Stray KIDS - Kelas XI IPS

By Elismee

695K 97.1K 22.2K

(Selesai)βœ” πŸ“Œ BUKU SATU Karena Anak IPS lebih Riweuh dari Anak IPA Yuk..berbaur sama anak kelas XI IPS 2 Yang... More

Perkenalan
Bab Satu
Bab Dua
Puisi Jeongin
Bab Tiga
Bab Empat
Tragedi Pak Wonpil
Bab Lima
Bab Enam
Bab Tujuh
Bab Delapan
Bab Sembilan
Market Day
Bab Sepuluh
Dari Felix Untuk Gabriella
Dari Gabriella Untuk Felix
Bab Sebelas
Bab Duabelas
Bab Tigabelas
Bab Empatbelas
Selingan
Bab Enambelas
Bab Tujuh belas
E p i l o g
Thank you
Cerita Special Felix Dan Kawan-Kawan
Cerita Spesial Felix Dan Kawan-Kawan
Cerita Spesial Felix Dan Kawan-Kawan
Cerita Spesial Felix Dan Kawan-Kawan
Cerita Spesial Felix Dan Kawan-Kawan
Novel Kelas XI IPS Tersedia Di Shopee

Bab Limabelas

16.3K 2.5K 461
By Elismee





Udara malam nggak pernah sepegap ini.


Bersandar di dinding anyaman bambu, Jennie memijit pelipisnya gelisah, raut shocknya masih terlihat jelas

Mereka berempat, sekarang sudah berkumpul di bawah rumah bambu sederhana tak berpintu, dilihat dari gerobak, meja dan kursi panjang yang ditinggalkan terbengkalai disana dan kesannya sama sekali nggak terurus, tempat itu seperti bekas warung kopi pinggir jalan atau ya setidaknya Jennie menyipulkan seperti itu.

Bambu-bambu yang menaungi rumah ini terlihat kusam dan berlubang-lubang membuat kamar-kamarnya berangin.

Orang awam biasa menyebut rumah seperti ini sebagai rumah gedhek, bangunannya terdiri dari dua ruang, ada dipan dari kayu yang yang sudah lapuk yang ditaruh disana, mungkin pernah dipakai buat istirahat waktu dulu pemiliknya menunggu dagangan, pikir Jennie sementara hujan memukul-mukul atap bambu dari luar, membuat suara berderit yang cukup nyaring.

Rumah itu dikelilingi pohon pisang. Pikiran Jennie awalnya diliputi banyak pertanyaan tentang tempat ini, apakah tempat ini cukup aman buat kami?

Meski begitu, mereka memutuskan untuk stay disitu, nggak ada pilihan alternatif lain yang bisa diambil. Dalam situasi begini memangnya mereka mau kemana?

Otaknya merekam semuanya. Jennie menginggat satu demi satu kejadian yang terjadi sepanjang malam ini.

Setelah gangguan yang mereka alami dalam mobil tadi, Dia dan Dowoon memilih keluar dari mobil, pikirnya saat itu cuma kalimat 'lari sejauh mungkin' dan menembus hujan, itupun Jennie harus memapah bahu Dowoon buat lari, entah gimana saking shocknya Dowon kalau nggak dipaksa lari, dia bakal diem disana terus.

Makluk yang menyerupai Hyunjin dan Felix cuma terpaku memperhatikan mereka keluar dari mobil dan untungnya gangguannya cuma sebatas itu, tapi sensasi yang ditimbulkan luar biasa, the nun mah lewat, dikasih penampakan yang diam aja, dia udah begini, gimana yang lain?

Dan setelah jalan pontang panting, akhirnya mereka menemukan gubuk ini.

Kalau dipikir udah selesai, ini belum selesai.

Uji nyalinya belum berakhir karena Jennie mau nggak mau harus nyari Felix sama Hyunjin yang sialnya entah pergi kemana, nggak tenang rasanya kalau dia cuma diem aja dan enak-enak nunggu disini, Jennie belum tenang kalau Felix belum ada disini, apalagi dia juga punya tanggung jawab buat nyari Hyunjin.

