El Academy [Proses Revisi]

By RiaethShiba

79.9K 5.3K 399

[Fantasy-Minor Romance] Three Kingdom The Series #1 Hembusan Rusa yang Bebas. Itu adalah arti namanya; Oilien... More

El Academy-Victorian
Chapter 1 : Flamers
Meet The Character!
Chapter 2 : Dandelion
Chapter 3 : Si Rambut Silver
Chapter 4 : Ujian
Chapter 5 : Aukwood
Chapter 6 : Necklace
Chapter 7 : Teman atau Musuh?
Chapter 7.5 : Teman atau Musuh?
Chapter 8 : His Brother
Chapter 9 : The Last Day
Chapter 10 : Ini Salah!
Chapter 11 : Pangeran Malam
Chapter 12 : A Time to Remember
Chapter 13 : Lost that "Blue"
Chapter 14 : Saying Good "Bye"
Chapter 15 : Red Rose
Chapter 16 : Doll
Chapter 18 : Let Me?
Chapter 19 : White Lie
Chapter 20 : Cold Truth Or Warm Dare?
Chapter 21 : Something Changed
Chapter 22 : Untrusted
Chapter 23 : Grey Suicide
Attention Please!
Chapter 24 : Heart of Fire
Chapter 25 : Can You See My Heart?
Chapter 26 : Fall Behind
Chapter 27 : Termodinamika
Chapter 28 : Apriori

Chapter 17 : The Meaning

1.7K 148 3
By RiaethShiba

Jangan lupa tinggalkan jejak!
Vote maupun komentar kalian sangatlah berharga 😊

"Apa arti dari kebahagiaan itu? Apa arti dari kesedihan dan kekecewaan? Dan apa arti dari kemarahan dan kesengsaraan? Hm, tanpa mereka semua, kau tidak akan hidup sempurna."

- Unknown -

🎈 🎈 🎈

Oilien Feyna Aksana POV

Malam ini aku memaksa untuk tetap terjaga walaupun aku telah melihat kasur yang terlihat sangat menggoda. Wajah Eve yang sudah lelap saja membuatku juga ingin merasakan tidur lagi. Namun, aku tidak bisa menyia-nyiakan kesempatan ini. Kesempatan yang mungkin saja tidak pernah kembali lagi kepadaku untuk waktu yang lama atau bahkan selamanya.

Huh, sudah belasan kali aku menguap di jam ini. Tentu saja dengan mata yang berair dan hendak meneteskan sesuatu dari sana. Jujur saja, aku memang jarang begadang bahkan tidak pernah. Kalau memang bukan sesuatu yang penting, aku tidak akan begadang seperti ini.

Jam masih di angka sebelas tiga puluh. Aku sudah menunggu di gedung olahraga sekarang. Kuncinya? Hm, sepertinya Leon memang sengaja membuat gedung olahraga tidak terkunci jadi aku bisa masuk tanpa ketahuan.

Aku duduk bersandar di dinding gedung olahraga sembari memeluk lututku dan membenamkan wajahku di sana. Mengapa waktu berjalan sangat lambat? Dan kenapa Leon benar-benar harus tepat waktu?

Hingga aku merasakan pintu yang tadi tertutup mulai terbuka. Aku mengadahkan wajahku dan membuka mataku. Di sana aku melihat seseorang bertudung-yang kuyakini adalah seorang pria karena postur tubuhnya- datang di kegelapan.

Aku belun berdiri. Aku menatap pria itu dengan pandangan datar. Mataku masih mengantuk, tidak bisa melihat dengan jelas wajah dari pria itu.

"Leon?"

Lelaki itu berhenti. Dia tepat berada di tengah-tengah gedung olahraga. Lelaki itu tidak mengatakan apapun. Dia hanya diam menatapku dengan wajah yang tak mampu kulihat.

