FATAMORGANA

By bloominbomnal

127K 15.9K 901

Jangan jadikan janji kita hanya sebatas fatamorgana __________________________________ Inspirated by BTS ©Haz... More

Kim Seokjin
Min Yoongi
Kim Namjoon
Jung Hoseok
Park Jimin
Kim Taehyung
Jeon Jungkook
[1] Langkah Awal
[2] Memulai Lembar Baru
[3] Keluarga Kedua
[4] Tumbang
[5] Lagu Tentang Hujan
[6] Maaf, Bu
[7] Pesan Terakhir
[8] Terlahir kembali
[9] Dibalik sebuah akting
[10] Mimpi yang terwujud
[11] Sebuah kalung
[12] Tumbang (2)
[13] Munculnya Prasangka
[14] Terungkap
[15] Semuanya (tidak) baik-baik saja
[16] Kehidupan lain seorang idol (bagian 1)
[17] Kehidupan lain seorang idol (bagian 2)
[18] Apa yang harus kulakukan?
[19] Kecewa
[21] Lantas, kenapa kau pergi?
[22] Dimana kau?
[23] Hoseok dan Masa Lalunya
[24] Satu-satunya yang dipercaya
[25] Min Yoongi kami
[26] Perpisahan
[Final Chap]
2 5 3 1

[20] Jujur

2.2K 348 43
By bloominbomnal


Brak!

Suara gebrakan pintu terdengar, disusul masuknya dua orang lelaki yang memegangi erat lengan seseorang lagi di tengah mereka. Lelaki yang berada di tengah berjalan terseret, terus dipaksa untuk ikut kemana dua orang itu membawanya.

"Lepas, kumohon," pintanya.

"Kau harus dihukum, Tae,"

"Hyeong, telah membuat reputasi kita jatuh. Hyeong, pantas mendapatkannya."

"Tidak, Jimin, Jungkook—lepas, aku minta maaf,"

Taehyung—lelaki yang tengah dicengkram erat oleh Jimin dan Jungkook itu kemudian dipojokkan di counter dapur, dengan terus meronta ia mencoba melepaskan diri. Kemudian, Hoseok, Namjoon, Yoongi dan Seokjin datang. Taehyung yang melihat keempat hyeongnya datang semakin meronta.

"Hyeong—tolong, maafkan aku."

Namun, Seokjin dan Yoongi hanya menatap di balik meja makan, Namjoon bersandar di dinding sebelah Hoseok, dan lelaki yang menjabat sebagai rapper dan lead dance itu berdiri lurus di hadapan Taehyung. Di tangan kanannya membawa panah dart, dengan wajahnya yang datar.

"Semua tidak akan seperti ini jika bukan karenamu. Rupanya, sedari awal kedatanganmu di Bangtan hanyalah perusak, sengaja sekali menyembunyikan fakta tentang orangtuamu, membohongi kami semua. Lalu, kau pergi seolah pengecut, ah tidak, kau memang pengecut." Itu Hoseok yang mengatakan, dengan tangan yang membawa panah dart itu diangkat. "Kau pantas menerima balasannya."

Taehyung membelalak kala Hoseok mulai membidik wajahnya. Itu panah dart, memang, tapi bukankah diujungnya ada besi runcing yang bisa saja menembus kulitnya?

"Tidak! Kumohon, Hoseok hyeong! Namjoon hyeong, tolong aku! Aku minta maaf! Tidak—jangan! Aku minta ma—"

Terlambat.

Panah itu sudah dilesatkan Hoseok, dan Taehyung sontak memejamkan mata, siap-tidak-siap ia harus menerima rasa sakitnya.

Dan...

"Taehyung!" suara itu seolah menariknya dari mimpi buruk di siang hari. Taehyung membuka mata, dan ia masih duduk di dalam mobil, dengan seatbelt terpasang, dan Namjoon yang tengah menatapnya cemas.

Syukurlah, hanya mimpi.

"Kau baik-baik saja?" tanya Namjoon, memastikan Taehyung benar-benar sadar karena lelaki itu tampaknya terbangun karena suaranya. "Kau berkeringat, apa kau baik—"

"Aku baik." Taehyung memperbaiki posisi duduknya, ia menatap ke sekitar luar mobil, rupanya mereka sudah berhenti di parkiran basement.

"Aku akan membawamu untuk menghadap Bang PD. Dia sungguh mengkhawatirkanmu."

"Baiklah."