Takut dan khawatir jadi satu.

Ditambah Dowoon pingsan, jelas nggak bisa diandalkan padahal seengaknya kalau diganggu lagi di luar, mereka bisa berbagi ketakutan atau ya.. dia punya temen buat teriak bareng.

Tapi orang pingsan nggak mungkin dipaksa.

Jadi Jennie memutuskan keluar, nyari Felix sama Hyunjin sendiri, bukan karena berani, tapi ini masalah tanggung jawab, dia harus sok tegar, munafik pura-pura nggak takut, sekarang kadar seorang kakak yang bertanggung jawab  lebih dibutuhkan daripada ego takutnya ke hantu.

Tahu nggak kenapa seorang kakak dilahirkan lebih dulu? Untuk melindungi adiknya. Pikiran kayak gitu udah melekat sejak Jennie masih kecil dan sampai sekarang motto semacam itu masih ada.

Meskipun keadaan di luar bikin bulu kuduknya berdiri, untungnya, nggak terjadi apa-apa, mudah-mudahan ngangguan dari 'mereka' nggak akan terulang lagi, meski kakinya gemetar, Jennie tetap melangkah sambil membawa senter yang dia temukan di tasnya. Jennie bersyukur, karena tadi setidaknya sebelum kabur dari mobil, dia sempat menyambar tasnya.

Seenggaknya meskipun hapenya hilang, masih ada barang yang bisa dipake, senter.

Dan pada akhirnya dia menemukan Felix dan Hyunjin dengan keadaanya yang ngak bisa dibilang baik, mereka kacau.

Jennie seolah bisa mendengar aliran darahnya sendiri di telinganya pas ngelihat adeknya Felix, kelihatan nggak berdaya dipapahan Hyunjin, Jennie rasanya ingin menjerit, Ya Tuhan, dia— adeknya kayak orang pingsan, wajahnya tercoreng lumpur, Felix pucat, pasir-pasir basah tergantung di rambutnya, darah melekat dan kelihatan bergaris-garis mengerikan di tangannya.

Adeknya berdarah.

Felix, Felix, Felix.

Sensasinya kayak disodok sesuatu di perutnya, jantungnya serasa anjlok, perasaanya Jennie nggak karuan.

Kondisi Hyunjin nggak jauh beda, dia kelihatan kepayahan di sebelah Felix, kakinya pincang. Tanpa banyak bicara, meskipun menyimpan banyak tanya di sudut kepalanya, Jennie memilih langsung membawa mereka ke tempat Dowoon.

Dan disinilah Jennie sekarang.

Dia duduk dengan posisi lesehan, tangan di dahi, lutut ditekuk dan memandang Dowoon yang berbaring di seberang, pingsan.

Mata Jennie beralih ke bawah, hamparan lantai berupa tanah yang tampak keras memenuhi pandangannya, dia terpejam lelah.

Dia menelan ludah sendiri, terasa ada yang menyangkut di tenggorokannya, mengganjal di dadanya

Semakin malam, dia makin gusar, belum pernah dia sesenewen ini, walaupun Jennie nggak mengatakan kayak gitu ke yang lain, sebenernya dia pengen nangis, entah gimana rasanya diantara pilihan yang ada cuma nangis yang bisa dia pilih buat sekadar ngeringanin bebannya, tapi lebih baik dia simpan aja.

Jennie orangnya sensitif tapi nggak biasanya jadi super sensitif sampe mau nangis kayak gini.

Sementara di ruang satunya lagi, Hyunjin terpejam, hari itu dia nggak karuan sama sekali, sambil melihat Felix yang duduk menyimpan wajah dan memeluk lutut, pikiran Hyunjin menerawang jauh, hari itu dia merasa jadi pengecut, lemah, merasa ketakutan, dan ngerasa bersalah banget sama Felix. Kok bisa ya dia seegois itu ninggalin Felix, meskipun nggak sengaja kan, tetep aja..

