El Academy [Proses Revisi]

By RiaethShiba

79.9K 5.3K 399

[Fantasy-Minor Romance] Three Kingdom The Series #1 Hembusan Rusa yang Bebas. Itu adalah arti namanya; Oilien... More

El Academy-Victorian
Chapter 1 : Flamers
Meet The Character!
Chapter 2 : Dandelion
Chapter 3 : Si Rambut Silver
Chapter 4 : Ujian
Chapter 5 : Aukwood
Chapter 6 : Necklace
Chapter 7 : Teman atau Musuh?
Chapter 7.5 : Teman atau Musuh?
Chapter 8 : His Brother
Chapter 9 : The Last Day
Chapter 10 : Ini Salah!
Chapter 11 : Pangeran Malam
Chapter 12 : A Time to Remember
Chapter 13 : Lost that "Blue"
Chapter 14 : Saying Good "Bye"
Chapter 15 : Red Rose
Chapter 17 : The Meaning
Chapter 18 : Let Me?
Chapter 19 : White Lie
Chapter 20 : Cold Truth Or Warm Dare?
Chapter 21 : Something Changed
Chapter 22 : Untrusted
Chapter 23 : Grey Suicide
Attention Please!
Chapter 24 : Heart of Fire
Chapter 25 : Can You See My Heart?
Chapter 26 : Fall Behind
Chapter 27 : Termodinamika
Chapter 28 : Apriori

Chapter 16 : Doll

1.9K 150 10
By RiaethShiba

Jangan lupa tinggalkan jejak!
Vote maupun komentar kalian sangatlah berharga 😊

"Jika diibaratkan, kamu adalah cahaya dan aku bayangannya. Memang, cahaya bisa hidup tanpa bayangan. Sayangnya satu, cahaya takkan sempurna saat bayangan tidak berada disisinya."

- Unknown -

📷 📷 📷

SEORANG gadis berlari kencang melewati hiruk pikuk keramaian desa. Hari ini adalah festival tahunan penduduk desa. Itu membuat jalanan ramai tanpa celah, namun terus dipaksa oleh gadis itu untuk bergerak.

Beberapa warga berteriak tidak terima akan sikap keterlaluan sang gadis, namun tidak diacuhkan olehnya. Gadis itu terus berlari hingga memasuki sebuah kuil tua tanpa menyadari bahwa suasana kuil memadat kian waktu. Ia tetap mengesampingkan kenyataan itu dan terus berlari ke dalam.

Suara penduduk desa yang menggumamkan doa terdengar di pendengaran gadis itu membuatnya memelankan langkah. Ia menarik nafas dalam dan menghembuskannya seiring langkahnya menuju sebuah ruangan tua di pojok kuil. Terdengar suara keramaian makin menipis tiap detiknya ketika gadis itu memasuki ruangan tersebut.

Krekk...

"Kau datang?"

Gadis itu mengatur nafasnya agar teratur dan juga detak jantungnya yang melompat tak karuan. Sudah berapa kali dia merasakan hal ini, namun gadis itu selalu berpikiran positif saja. Mungkin saja itu detak jantung akibat kelelahan, bukan?

Gadis itu mendekat lalu mengambil sesuatu di saku bajunya dan menyerahkannya pada seseorang di sana.

Suara kekehan kecil seorang lelaki membuat gadis itu tersentak. Wajahnya memerah setiap kali mendengar lelaki itu tertawa.

"Kau baik sekali! Terimakasih, Iluisa," ucap seorang lelaki sembari mengacak-acak rambut gadis bernama Iluisa itu.

Iluisa merasakan rona merah di wajahnya kian timbul. Dia langsung menunduk sembari bergeser menyampingi tuannya.

"Apa kau takut padaku?" Mata Iluisa terbelalak mendengar hal itu. Ia segera menggeleng kencang dan mengatakan sesuatu yang hanya dimengerti oleh lelaki itu menggunakan tangannya.

"Ah, jadi kau malu?" Iluisa secara ragu mengangguk dan disambut tawa menggelegar oleh Sang Lelaki.

