Edenic {✓} SUDAH TERBIT

By bangtannabie

133K 17.4K 4.1K

Bekerja dengan Park Jimin sudah bagaikan mimpi menjadi nyata untuk Min Hanna. Pekerjaan yang tidak terlalu me... More

INFO VERSI CETAK SHOPEE
REVIEW EDENIC VERSI ✨BUKU✨
Prolog
Dua
Tiga
Empat
Lima
Enam
Tujuh
Delapan
Sembilan
Sepuluh
Sebelas
Dua Belas
Tiga Belas
Empat Belas
Lima Belas
Enam Belas
Tujuh Belas
Delapan Belas
Sembilan Belas
Dua Puluh
Dua Puluh Satu
Dua Puluh Dua
Dua Puluh Tiga
Dua Puluh Empat
Dua Puluh Lima
Dua Puluh Enam
Dua Puluh Tujuh
Dua Puluh Delapan
End (Wattpad Version)
Let's Have A Talk

Satu

4.9K 728 80
By bangtannabie

[edited]

Hanna memeriksa penampilannya di cermin berkali-kali; rambut disisir dan dikuncir rapi, kemeja putih sudah diberi pewangi dan disetrika, rok selutut dan blazer hitam yang baru dibeli tadi malam. Hanna lalu mengangkat kedua tangan bergantian dan membaui dirinya sendiri.


“Huft, parfumnya mahal, sih, tapi aromanya sepadan.”

Hanna lalu maju selangkah dan mencondongkan tubuh sedikit ke arah cermin yang sama tinggi dengan tubuhnya itu. Hanna menorehkan eye liner dengan kehati-hatian ekstra seolah sedang melukis karya agung di atas kanvas. Dia menggunakan maskara lalu merapikan lagi bedaknya, dan sentuhan terakhir lip tint warna ceri.

“Aku selesai!”

Saat Hanna mengepak lagi alat-alat make up ke dalam tas, Jungkook menyembul di ambang pintu. Dasi belum dipasang dengan baik, bocah SMA bertubuh tinggi atletis itu bersandar dan menyilang lengan di depan dada. “Nuna, dua puluh menit lagi jam delapan. Yoongi hyung sudah mau pergi, tuh.”

“Apa?!”

Hanna cepat-cepat meraup tas ke dalam pelukan, memungut sepatu baru yang masih di dalam kotak di bawah meja lalu berlari telanjang kaki meninggalkan kamar. Jungkook yang nyaris jatuh karena tersenggol hanya bisa mengumpat dalam diam kalau tidak mau dihajar ibu dengan panci panas.

“YOONGI!” Hanna berlari keluar menuruni tangga teras. “Yoongi, tunggu!”

Yoongi yang baru saja hendak masuk ke mobil mengurungkan niat dan berdiri sambil merotasi mata. “Bisa tidak, coba sopan sedikit dan panggil ‘kakak’ karena aku setahun tiga bulan lebih tua.”

“Yoongi, kau ini tega sekali. Antar aku ke kantor Jimin, ya? Nanti terlambat kalau naik bis.”

“Kantor Jimin? ‘Jimin’ kau bilang? Hei, kaupikir dia itu temanmu? Belum apa-apa sopan santunmu sudah tercecer ke mana-mana.”

“Sudahlah, sudah. Aku janji akan berubah seratus delapan puluh derajat di depan Jimin nanti. Antar aku ke sana dulu, ya.”

“Kita berlawanan arah!”

Hanna sudah lebih dulu masuk ke mobil dan memasang sabuk pengaman. “Kau, kan bos jadi tidak masalah kalau datang sedikit terlambat, bukan? Nanti kalau aku sudah diterima bekerja dan punya uang, aku akan beli mobil sendiri dan tidak merepotkanmu lagi.”

“Percaya diri sekali kalau kau akan diterima,” kata Yoongi sambil menyalakan mesin mobil.

“Aku benar-benar percaya diri dan dipenuhi aura positif. Aku percaya hal baik akan terjadi.”

“Kau juga ngomong begitu sebelum uangmu dibawa lari temanmu.”

“Kalau bukan karena aku tidak ingin dihabisi ibu karena memenggal kepalamu, kau sudah kutendang keluar dan kugilas dengan mobil ini sampai jadi daging cincang.” Hanna merapikan kerah kemejanya lalu berkata, “Omong-omong, ceritakan sedikit tentang Jimin, dong. Mulai dari awal. Bagaimana kalian bisa saling kenal?”