Taehyung hanya terus menunduk menatap lantai yang dipijaknya. Setiap langkah yang ia lalui, para staff banyak yang menyambutnya datang, ada pula yang bertanya, tapi dengan cepat Namjoon mengatakan bahwa Taehyung sedang tidak sehat. Lagi-lagi, ia hanya bisa diam seperti pengecut, berjalan di belakang Namjoon yang seolah adalah pelindungnya.

Namun, ia tidak bisa terus bersembunyi begitu saja, sebab Namjoon kemudian duduk di depan pintu ruangan bertuliskan BANG SI HYUK, menyuruhnya untuk masuk seorang diri dan menghadapi apapun yang terjadi.

"Katakan yang sebenarnya, Taehyung-ah," begitu kata Namjoon sebelum ia mengetuk dan masuk ke ruangan itu.

Bang Sihyuk, pria tambun itu tampak sibuk dengan laptop di mejanya, ia langsung saja terkejut melihat salah satu anak didiknya itu—yang selama ini sedang ia cari-cari—datang, tapi dengan wajah lusuh dengan memar di bibir kanannya.

"Oh, astaga, Kim Taehyung, kau tau seberapa besarnya aku khawatir? Dari mana saja kau? Apa yang kau pikirkan sampai tak memberi kabar sama sekali, bahkan mematikan handphonemu. Ada apa sebenarnya? Kenapa kau berkelahi, di depan rumah tahanan?"

Taehyung menghembuskan napasnya, pertanyaan yang bertubi itu, ia harus bersiap untuk menjelaskan sejujurnya—seperti yang Namjoon suruh. "Saat itu... saya sedang menjemput seseorang."

"Menjemput? Siapa?"

"Ibuku."


~~~


Sebelumnya, Namjoon sudah memberitahu Seokjin jika ia sudah berhasil membawa Taehyung kembali. Ia juga berpesan untuk semua member, agar jangan menanyakan macam-macam pada Taehyung dan biarkan dia mempersiapkan diri. Jadi, saat ia membuka pintu dorm, semuanya sudah menunggu di ruang tamu. Menatap Taehyung yang sama sekali tak memandang kelimanya, hanya terus menurunkan pandangannya ke lantai, dan berjalan melewati ruang tamu seolah tak ada siapapun di sana.

"Tae—"

Seokjin menahan tangan Jimin yang hendak berdiri. Sahabatnya itu menatap sendu punggung kurus yang hilang di balik kamar Namjoon.

"Dia butuh waktu, Jim." Titah Seokjin menenangkan. "Sebenarnya apa yang terjadi, Namjoon-ah?"

"Hahh..." Namjoon mengambil duduk di sebelah Jungkook. "Dia mengalami hari yang berat. Aku tidak tau—maksudku, bukan hakku untuk mengatakan apa yang terjadi. Tapi, percayalah, dia butuh waktu, dan aku harap kalian juga bersiap untuk menerima penjelasannya. Sebab, aku tidak siap saat aku tau itu."

"Lalu, apa yang harus kita lakukan selama menunggunya bicara?"

"Bersikaplah... seperti biasa, walaupun aku sendiri tidak tau apakah aku bisa. Aku hanya... astaga, aku terlalu terkejut dengan kenyataan yang kuterima."

"Apakah lebih baik hyeong mengatakannya sekarang—"

"Tidak! Jangan sekarang, Jim. Aku tidak... aku tidak berhak, dan aku juga tidak mau, terlalu menyakitkan."

Namjoon hanya terus menghembuskan napas, membuat lainnya malah semakin penasaran. Ingin sekali bertanya, tapi melihat Namjoon sendiri tampaknya terpukul dengan apa yang ia ketahui.

"Emm... Seokjin hyeong dan Yoongi hyeong, apakah aku boleh tidur di kamar kalian malam ini?"

"Apa kau yakin membiarkan Taehyung sendirian? Bagaimana jika ia kabur lagi?"

"Tapi—"

"Aku saja, hyeong," Jimin menawarkan dirinya.

Semuanya menatap pada Jimin, menimang sebentar. Mereka tau sekali jika Jimin adalah member terdekat dengan Taehyung, tapi, apakah Jimin bisa menghadapinya? Bisakah Jimin tetap menerima Taehyung sebagai sahabatnya setelah nanti ia tahu selama ini Taehyung membohonginya? Membayangkan itu membuat Namjoon menghela napas. Jadi, sang leader mengejar Jimin saat laki-laki itu berjalan menuju kamar Namjoon yang terdapat Taehyung di sana.

"Jim,"

"Iya, Namjoon hyeong?"

"Apapun yang terjadi, apapun yang kau ketahui nanti, kumohon, jangan tinggalkan Taehyung. Kau sahabat terbaiknya,"

Jimin mengangguk, tersenyum menenangkan sembari menepuk bahu Namjoon. "Terima kasih, hyeong, sudah membawanya pulang." Kemudian menekan gagang pintu, menghilang di baliknya.

'Semoga saja tak ada hal yang buruk terjadi.'


