Bunga Tanpa Mahkota

De NonyVinna

768K 28.5K 531

Bagaimana rasanya jika menikah dengan orang yang telah merenggut kehormatanmu? Mai multe

Dua Garis Merah
2. Mimpi yang Sirna
3. Hari Petaka Itu
4. Kesedihan yang Masih Bertahta
5. Rasa yang Menyiksa
6. Hati Sekeras Karang
7. Rasa yang Dipaksa Mati dan Rasa yang Mulai Hadir
8. Menyerahkan Diri?
9. Getaran yang Indah
10. Kehilangan
11. Hati yang Mulai Melunak
12. Keinginan untuk Sembuh
13. Bibit-Bibit Cemburu
14. Makan Siang untuk Revan
15. Be with Me Forever
16. Jealous
17. Ingin Mengulang Akad
18. Will You Marry Me ... Again?
Bunga Tanpa Mahkota
Bunga Tanpa Mahkota
Bunga Tanpa Mahkota
Bunga Tanpa Mahkota
Bunga Tanpa Mahkota
Bunga Tanpa Mahkota
Bunga Tanpa Mahkota
Bunga Tanpa Mahkota
Bunga Tanpa Mahkota
Bunga Tanpa Mahkota
Bunga Tanpa Mahkota
Bunga Tanpa Mahkota
Bunga Tanpa Mahkota
Bunga Tanpa Mahkota
Bunga Tanpa Mahkota
Bunga Tanpa Mahkota
Bunga Tanpa Mahkota

19. Malam yang Mendebarkan

19.7K 822 30
De NonyVinna

Mengetahui alasan yang sebenarnya tentang mengapa Revan menikahi Meira, membuat Rina syok. Setiap kali putranya itu berbuat kesalahan, selalu saja ia akan merasa gagal menjadi ibu.

Semalam Revan mengutarakan pada Rina akan mengulang ijab qabul-nya. Tentu saja itu membuat Rina bingung. Akhirnya ia mendesak Revan untuk berkata jujur karena merasa sedang menutupi sesuatu.

Rina benar-benar tidak menyangka putranya telah berbuat asusila. Ia ingin sekali memukul wajah Revan, tetapi ia tidak melakukannya. Ia memilih bergeming dan langsung mendatangi Meira yang baru saja masuk ke kamar untuk bersiap-siap tidur.

Meira mematung ketika Rina masuk dengan rinai air mata, lalu memeluknya dengan erat. Ia merasakan hangatnya dekapan ibu dan sentuhan lembut di bahunya. Ia membalas dekapan Rina dengan hati yang gerimis.

"Maafkan aku. Maafkan atas perbuatan Revan," ujar Rina di antara tangisnya.

Meira mencoba meraba-raba apa yang sedang dibicarakan Rina. Ketika pelukan itu terurai, Meira memberanikan diri mengajak ibu mertuanya duduk di sofa.

"Pasti sangat berat ...." Rina menggenggam tangan Meira setelah ia duduk bersisian dengan menantunya itu. Ia membayangkan berada di posisi Meira dan itu membuatnya semakin terisak.

"Bahkan aku menyuruhmu berada di sini. Di ruangan yang sama dengannya." Rina merasa menyesal telah memaksa Meira.

"Sudah, Ma. Saya sudah memaafkannya." Meira mengusap punggung tangan mertuanya.

Rina kembali memeluk Meira. Kali ini bukan hanya ia yang menangis, tapi Meira pun ikut menangis.

❤❤❤

Meira menemani Nissa yang akan melakukan kemoterapi kembali. Gadis itu terlihat begitu lemah, tetapi kedua matanya terus memancarkan cahaya yang menghadirkan semangat.

"Mungkin saat pernikahan ulang Kakak nanti, aku nggak bisa datang. Tapi, aku akan berdoa yang banyak untuk kalian." Nisa menggenggam tangan Meira.

Meira mengusap punggung tangan Nisa. Ia mengucapkan terima kasih.