“Dia itu temanku sejak sekolah dasar. Jadi, ya, kami sudah kenal lama.”

Hanna menoleh dan membelalak. “Jimin sekolah di tempat yang sama denganmu? Wah, kukira dia pasti belajar di sekolah papan atas.”

“Itu karena Jimin memaksa. Dia mengancam akan kabur dari rumah kalau dikirim ke sekolah asrama, jadi orangtuanya tidak punya pilihan. Toh, ketika SMA dia masuk ke sekolah pilihan ibunya juga, walau masih sering ngumpul sama kami juga.”

Hanna mengangguk-anggukkan kepala. “Lalu? Ceritakan lagi, dong, sedikit tentang dia.”

“Ck. Kenapa, sih? Kau ini, kan mau jadi asisten bukan istrinya. Bekerja saja dengan baik dan jangan cari gara-gara. Mau ditaruh di mana mukaku nanti? Kaukira sembarang orang bisa diterima di sana?”

Hanna ditarik paksa menuju realita dalam sesekon singkat, mematung terpaku seperti boneka salju.

Benar juga.

Perusahaan yang akan didatanginya ini adalah GoldenCloud, salah satu perusahaan terkemuka di Asia, punya banyak cabang dan anak perusahaan yang berkecimpung di banyak bidang. Kakak tirinya adalah teman baik Park Jimin tidak bisa dijadikan pegangan untuk pasti diterima bekerja.

Keheningan mendadak ini menarik atensi Yoongi. Dia memperhatikan tak enak hati saat Hanna diam saja dan merosot di kursinya.

“Hei, jangan patah semangat dulu. Memasang ekspektasi terlalu tinggi itu memang tidak baik, tapi kepercayaan diri juga perlu. Aku hanya tidak mau kau berpikir hanya karena aku dan Jimin saling kenal maka kau sudah pasti akan diterima.”

Hanna mencibir. “Kau, sih. Merusak suasana hatiku.”

“Ya, maaf.”

“Tapi, serius. Park Jimin itu orang yang bagaimana? Memikirkan dia memikul beban perusahaan sebesar itu di pundaknya, aku membayangkan dia pasti orang yang tegas dan keras, ya? But, ini sulit juga karena lewat foto-foto di internet dia terlihat murah senyum.”

“Tidak usah menerka-nerka.” Yoongi berujar datar. “Park Jimin itu bukan orang yang mudah ditebak walau kelihatan sebaliknya. Ya, kau benar. Dia orang yang baik dan ramah, tapi jangan disalahartikan.”

“Kau membuatku tambah bingung.”

“Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan. Yang pasti Jimin ini penuh kejutan.”

Hanna melihat ke jalanan lagi sebelum sebuah pertanyaan kembali melintas secepat sambaran kilat. “Eh, dia sudah menikah belum?”

“Urusannya denganmu apa?”

“Ih, jawab saja.”

Yoongi tidak langsung menjawab. Setelah jeda sejenak yang membuat alis Hanna dinaikkan tidak mengerti, dia berkata, “Jimin sudah punya anak perempuan berusia lima tahun. Namanya Abel. Mungkin kalian akan sering bertemu nanti.”


Meski Hanna berusaha mengusir citra Jimin dari benak demi kesehatan jantung dan mental, namun gedung utama GoldenCloud malah menambah beban nyata seolah gedung empat puluh lantai itu akan rubuh menimpanya menjadi rata dengan tanah.

Agak terkejut, namun tidak terlalu panik ketika melihat gedung yang baru dimasukinya itu ternyata persis seperti yang dibayangkan; megah, bersih, tertata, luas, dan seperti namanya : GoldenCloud, didominasi oleh warna-warna keemasan dan hitam. Lampu gantung mewah di lobi nampak begitu indah dan mendiskriminasi secara bersamaan. Berkilau, bentuk yang rumit, memamerkan keagungan tempat ini yang menjadi tempat bergantung kehidupan ribuan orang.

Sepatu Hanna berkelotak di sepanjang koridor menuju lift. Karyawati yang menyambutnya di meja resepsionis mempersilakan Hanna masuk ke kotak besi yang akan membawanya ke lantai tujuan.

“Ruangan Tuan Park ada di lantai dua puluh lima,” ucap wanita dengan rambut disanggul rapi seperti donat. “Akan ada pegawai lain yang membantumu setelah kau keluar lift.”