Sedetik selanjutnya, aku berdiri dan berjalan ke arahnya. Aku berusaha melihat wajah dari pria itu. Aku hanya takut kalau itu bukan Leon dan hanya menjebakku saja. Tetapi, kalau dia bukan Leon, mengapa wangi suratnya bisa sama?

"Apa ini benar-benar kau?" Aku sudah sampai di hadapannya. Dia masih menatapku tanpa mau membuka tudungnya. Di sini, aku samar melihat bibirnya. Begitu familier di indera penglihatanku.

Saat aku hendak membuka tudungnya, dia mencekal tanganku membuat tanganku dan tangannya menggantung di udara. Aku melihat kepalanya menggeleng dan aku meneguk ludahku gugup.

"Kenapa?" Aku bertanya. Lagi-lagi dia belum bersuara.

Leon mengambil sesuatu dari kantung jaketnya. Dia menyerahkannya kepadaku.

"Apa ini?" Aku menerimanya dan melihat sebuah benda yang familier. "Sebuah surat?"

Leon masih diam. Aku benar-benar bingung mengapa dia tidak mengatakan apapun kepadaku. Padahal jika dia tidak seperti ini, mungkin aku--

Aku merasakan seseorang memelukku dari belakang. Dia melingkarkan tangannya di perutku dan memelukku dengan hangat. Mataku berair sekarang, aku ingin menangis. Aku benar-benar merindukan Leon!

Aku merasakan dia berkata kepadaku tepat di telingaku. Dia mengatakan dengan samar sekali membuatku tidak bisa mendeteksi suaranya.

"Bacalah."

Aku membaca surat itu di kegelapan. Sedikit sulit, tapi aku masih mampu membacanya.

Anakku, Oilien Feyna Aksana.

Aku merindukanmu. Merindukan senyumanmu, betapa bahagianya kamu, dan cerianya kamu saat bersama Leon.
Sayangku, ibu dan ayah baik-baik saja. Hanya saja, kami tidak berada di tempat yang seharusnya. Namun, kamu jangan sedih, ini tidak akan lama, ibu janji.

Ibu menulis surat ini dan menitipkannya kepada Leon yang sengaja menyelinap masuk ke istana untuk menemui kami berdua. Jangan berusaha mencari tahu bagaimana cara ia masuk, karena dia sendiri tidak ingin mengatakannya kepada ibu.

Anna, ibu ingin mengatakan sesuatu kepadamu. Tetapi kamu jangan pernah membenci ibu dan ayah, bisa?

Aku mengangguk sembari merasakan air mataku yang sudah jatuh di pipiku. Pelukan Leon pun masih sama. Dia memelukku seperti menguatkanku bahwa aku tidak sendiri.

Anna, ayahmu sedang sekarat di sini. Dia sakit dan tidak ingin memakan makanan penjara. Kami berdua...

Aku merasakan tangisanku yang semakin kuat. Leon memeluk tubuhku berusaha menenangkanku.

"Leon, kenapa kamu tidak mau menolong mereka? Kenapa mereka harus menderita tanpaku?" Aku bertanya, namun dia tidak menjawabnya. Dia malah membalikkan tubuhku dan memelukku dengan erat.

Aku bisa mengetahui harumnya. Harum yang tidak kuketahui harum apa, namun begitu menyejukkan.

"Leon, bisakah kau bicara kepadaku? Aku ingin kamu--"

"Shhhhh," ucap Leon sembari meletakkan telunjuknya di depan mulutku. "I've choosen you."

Aku mengerjapkan mataku dan berusaha mencerna ucapannya. Aku merasa bahwa suara bassnya ini benar-benar familier di telingaku. Sebenarnya, dia siapa?

Tiba-tiba butuh beberapa saat sebelum aku mencerna apa yang terjadi padaku. Leon mencium keningku lama sekali. Aku merasakan benda hangat itu menciumku lama. Aku hampir merasa sesak di sana.