"Dia benar-benar ingin berubah. Itu yang dia katakan padaku beberapa bulan lalu saat membawaku ke dokter spesialis kanker. Dan, dia bersungguh-sungguh melakukannya."

Rasa hangat menyapa dinding-dinding hati Meira. Ia tidak menyangka pria yang selama ini ia lihat hanya tenggelam dengan pekerjaan dan hura-hura itu begitu serius ingin berubah. Bahkan kini, Meira merasa mulai menggeser rasa bencinya.

"Kakak hebat. Bisa bangkit dan tidak larut begitu lama dalam trauma."

"Sebenarnya, trauma itu masih ada. Aku masih suka dihantui ketakutan setiap berduaan dengannya."

"Ketakutan ... atau ketakutan ...?" Nisa tertawa pelan. Meira tersipu dan mencubit lembut pipi tirus Nisa.

❤❤❤

Sementara itu di toko kue, Erna sedang mengomel pada seluruh pekerjanya karena ada barang berharga yang hilang. Ia menunjuk-nunjuk lemari kecil yang terletak di pojok kiri ruangannya, tampak gemboknya terbuka paksa.

Tidak ada satu pun karyawannya yang tahu dan tentu saja membuat Erna semakin berang. Wanita itu mencak-mencak dan mengumpat. Ia mendesah, menarik napas dalam-dalam. Ia menyesal karena tidak menuruti kata-kata Andi Mahesa dan juga menyesal karena tidak segera memperbaiki CCTV tokonya yang rusak. Mengurus Nisa membuat hari-harinya begitu sibuk dan kurang fokus mengurus toko.

Sambil memaki, ia mengusir enam karyawannya untuk keluar dari ruang kerjanya. Ia memijat-mijat keningnya yang terasa begitu sakit, di hadapannya seakan ada ribuan lebah yang berterbangan mengitarinya, dan tubuhnya mendadak lemas membayangkan wajah Andi Mahesa yang seakan-akan siap mencekiknya.

❤❤❤

Revan melangkah menuju ruangan Nisa dirawat. Ia bermaksud menjemput Meira dan akan mengajaknya makan malam berdua saja. Namun, langkahnya berhenti ketika melintas di depan ruang  dokter kandungan. Ada Nadia yang baru saja keluar dari ruangan itu dengan wajah ditutupi mendung.

"Nad  ...?"

Nadia tampak seperti remaja yang tertangkap basah berbuat kesalahan. Ia menunduk dan berusaha menyembunyikan wajahnya yang begitu layu.

"Revan," panggil Nadia. Ia sedikit menegakkan lehernya, tapi tidak berani menatap Revan. "Aku belum sempat mengatakan maaf padamu. Malam itu, aku tidak datang ke tempat yang kita sepakati karena  ...."

"Karena kamu sedang berkencan dengan pria lain." Revan melanjutkan kalimat Nadia dengan nada dingin.

Sekujur tubuh Nadia seakan membeku. Lidahnya menjadi kelu. Rasa perih menjalar di dadanya.

"Seharusnya, kamu tanya pada Andi Mahesa. Dia yang tau persis kenapa aku tidak pergi malam itu!" Nadia menahan air matanya yang mulai berdesakan.

"Seseorang mengirimkan fotomu yang—ah, sudahlah!" Revan hendak melanjutkan langkahnya.

"Maafkan aku ...!" Nadia sedikit lantang berbicara sehingga Revan urung melangkah.

"Aku belum sanggup untuk menceritakannya padamu. Tapi, Andi Mahesa bisa menjelaskannya. Dia penyebab dari menghilangnya diriku dan ayahku yang sekarang cacat akibat luka bakar." Nadia mengusap sudut matanya.

Revan menatap Nadia yang mulai terisak. Ia mengernyitkan keningnya.

"Semoga saja, Meira tidak menderita sepertiku. Andi Mahesa, ayahmu itu bagiku seorang monster." Nadia mengusap air matanya. "Rakyat jelata sepertiku, hanya menjadi mangsanya. Semoga saja istrimu itu, tidak menjadi mangsanya!" Nadia pergi dengan rasa sakit yang menusuk-nusuk hatinya. Sementara Revan termangu sesaat sebelum akhirnya pergi melanjutkan langkahnya. Ada ribuan tanya yang sekarang memenuhi ruang kepalanya.

