten, kan, kau. Bukan aku. Kenapa bertanya padaku?"

"Tapi, Yoong," Hanna mengabaikan pertanyaan Yoongi, "di mana ibu Abel?" karena Yoongi tidak menjawab dan Hanna melanjutkan, "Terus kenapa tidak ada anggota keluarga lain? Kau tahu, seperti nenek dan kakek yang datang mengunjungimu waktu kau operasi usus buntu. Kudengar juga Jimin punya saudara. Masa iya, sih tidak membantu menjaga Abel walau sebentar saja? Jimin, kan, sibuk."

Hanna tidak mengerti apa yang membuat Yoongi terdiam cukup lama. Lebih tidak mengerti ketika melihat netra gelap Yoongi hilang fokus dan menghindarinya beberapa saat. Dalam kepalanya, Hanna mulai membuat skenario menyedihkan yang langsung dia tampik mati-matian.

Apa mungkin mamanya Abel sudah tidak ada?

"Oi, kenapa tidak jawab? Susah, ya pertanyaanku?"

Yoongi memasang sabuk pengaman dan menginjak pedal gas perlahan. Setelah mobil mereka keluar dari parkiran, Yoongi menjawab salah satunya.

"Mereka sudah lama bercerai."


Continue Reading

You'll Also Like

3.9K 871 24
[romance - slice of life] Pada semester baru kelas 10, Anila terpilih sebagai ketua ekstrakurikuler jurnalistik-sebuah ekskul yang ditinggalkan dan...
27.2K 2.1K 9
[COMPLETED] [Min Yoongi version 2] "Ini untuk sahabatku- Min Yoongi." ©Nandd_ , 2019.
501K 37.3K 59
Kisah si Bad Boy ketua geng ALASKA dan si cantik Jeon. Happy Reading.
7.6K 1.4K 25
Dear, Namjoon Kamu itu seperti malaikat yang Tuhan ciptakan khusus untukku. Kamu itu tamu istimewa yang akan selalu kusambut sepenuh hati untuk tingg...