Hingga akhirnya ia berhenti. Aku tahu kalau matanya itu berusaha menatap mataku walaupun sedikit tidak adil karena aku tidak bisa melihat wajahnya.

"Aku sudah memilih. Aku tidak bisa terus bersembunyi." Leon bersuara membuatku menjauhkan tubuhnya dariku.

Aku tahu suara itu. Suara yang begitu familier di telingaku. Aku benar-benar tahu!

"Kau..."

Leon membuka tudungnya membuatku melihat dengan jelas wajahnya dan rambutnya itu. J-Jadi Leon adalah...

"Sergio?"

Sergio tersenyum. Dia berjalan mendekatiku dan tubuhku terasa membeku tak mampu bergerak kemanapun.

"Couldn't you just stay?" Aku merinding mendengarnya berbicara. Kenapa dari sekian banyaknya pria yang mungkin adalah Leon, harus Sergio? Kenapa wajahnya begitu berbeda? Apa yang sebenarnya terjadi?

"Sergio, bagaimana kamu dan Leon--"

"Aku memang Leon," potong Sergio cepat. "Sejak hari itu, hari dimana kamu menyuruhku pergi, aku berusaha untuk berlatih untuk melindungimu dari kejauhan. Aku terus melakukan itu hingga akhirnya aku masuk ke sebuah akademi di sekolah menengah pertama untuk mencarimu. Sayangnua kamu tidak ada. Aku lulus dari sana bersama Raven, Zeon, dan Evelina. Akhirnya aku menemukanmu di akademi ini. Aku menyadarimu pertama kalinya saat kamu dan Eve--"

"Eve?" Aku merasakan mataku memanas. "Bukankah kamu mencintai Eve?"

Sergio menyernyitkan dahi. "Memang, tapi aku--"

"Dia sahabatku!" Aku berteriak tegas ke arahnya. "Aku enggak mau kamu nyakitin dia!"

"But, I've choosen you! Aku sudah memilihmu, Anna! Aku memilihmu!"

"Aku bukan barang yang bisa kamu pilih, Sergio!" Aku berteriak frustrasi. Tiba-tiba saja kakiku terasa bergetar membuatku mau tak mau harus jatuh di lantai gedung olahraga yang dingin.

Sergio menopang tubuhku di lantai. Aku menangis lagi. Suaraku sudah serak, tak bisa berbicara. Rahasia yang Leon--Sergio sembunyikan dariku, benar-benar membuatku pusing.

"Let me go!" Aku berkata dengan suara serak di dekat Sergio yang kembali memelukku.

"Never."

"Just... Just let me go, Leon!" Aku berteriak dan memanggilnya dengan nama Leon. Itu memberikan pengaruh untuknya. Dia melepaskan pelukannya.

Sebenarnya jujur saja, aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika nantinya Eve bertanya. Kalau sampai Sergio menunjukkan bahwa ia adalah Leon, maka Eve harus pergi. Mengapa? Karena duniaku begitu berat jika ia harus masuk. Dia tidak mungkin kuceritakan mengenai seluruh penghianatan itu hingga aku berakhir di sini.

"Kamu seperti ini, hanya karena Eve?" Sergio bertanya dengan suara seraknya. Aku diam tak mau menjawabnya.

"Kalau begitu aku akan meninggalkannya untukmu!"

"Enggak, enggak Sergio. Dia akan membenciku!" ucapku dengan nada sarkas.

"Maka aku akan--"

"Dia begitu baik, Sergio. Tidakkah kamu mengerti?" Aku menatapnya dengan pandangan sayu.

"Aku akan berpura-pura kalau kamu bukan Leon, dan akan terus begitu." Aku berdiri dan berjalan pergi dari sana. Aku menatap Leon untuk terakhir kalinya sebelum aku menutup pintu di gedung olahraga ini.

"Leon... Leon yang kukenal, dia sudah lama mati di sini," ucapku sembari menyentuh dada kiriku sebelum akhirnya meninggalkannya sendirian di gedung olahraga ini.