Hanna membungkuk hormat sebelum lift tertutup. Seiring angka-angka di layar terus berganti mengikuti tinggi lantai, Hanna mulai merasa gamang. Ruang sempit tempat dia berada sekarang membuat degup jantung sendiri terdengar kentara di telinga. Sama sekali tidak membantu meredakan kegugupan.

Sangat banyak orang berpenampilan jauh lebih menarik daripada dirinya, dan itu baru berdasar pada orang-orang yang dia lihat di lantai dasar tadi. Lebih cantik, tubuh lebih proporsional, pakaian bermerek, serta mereka semua terlihat seperti orang-orang cerdas. Belum lagi beberapa karyawan asing yang cukup banyak berlewatan. Hanna jarang berbahasa Inggris meski nilai-nilainya bagus dan kemampuannya tidak terlalu buruk, tetapi di perusahaan seperti ini pasti dibutuhkan lebih daripada sekadar percakapan sehari-hari antara teman dan keluarga.

Sesampainya di lantai dua puluh lima, lift berdentang dan pintu perlahan terbuka. Hanna menahan napas sesaat.

Dia disambut oleh atmosfer yang berubah drastis : di lantai bawah tadi terkesan agak riuh dan sarat kesibukan, orang-orang berlewatan, suara tapak sepatu, serta percakapan samar. Di sini Hanna seolah menyelam di dalam air. Hening. Hanya bertemankan suara pendingin ruangan dan aroma citrus.

Di depannya, Hanna disambut dinding dengan tulisan timbul ‘GoldenCloud’ berwarna emas dan penunjuk arah.

Toilet dan ruang pertemuan di arah kanan, lalu ruang tunggu, kantor CEO, dan taman di arah kiri.

Mengikuti penunjuk arah, Hanna mengambil jalan ke kiri menuju ruang tunggu. Di sana dia melihat sebuah meja panjang dan seorang pegawai wanita yang menyambut dengan seulas senyum.

“Nona Min Hanna?”

Hanna menundukkan kepala sedikit. “Halo. Senang bertemu denganmu.”

“Silakan tunggu di sini sebentar. Saya akan panggilkan Tuan Park.”

Netra cokelat Hanna mengikuti ke mana si pegawai melangkah. Dia baru menyadari ada pintu kaca besar menuju bagian luar. Seperti beranda, kurang lebih sepuluh meter dari titik Hanna berdiri. Hanna berspekulasi mungkin itu adalah tempat yang dimaksud ‘Taman’ di penunjuk arah tadi. Wanita yang Hanna tebak seumuran dengannya itu menghilang dari pandangan setelah sampai di luar lalu berbelok ke arah kiri.

Hanna menunggu barangkali hanya semenit, sebelum tertangkap olehnya sesosok pria bertubuh ramping serta rambut hitam tebal berjalan ke pintu kaca. Atensi Hanna direnggut sepenuhnya dan dia seolah ditarik ke dimensi lain.

Caranya membuka pintu saja terlihat sangat elegan.

Caranya berjalan, tatapannya lurus pada Hanna yang kini mendadak beku dan kosong. Tangan si pria lalu naik menyisir surai yang hitam legam membuat kening porselennya terekspos sesaat. Hanna tidak tahu apakah ini hanya imajinasi atau tubuh yang dibalut celana kain hitam dan kemeja biru itu benar-benar memancarkan cahaya.

Dilihat secara langsung, Park Jimin mengingatkan Hanna pada pangeran dari kartun putri duyung berambut merah kesukaannya. Saat Jimin tersenyum, Hanna lupa tujuannya datang ke sana selama beberapa saat.

“Halo, selamat datang. Kau pasti Min Hanna, kan? Aku Park Jimin.”

Continue Reading

You'll Also Like

5.3K 731 17
This book for Jeno and Siyeon side. I just don't like a rain, not hate it ㅡ Jeno Then why your hand always trembling when a rainy days? ㅡ her ✓ NCT's...
187K 15.1K 14
[Telah Terbit] Angkasa Bagaspati, dosen Perancangan Mesin sekaligus Teknisi Pesawat Terbang itu masih terjebak dalam kilasan masa lalunya yang dia a...
19.3K 2.1K 26
Murid berandalan sekolah sepertinya tidak akan punah. Sequel dari BASTARD
69.4K 6.3K 49
Sebuah cerita Alternate Universe dari tokoh jebolan idol yang banyak di shipper-kan.. Salma-Rony Bercerita mengenai sebuah kasus masa lalu yang diker...