Ketegangannya memang menurun, tapi Hyunjin belum bisa melupakan kejadian tadi, bayangkan rasanya menjadi dia, bagaikan sedang menonton langsung sosok hantu di film layar lebar, bedanya kali ini dia langsung ngelihat dengan mata kepalanya sendiri, takutnya bukan main.

Nggak, jangan inget lagilah, bego.

Hyunjin membatin dalam hati, seandainya apa yang terjadi sama kita alurnya sama kayak yang ada di dalem film scobby doo, kita mungkin nggak bakal setakut ini, seengaknya ending cerita di film itu, semua orang akhirnya tahu kalau hantu atau monster itu sebenernya manusia yang cuma pengen menganggu aja, tapi sayangnya ini bukan film scobby doo, hantunya nggak pake kostum, ini bener-bener asli.

Sambil membetulkan letak duduknya, Hyunjin jadi kepikiran sama quotesnya William Shakespeare, Hell is empty and all the devil are here. (Neraka kosong karena semua setan ada disini)

Akibatnya bulu kulitnya jadi meremang.

Alahh, Hyunjin bego, bisa-bisanya malah kepikiran hal-hal kaya gitu nambah kronis suasana aja lo.

Dia udah nyari kata yang tepat buat mendeskripsikan situasi kayak gini, tapi nggak ketemu.

Hyunjin menyenderkan badannya ke dinding bambu.

Hawa agak dingin menimpa wajahnya, hujan masih menderas di luar.

Hyunjin mengusap mukanya, menghela napas panjang sekali, ia edarkan pandangannya ke atas, atap anyaman bambu yang menghitam di setiap sudutnya, ubin tanah di tengah-tengan ruangan yang becek lalu ke tangan Felix yang berdarah.

Uh, Hyunjin ngeliat Felix jadi nggak tega.

Hyunjin berjingkat pelan-pelan dan langsung jongkok di depan Felix, mengulurkan tangan meraba-raba saku celanannya, seperti mencari sesuatu dan nggak lama menarik plester luka bewarna oranye keluar dari sana, diambilnya tangan Felix.

Ada kerut samar di antara mata Hyunjin saat memeriksa tangan Felix, jelas ekspresi simpati, luka kecil tapi nyerinya pasti nggak karuan, tapi Felix diem aja seolah nggak kesakitan sama sekali, dia tipe orang masokis atau gimana?

Hyunjin mengenggam tangan Felix dan merekatkan plester di atas guratan-guratan luka Felix, nggak bisa menutup semua lukanya sih, tapi paling nggak bisa sedikit membantu.

Felix bergeming, nggak ada reaksinya, Hyunjin tahu, Felix masih sadar tapi seperti biasa dia bersih dari segala macam emosi, sosok Felix yang nangis dan ketakutan tadi seolah jauh berbeda dari Felix yang sekarang. Hyunjin sendiri sebenernya nggak bakal percaya kalau Felix bisa bersikap kayak gitu kalau tadi nggak lihat sendiri.

Ah, udahlah nggak usah mikir jauh-jauh yang penting dia, semuanya baik-baik aja sekarang.

Biarpun Hyunjin orangnya nggak suka ribet tapi kalau soal rasa kemanusian, Hyunjin biasanya sensitif, setiap orang pasti ada sisi baiknya kan?

***

Embusan napas kecewa Jennie terdengar di dalam telinganya sendiri.

Dia beranjak ke ruang sebelah, ngecek keadaan Felix dan Hyunjin, antara ruangan ini dan ruangan sebelah cuma dipisah sama sekat dinding dari anyaman bambu dan dihubungkan dengan rangka pintu di pojokan, iya cuma rangkanya aja, nggak ada pintunya.

Dia mendekat.

Hyunjin yang nyaris terkantuk-kantuk, agak kaget karena tiba-tiba Jennie dateng.

Jennie mengerutkan kening pada Felix yang duduk dengan posisi kening di lutut dan satu tangan melingkari kaki, dia beringsut mendekati Felix, berjongkok di depannya untuk melihat adeknya dari dekat lalu ganti melirik Hyunjin yang duduk disebelah Felix.

