Tacenda [Republish]

Door cloudiens

26.7K 3.3K 1.4K

[ON HOLD] (n.) things better left unsaid; matters to be passed over in silence "Not all words should be spoke... Meer

INTRODUCE
00
01
02
03
Leo 1 - Sedikit Terungkap
Raskal 1 - Pertolongan
Adriel 1 - Penasaran
Keanu 1 - Sweater untuk Cashimira
Bara 1 - Tentang Masa
Darel 1 - Luka dan Penyesalan
Adriel 2 - Kupon Burger
Leo 2 - Taman Menteng
Raskal 2 - Tarik Ulur
Keanu 2 - Impian
Bara 2 - Kesederhanaan
Darel 2 - Harapan Tersembunyi
Leo 3 - Khawatir
Bara 3 - Insecure
Adriel 3 - Perbandingan
Raskal 3 - Bimbang
Leo 4 - Tears
Keanu 3 - Tak Terduga
Darel 3 - Sandaran
Intermezzo • Ketika Mereka Berkata...
Adriel 4 - Tempat Berbagi
Keanu 4 - Kehilangan
Raskal 4 - Datang dan Pergi
Leo 5 - Selamat Ulang Tahun, dan Selamat Tinggal
Adriel 5 - Asing yang Segalanya
Darel 4 - Tak Tuntas
Bara 5 - Istirahat atau Selesai?
Intermezzo 2 • Seandainya...
Keanu 5 - Kecewa
Leo 6 - Masih Berarti
Raskal 5 - Sebuah Awal
Adriel 6 - Selalu Ada
Bara 6 - Hampir Kehilangan
The Boys
Darel 5 - Paradox
Leo 7 - Christmast Gift
Keanu 6 - Potongan Luka Masa lalu
Adriel 7 - Perihal Monoton
Raskal 6 - Tak Sejalan

Bara 4 - Kejutan Rindu

506 62 5
Door cloudiens

Bara




Apa sih definisi bahagia menurut kalian?

Apa bahagia itu artinya kalian udah sukses? Udah hidup seneng?

Apa sekedar hidup tenang, gak ada masalah yang bikin pecah kepala udah termasuk dalam definisi bahagia?

Gue pribadi, kalau ditanya pertanyaan kayak gitu, maka yang bisa gue lakuin cuma diem. Kenapa? Karena bahagia itu maknanya terlalu luas buat gue.

Untuk tipe orang yang gak suka ambil pusing terhadap suatu persoalan, gue ngerasa kalau hidup gue ya anteng-anteng aja. Gue ngelakuin apa aja yang gue suka dan berujung membuat gue bahagia. Atau gue melihat senyum kedua orangtua gue lewat video call dan denger suara tawa mereka, gue udah bahagia banget. Atau cuma ngeliat Naina duduk di samping gue, gue udah ngerasa jadi manusia yang paling bahagia.

Kalau kata nyokap, bahagia itu gak terdefinisi. Karena saat lo ngerasa bener-bener bahagia, gak ada satupun kata yang bisa keluar dari mulut lo untuk mendefinisikan gimana perasaan lo saat itu. Yang lo tau ya lo bahagia, lo seneng, udah itu aja.

Tapi makin ke sini gue makin menyadari satu hal.

Kalau bahagia itu sifatnya kasat mata.

Apa orang yang tertawa setiap hari, setiap saat, dia udah bener-bener bahagia?

Atau orang yang mukanya selalu kelihatan murung, tandanya dia gak bahagia?

Gak ada yang tau.

Gak ada yang tau kecuali diri mereka sendiri.

Waktu gue SMA, gue punya temen sekelas yang tiap hari kerjaanya ketawa ngakak, Risa namanya. Semua hal kayaknya kelihatan lucu buat dia, dan tawanya juga berhasil mengundang tawa temen-temen gue yang lain. Dia cantik, aktif organisasi, pinter, jago bahasa Mandarin pula, udah jelas pasti temennya banyak dan yang naksir dia ada di mana-mana.

Tapi suatu ketika dia gak masuk sekolah selama seminggu penuh dan tanpa keterangan. Gak ada yang tau dia kenapa. Temen-temen sekelas gue pun udah mencoba dateng ke rumahnya namun mereka gak dapet apa-apa. Rumah nya sepi, bahkan satpam pun gak ada.

Jangan tanya kenapa cuma temen-temen gue aja yang ke sana, sedangkan gue gak ikut, karena jawabannya jelas gue lebih memilih main Ayo Dance di rumah sampe budek.

Gak, bukan berarti gue gak peduli sama temen gue sendiri. Gue cuma gak mau aja menganggu urusan pribadi orang. Karena jujur, gue sendiri orangnya gak suka diusik walaupun gue gak pernah nunjukkin rasa kegaksukaan itu. Dan bertamu ke rumah orang dengan jumlah massa yang cukup banyak menurut gue udah masuk ke dalam konteks mengusik.

"Tau gak? Masa kemarin gue sama anak-anak ke rumah Risa gak ada orang sama sekali, njir. Rumahnya sepi banget buset kaya kuburan Tanah Kusir."

Anton, temen gue yang hobinya bawa ukukele ke sekolah tiap hari itu tiba-tiba aja udah duduk di depan gue yang lagi asik nyalin PR Kimia.