"Tidak usah malu begitu, aku jadi takut kalau membuat gadis manis lupa cara bernafas nantinya." Lelaki itu tertawa lagi lalu mengacak rambut Iluisa sebentar dan beranjak menuju singgasananya.

"Jadi, surat apa ini?" gumam lelaki itu basa basi setelah duduk di sebuah sofa kayu sembari membuka surat yang ia genggam sejak beberapa saat yang lalu.

Lelaki itu membaca suratnya. Pada awalnya,  semua nampak normal. Namun ia menemukan suatu kejanggalan di bagian akhir. Kejanggalan yang tidak bisa diremehkan oleh lelaki itu sama sekali. Bukannya merasa takut dan panik, lelaki itu malah tersenyum. Senyuman dari lelaki itu mampu membuat Sang Gadis merona, lagi.

Lelaki itu menatap Iluisa dengan pandangan ramah. "Kau dapat darimana surat ini?"

Iluisa tersenyum lalu menjawab dengan bahasa isyarat. "Aku dapat ini dari pedagang di pasar. Aku dititipkan olehnya untuk kubawa padamu."

"Kalau begitu, bagaimana rupa pedagang itu?" tanya lelaki itu membuat Iluisa sedikit berpikir.

"Dia tinggi, menggunakan jubah dengan penutup kepala, kulitnya putih, lalu..."

"Lalu?"

"Matanya berwarna oranye cerah dengan kulit putih pucat. Aku tidak bisa melihat wajahnya karena terlalu gelap melihat bagian hidung dan matanya."

Lelaki itu menghela nafasnya perlahan lalu tersenyum kepada Iluisa. "Bisa kau berbalik badan memunggungiku?"

Iluisa mengangguk dengan pipi yang masih merona lalu melaksanakan permintaan lelaki itu dengan jantung yang berdegup kencang.

Lelaki itu tersenyum dengan sedih sebelum menyeringai tajam menatap punggung Iluisa. Ia berjalan mendekat lalu melingkarkan tangannya di perut gadis itu.

"Apa kau suka padaku?"

Iluisa merasakan hawa sekitarnya semakin panas saja. Ia sama sekali tidak tahu jawabannya, namun hatinya menjawab dengan lantang. Akan tetapi, tentu saja sulit mengatakan yang sebenarnya saat ini.

"Ah, jadi kau tidak suka padaku ya?"

Iluisa menggeleng cepat lalu berusaha membalikkan tubuhnya untuk menghadap tuannya. Namun yang ia dapatkan malah pelukan yang semakin erat oleh tuannya.

"Sebentar saja seperti ini." Lelaki itu membenamkan kepalanya di bahu Iluisa. "Aku tahu aku akan menyesal. Tapi itu yang terbaik untukmu, untuk kita."

Waktu berjalan lambat di pikiran Iluisa sedangkan berjalan sangat cepat di pikiran lelaki itu. Hingga beberapa menit kemudian lelaki itu perlahan melepaskan pelukannya dan membalikkan tubuh Iluisa perlahan.

Iluisa menunduk malu tanpa mau menatap tuannya. Ia takut jika tuannya mampu melihat rona merah di wajahnya.

"Aku juga mencintaimu, Iluisa." Satu kalimat yang baru diucapkan oleh lelaki di hadapan Iluisa membuatnya terbelalak. Wajahnya sudah merah padam dan tak mampu lagi berkata-kata seandainya ia bisa bicara.

"Apa kau mau kita bersama?"

Iluisa mengangguk dengan cepat diiringi suara kekehan kecil dati tuannya.

"Kalau begitu, apa kau mau melakukan apapun untukku?"

Lagi-lagi, tanpa ragu Iluisa menganggukkan kepalanya membuat lelaki di hadapannya tersenyum tipis sekali.

"Bisakah kau berjanji padaku?" Lelaki itu berkata sembari berjongkok di hadapan Iluisa.