Jennie pun memberi tatapan ke Hyunjin yang kalau diterjemahin kurang lebih 'tangannya gak papa kan?'

Hyunjin mengangguk sedikit, "Nggak parah," suaranya dibuntuti rasa bersalah,  "Harusnya sih gak papa kak."

Jennie cuma mengangguk, tatapannya ke Felix, dia mengosok-ngosok punggung Felix dengan sikap menenangkan.

"Felix,  lo belum tidur kan?"

"Felix.." Dia berusaha menyembunyikan kecemasan dalam suaranya, tetapi Hyunjin bisa menangkapnya.

Felix tetap bergeming.

Hening selama beberapa saat.

"Kak.." Hyunjin membuka kalimat.

Jennie ngelihat Hyunjin.

"Soal Felix—saya mau cerita,boleh?"

"Apa?"

"Setelah cerita ini saya nggak tahu kakak bakal percaya sama saya atau nggak, jadi, Felix—Pas saya dateng dia udah nyengkram tangannya sendiri sampe luka begini. Kak.., Felix ketakutan banget waktu saya nemuin dia tadi, dia..dia mungkin, menurut saya ada makhluk nggak kasat mata yang gangguin dia, soalnya saya sendiri juga diganggu."

"Saya—pasti aneh kalau saya cerita begini, tapi.." Hyunjin menceritakan semuanya, dari yang mereka lihat jejak tangan di mobil, pisah jalan sama Felix, diganggu hantu di rumah kosong sampai dia ketemu Felix dalam kondisi kayak gitu, semua dia ceritain, nggak ada yang ditambah-tambahin.

Hening sesaat.

Jennie mencerna cerita Hyunjin.

"Jadi, kalian keluar dari mobil karena kalian ngeliat jejak tangan di kaca?"

"Iya.."

Jennie diam sebentar, menyurukkan jari-jarinya ke rambut, nggak cuma dia sama Dowoon yang diganggu, Felix  dan Hyunjin ternyata juga mengalami ngangguan yang sama, lebih parah.

Jennie melihat Felix dengan tatapan simpati di matanya.

Jennie bisa membayangkan Felix ketika berusia sepuluh tahun, membayangkan Felix yang menjerit setiap pukul tiga pagi dan membayangkan Felix sekarang—beberapa jam yang lalu, tersesat di suatu tempat, sendirian, membutuhkan bantuannya, hati Jennie rasanya hancur ngeliat adeknya.

Tapi masalahnya disini, kenapa mereka berempat diganggu? Pasti ada alasannya kan? Nggak mungkin kalau nggak ada sebabnya tiba-tiba langsung diganggu, harus ada alesannya!

Dia mengelus-elus tangan Felix, kalaupun harus bertanya, orangnya itu Felix, dia mungkin bisa menjelaskan sesuatu yang berhubungan dengan hal-hal kayak gini, tapi ya nggak mungkin juga, kondisi dia lagi— gue gak mungkin maksa juga, tapi kalau nggak begitu, mau tanya sama siapa dong?

"Kak, saya penasaran, tadi kalian sebenernya pergi kemana? Kenapa ninggalin saya sama Felix di dalem mobil lama banget?" kata Hyunjin.

Jennie mengerling ke arah jendela, hujan sekarang rintik-rintik, "Nggak jauh beda sama kalian, kita—gue sama Dowoon juga mengalami ngangguan ganjil yang sama, kita dilihatin hantu, dan.." suaranya makin menghilang.

"Oh," Hyunjin tampak terkejut, "Kalian diganggu juga?"

Karena nggak ingin membicarakan hal itu, Jennie berpaling pada Hyunjin, "Seenggaknya kita sekarang udah kumpul, udah nggak perlu dibahas lagi." dia mengerling ke rangka pintu, "Gue mau ngecek Dowoon dulu, dia tadi pingsan, jagain Felix, ya?"

Hyunjin mengangguk.