Gue mengangkat kepala buat ngeliat mukanya yang kalau kata Naina sebalas-dua belas sama Ridho Roma.

"Lagi pada mudik mungkin?" jawab gue asal.

"Ya kali dah? Lusa udah mau UAS masa mudik?"

Iya juga ya. Lagian kalau dipikir-pikir, lebaran juga masih lama.

"Ya siapa tau ada sodaranya yang sakit atau bahkan meninggal gitu? Udah lah biarin aja. Daripada ngurusin orang mending lo cukur rambut dah sana! Mau lo dibotakin Bu Isma?"

Gue mencoba untuk mengalihkan topik walaupun sebenernya gue juga penasaran kemana Risa selama seminggu ini sampe gak masuk sekolah. Gue lumayan deket sama dia, satu kelas, sekelompok juga jadi sering apa-apa bareng. Bahkan Naina sempet cemburu sama dia gara-gara katanya gue lebih sering ngabisin waktu sama Risa padahal itu juga karena kerja kelompok.

Anton yang semula duduk di hadapan gue langsung pindah jadi duduk di sebelah gue karena tiba-tiba aja wali kelas gue masuk. Suasana langsung hening, gue juga langsung berhenti nyalin PR padahal tinggal satu nomer lagi.  Wali kelas gue ini orangnya ribet, apa-apa dibikin masalah, kerjaannya ngomel mulu, cobaan banget udah.

Tapi waktu itu mukanya gak terlihat senyeremin biasanya, malah kelihatan... Sedih.

"Selamat pagi anak-anak."

Dan seperti anak sekolah biasanya, temen-temen sekelas gue langsung menyerukan kata pagi seraya serentak tapi ekspresi mukanya beraneka ragam. Ada yang ceria, datar, ngantuk, bahkan muak.

"Pagi ini saya membawa kabar duka bagi kita semua."

Dan kelas langsung riuh dengan suara bisik-bisik. Gue memilih untuk tetap tenang, sedangkan Anton udah nyikut-nyikut gue dari tadi.

Sekitar lima menit Bu Yuni-wali kelas gue- terdiam sambil menundukkan kepala. Gak lama dari itu dia terlihat mengusap matanya menggunakan tissue, dan seisi kelas semakin dibuat bingung.

Sepuluh menit beliau belum juga bersuara. Di saat temen-temen gue ribut protes karena digantungin, gue justru sibuk menebak-nebak.

Dan gue berharap kalau tebakan gue salah.

"Adrisa Meylanie, dikabarkan meninggal karena overdosis obat tidur."

Dan sialnya tebakan gue benar.

Seisi kelas semakin riuh. Bahkan Natasya, temen sebangku Risa udah nangis kenceng di bangkunya. Isakan tangis lainnya disusul oleh temen-temen cewek gue yang lain, kalau gak karena gengsi yang tinggi mungkin temen cowok gue juga udah pada nangis, tapi yang mereka lakuin cuma diem. Diem seolah-olah sedang mencoba memahami kalimat yang keluar dari mulut Bu Yuni. Diam karena mereka masih gak percaya dengan semua itu.

Mereka gak percaya.

Sedangkan gue mencoba untuk percaya.

Bukan sekali dua kali gue memergoki Risa meminum obat tidur. Ketika gue tanya kenapa dia mengonsumsi obat itu terus menerus, dia cuma jawab,

"Biar bisa tidur. Rumah gue kalau malem berisik, Bar. Susah tidur gue jadinya."

Waktu itu gue pengen banget nanya 'Berisik kenapa?' tapi lagi-lagi gue takut bakal ngusik urusan pribadinya dan akhirnya gue memilih untuk diam.

Diam sambil terus mengamati.

Dan pengamatan gue akhirnya terhenti karena objek yang diamati udah lebih dulu pergi.

Kabarnya, orangtua Risa pisah. Mamanya selingkuh dan pergi sama selingkuhannya. Sebelum pergi, orangtua Risa ngabisin waktu mereka dengan bertengkar setiap malam. Bertengkar sampai mereka gak tau kalau anak semata wayangnya kesulitan untuk tidur di dalam kamarnya.

Jadi itu berisik yang Risa maksud saat menjawab pertanyaan gue.

Miris. Orang yang kelihatannya hidup bahagia, punya segalanya, bisa dapetin apapun yang dia mau, kenyataanya adalah orang yang diam-diam menanggung beban hidupnya sendirian. Dia punya banyak temen, tapi gak ada seorang pun yang dia jadiin sebagai tempat berbagi. Bukan karena sombong, tapi mungkin karena dia gak mau orang lain jadi ikut susah karena masalahnya.

Semenjak saat itu, gue gak mau asal menjudge orang.

Karena orang yang tertawa setiap saat bisa aja dia adalah orang yang sedang dilanda rasa kecewa.

Kecewa sama dirinya sendiri.

Kecewa sama keadaan.

Dan dia menutupi semua itu dengan topeng kebahagiaan.

Karena itu juga gue sering banget nanya pertanyaan yang sama ke Naina, sampai dia bosen dan berujung marah-marah sama gue.

"Kamu bahagia gak sama aku?"

"Aduh Bara.... Pertanyaan kamu tuh penting banget apa?"