❤❤❤

"Apa yang sudah Papa lakukan pada Nadia?" Revan mendatangi Andi yang sedang bermain billiard di salah satu ruangan rumahnya.

Andi menyodok cue ball dengan gerakan tenang. Ia sedikit mendengkus saat melihat bola yang disodoknya itu hanya mampu menggeser posisi bola berangka 7.

"Oh, apa gadis itu sudah kembali ke kota ini?" Andi Mahesa sedikit membungkuk dan meletakkan jari-jari kirinya ke meja billiard. Ia melakukan close bridge yaitu gerakan dengan membuka kelingkingnya; ujung jari manis dan jari tengah menempel, lalu punggung kedua jari tersebut sedikit ke atas; jempol dan telunjuknya membentuk lingkaran. Ia menyelipkan ujung tongkat melalui jempol dan telunjuk. Matanya menyipit, kemudian menggerakkan tongkat dengan ayunan tenang agar cue ball mengenai object ball bernomor 9.

"Jawab saja pertanyanku, Pa!" desak Revan.

"Ya ampun. Kamu masih menginginkannya?" Suara dua buah cue ball berbenturan membuat suasana sedikit ramai. Andi Mahesa tersenyum puas saat cue ball angka 9 berhasil ia masukan.

"Dia terlihat begitu hancur. Apa yang sudah Papa lakukan?"

"Sudah lima tahun berlalu. Buat apa dijelaskan!" Andi Mahesa menghampiri Revan dengan tangan kirinya memegang tongkat billiard.

"Pa  ...."

"Kau tau, aku melakukan sesuatu demi kebaikan keluargaku. Apa pun itu, kau tidak perlu tau!"

"Papa selalu saja menyusahkan orang lain."

"Tidak juga. Buktinya si Erna, bisa begitu bahagia sekarang dengan uang yang kuberikan. Dia bisa menjadi bos. Rumah kumuh itu sudah kuubah seperti istana di antara gubuk-gubuk reyot dan sudah menjadi hak miliknya. Juga, dia tidak dijebloskan ke penjara akibat utangnya pada rentenir dan juga Bank. Belum yang lainnya, bukan? Indra misalnya. Dia bisa seperti sekarang bukankah karena aku?" Andi Mahesa tersenyum bangga.

Revan mengepalkan kedua tangannya. Ia menahan lahar yang tengah bergejolak di dadanya agar tidak meluap.

"Oh ya, dalam waktu dekat pergilah untuk melihat lokasi resort. Beresi   sedikit masalah di lapangan. Hhh, penduduk yang sok mencintai hutan itu, membuat ulah. Memuakkan sekali mengurusi rakyat jelata yang hanya bergantung pada hutan dan laut." Andi menggeleng-gelengkan kepala sambil mendesah. "Lakukan dengan elegan. Paham?" Andi menepuk-nepuk wajah putranya. Revan bergeming.

"Apa kau mau menemaniku bermain?" Andi menggosokan chalk khusus untuk ujung tongkat billiard.

Revan mendengkus. Tanpa berkata-kata, ia pergi dengan langkah cepat. Ia merasa dadanya panas.

Saat sampai di kamar, ia mendapati Meira sedang merapikan meja kerjanya. Sesaat ia terdiam di dekat pintu.

"Mei ...."

"Ya?" Meira berbalik.

"Apa aku boleh ... memelukmu?"

Meira terkesiap, lalu memilin-milin ujung baju kaus pink-nya. Ia tampak kebingungan. Namun, saat melihat wajah Revan yang terlihat begitu sendu. Ia mencoba mengingatkan dirinya bahwa Revan tidak akan berbuat jahat lagi padanya.

Tanpa menunggu jawaban, Revan memangkas jarak dan langsung mendekap Meira. Ia memejamkan mata, menghidu wangi tubuh istrinya yang menghadirkan perasaan tenang.