🍁 🍁 🍁

RAVEN menatap sahabatnya sendiri dengan raut wajah yang tidak bisa didefinisikan. Semua kata yang hendak ia ucapkan seakan tertelan angin begitu saja.

Suasana malam itu begitu dingin nan suram. Tak ada yang mampu berbicara kecuali para jangkrik yang tak terlihat peduli. Hingga pada akhirnya salah satu di antara mereka menarik nafas dan menghembuskannya di saat mata mereka berdua bertemu.

"Jadi, itu pilihan lo pada akhirnya."

Sergio terdiam. Dia berpikir, bukankah ini memang pilihan yang terbaik? Dirinya sudah memutuskan untuk kembali terjebak dalam masa lalunya. Rasa pengabdiannya kepada "tuannya" lebih besar daripada rasa cintanya kepada kekasihnya.

"Lalu sekarang, apa yang akan lo lakukan?" Raven menatap Sergio dalam. Namun, yang ditatap benar-benar menunjukkan bahwa ia sedang frustrasi dan... Lelah.

"Maaf kalau pernah membuatnya jatuh cinta, Raven." Sergio menatap langit yang ditaburi ribuan bintang. "Maaf kalau gue membuatnya terluka untuk kedua kalinya."

"Gak papa. Setidaknya lo udah nentuin pilihan mau bertahan di siapa." Raven tersenyum dan menyentuh bahu Sergio. "Gue tahu itu berat, tapi lo bisa memilih. Gue menghargai semua yang lo lakuin."

Sergio menghela nafasnya. Dia teringat perkataan Eve saat dia masih di bangku menengah pertama dahulu.

"Sergio!"

Sergio menyimpan bukunya segera ke dalam tasnya. Seakan tak perduli, Sergio beranjak pergi. Dia tidak ingin bertemu dengan gadis cerewet yang setiap hari hampir membuatnya jengkel.

Gadis itu meraih pergelangan tangannya. Sergio terkaget dan hampir melepaskan sesuatu dari tubuhnya.

Gadis itu terdiam. Raut wajahnya yang polos dan nerdy itu sekarang terlihat muram.

"Kamu membenciku ya?"

Sergio menyernyit. Sejak kapan dia membenci gadis ini? Dia hanya tidak suka kalau gadis ini mengganggunya tiap hari. Itu saja.

"Tidak."

"Lalu kenapa?" Gadis itu menatap Sergio dengan raut wajah yang tidak bisa ia definisikan. "Kenapa kamu selalu menghindar? Kenapa kamu selalu pergi di saat aku datang? Apa aku ini benalu bagimu? Lalu, kenapa kamu--"

Sergio menatap gadis itu dengan pandangan datar. "Karena kamu terlalu banyak berbicara."

Gadis itu terdiam hingga akhirnya tersenyum tipis. "Begitu ya. Kalau itu yang kamu maksudkan, aku akan diam."

Berhari-hari gadis itu diam. Namun selalu saja mengunjungi kelasnya--Yang juga kelas kakaknya, Raven. Sergio tahu, gadis itu sering mencuri pandang ke arahnya dan hanya ia tanggapi dengan pandangan datar.

"Sergio."

Panggilan itu ada di saat berhari-hari lamanya gadis itu tidak mengatakan sesuatu padanya.

"Apa?" Sergio menjawab. Gadis itu tersenyum malu.

"Jujur saja, aku ini memang banyak bicara, aku minta maaf. Aku juga bukan gadis yang pantas diajak bicara, aku minta maaf. Aku juga bukan orang yang bisa bergaul dengan sewajarnya seperti anak populer sekolah, aku minta maaf. Tapi..." Gadis itu mengambil nafasnya. "Aku hanya ingin berteman denganmu! Entah nanti kamu menyakitiku, aku akan selalu bersamamu. Kebahagiaanmu adalah kebahagiaanku juga, Sergio. Jadi aku--"

Seketika itu pula Sergio menarik gadis itu dalam dekapannya.