"Penting," dan gue yang biasanya cengengesan terus, setiap bertanya hal demikian mencoba untuk seserius mungkin.

Karena gue gak mau Naina pura-pura bahagia. Gue takut kalau sebenernya dia gak bahagia sama gue.

"Ya kalau aku gak bahagia ngapain aku masih sama kamu selama enam tahun ini?"

Bener. Ngapain dia bertahan selama enam tahun ini kalau dia gak bahagia? Kenapa gak nyoba untuk nyari kebahagiaannya?

Sebenernya udah jelas, cuma emang gue yang terlalu takut.

Karena pura-pura bahagia itu capek. Lo dipaksa untuk terus terlihat bahagia di saat sebenernya lo pengen banget nangis sejadi-jadinya, nyerah sama keadaan. Lo terpaksa berlakon terlihat bahagia sebagai upaya pertahanan diri.

Dan gue gak mau Naina kayak gitu.

Udah seminggu Naina di Seoul, dan isi chat gue sama dia gak jauh-jauh dari nanya udah makan apa belum, lagi ngapain, nyuruh tidur, dan hal-hal sepele lainnya. Datar. Persis kayak chatan anak SMP yang baru pacaran. Teleponan pun gak pernah lama, paling gak lebih dari lima belas menit. Gue ngerti kok mungkin dia sibuk sama kerjaannya.

Tapi gue gak bisa ngebohongin diri gue sendiri kalau gue kangen banget sama dia.

Udah hampir jam dua belas malem, biasanya jam-jam segini gue lagi face time sama Naina atau sekedar teleponan sampe salah satu dari kita ada yang tidur duluan. Tapi sekarang yang gue lakuin cuma baca komik sambil tidur-tiduran di sofa ruang tamu sendirian.

Cuma baca. Gak menikmati.

Karena kepala gue sibuk mikirin perempuan kesayangan gue yang jauh di sana.

"Woi! Kiko gue yang di kulkas lo makan ya?"

Emang ya cobaan orang galau tuh banyak banget. Dengan kurang ajarnya manusia berwajah malaikat tapi berkelakuan iblis yang digandrungi para wanita, Adriel Alvredo, memukul bokong gue pakai raket nyamuk yang untungnya gak nyala.

"Aduh sakit, nyet!"

"Bodo amat! Siapa suruh makan Kiko gue?!"

Gue yang semula tengkurap di atas sofa langsung mengubah posisi menjadi duduk. Tangan gue bergerak untuk meraih bantal sofa kemudian melempar benda tersebut tepat ke muka Adriel.

"Heh! Perlu gue ingetin gak seberapa tebelnya dompet lo itu? Masa iya gak mampu beli Kiko yang cuma gope?"

"Pala lo gope! Seribu!" dengan santainya dia nempeleng kepala gue. Gue sih maklumin aja lah namanya juga Adriel, bukan dia kalau gak kurang ajar.

"Ya elah seribu doang!"

"Seribu kali lima goceng! Lagian sinting apa lo makan Kiko sekaligus lima? Beku dah tuh perut."

Gue cuma bisa diem. Iya sih, emang gue nya aja yang lagi aneh banget. Gue itu gak bisa minum atau makan yang dingin-dingin terlalu sering gitu karena gigi gue sensitif. Terus juga gue gak begitu suka sesuatu yang manis, meskipun pada akhirnya gue tetap nemenin Naina buat berburu makanan manis setiap dia free.

Tapi hari ini, hampir semua makanan yang masuk ke perut gue adalah makanan atau minuman yang manis dan dingin.

Karena gue pikir, dengan begitu gue bisa ngerasa kalau Naina ada di sini, di deket gue.

Naina dan makanan atau minuman manis itu gak bisa dipisahin.

Naina juga gak bisa hidup tanpa minum minuman dingin.

Gue kangen dia. Banget.

Gak pernah sekangen ini sebelumnya.

Dan gue pun gak pernah sepengecut ini buat bilang apa yang gue rasain.

"Gue liat snapgramnya Naina dia lagi makan gitu di Subway. Bukannya seharusnya dia balik hari ini?"

Adriel udah duduk di samping gue sambil makan kentang goreng yang dia bawa dari dapur. Gue gak langsung menjawab karena gue terlalu kecewa dengan keputusan Naina buat nambah satu hari lagi di sana. Katanya dia mau liburan. Katanya dia mau melepas penat.

Padahal biasanya kalau dia capek dia bakalan datengin gue. Luapin semua rasa capeknya, dan berujung gue yang akan memeluknya erat.

Sekarang boro-boro minta peluk, video call aja jarang diangkat.

Rasanya tuh gue mau ngamuk-ngamuk aja. Kalau gue bisa sebodoamat Leo, yang dengan santainya banting-banting barang buat ngeluapin kekesalannya, atau setenang Keanu, yang lebih memilih bungkam daripada nunjukin kalau dia emosi.

Gue gak bisa.

Gue gak bisa ngamuk-ngamuk. Tapi di satu sisi gue juga gak bisa diem aja, berlagak seolah-olah gak ada yang gue rasain.

Gue gelisah.

Gue khawatir.

"Yehh ngomong sama candi!"

Gue menggeleng samar kemudian mengangkat kedua bahu gue acuh.