~~~


Jimin sudah menunggu selama hampir 10 menit, dan bunyi aliran air di dalam kamar mandi masih belum berhenti, menandakan bahwa lelaki di dalam sana tampaknya betah berdiam. Jadi, Jimin hanya menunggu saja sedari tadi di atas ranjang Namjoon, membaca kertas-kertas yang berhambur di meja nakas—lirik abstrak milik lelaki bergelar leader itu. Pasti berat menjadi seorang pemimpin, pantas saja Namjoon tidur dengan dengkuran keras.

Kemudian, 10 menit lagi berlalu. Jimin heran, suara aliran air itu tampak tenang, seolah tidak beriak, seolah tak ada yang bergerak dalam kubangannya. Jimin berdiri, berjalan pelan ke pintu kamar mandi, mengetuknya.

"Taehyung?"

"..."

"Aku tau kau di dalam sana. Izinkan aku masuk." Lalu ia memutar kenopnya, dan pintu benar-benar tidak terkunci. Matanya dapat menangkap siluet seorang lelaki sedang duduk di dalam bathup, menekuk lututnya yang terendam air, dengan pakaian lengkap.

Hatinya benar-benar teriris melihat sahabat kelewat cerianya itu berubah drastis. Taehyung yang selalu dilihatnya sebagai laki-laki ceria yang tampan, yang senyum kotaknya begitu khas, yang lengkungan matanya membuat indah pesonanya, kini menjadi mendung dan seolah hanya raga saja yang masih bertahan.

Jimin jongkok di sebelah bathup, menatap wajah Taehyung yang menatap air dengan tatapan kosong. "Taehyung-ah,"

"Aku senang kau kembali."

"Aku sama sekali tidak marah padamu karena pergi, karena video itu, karena semuanya. Itu bukan salahmu."

"Taehyung, tidak ada yang menyalahkanmu. Kumohon, jangan merasa bersalah seperti ini."

"Aku di sini, Taehyung-ah, aku akan mendengarkan ceritamu seperti dulu. Katakanlah,"

"Kumohon, setidaknya, bicaralah. Katakan padaku apapun yang ingin kau katakan."

Jimin menghela napas, ia bicara dengan sahabatnya, tapi seolah sedang bermonolog. "Aku di sini, Taehyung-ah, aku akan menunggumu."

"Pergilah." Suara berat nan serak itu akhirnya keluar, sontak membuat Jimin terkejut sekaligus mengernyit heran.

"Tae—"

"Pergilah, Park Jimin. Orang sepertiku tidak pantas dimaafkan. Jangan mengasihaniku,"

"Aku tidak mengasihanimu. Aku ini sahabatmu, Tae, aku tulus mengatakannya. Semua bukan salahmu."

Taehyung terkekeh begitu hambar. "Jangan mengatakan itu. Jelas-jelas semua karena video itu."

"Kau tidak sengaja, Taehyung-ah. Aku tau kau punya alasan mengapa kau berkelahi di sana."

"Aku ini pengecut, Jim. Jangan membela orang sepertiku."

"Sudah kubilang kau ini sahabatku, Kim Taehyung!"

"Lalu, aku ini sahabat macam apa yang membohongi sahabatnya sendiri, hah?"

"Memangnya apa yang kau sembunyikan?"

Taehyung tertawa, jelas bukan tawa bahagia, melainkan tawa yang begitu menyedihkan. "Lihatlah, bahkan wajahmu sudah menampakkan kekecewaan. Kau bahkan belum mengetahui hal apa itu. Sudah kubilang, pergi saja."

"Kim Taehyung," Jimin mengusap wajahnya, menghembuskan napas, berusaha mengatur mimik dan degupnya yang berdetak takut. "Tidak apa kau berbohong. Kau punya alasan untuk itu."

"Bagaimana jika alasannya pun terdengar begitu hina?"

"Apa maksudmu?"

"Orangtuaku... mereka masih hidup, asal kau tahu. Aku membohongi kalian semua. Aku masih memiliki mereka di hidupku. Namun, aku malu dengan keberadaan mereka." Taehyung menyisir rambutnya sembari menarik napas. "Ayahku adalah pecandu alkohol yang sering memukulku, dan ibu adalah mantan narapidana karena melindungi seorang pendosa sepertiku—ah tidak, seperti ayahku lebih tepatnya. Aku, ibu, dan kakak perempuanku, kami adalah pencuri yang licik, dulunya, sebelum kakak pergi, dan sebelum ibu dipenjara. Itu semua, kau sudah mendengarnya."