***


Dowoon bangun ketika Jennie menyentuh dahinya.

Jennie menoleh, senyum dikit, "Bagus, akhirnya lo bangun juga."

Dowoon yang masih lemes cuma mengangguk, matanya mengerjap-ngerjap dan langsung menengok kesana-kemari, agak mengeryit, "Kita masih disini?"

"Mau dimana lagi?" Jennie mengalirkan kalimat pendek, keningnya mengeryit penuh cela, "Omong-omong berat badan lo berasa sih? Berat banget perasaan, mau mati gue rasanya mapah lo kesini." Jennie melanjutkan.

"Maaf ya." Dowoon nggak enak sendiri.

Jennie mengabaikan kata-kata Dowoon dan membentangkan tujuh jarinya, "Ini berapa?"

"Tujuh."

"Kalau yang ini berapa?" Jennie menunjukan dua jarinya.

"Dua."

"Ini berapa?" Jennie membentangkan semua jarinya.

Dowoon agak ragu-ragu, dia diam agak lama.

"Kok diem?"

"Kamu kenapa sih?"

"Gue takut lo gagar otak, ya bagus deh kalau udah baik-baik aja," Jennie mundur dan duduk spasi satu meter dari Dowoon, "Gue tadi nyari Felix sama temennya pas lo pingsan."

Dowoon terperangah sedetik, "Hah? Serius sendirian?"

Jennie menghela napas, "Menurut lo?"

"Uh, maaf ya." Dowoon lagi-lagi nggak enak, dia menatap sepatunya, "Habisnya, kalo lihat hal-hal begituan aku nggak kuat, pasti deh parno duluan, terus.."

Jennie mengeryit, "Terus pingsan?"

Dowoon ketawa garing, "Hehehe..iya." Dowoon meneruskan, "Terus gimana? Felix sama Hyunjinnya ketemu? Terus mereka sekarang dimana? Mereka.. mereka ada disinikan sama kita?"

Sekilas Jennie mengangguk, "Di ruang sebelah, soal Felix...gue gak tega liat adek gue." Jennie berkata pelan.

"Emang adek kamu kenapa?" suara Dowoon menyiratkan simpati.

Lama Jennie nggak menjawab.

"Gue gak tahan ngomongin itu. Lo bisa lihat sendiri."

Mereka terdiam lama.

"Jennie.." Dowoon membuka percakapan.

"Kenapa?" Jennie menjawab.

"Sebenernya aku mau ngomong ini dari tadi, cuman aku takut kamu nganggep aku aneh." kata Dowoon yang nggak sadar kalo dia juga aneh.

"Ngomong apa? Lo kan emang aneh."

"Aku serius nih." dia nyengir.

Jennie senyum dikit, keajaiban Dowoon emang yang paling bisa bikin Jennie senyum di segala kondisi.

"Ya udah terusin ngomong aja, gue nggak bakal nyela.."

Dowoon mengangguk, dia mulai cerita, "Gini, aku nggak tahu kenapa kita bisa nyasar kesini, lewat daerah ini, padahal jelas-jelas aku hapal banget sama daerah yang mau kita tuju, menurutku aneh aja, tiba-tiba aku jadi buta arah kayak gini, kayak ada yang nuntun aku buat mengemudi ke arah yang nggak aku pengenin dan aku berani sumpah sama omongan aku ini."

"Lo serius?"

"Demi Bembi!"

"Bembi?"

"Kucing belangku, masa lupa? Kemarin nyangkut di ternit rumah kamu."

Hening.

"Jadi, lo berpikiran kita nyasar karena hal mistis?" Jennie bingung.

"Iya!" kata Dowoon mantap.

"Tapi.."

"Jennie, hal-hal kaya gini emang udah biasa terjadi di jalan yang kurang terjamah sama orang, tempat angker, dan tempat ini mengerikan banget kan?"

Jennie tercenung sebentar, mikir sesuatu.

Hening.

"Kok bengong?" Dowoon mencolek bahu Jennie.