"Gak tau, katanya nambah sehari lagi di sana," kata gue sambil menekan-nekan tombol remote TV untuk mencari tayangan yang siapa tau bisa menghibur.

"Kenapa? Biasanya paling gece dia kalau urusan balik."

Pengen banget gue teriak di depan muka Adriel dengan kalimat kayak gini,

DIA MAU LIBURAN NYET. LIBURAN. LIBUR DARI SEGALA KEABSURDAN GUE.

Tapi tentunya otak gue masih berfungsi dengan baik, jadi gue cuma jawab,

"Biarin deh, mungkin dia mau refreshing dulu."

Hahaha, dasar Bara goblok.

Sok-sokan nyoba menghibur diri sendiri padahal gak guna sama sekali.

Adriel cuma ngangguk-ngangguk sambil mengunyah kentang gorengnya. Sedangkan gue lagi-lagi tenggelam dalam pikiran-pikiran negatif yang bercokol di kepala gue. Pikiran-pikiran negatif yang membuat gue rasanya hampir gila.

"Bar?"

"Hm," jawab gue yang masih belum mengalihkan pandangan dari layar TV, padahal nonton aja enggak.

Ada jeda beberapa detik sebelum akhirnya seorang Adriel Alvredo melontarkan pertanyaan yang sukses membuat gue tercengang.

"Menurut lo, rasa bosen bakal berujung perpisahan gak?"

Kalau sekarang gue lagi makan atau minum, mungkin gue udah batuk-batuk karena keselek kali. Gila, apa-apaan sih nih orang nanya pertanyaan kayak gitu di waktu yang gak pas gini.

Di saat gue lagi benci banget sama kata bosen.

Karena kata itu memenuhi kepala gue akhir-akhir ini.

"Kenapa nanya gitu? Lo bosen sama Clara?"

Adriel cuma tertawa kecil. Tawa yang terdengar miris di telinga gue.

"Dia yang bosen sama gue kayaknya."

Dan seketika gue dibuat termangu.

Gue mencoba untuk tetap terlihat biasa aja, meskipun sebenernya gue pengen banget bilang ke dia kalau apa yang dia rasain persis kayak apa yang lagi gue rasain sekarang.

Pesimis.

Takut.

Takut sama sesuatu yang belum tentu terjadi.

"Lo pernah gak sih ngerasa bosen sama Naina?"

Enggak. Gak pernah sama sekali.

"Terus kalau lo lagi ngerasa bosen gitu, pernah gak terlintas dipikiran lo buat akhirin hubungan gitu aja?"

Kepikiran buat jauh dari dia aja gue gak mau, apalagi pisah.

Tapi itu gue.

Gue gak tau deh apa yang ada dipikiran Naina sekarang.

Gue hendak menjawab pertanyaan Adriel namun ponsel yang gue letakkan di atas meja tiba-tiba bergetar, gue pun meraihnya untuk memeriksa.

Dada gue menghangat begitu melihat foto siapa yang gue jadiin sebagai wallpaper lockscreen.

Dia.

Yang udah nemenin gue selama enam tahun ini.

Yang senyumnya terus jadi favorit gue sampai saat ini.

Yang tawanya selalu menjadi alarm penyemangat gue.

Dia.

Naina Syarmila.

Setelah merasa cukup puas memandang fotonya, tatapan gue pun beralih pada pop up chat yang memampangkan sederatan kalimat.

Ah enggak. Cuma ada dua kata. Terlalu sederhana untuk disebut kalimat.

Dan gue berani bersumpah gue nyaris aja teriak saat melihat siapa pengirimnya.

Naina: Aku kangen.

Rasanya gue pengen teriak yang kenceng biar semua tau, biar semesta tau kalau gue gak nahan kangen sendirian.

GUE GAK NAHAN KANGEN SENDIRIAN NYET! NAINA JUGA KANGEN SAMA GUE!

"Kenapa lo senyum-senyum sendiri gitu? Obat lo abis?"

Gue gak menggubris pertanyaan Adriel. Bodo amat. Mau dibilang SGM kek gue gak peduli. Intinya gue seneeeeeeng banget!

Oh iya buat kalian yang gak tau apa itu SGM, gue kasih tau. SGM yang gue maksud bukan susu formula anak bayi, tapi akronim dari Sinting Gila Miring. Ya sejenis itu lah.

Gue langsung bangkit dari sofa dan mendial nomer yang udah gue hafal di luar kepala. Melangkahkan kaki menuju teras depan buat teleponan sama kesayangan.

Hehehe.

"Yeuuu, monyet! Orang lagi curhat malah ditinggal teleponan!" Adriel menimpuk gue dengan bola golf punya Darel yang gue gak tau dia dapet darimana dan sialnya kena pantat gue dengan sempurna. Gue mengaduh karena sakit coooooy. Gue berbalik, memungut bola golf tersebut menggunakan tangan kiri gue yang menganggur dan melampar balik bola itu ke arah si anak ayam albino.

"Sirik aja calon jomblo!"

Dan begitu aja gue meninggalkannya yang sibuk meneriaki gue dengan sumpah serapahnya.