Jimin terdiam, lututnya bergetar hingga ia jatuh terduduk. Pandangannya perlahan turun pada lantai dingin di kamar mandi. Ia tertohok, bahkan lebih menyakitkan dibanding Namjoon. Air matanya menggenang, lalu jatuh tanpa bisa dikendalikan. Jimin menggeleng, seolah belum mau mempercayainya.

"Tidak mungkin,"

"Bodoh, sebegitu percayakah kalau aku adalah sahabatmu yang baik, Jim? Bahkan kau tak bisa mempercayai saat keburukan itu menjadi bagianku."

"Taehyung—tapi, kenapa? Kenapa kau menutupinya dariku? Dari kita semua?"

"Aku malu dengan diriku, dengan hidupku. Aku merasa tidak pantas berada bersama kalian jika aku masih membawa-bawa hidupku yang dulu. Aku ini idol, Jim, kita ini idol."

"Tapi mereka tetap orangtuamu. Lihatlah Jungkook, Namjoon hyeong, Yoongi hyeong, Seokjin hyeong, dan... Hoseokkie hyeong. Mereka merindukan sosok yang telah hilang, yang telah pergi dari hidup mereka untuk waktu yang lama, atau bahkan selamanya—dan kau, aku tau, kau memendam sakitmu saat tau kenyataan kakakmu pergi, kan?"

Taehyung memejamkan mata, satu air matanya turun, napasnya tertahan seolah ada beban berat baru saja menimpanya. Jimin benar, ia telah menahannya, bagaimana ia berusaha menahan kesedihan saat tau kakaknya sudah tiada, bagaimana ia mencoba tetap menjadi Taehyung si ceria yang tak punya lelah. Kemudian, pikirannya melayang pada wajah kecewa ayahnya, pada wajah kecewa ibunya.

Taehyung mengacaukan semuanya. Apa yang seharusnya dia bawa adalah kebanggaan, bukan kekecewaan. Dalam hidupnya yang berantakan, sang ayah berubah sebab ingin memperbaiki kesalahan-kesalahannya dulu, tapi, Taehyung hadir dan hanya menjadikannya semakin hancur.

Lantas, siapa yang akan memperbaiki benang-benang yang terlanjur kusut?

Jimin terkejut saat Taehyung tiba-tiba terisak. Beban yang disimpannya sendirian itu sudah terlalu berat, dan Taehyung terlalu muak untuk menahannya lagi. Jimin bergerak pelan, menepuk-nepuk halus bahu Taehyung yang basah, terus menemaninya meskipun ia merasa kecewa dengan Taehyung yang memilih menyembunyikan fakta keluarganya.

Kemudian, ia berpikir, apakah nanti membernya yang lain akan menerima pengakuan Taehyung? Bagaimana dengan Jungkook? Yoongi? Seokjin? Dan Hoseok?

Jimin menatap lagi pada Taehyung yang masih terisak. Berpikir apakah lelaki di hadapannya itu mampu mengatakan semuanya? Mampukah melihat lebih banyak lagi wajah kecewa? Mampukah mendengar lebih banyak lagi kata kecewa?

"Taehyung, aku akan mengatakan jika kau mengijinkanku. Aku... akan membantumu mengatakannya pada yang lain. Kau tidak perlu lagi mengatakannya, karena aku tau itu menyakitkan, pun bagi kami."

Di tengah isakannya, Taehyung mengangguk, rupanya ia benar-benar tak dapat lagi menahannya, dan Jimin bersedia untuk mengulurkan tangannya.

.

.

.

.

.

tbc

Continue Reading

You'll Also Like

243K 31.9K 22
[Sudah tersedia di Gramedia] "Jimin, musim dingin berikutnya kita harus bahagia"
121K 10.7K 44
"Manusia itu seperti bulan. Sisi luarnya terkadang membuat kita buta sehingga tidak melihat sisinya yang lain. Sama seperti bulan, kita hanya bisa me...
Home By Selvina

Teen Fiction

102K 10.4K 96
Rumah bukan lagi tempat yang nyaman untuk mereka. Mereka lebih menyukai berada di luar rumah karena itu membuat mereka nyaman. Mereka tidak saling me...
1M 85.3K 30
Mark dan Jeno kakak beradik yang baru saja berusia 8 dan 7 tahun yang hidup di panti asuhan sejak kecil. Di usia yang masih kecil itu mereka berdua m...