"Lo inget nggak sama Ouija Board yang semestinya gue hadiahin ke Felix?" kata Jennie tiba-tiba.

"Inget," Dowoon mengangguk, "Terus, emang kenapa?" suaranya makin lama makin kecil, kayaknya bau-baunya bakal nggak enak nih.

"Ouija Board itu ada di tas gue sekarang."

"Terus?"

"Dowoon," Jennie memotong kalimat Dowoon, lalu berkata pelan sekali, "Panggil Hyunjin, kita main ouija."

"Hah?"

Bulu tangan Dowoon meremang seketika.

***

Angin hujan yang berembus masuk melalui celah-celah dinding anyaman yang berlubang menusuk seluruh persendian mereka bertiga, embusannya membuat mereka bertiga merinding.

Selain Felix, semua berkumpul membentuk lingkaran kecil, semuanya menunduk membisu memandangi objek perhatian yang sama, mereka sama-sama menatap satu titik bisu — pada Ouija Board yang diletakkan di pusat formasi lingkaran yang mereka buat.

Hening.

Hyunjin menatap Dowoon lalu Jennie lalu pandangannya turun ke bawah, menatap papan ouija milik Jennie lagi, dia bingung kenapa tiba-tiba mereka memutuskan untuk main Ouija, saat memikirkan papan itu yang terlintas di kepalanya cuma papan kayu itu adalah media komunikasi yang bisa digunakan orang biasa untuk 'bicara' dengan orang yang sudah mati.

Hyunjin agak keheranan menatap papan dari kayu yang kelihatan antik itu, barang ini kelihatan mahal dan benar-benar tua, dalam papan itu terdapat huruf abjad A-Z, kemudian angka mulai dari 0-9, lalu kata 'Yes' dan  'No' di sudut-sudut paling atas, disertai dengan matahari yang mengambarkan cahaya dan bulan yang mengambarkan kegelapan. Ditambah kata 'Good Bye' di bagian tengah bawah.

Semua deretan hurufnya seperti diukir, Hyunjin melihat alat penggeraknya, bentuknya seperti embun dan memiliki kaca kecil di ujungnya namanya Planchette.

Hyunjin pernah denger, konon kaca kecil itu bisa digunakan untuk melihat hantu.

Dia pernah lihat dalam film, gimana orang-orang yang menantang hantu di dalam film memainkannya, mereka akan menempatkan jari mereka di atas planchette, menanyakan sesuatu dan menunggu ada jawaban, planchette yang dimotori arwah akan bergerak-gerak membentuk kata dan menjawab pertanyaan.

Ada kerut samar diantara mata Hyunjin, sebenarnya buat apa mereka main Ouija? Hampir aja Hyunjin mau mengusulkan kalau sebaiknya dia nggak usah main dan mengajukan diri jagain Felix di ruangan sebelah, tapi Dowoon yang buka suara membuat Hyunjin jadi urung mengatakan sepatah katapun.

"Kita.., apa nggak sebaiknya kita batalin aja main ini, aku rasa udah cukup kita dilihatin hantu-hantu itu dari tadi, nggak usah lagi berurusan sama mereka apalagi manggil mereka pake papan ini." Dowoon sedikit berbisik ke Jennie, "Itu namanya main api."

Itu pernyataan yang ingin didengar Hyunjin dengan begitu jelas.

Jennie masih melihat papan ouija itu dalam diam.

"Gak ada cara lain."

"Maksudnya?" Hyunjin reflek menoleh ke Jennie.

Jennie cuma diem aja.

"Jen.." kata Dowoon karena Jennie cuma diem aja.

"Udah gak ada cara lain," Jennie menatap mata Dowoon lalu Hyunjin, "Kita nggak bisa diem aja dan nunggu terus, semuanya dari kita udah dilihatin hal-hal ganjil, lo bisa lihat adek gue sampe kayak gitu, kita diganggu sampai level kronis tanpa ngerti sebabnya, pasti ada sebabnya dan kita harus tahu lewat papan ini, kita harus coba komunikasi sama mereka."