***

Naina


Hari ini sejujurnya gue gak pergi kemana-mana. Gue hanya berdiam diri di kamar hotel, berbaring santai di atas kasur tanpa berniat beranjak sedikit pun. Gue hanya pergi makan siang sebentar bareng Reon karena merasa gak enak kalau nolak. Iya, Reon juga nunda jadwal kepulangannya karena katanya dia pengen liburan sehari juga di sini.

Setelah makan siang gue langsung balik ke hotel karena gue bener-bener gak punya minat buat kemana-mana. Gue bahkan menolak tawaran asisten pribadi gue untuk memanjakan diri dengan memburu berbagai macam tas, sepatu dan barang branded lainnya meskipun sebenernya gue pengen banget tapi gue gak mood buat keluar kamar. Dan juga terpaksa menolak tawaran Reon yang sekedar mengajak jalan-jalan sore.

Jadi, berujunglah dari sore sampai hampir tengah malem gini gue hanya berdiam diri di kamar. Makan aja cuma ngambil snack sisa yang masih ada di dalem tas.

Kalau ada Bara, jelas dia bakal marah-marah sambil bawain berbagai jenis makanan. Entah itu nasi goreng, martabak, pecel lele, taichan, dan masih banyak lagi.

Terlalu lama ngabisin waktu di kamar, membuat gue semakin menyadari satu hal.

Gue kangen Bara.

Sekesel apapun gue sama perubahan sikapnya yang jadi insecure itu, gue tetep kangen dia.

Udah berkali-kali gue melakukan kegiatan ketik-hapus di dalam room chat gue sama dia. Berbagai rentetan kalimat yang menggambarkan rasa kangen gue ke dia, terpaksa harus gue hapus dan tergantikan dengan dua kata yang berhasil terkirim pada pukul 00.00 ini.

Aku kangen.

Tepat di pergantian hari gue menangis di bawah selimut sambil memeluk erat ponsel gue. Erat seolah-olah yang sedang gue peluk sekarang itu Bara.

Gue gak sanggup buat nahan semuanya lagi. Gue bener-bener kangen sama semua hal-hal kecil yang dulu biasa gue dan Bara lakuin dan jarang banget terealisasikan akhir-akhir ini.

Gue gak tau apa peyebabnya.

Dan gue gak tau apakah hanya gue yang merasa kalau semua kebiasaan itu perlahan memudar.

Tangisan gue terhenti saat mendengar ponsel gue berdering. Gue menjauhkan benda elektronik itu untuk melihat siapa yang menelepon gue pada tengah malam begini.

Dan begitu melihat nama si penelepon, rasanya gue mau nangis lebih kenceng lagi. Tapi kenyataannya yang gue lakukan adalah menghapus semua jejak air mata yang memenuhi wajah gue dan mengatur nafas setenang mungkin supaya dia yang ada di seberang sana gak tau kalau gue baru aja nangis karena nahan kangen sama dia.

"Halo," gue berucap pelan setelah menempelkan ponsel pada telinga kanan gue. Belum ada jawaban. Yang bisa gue dengar cuma suara helaan nafas halus dari seberang sana.

Sial, kenapa jantung gue jadi mendadak berdetak gak karuan gini?

"Bar-"

"Kenapa belom tidur?"

Dan seketika gue dibuat diam seribu bahasa.

Apa yang harus gue jawab?

Apa yang harus gue jawab di saat alasan gue gak bisa mejamin mata karena gue terus mikirin dia sampai rasanya kepala gue pusing sendiri.

Atau lebih jelasnya, karena gue sekangen itu sama dia.

Dan gue gak tau kenapa sekarang rasanya berat banget buat sekedar ngungkapin itu.

"Naina?"

"Aku kebangun," respon gue terbilang terlalu cepat. Bahkan gue sendiri kaget bisa merespon secepat itu.

"Ohh..."

Ada sebersit rasa kecewa setalah mendengar cuma 'ohh' yang keluar dari mulutnya. Seolah-olah dia percaya sama jawaban bohong yang gue ucapin.

"Tidur, Nai."

Dada gue sesak. Terlalu penuh dan harus segera diluapkan. Tapi gue sama sekali gak punya keberanian untuk menyampaikan apa yang terpendam selama ini walau cuma sedikit aja.

Gue gak mau bikin dia khawatir.

Gue gak mau dia tambah merasa gak berguna.

Gue gak mau dia terus merasa insecure.

"Iya, kamu juga ya."

Di seberang sana dia cuma berdehem pelan. Sadar kalau obrolan gue dan dia di telepon atau pun chat semakin lama semakin kaku, rasanya.... sedih banget. Entah apa yang salah di sini, yang jelas gue benci keadaan yang kayak gini.

"Bara... Aku-"

"Aku juga kangen kamu, Nai."

Dan setelah rentetan kalimat itu masuk ke indera pendengaran gue, gue bisa merasakan ada cairan bening yang mengalir di pipi gue begitu aja. Gue berusaha menahan diri supaya gak mengeluarkan suara tangisan apapun dengan menggigit bibir bawah gue kuat-kuat.

"Istirahat ya, besok aku jemput di airport."

Sederhana. Gak ada tambahan kata-kata manis seperti yang sering cowok lain ucapin ke cewek mereka. Tapi tanpa kata-kata manis sekalipun, seorang Baraputra Rajendra tetap berhasil membuat gue merasa bahagia.

"Hm..."