Sementara Meira terdiam dengan tubuh kaku. Ia merasa tubuhnya mulai panas dan berkeringat. Ia mengendalikan dentaman jantungnya yang sulit sekali ia terjemahkan. 

❤❤❤

Meira tercengang saat melihat sebuah bangunan bertingkat dua di depannya. Di bagian depan tepat di samping kiri bangunan terpampang nama "White Rose Cafe". 

"Apa ini?" tanya Meira.

"Kafe. Buat kamu."

Meira menoleh kepada Revan dan mulutnya sedikit terbuka. Ia merasa salah mendengar.

"Nyalurin hobi sekaligus bisnis. Dua-duanya bisa kamu jalanin. Bukankah kamu mau menyibukkan diri?"

Meira mengangguk dengan semangat. Senyumnya merekah menghadirkan rasa hangat di dada Revan.

"Ini sebenarnya impianku, punya kafe. Dan ternyata, kamu juga punya impian yang sama."

"Kok tau?" Suara Meira sedikit tenggelam karena harus beradu dengan suara ombak.

"Cinta," sahut Revan dengan santai. "Gara-gara cinta aku jadi cari tau tentang kamu."

Rasa-rasanya Meira ingin menutupi wajahnya atau bersembunyi di dasar bumi. Wajahnya selalu saja menghangat diikuti debaran-debaran di dadanya jika Revan mulai berkata-kata seperti itu.

"Pasti Nisa." Meira menerka.

"Siapa lagi?"

"Kali aja Tante Erna."

Revan tergelak. Mengingat dirinya paling malas berurusan dengan Erna karena setiap bertemu, yang ada di dalam pembicaraan wanita itu selalu saja berhubungan dengan uang.

"Yuk, masuk!" Revan melangkah bersama Meira memasuki kafe. Di dalam ruangan ada dua pemuda sedang khusuk melukis dinding. Sebagian dinding sudah terlukis gambar cangkir, teko, potongan roti dan pizza. Kedua pemuda itu tersenyum sebagai bentuk hormat pada Revan.

Meira tanpa sadar berputar pelan memindai setiap inci ruangan. Ia memandangi lampu-lampu gantung di tengah plafon dengan kap berbentuk segitiga terbuat dari kayu bercat hitam; di bagian pinggir plafon lampu gantung berkap botol kaca bening tersusun rapi.

Selesai berbincang sebentar dengan dua pelukis tersebut, Revan mengajak Meira untuk melihat bagian dapur, setelah itu lanjut ke lantai dua.

Meira mengikuti langkah Revan menaiki tangga. Sampai di lantai dua, mereka berdiri bersisian. Revan menunjuk dua kamar yang  berhadapan.

"Ini buat ruang kerja!" Revan membuka kamar di sisi kiri. Di dalamnya sudah tersedia: satu set meja kerja, satu rak untuk buku, dan sofa panjang berwarna cokelat lengkap dengan meja persegi panjang yang terbuat dari rotan.

"Suka?"

Meira hanya bisa mengangguk. Ia terlalu takjub.

Revan kembali melangkah. Ia mengajak Meira ke kamar yang satu lagi.

"Yang ini ruang pribadi. Kamu bisa istirahat di sini. Juga ada toilet." Revan mempersilakan Meira masuk ke kamar yang menguarkan aroma lavender.

Sebuah tempat tidur berukuran sedang, sebuah nakas di pojok dekat ranjang terbuat dari kayu bercat putih, dan di dekat toilet ada satu lemari kayu bercat cokelat mengkilap berukuran besar setinggi dinding kamar; dI seberang ranjang ada satu jendela besar tepat menghadap laut.

"Dan, kita akan melakukan pernikahan ulang di sini!"

"Oh ya?"

Revan tersenyum. "Hanya kita dan keluarga inti."

Meira merasa air matanya berdesakan. Ia mengusap sudut matanya.