Iluisa menahan nafas sembari menatap tuannya. Lelaki sekaligus tuannya yang telah menyelamatkan hidupnya dahulu itu kini mengacungkan jari kelingkingnya di depan Iluisa membuat gadis itu terpana selama sesaat.

"Promise me you'll never leave me alone." Sadar tidak sadar, gadis itu mengangguk. Dinginnya bebatuan kuil menjadi saksi betapa cintanya gadis itu pada tuannya. 

"Terimakasih karena telah memilih untuk bertahan bersamaku. Aku sangat menghargai hal itu," ucap Sang Lelaki dengan senyum.

Sedetik kemudian, lelaki itu menggumamkan sebuah mantera seraya mengarahkannya ke gadis itu. Dia mengeluarkan aura kuning kecokelatan membuat Iluisa memejamkan matanya menahan sesuatu.

"Aaaaaakhh!!" teriakan yang terdengar membuat lelaki itu menahan nafas. Dia berpikir mengenai fakta bahwa gadisnya akan berbicara jika merasakan sakit yang sangat seperti ini.

Teriakan itu kian mereda disertai perubahan warna bola mata Iluisa. Warnanya irisnya menjadi oranye cerah dengan raut wajah yang tidak bisa di definisikan.

Lelaki itu menghela nafasnya lalu terduduk di lantai yang dingin seraya memukul kepalanya sendiri. Suasana hening itu semakin menjadi saat lelaki itu merasakan bahwa air matanya jatuh membasahi wajahnya. Lelaki itu telah membunuh gadisnya, gadis yang mencintainya sejak beberapa tahun yang lalu.

Namun sedetik kemudian, lelaki itu kembali menatap tubuh Iluisa yang diam seperti layaknya patung. Lelaki itu menyeringai tajam dengan perasaan bersalah yang ia singkirkan.

"Dia sudah berkata ingin bersamaku selamanya, bukan? Kalau begitu, ini semua juga keinginannya." Lelaki itu beranjak dari tempatnya lalu berjalan ke arah Iluisa yang menatapnya datar.

"Iluisa-ku," ucap lelaki itu sembari mengelus rambut gadis itu perlahan. "Sekarang kau telah menjadi bagian dari keluargaku. Kau sekarang adalah bonekaku yang paling istimewa, Iluisa. Aku berjanji akan memanjakanmu dan memperlakukanmu dengan spesial daripada yang lainnya."

Lelaki itu mengecup pipi Iluisa lama tanpa menyadari bahwa air mata telah menggenang di pelupuk mata gadis itu.

Dia menangis. Bonekanya menangis.

⛄ ⛄ ⛄

FEYNA menatap langit yang sedikit berbeda hari ini. Sudah beberapa sejak kejadian itu dan ia sudah berusaha melupakannya. Kejadian itu sedikit merubah cara pandangnya terhadap dunia.

Ternyata, dunia tidak jahat hanya kepadanya.

Awalnya Feyna sama sekali tidak tahu jika dunia lebih kejam apabila ia pergi dari rumahnya. Awalnya Feyna kecil tidak tahu bagaimana kejamnya para makhluk luar terutama para penyihir jika dia selalu terkurung di dalam istana. Awalnya Feyna merasa dunianya baik-baik saja, tetapi pada akhirnya...

"PERGILAH, ANNA!"

Feyna menoleh ke belakang dengan cepat. Ia merasakan seseorang menepuk pundaknya.

"Melankolis sekali."

"Enggak biasanya kamu kemari, ada apa?" tanya Feyna menatap langit. Dia merasakan bahwa orang yang berada di belakangnya duduk di sebelahnya.

"Aku... Hanya ingin."

"Hanya ingin? Kupikir kamu tau kalau itu bukan jawaban yang kuinginkan."

"Lalu jawaban apa yang kamu inginkan?"

"Selain jawaban semacam itu."

"Sepertinya enggak ada jawaban lain."