"Ya udah aku tutup ya?"

Jangan.

Kata itu cuma bertahan sampai di ujung lidah gue karena gue terlalu takut untuk mengungkapkannya. Padahal kenyataannya yang gue mau saat ini adalah terlelap dengan mendengar suaranya meski cuma lewat telepon. Gue mau dia bercerita panjang lebar tentang gimana hari-harinya, apa ada hal yang buat dia sebel, gimana nilai kuisnya?

Namun gue harus menelan kenyataan pahit karena Bara udah memutuskan panggilan teleponnya terlebih dahulu.

Gue menghela nafas panjang, memeluk erat-erat bantal guling dan menenggelamkan wajah gue di sana.

Dan malam itu, air mata gue tumpah tanpa bisa gue tahan lagi.

***

Bara

"Gak bisa pokoknya hari ini jadwal lo beresin kamar!"

"Aduh ngapain sih diberesin segala? Nanti juga berantakan lagi tuh kamar gara-gara dipake tempur sama lo!"

"Heh sembarangan! Gue udah gak pernah ya tempur di kamar lagi!"

"Ya bodo amat deh! Yang penting minggir deh lo, gue udah telat banget nih mau jemput kesayangan!"

"Najis!"

Emang ya orang yang namanya Alchandra Leonardy ini tingkat tahu dirinya rendah banget. Udah tau gue mau jemput Naina sekarang, eh dengan kurang ajarnya dia berdiri di depan pintu menghalangi gue untuk keluar hanya karena sekarang adalah jadwal gue beresin kamar. Padahal mah nanti juga bakal berantakan lagi.

"Bar please... Gue mau ke kossannya Kayla sekarang. Nanti Darel ngamuk kalau kamarnya berantakan gini."

Yeuu si monyet, yang bikin berantakan siapa yang beresin siapa.

"Makanya kalau marah-marah tuh gak usah pake banting-banting barang!"

Dengan berat hati, akhirnya gue memunguti barang-barang yang berserakan di lantai. Merapihkan kasur dan menyemprotkan kamar dengan pewangi ruangan. Leo cuma cengar-cengir kayak gak punya dosa saat gue selesai membereskan kamar yang semula mirip kapal pecah.

Pengen gue tarik aja kupingnya biar tambah lebar.

"Baik deh lo, hehehe."

"Tai."

Leo cuma ketawa-ketawa sambil memakai jaketnya. Gue heran deh sama ini manusia satu. Kemarin bilang udah gak mau berharap sama Kayla lagi. Bilangnya mau ikhlasin dia sama yang lain demi kebahagiaannya. Bilangnya mau mulai jaga jarak supaya bisa hapus perasaan. Tapi kenyataannya malah masih aja ngebucin.

Bukannya gue gak mendukung sahabat gue, tapi gue tuh justru kasihan sama dia. Kalau emang perasaannya gak bisa berubah, gak bisa hilang, ya udah ungkapin. Walaupun nanti ujungnya Kayla sama yang lain, seenggaknya dia udah tau kalau ada seseorang yang menyayangi dia selama bertahun-tahun secara diam-diam.

"Udah ah gue mau ke airport nanti Naina nunggu lama lagi. Jangan lupa ke loundry, gue udah gerah liat tumpukkan baju kotor lo itu."

Leo tuh emang manusia yang gak ada bersyukurnya. Udah dikasih kaki panjang, mobil keren, buat sekedar jalan ke tukang loundry aja males banget. Baju kotornya numpuk di keranjang pakaian dan mungkin kalo dibiarin makin lama lagi udah jadi sarang kecoak kali. Setiap diingetin alasannya lupa mulu. Kalau beli karet aneka rasa setiap dia mampir ke Indomaret aja gak lupa.

"Iye, iye. Makin lama makin bawel kayak Darel lo."

Gue gak menggubrisnya. Gue memilih untuk segera keluar kamar dan melangkah menuju garasi. Hari ini gue gak bawa Milky, dia lagi disewa Adriel seharian ini. Gak tau deh tumben-tumbenan tuh anak mau naik motor, biasanya ngeluh mulu karena gak tahan pegel. Karena Milky dipakai Adriel, alhasil mobil dia jadi gue yang pakai. Gak apa-apa sih ada untungnya juga. Mengingat Naina baru landing dan siapa tau kena jet lag, lebih baik emang jemput dia pakai mobil. Gue tau mungkin nanti ada kemungkinan dia akan sedikit kesel, tapi ini kan bukan gue yang minta, Adriel sendiri yang nuker mobilnya sama Milky.

Dan juga gue mana mungkin tega biarin dia duduk di motor sambil mangku belanjaan oleh-olehnya yang berat. Gila kali gue.

Naina emang pergi bareng crew agensinya dan tentunya asisten pribadi dia juga ikut, tapi Naina Syarmila gak suka merepotkan orang lain di saat dia masih bisa ngelakuin sesuatu sendiri. Bawa koper atau barang belanjaan contohnya.

Setelah mobil mulai memasuki jalan raya, gue memutuskan untuk menyalahkan radio. Gue tuh gak suka sepi, serem aja gitu dan bukan gue banget.