Raven menghela nafasnya seiring waktu berjalan semakin larut. Dia tahu, kisah cinta adik dan sahabatnya ini begitu aneh namun begitu dalam. Ia juga tahu kalau rasa yang kedua belah insan itu rasakan, lebih besar dari yang ia pikirkan. Namun, dia tidak bisa membiarkan Sergio menyakiti Eve lebih lama lagi.

"Lalu setelah ini, apa yang akan lo lakuin?" Raven bertanya. Namun, Sergio hanya tersenyum kecil sembari beranjak dari duduknya.

"I'll do semathing crazy." Sergio terkekeh lalu melanjutkan, "aku akan kembali ke diriku yang dulu."

Raven tersenyum. Entah mengapa keputusan Sergio yang ini membuatnya sedikit kecewa, mungkin? Bukan! Bukan karena dia menginginkan Sergio bersama Eve, namun karena...

Raven menggelengkan kepalanya dengan cepat. Dia pasti sudah gila kalau berpikiran hal semacam itu. Tentu saja itu tidak boleh terjadi karena keputusannya akan membahayakan Eve, adiknya. Jadi...

Ia pikir, dia harus tetap memendamnya.

Sergio melangkahkan kakinya lebar-lebar seraya mengetatkan tangannya pada hoodienya. Suara kecanggungan lambat laun hilang ketika Sergio semakin menjauh dari sana. Namun sebelum Sergio benar-benar pergi, Sergio melepaskan kekuatannya membuat Raven tertegun selama beberapa saat.

Raven, kalau lo dengerin ini, gue harap lo bisa cariin seseorang yang lebih pantas bersama Eve daripada gue. Yah, hidup gue terlalu kejam untuk gadis manis sepertinya.

Raven tersenyum sembari melihat hilangnya Sergio di kegelapan malam tanpa mengucapkan selamat tinggal pada mereka semua.

❤ ❤ ❤

MATAHARI lambat laun menampakkan sinarnya. Hari itu, Feyna menatap Evelina yang masih tidur dengan perasaan terluka. Semalam, dia tidak bis tidur. Kepalanya terasa ingin meledak saat mengingat rahasia yang selama ini disembunyikan oleh Sergio.

"Kenapa harus kamu yang merasakan sakitnya, Eve?" gumam Feyna pelan.

Hari itu, hari dimana Feyna dan teman-temannya sampai di Kastil Dawn, Feyna memang sempat melihat Leon. Wajahnya, hidung, alis, semuanya! Benar-benar mirip Leon yang asli. Namun, saat dia mengusap matanya untuk meyakinkan bahwa dia tidak bermimpi, ternyata bayangan Leon hilang. Ya, sepertinya itu memang imajinasinya saja.

Tiba-tiba tanpa disangka Feyna, Eve terbangun. Eve mengusap matanya dan menatap Feyna dengan senyum kantuknya.

"Selamat pagi, Oilin!"

Feyna tidak sanggup menatap wajah ceria itu lebih lama. Ia memilih undur diri dan bersiap-siap untuk ke sekolah.

"Eve, aku pergi duluan ya! Aku ingat kalau buku sejarahku tertinggal di laci kelas," ucap Feyna berbohong saat melihat Eve yang hendak bergegas mandi.

"Oh, iya gakpapa," jawab Eve dengan senyuman lebar.

Tanpa basa-basi, Feyna langsung keluar dari kamarnya dan berlari di lorong asrama yang masih sepi itu. Ini pertama kalinya ia berangkat sepagi ini. Niatnya, dia ingin menghindar dari Sergio--maksudnya Leon. Tentu ia tidak bisa melihat Leon yang tumbuh dalam diri Sergio yang benar-benar berubah. Apalagi fakta mengenai surat yang diberikan Sergio pada dirinya, apa benar kalau Sergio ke istananya waktu itu? Lalu, mengapa dia tidak menyelamatkan orang tuanya? Apakah ia punya alasan tertentu?