Tiba-tiba terdengar suara elang yang terbang di angkasa. Namun, bukan itu yang membuat perhatian dua penyihir itu teralihkan. Elang itu tiba-tiba datang ke arah mereka dan memberi sesuatu kepada Feyna.

"Apa itu? Dan elang siapa ini?"

Feyna tidak menjawab. Dia memilih membungkan mulutnya apalagi saat mengetahui bau harum surat itu yang tidak asing.

Feyna membukanya perlahan. Jantungnya berdetak dengan kencang setelah ia dengan telitinya membaca isi dari surat itu.

Putri Anna,
Salam hormatku untukmu.

Tuan Putri, aku tahu selama ini kau mencariku.
Bisakah kau temui aku di gedung olahraga akademi sekarang? Atau aku akan pergi dari sini.
Oh ya, jangan membawa teman atau siapapun bersamamu.
Itu karena aku punya sesuatu untukmu, hanya untukmu.

Dari penjagamu,
Leon.

Feyna meremas kuat kertas itu dan berlari ke gedung olahraga yang jaraknya sekitar beberapa ratus meter dari tempatnya berada. Tanpa memerdulikan teriakan seseorang di belakang yang memanggilnya.

Aura yang tidak mengenakkan hadir di ulu hati Feyna saat berada di gedung olahraga. Dia memasuki gedung itu dengan hati-hati saat mendengar seseorang berbicara di depan gedung.

Untung saja orang itu tidak melihatnya, maka ia bisa masuk tanpa ketahuan.

"Feyna?"

Feyna menggerutu di dalam hati.

"Ya?"

"Ada apa malam-malam begini ke gedung olahraga?" Ternyata beliau adalah Mrs. Yvone, penjaga perpustakaan.

"Kenapa Mrs. Yvone kemari?"

"Ibu kemari karena mendengar suara gaduh dari gedung olahraga. Apa kamu juga kesini karena itu?"

Feyna terdiam. Dia ingat mengenai surat yang diberikan Leon kepadanya.

Jangan membawa teman atau siapapun bersamamu.

Feyna menggaruk tengkuknya gatal. "Mm.. Maaf, Mrs. Yvone, sebenarnya itu adalah kucing Mr. Xander yang sedang bermain di gedung olahraga. Mr. Xander mencarinya dan aku diutus olehnya untuk datang kemari mencari kucingnya."

Mrs. Yvone menatap Feyna dengan ragu, namun ketika terdengar suara gaduh lagi di dalam dengan suara teriakan kucing sebagai pelengkap akhir, akhirnya Mrs. Yvone mengangguk-angguk mengerti.

"Baiklah, urus kucing Xander dan jangan biarkan kucing kampung itu merusak apa yang ada di dalam gedung olahraga," ucap Mrs. Yvone dengan helaan nafas menahan lelah.

Feyna mengangguk mantap membuat Mrs. Yvone membalikkan tubuhnya dengan desahan nafas panjang. "Ah, dasar Xander. Memang sih, wajahnya lumayan. Tapi kenapa hidupnya harus bersama dengan makhluk aneh-aneh itu?"

Feyna tersenyum geli mendengar itu semua dan berjalan memasuki gedung olahraga yang entah mengapa begitu misterius kali ini. Jujur saja, Feyna belum pernah kemari, walaupun saat menuju Aukwood dahulu bersama Zeon, ia sering melewati gedung olahraga ini.

Suara gesekan sepatu dan lantai menyeru dengan lantang di gedung olahraga bak aula mini ini. Feyna berusaha mencari sosok lelaki yang menjadi tujuannya datang kemari. Lelaki yang selalu menjadi penjaganya itu, sejak kecil.

Feyna berjalan-jalan di gedung olahraga ini. Namun dia merasakan sesuatu yang aneh di kakinya saat menapak. Ternyata ada secarik kertas yang ditinggalkan di lantai gedung olahraga ini.

Feyna mengambilnya dan membacanya. Dia membaca dengan pandangan kosong lalu menghela nafas sesaat setelahnya.