Saat gue mengulurkan tangan untuk menekan tombol power radio, ponsel yang gue letakkan di saku celana bergetar. Terpaksa gue harus merogohnya terlebih dahulu dan mengeluarkan benda elektronik itu dari dalam sana.

Mama.

Kening gue kontan berkerut. Tumben-tumbenan mama nelepon jam segini? Biasanya di jam-jam segini dia lagi sibuk nyiram bunga di halaman depan atau ke rumah eyang gue buat bantuin bikin kue-kue kering yang bakal dijualin. Iya, eyang gue emang punya bisnis jualan kue kering gitu.

"Halo, Ma?"

Gak ada sahutan dari seberang sana. Yang bisa gue dengar hanya suara helaan nafas dan suara...

"Bar..."

Isak tangis.

Mama nangis.

Setelah kurang lebih tiga tahun gue gak pernah mendengar suara isak tangis itu lagi. Terakhir kali, saat gue bilang kalau gue mau kuliah di luar kota dan dia gak setuju karena takut gue kenapa-kenapa mengingat gue adalah anak satu-satunya. Namun gue berusaha ngeyakinin kalau gue akan baik-baik aja dan akhirnya di ngasih izin walaupun dengan berat hati.

Dan gue berharap gue gak mendengar suara tangis itu lagi.

Tapi hari ini, pagi ini, gue kembali mendengarnya secara tiba-tiba.

Terlalu tiba-tiba.

Otak gue udah gak bisa berpikir jernih. Berbagai pikiran negatif bergerumul di kepala gue. Gue berusaha untuk tetap fokus menyetir meskipun kenyataannya fokus gue cuma sama perempuan di seberang sana. Perempuan yang udah ngelahirin gue ke dunia ini.

"Ma? Kenapa?" gue berusaha untuk bertanya dengan suara yang cukup tenang. Padahal kenyataannya gue panik setengah mati.

"Pulang dong... Sebentar aja..."

Hah? Pulang? Ke Jakarta? Tapi... Kenapa tiba-tiba?

Suara isakan mama udah gak begitu terdengar dan bahkan perlahan menghilang. Yang terdengar cuma suara hembusan nafas yang kian teratur.

"Emang ada apa? Mama sakit? Atau Papa sakit?"

"Enggak."

"Terus kenapa?"

Dalam hati gue merapalkan doa semoga orangtua gue baik-baik aja di sana.

"Pulang aja. Nginep sehari juga gak apa-apa kok. Mama... Kangen kamu, Bar."

Hati gue tuh emang selembek yang Leo, Raskal dan temen-temen satu rumah gue lainnya bilang. Gue gampang banget nangis kalau nonton atau ngalamin sesuatu yang menurut gue mengharukan. Bahkan waku nemenin Naina nonton drama Korea yang endingnya sedih aja gue ikut nangis.

Dan sekarang juga rasanya mata gue mulai memanas.

Kalau diingat-ingat, terakhir kali gue pulang ke Jakarta emang udah lumayan lama. Lebaran tahun lalu. Tahun ini gue gak pulang karena ada tugas lapangan ke Blitar. Tapi gue tetep nyempetin diri buat video call, free call, atau sekedar ngirim pesan  sama nyokap-bokap.

Tapi tetep aja gak mengurangi rasa kangen gue ke mereka.

Dan ternyata mereka pun begitu.

"Tapi kalau sekarang Bara gak bisa, Ma. Seminggu ini lagi sering ada kuis. Mungkin akhir minggu depan baru bisa."

Ada jeda beberapa detik. Gue harap gue gak salah bicara dan membuat mama kecewa.

"Ya udah... Gak apa-apa. Mama tunggu ya, jangan lupa ajak Naina."

Dan begitu aja telepon dimatikan secara sepihak oleh beliau. Gue hanya mengerutkan kening saat melihat layar ponsel yang sekarang menggelap. Berbagai macam pikiran-pikiran negatif bergerumul di kepala gue dan jumlahnya kian banyak.

Gue menghela nafas panjang, menncoba untuk berpikir positif. Mungkin mama emang beneran lagi kangen berat sama gue. Atau mungkin dia lagi ngerasa kesepian karena ditinggal dinas sama papa.

Iya, mungkin.

Setelah sampai di bandara, gue memarkirkan mobil dan melangkah menuju mini market yang ada di sana untuk membeli minuman dingin. Gak tau kenapa gue ngerasa kalau cuaca hari ini lagi panas banget padahal baru jam sepuluh, tapi terik matahari bersinar serasa jam dua belas siang.

Gue membuka pintu lemari es dan mengambil kaleng soda dari dalam sana. Setelah mendapatkan minuman gue, gue beralih pada lemari es yang lainnya untuk mengambil dua kotak susu vanilla. Tapi ternyata tinggal satu-satunya.

Namun begitu gue meraih susu kotak tersebut, sebuah tangan mungil juga ikut meraihnya. Gue menoleh dan mendapati seorang anak perempuan kisaran umur lima tahun yang berdiri di samping gue sambil berjinjit untuk bisa meraih susu kotak yang dia inginkan.

Tanpa sadar gue memperhatikan wajah anak itu terlalu dalam. Matanya bulat dan berbinar, rambutnya yang agak ikal dikuncir dua dengan kunciran warna biru langit pipinya gak begitu chubby tapi tetap terlihat menggemaskan. Mirip anak kecil yang ada di drama-drama Korea yang sering Naina tonton.