"Yakin kak? Buat saya ini kayak nantang bahaya." kali ini Hyunjin buka suara, memutuskan bicara jujur.

Jennie kembali bicara, "Bahaya? Bukannya sejak kita kesasar ke sini, mobil macet, dilihatin hantu, juga udah nantang bahaya?"

"Sebenernya, aku setuju sama Hyunjin, tapi aku rasa yang kamu bilang ada benernya juga."

"Gimana kalau kita nggak berhasil?"

Hening.

Semuanya diam.

Ketiganya terdiam tertegun dalam gelap malam, lampu senter redup yang tak begitu menerangi ruangan tampak berkedip-kedip.

Jennie menghela napas.

"Siap?"

Ada hening yang lama setelah Jennie bicara, Sepertinya emang gak ada pilihan lain yang bisa diambil, Hyunjin memasang ekspresi tegang sambil menatap ke arah Dowoon. Ingatan tentang penampakan hantu yang dia lihat sejak beberapa jam terakhir terlintas lagi di dalam kepalanya, tergiang-giang, Mainin Ouija artinya gue harus lihat hantu lagi.

"Siap?" Jennie kembali bersuara.

Hyunjin masih melihat dalam diam, seperti mengambil keputusan.

Wajah Dowoon pucat.

Seperti ada angin yang berdesir dingin dalam pikiran Hyunjin dan Dowoon waktu mereka akhirnya menjawab hampir berbarengan, "Siap." Mereka luluh dengan terpaksa.

Treq..treq.. dua cahaya senter dipadamkan secara bergilir..


Jennie menyalakan lilin sebagai cahaya pengganti, lilin termasuk salah satu syarat untuk bermain Ouija, hal ini dipercaya sebagai lambang tali penghubung antara pemain dan roh,  cahaya dari lilin menciptakan bayangan-bayangan aneh di dinding, semuanya makin suram.

Suara Dowoon pelan banget, dia lupa bertanya tentang hal ini, "Sory, kenapa Felix gak main disini aja sama kita?"

"Udah cukup kondisi dia begitu, gue gak mau memperparah kondisi adek gue," kata Jennie, "Gue mau dia istirahat dari hal-hal kayak gini, gue tahu kalian paham apa yang gue maksud."

Dowoon mengangguk.

Hyunjin mendengarkan. Udara dingin terus menusuk kulitnya.

"Ada rulesnya selama kita main Ouija, gue nggak akan mengulang, jadi dengerin gue baik-baik." Jennie menatap keduanya, suaranya agak goyah.

Hening.

Hujan turun lagi, kali ini bertambah deras, menimbulkan suara air menimpa atap bambu dengan gemelutuk gemuruh yang menyeramkan.

"Pertama, jangan pernah main sendiri."

"Kedua, jangan pernah bermain di makam."

"Ketiga, jangan pernah bicara tentang Tuhan saat bermain."

"Lalu," Jennie berhenti sesaat, "Selalu katakan Good bye saat mengakhiri permainan."



***


Dengan ekspresi tegang yang sama dan mimik wajah munafik sok tegar, mereka bertiga meletakkan telunjuk di pinggiran planchette—benda berbentuk embun yang menjadi media penuntun menuju huruf-huruf di papan ouija.

Bibir Jennie bergerak, "Spirit, spirit of the of the coin..Spirit, spirit of the coin..Please come out and play with us!"

Hyunjin menatap ke bawah pada tangannya yang bergerak bersama-sama mereka di Ouija board, dia tahu yang dilontarkan Jennie barusan itu mantra pemanggil hantu.

Jennie terus merapalkan mantra pemanggil arwah itu, suaranya beradu dengan hujan di luar, dia merapalkan mantra itu terus-menerus, sementara tangan mereka bertiga masing-masing ada diatas planchette, bergerak memutar diatas simbol-simbol papan secara perlahan dan pelan.

"Spirit, spirit of the of the coin..Spirit, spirit of the coin..Please come out and play with us!" Kali ini mereka bertiga merapalkan mantra bersama-sama, mata mereka terpejam penuh konsentrasi, mereka berusaha membayangkan sosok hantu yang akan hadir di tengah-tengah mereka bertiga.