Feyna tidak tahu. Yang ia tahu, Sergio--Leon benar-benar membuatnya kecewa. Dari sekian banyaknya lelaki di dunia ini yang ia harapkan adalah Leon yang asli, mengapa dunia harus memilih Sergio?

Feyna berhenti berjalan. Detak jantungnya kian melemah saat ia sampai di kelasnya. Mata coklatnya tertuju pada seseorang yang berdiri tepat di samping bangkunya. Orang itu memberikan sebuah benda tipis ke laci mejanya. Feyna diam, gestur tubuh orang itu, ia tahu siapa.

"Sergio?"

Orang itu terlihat membeku. Lalu secara perlahan menoleh ke arah Feyna yang menatapnya dengan bingung dan sedikit rasa kecewa.

"Kenapa kamu kemari, Gio?"

Sergio menggertakkan giginya. Sepertinya gadis yang berada di dekatnya saat ini benar-benar melaksanakan janjinya. Bagaimana Sergio bisa lupa dengan apa yang diucapkan gadis itu semalam?

"Aku akan berpura-pura kalau kamu bukan Leon, dan akan terus begitu."

Sergio menghela nafasnya. Tanpa mengatakan apapun, ia mengambil sesuatu di lacinya, meremasnya, dan mengambil di tangan kirinya. Feyna yang melihat itu hanya terdiam. Bukankah itu sebuah surat?

Sergio tersenyum dan menatap manik mata cokelat Feyna dengan hangat. "Anna."

Feyna balik menatapnya. Sergio menggumamkan sebuah kalimat yang tidak Feyna ketahui artinya. Seperti tersihir akan sesuatu, mata Feyna berair. Ia melihat sesuatu yang tidak beres terjadi pada Sergio.

Sergio... Wajahnya perlahan berubah menjadi Leon!

"S-Sergio?" Feyna tergagap dan tidak mampu berbicara. Sergio berjalan mendekati Feyna dan mengacak pelan rambut gadis itu.

"Miss me?"

Feyna terdiam. Ucapannya, kekecewaannya, kemarahannya, rasa bersalahnya, dan sebagainya serasa hilang untuk beberapa detik setelah Sergio mengatakan dua kata itu.

Sergio tersenyum. "Mulai hari ini, aku sudah memutuskan untuk menjadi diriku yang dulu. Wujud Sergio-ku hanya sementara saja karena aku bisa merubah wajahku minimal satu tahun lamanya sebelum kekuatanku bisa kugunakan lagi. Jadi, setelah ini, aku akan menjadi Leon dan selamanya akan terus begitu."

Feyna terdiam. Mulutnya terbuka sedikit untuk mengucapkan satu kata yang ia pikirkan sedari tadi. "Change power?"

Sergio tersenyum kembali. Tanpa menjawab, dia keluar dari Kelas Neptunus. Namun sebelum ia benar-benar pergi, Feyna mendengar sesuatu yang familier di telinganya. Suara seorang anak lelaki yang menjadi penjaganya beberapa tahun yang lalu.

"Aku akan selalu menjagamu dimanapun kau berada, Tuan Putri."

Tanpa bisa dicegah, Feyna menangis. Sang putri yang dahulunya selalu ceria saat bersama penjaganya, akhirnya menangis karenanya.

👑 👑 👑

"Pangeran, hamba ingin menyampaikan sebuah kabar," ucap seorang lelaki tinggi besar dengan raut wajah pucat entah karena apa.

Aaric menatap pemandangan di luar jendela kamarnya. Sebentar lagi akan musim salju, jadi dia harus segera melakukan itu. Kalau sampai terlambat, mungkin rencananya bisa...

"Pangeran!" Varius berkata hampir membentak. Aaric menoleh dengan tatapan intimidasinya. Varius yang melihat hal itu segera menyadari kesalahannya dan bersujud di lantai.