"Kamu pernah bilang mau kursus baking. Aku udah daftarin. Terus sesekali main ke hotel, ya. Di sana ada bakery chef. Sesekali kamu bisa belajar langsung dengannya."

"Terima kasih."

"Sini peluk!" Revan tersenyum jahil.

Meira menggeleng.

"Aku becanda. Tapi, kali aja emang beneran mau peluk." Revan terbahak.

Meira tertawa lirih. Ia meninju lengan Revan dengan pelan.

"Ditinju gini aja aku udah seneng."

Pipi Meira langsung bersemu. Ia buru-buru keluar, menuju balkon untuk menghirup udara sebanyak mungkin. Berdekatan dengan Revan sering membuatnya kehilangan banyak oksigen.

"Mei, senyum ...!"

Meira menoleh dan tersenyum lepas pada suaminya yang ternyata memotretnya dengan kamera ponsel.

❤❤❤

Revan mengucapkan ijab qabul untuk kedua kalinya. Hanya saja, kali ini sungguh berbeda rasanya. Jika sepuluh bulan lalu mengucapkan dengan hati yang diliputi rasa bersalah dan terpaksa. Kali ini, justru mengalir dengan perasaan yang bagai dipenuhi kembang api. Percikan-percikan apinya memancar di kedua matanya sehingga mengeluarkan semangat dan kehangatan.

Meira duduk di samping Revan dengan air mata yang satu per satu menetes. Malam ini, hatinya bagai taman bunga yang didatangi ribuan kupu-kupu. Ia tidak kuasa menahan isakannya.

Alisha dan Rina pun beberapa kali terlihat mengusap sudut mata mereka. Sementara Erna terlihat biasa-biasa saja bahkan sebelum akad dimulai ia sempat bergumam  kalau Meira kurang kerjaan.

Sebenarnya hati Erna sedang was-was. Ia sesekali melirik Andi yang sejak tadi terlihat datar. Ia masih berharap benda berharga itu kembali padanya. Akan tetapi, ia tidak tahu harus melakukan apa. Ingin jujur pada Andi Mahesa, tetapi belum mengatakannya saja hatinya sudah ciut.

Andi Mahesa yang duduk di samping Rina terlihat datar saja. Ia mendengkus saat menyadari istrinya menangis. Merasa bosan, selesai putranya mengucap janji suci dan penghulu membacakan doa, ia kemudian menatap tajam ke arah Meira yang sibuk mengusap air mata dengan tisu.

"Jatuh cinta memang membuat orang agak sinting," gerutu Andi Mahesa yang disambut delikan dari Rina.

"Apa?" Andi Mahesa bertanya seakan-akan tidak tahu apa arti tatapan istrinya.

"Jaga bicaramu, Andi." Rina berkata pelan.

"Onti, kata Bunda sama Ayah nanti Clarissa bobo sama Onti."  Clarissa berbicara sambil memakan cup cake cokelat dengan lahap. Ia mengamati Meira dan Revan yang kini saling tersenyum dan memasang cincin bergantian.

"Iya."  Alisha mengambil selembar tisu, lalu mengelap sudut bibir Clarissa yang belepotan cream.

"Padahal Clarissa juga mau bobo di sini."

"Lain kali, ya." Alisha berujar sambil mengulum senyum. Ia berharap malam ini menjadi malam yang indah untuk adiknya dan Meira.

"Oke." Clarissa kembali melahap cup cake-nya.

Alisha mengusap kepala Clarissa dengan lembut. Ia kembali memandangi adiknya yang terlihat lebih tampan dan Meira yang memesona malam ini. Ia memotret dengan kamera beberapa kali.

❤❤❤

Revan membuka pintu kamar dengan jantungnya yang berdebar hebat. Ia menoleh pada Meira yang mematung berjarak dua langkah darinya.

"Istirahatlah. Aku akan tidur di sana!" Revan menunjuk kamar di seberang. Ia masih harus menahan diri. Ia masih menangkap ada ketakutan yang kadang tampak di kedua mata istrinya.