"Spirit, spirit of the of the coin..Spirit, spirit of the coin..Please come out and play with us!"

Sepuluh menit berlalu, tidak ada yang terjadi, tangan mereka bergerak semakin lemah, plus pegal luar biasa, tidak ada energi lain yang menuntun mereka, tidak ada roh yang terhubung, tidak ada tanda-tanda planchette  terasa berat—

—Belum..

"Spirit, spirit of the of the coin..Spirit, spirit of the coin..Please come out and play with us!"




Tok.


Tok.






Tok.




Suara itu muncul tiba-tiba.

Seperti benda padat yang dilemparkan ke dinding bambu yang ada di luar dan membuyarkan konsentrasi mereka. Diikuti suara tawa seorang perempuan yang terdengar oleh mereka semua.

Sensasinya seperti diberi alat kejut listrik dan membuat terlonjak.

Keheningan muncul sesaat.

Mereka membisu

Nggak lama semilir bau amis tercium dari angin hujan yang masuk lewat celah-celah bambu.

Kemudian suara itu kembali lagi

Tok.

Tok.

Tok.



Lebih keras dan lebih menyesakkan napas saat suara itu makin menjadi lebih keras.

Niat mau melanjutkan permainan berhenti. Tanpa komando mata mereka terbuka secara reflek dan saling pandang satu sama lain.

Suara apa itu di luar?

Entah cuma Hyunjin aja atau yang lain juga merasakan hal yang sama, mereka langsung mengambil kesimpulan: Ada roh yang datang!

"Se..sekarang kita tanya." Suara Dowoon yang panik jelas nggak ditutup-tutupi, wajahnya tegang sepenuhnya, Hyunjin memulai dengan campur aduk, wajahnya mengandung rasa was-was, "A..pakah ada seseorang di ruangan ini?" Tangan mereka bertiga bergerak di papan ouija.

Gak ada respon.

"Apakah ada seseorang di ruangan ini? Kalau ya, berikan kami tanda." ujar Jennie jantungnya berdegup penuh ketegangan, dahinya membentuk lapisan keringat.

Nggak berapa lama setelah Jennie bicara, tiba-tiba planchette yang mereka pegang mulai terasa berat, bergerak cepat mengitari papan Ouija, seolah ada yang menuntun dengan kekuatan kasat mata. Hyunjin dan Dowoon membisu, keringat dingin menetes dari dahi mereka—sedetik berlalu, mereka tetap membisu dan bertukar pandang, Planchette berhenti bergerak di tulisan 'Yes'

Jennie bergeming sejenak, seperti sedang mempersiapkan pertanyaan selanjutnya yang akan dilontarkan lalu bicara lagi, "Bolehkan kami tahu siapa namamu?"

Dowoon tegang.

Hyunjin menunggu.

Tangan mereka bergerak lebih lemah di papan Ouija, mengelilingi simbol alphabet, menelusuri huruf-huruf yang ada di bawahnya yang kemudian membentuk serangkaian nama. 





G

A

B

R

I

E

L

L

A

Continue Reading

You'll Also Like

24K 5K 17
Nonton film horror itu seru, tapi kalau masuk ke dalam film horror masih seru gak? Genre : black comedy Status : this story is just for fun St...
109K 14.4K 13
Rotate your brain then follow the rules that are in the start and game. Welcome to Escape Room~~ -STRAY KIDS- ⚠ Bahasa Semi Baku / Non Baku ⚠ Miste...
352K 37.2K 19
Β» remember, you're not alone. lowercase as always. dikutip dari ; situs creepy pasta dan urban legend indonesia. 2017Β© yutaaai
54.6K 8.9K 44
"pinter banget lo actingnya" Start : 8 - 9 - 2021 Finish : 2 - 6 - 2022 [Budayakan follow sebelum membaca] KET: ● Cerita pertama, jadi maaf kalo ada...