Lucu.

"Kakak mau beli juga ya?"

Gue terkesiap. Refleks gue menggeleng kemudian menyerahkan susu kotak tersebut pada anak berbaju kuning itu.

"Buat kamu aja deh."

Tapi anak itu menggeleng dan tentunya membuat kedua rambutnya yang dikuncir itu ikut bergoyang.

"Buat Kakak aja," dia pergi begitu aja meninggalkan gue yang sekarang berdiri mematung sambil memegang susu kotak.

Gue kaget.

Baru kali ini gue ngeliat anak kecil ngalah.

Ngalahnya sama orang yang udah bangkotan kayak gue lagi.

"Ayah, susu kotaknya abis. Udah dibeli duluan sama Kakak ganteng."

Gue bisa mendengar gimana anak itu ngadu sama ayahnya yang asal suaranya dari lorong sebelah. Kedua ujung bibir gue kontan tertarik ke atas saat mendengar kata ganteng keluar dengan lugasnya dari mulut anak itu.

"Kakak ganteng siapa?"

Namun senyuman gue mendadak sirna saat mendengar suara laki-laki yang begitu familiar di telinga gue.

"Ada itu di sebelah. Sasha udah bisa ngalah 'kan, Yah!"

Gue mencoba untuk menajamkan pendengaran gue. Gak membiarkan satu kalimatpun terlewat begitu aja. Dalam hati merapalkan doa supaya dugaan gue saat ini salah.

"Hahaha iya anak Ayah udah 'kan udah gede, udah mau masuk sekolah."

Gue memutuskan untuk melangkah menuju meja kasir karena kalau berdiri lama-lama di sini kepala gue bisa meledak karena kepenuhan pikiran negatif.

Tapi begitu gue melangkah melewati lorong berisi chiki-chiki dan makanan ringan lainnya, gue mendapati sosok yang tentunya gak asing lagi buat gue tengah mengelus lembut rambut anak kecil yang ingin mengambil susu kotak tadi.

Tangan gue mengepal.

Rahang gue mengeras.

Ingin rasanya gue memanggilnya, tapi lidah gue mendadak kelu.

Gue merasa pasokan oksigen di ruangan ini menipis karena sekarang rasanya dada gue sesak.

Ponsel yang ada di saku celana gue tiba-tiba aja bergetar pertanda ada panggilan masuk. Tanpa melihat nama si penelepon gue langsung menjawab panggilan tersebut dan belum mengalihkan padangan gue sedikitpun dari sosok ayah dan anak yang berdiri beberapa meter di hadapan gue.

"Halo?"

"Bara aku udah sampe. Kamu dimana?"

Ah... Ternyata Naina.

Gue menghela nafas sejenak untuk menetralkan pikiran gue, sebelum akhirnya menjawab, "Aku di mini market. Kamu dimana?"

"Di ruang tunggu."

"Oke, bentar ya."

Gue berbicara cukup pelan karena gue gak mau kehadiran gue diketahui oleh dua manusia di depan sana.

Setelah panggilan terputus, gue memasukkan kembali ponsel ke dalam saku jaket dan melangkah menuju meja kasir dengan kepala yang rasanya mau pecah karena terlalu penuh dengan berbagai pertanyaan yang gak bisa gue utarakan.

Ini semua terlalu gak masuk akal.

Terlalu tiba-tiba.

Dan terlalu sulit untuk dipercaya.

Laki-laki di lorong itu.

Laki-laki yang dipanggil dengan sebutan Ayah oleh anak perempuan berkuncir dua yang berhasil menarik perhatian gue karena tingkah menggemaskannya.

Laki-laki itu...

Papa gue.

Yang entah sejak kapan menjadi Ayah dari orang lain.



***

Akhirnya sampe juga kita pada pembukaan konflik yayyy!! HAHAHAHA

Mungkin menurut kalian ini terlalu cepet, tapi menurut aku ini udah pas karena aku gak suka bertele-tele dan emang rencananya gak mau bikin banyak chapter buat masing-masing karakter, jadi harus dibuat sesimple mungkin tapi tetap terstruktur dan gampang dimengerti.

Dan mungkin setelah ini adegan gemes-gemes antara Bara-Naina bakal berkurang atau mungkin.....

Gak ada sama sekali.

HEHEHE

Udah itu aja, see you on next chapter! Don't forget to vote&comment!!

- Dee

Ga verder met lezen

Dit interesseert je vast

STRANGER Door yanjah

Algemene fictie

278K 31.6K 36
Terendra tak pernah mengira jika diumurnya yang sudah menginjak kepala empat tiba-tiba saja memiliki seorang putra yang datang dari tempat yang tak t...
698K 1.1K 3
Warning konten 21+ yang masih dibawah umur menjauh. Sebuah short story yang menceritakan gairah panas antara seorang magang dan seorang wakil rakyat...
137K 1.2K 14
Penghibur untuk boss sendiri! _ Sheerin Gabriella Gavin Mahendra
Cafuné Door REDUYERM

Algemene fictie

101K 9.7K 34
(n.) running your fingers through the hair of someone you love Ayyara pernah memiliki harapan besar pada Arkavian. Laki-laki yang ia pilih untuk menj...