"A-Ampun, Pangeran! Hamba minta maaf telah berkata seperti itu pada Pangeran!"

Aaric kembali menoleh pada jendela. Namun bedanya ia mulai mendengarkan apa kata pengawalnya ini. "Bagaimana kabar gadis itu?"

"Ga... Dis?"

Aaric mengacak rambutnya kecil. "O... O..."

"O apa, Pangeran?"

"Oi... Oil..." Aaric meneguk ludahnya kasar. "Oili..."

"Oilien?" Varius menatap punggung tuannya dengan tatapan bingung.

Aaric mengangguk kaku. Varius yang mengerti itu, langsung tersenyum dan menatap punggung tuannya tulus.

"Dia baik-baik saja, Pangeran."

Aaric tersenyum tipis sekali. Senyuman yang mungkin tak nampak bagi mereka yang hanya menyukai fisiknya saja.

"Oh ya, tadi, kau ingin mengatakan sesuatu kan? Ada kabar apa?" tanya Aaric mengalihkan topik pembicaraan.

Wajah Varius kembali gugup. Di dalam hati dia benar-benar memaki dirinya sendiri. Mengapa dia harus menghancurkan suasana hati tuannya yang sedang baik begini?

"I-Itu..."

Varius menarik nafasnya dalam lalu melanjutkan, "pemimpin organisasi angin, Darren Sergio, dia keluar dari El Academy."

"Apa?!" Aaric bereaksi. Giginya menggertak menahan amarah. Tangannya mengepal meremas udara.

"Sepertinya dia mengetahui dengan cepat kalau kita telah menemukannya." Varius menatap Tuannya yang terdiam dengan pandangan takut. Sedetik kemudian, tawa menggelegar keluar dari bibir pria berambut hitam malam itu. Tawa yang ia hasilkan benar-benar mengerikan karena hampir sama dengan tawa yang ia tunjukkan sebelum masuk ke akademi.

"Kalau begitu, kita memakai rencana B."

"Rencana B?"

Aaric tersenyum walaupun pandangannya terlihat sayu. "Yah, walaupun aku sedikit tidak setuju dengan ini, tapi aku harus melakukannya."

"Melakukan apa, Pangeran?"

Aaric menarik ujung bibirnya dengan sinis. "Mengambil sosok yang paling berharga di hidupnya."

"Evelina Audia Anderson."

Bersambung...

Continue Reading

You'll Also Like

973K 105K 62
(๐’๐ž๐ซ๐ข๐ž๐ฌ ๐“๐ซ๐š๐ง๐ฌ๐ฆ๐ข๐ ๐ซ๐š๐ฌ๐ข ๐Ÿ’) โš  (PART KE ACAK!) ๐˜Š๐˜ฐ๐˜ท๐˜ฆ๐˜ณ ๐˜ฃ๐˜บ ๐˜ธ๐˜ช๐˜ฅ๐˜บ๐˜ข๐˜ธ๐˜ข๐˜ต๐˜ช0506 า“แดสŸสŸแดแดก แด…แด€สœแดœสŸแดœ แด€แด‹แดœษด แด˜แดแด›แด€ ษชษดษช แดœษดแด›แดœแด‹ แดแด‡ษดแด…แดœแด‹แดœษดษข แดŠแด€...
1.8M 101K 25
โApakah aku bisa menjadi ibu yang baik?โž โPukul dan maki saya sepuas kamu. Tapi saya mohon, jangan benci saya.โž ยฉbininya_renmin, 2022
1.2M 122K 46
Di novel 'Kisah Naqila', Nathaniel Varendra adalah sosok antagonis paling kejam. Ia bahkan tak segan membunuh seseorang yang dianggap mengusik ketena...
1M 70.1K 45
Daddyyyyyy๐Ÿ˜ก "el mau daddy๐Ÿฅบ"