Meira terpaku dengan bibir terkatup. Ia merasa kakinya melayang, tubuhnya terasa dingin, jantungnya terpompa cepat, dan kedua tangannya berkeringat.

"Selamat datang di kehidupan kita yang baru." Revan mengulurkan tangannya.

Meira mengangkat wajahnya. Ia mengatur napas dan degub jantungnya yang tidak beraturan. Antara takut dan tidak. Keduanya terasa samar. Meira perlahan menggerakkan tangannya dan menyambut uluran Revan.

Bisa Revan rasakan betapa dingin tangan Meira. Ia membawa istrinya itu memasuki kamar yang sudah di tata selayaknya kamar pengantin. Semua itu Alisha yang mengerjakannya.

Di setiap sudut ada dua lilin besar menyala, ada buket bunga mawar putih di atas nakas, tirai berwarna mint menjuntai menutupi jendela. Meira menggerakkan matanya ke bagian dinding di belakang kepala ranjang yang dihiasi tirai kain berwarna putih dengan bunga lily dan tulip yang menempel. Matanya beralih ke tempat tidur yang dilapisi seprai dan selimut berwarna putih, ada dua bantal besar dan dua bantal berwarna merah berbentuk hati yang masing-masing terukir nama mereka. Di atas ranjang itu tergeletak satu kotak kado berwarna pink dengan pita putih di atasnya.

Revan pelan-pelan melepas genggamannya. Ia menatap Meira yang masih membisu. Ia bergeser sedikit membiarkan wanita yang mengenakan kebaya putih itu melangkah mendekati ranjang.

Meira membuka kotak kado di tengah ranjang. Ia terperangah, lalu perlahan pipinya memerah. Sebuah baju tidur berwarna putih. Cepat-cepat ia kembali menutup kotak tersebut. Berharap Revan tidak melihatnya.

Meira teringat pada Rina. Sebelum pulang, wanita itu setengah berbisik, "Ada kado dariku. Harus dipake, ya!" Rina mengerling sambil mengulum senyum.

"Kenapa?" tegur Revan yang merasa aneh dengan sikap Meira.

"Nggak ada. Cuma baju dari Mama." Meira menyembunyikan wajahnya yang bersemu dengan menunduk.

"Istirahatlah," ucap Revan seraya mengamati Meira yang membuat getaran-getaran di hatinya semakin kencang.

Revan ingin menyentuh pipi Meira yang merah seperti ditimpa matahari pukul delapan. Ia ingin sekali memeluk wanita itu. Namun, di benaknya seperti ada yang memperingatkan. Akhirnya ia hanya bisa menatap.

Meira memberanikan diri membalas tatapan Revan. Di kedua mata pria itu ia seperti melihat telaga yang tenang. Namun, rasa takut masih  berkeliaran di benaknya.

Suasana menjadi hening. Hanya suara debur ombak saja yang terdengar dari kejauhan. Menghadirkan debar-debar indah yang memabukkan.
Revan sedikit maju sehingga hanya berjarak beberapa senti dari Meira.

Perlahan ia menunduk dan memajukan wajahnya ke arah Meira yang kini terpejam dengan jantungnya yang berdentam-dentam. Lalu  ....

Bersambung, weh 😜😜😜👻👻👻

Balikpapan, Maret 2021

Continuă lectura

O să-ți placă și

933K 18.5K 42
Elia menghabiskan seluruh hidupnya mengagumi sosok Adrian Axman, pewaris utama kerajaan bisnis Axton Group. Namun yang tak Elia ketahui, ternyata Adr...
Neighbour De ItchyPussy

Ficțiune generală

360K 2.2K 4
Akurnya pas urusan Kontol sama Memek doang..
Istri Kedua De safara

Ficțiune generală

126K 4.1K 39
nadilla di paksa menikah oleh suami orang untuk merawat suaminya yang mengalami kelumpuhan di seluruh badannya dan stroke selama 5 tahun ia di paksa...
My sekretaris (21+) De L

Ficțiune generală

286K 2.8K 20
Penghibur untuk boss sendiri! _ Sheerin Gabriella Gavin Mahendra