Halo Tuan Putri,
Sebelumnya maafkan aku.
Maaf jika aku tidak bisa memenuhi janjiku  di surat yang kutuliskan untukmu tadi. Ini karena gedung olahraga di siang hari terlalu ramai untuk membicarakan topik yang sedikit sensitif untuk dibahas.

Tuan Putri Anna,
Aku harap kau tidak marah padaku.
Aku melakukan ini untuk kebaikanmu, kebaikanku, kebaikan kerajaan kedepannya.
Demi penerus selanjutnya, aku akan melakukan apapun.

Jika kau ingin bertemu denganku, datanglah ke gedung olahraga ini saat tengah malam. Di sanalah kita akan bertemu.

Kuharap kau datang, Tuan Putri.
Karena jika kau tidak datang, aku mungkin tidak akan kembali menemuimu untuk waktu yang lama.

Leon.

Feyna meremas surat itu lalu memasukkan ke dalam kantung blazernya. Feyna tertawa pelan hingga membesar membuat gedung olahraga memantulkan suara menggelegarnya.

Feyna berhenti tertawa beberapa saat setelahnya. Dia tersenyum manis, namun terdapat seringaian sinis tipis yang tidak bisa disadari siapapun kecuali Sang Pencipta dan dirinya.

"Aku tahu kau disini, Leon," ucap Feyna tanpa mau menoleh ke arah pintu di dekat panggung pentas seni.

"Aku tahu kau memang sengaja tidak ingin menemuiku saat aku mampu menatap wajahmu dengan leluasa." Feyna terkekeh kecil lalu melanjutkan, "sengaja menyembunyikan identitasmu, huh?"

Feyna tersenyum manis. "Tidak apa-apa, tidak apa-apa." Feyna menarik nafas lalu melanjutkan, "aku mengerti. Sungguh mengerti bahwa kau..."

"Feyna?"

Tenggorokan Feyna tercekat. "K-Kamu..."

"Feyna, sedang apa kamu disini?"

Feyna menatap tak percaya dengan siapa yang ada di depannya saat ini.

"K-Kamu itu..."

Feyna jelas tahu dia. Namanya Alberta Gionova. Dia adalah teman Feyna saat ujian keduanya kemarin.

"Apakah dia adalah Leon?" Feyna bertanya dalam hati di tengah-tengah kecemasannya.

T-Tidak mungkin... Kan? Wajahnya saja berbeda.

"Kenapa kamu ada di sini? Hari sudah mulai malam. Tidak seharusnya seorang gadis sepertimu--"

"Maaf," ucap Feyna dengan senyuman kikuk. "Aku bermaksud untuk mengetahui suara berisik tadi. Bukan apa-apa."

"Oh, suara itu. Tadi memang ada kucing yang bertengkar dengan semacam hewan buas. Aku enggak tahu juga hewan buas apa," ucap Albert sembari menggaruk tengkuknya tak gatal.

"Kamu memang bukan dia, ya." Feyna mengambil nafasnya. "Dia berbeda sekali denganmu. Hm, dia memang sudah pergi."

"Dia siapa?"

Feyna tersenyum menyadari bahwa dia salah bicara. "Bukan siapa-siapa."

Feyna segera meninggalkan gedung olahraga dengan suara sepatu yang menggema di sana. Alberta menatapnya dengan bingung, namun dengan satu tarikan senyum di bibirnya.

Hati-Hati, Feyna.

🔪 🔪 🔪

RAVEN menatap pantulan dirinya di danau akademi. Suasana ramai di sekitarnya sama sekali tak membuatnya terganggu. Dia tak mampu berbicara apapun sejak saat itu. Katakan saja dia adalah lelaki paling pengecut yang pernah ada. Mungkin gelar itu pantas disematkan padanya.

Sejak beberapa hari yang lalu dia menyerah mencari Feyna, terpaksa dirinya kembali ke akademi. Di akademi Raven sempat bingung, mengapa Zeon dan Feyna sudah berada di akademi dengan keadaan nampak biasa saja. Seolah-olah tak terjadi apapun.

Namun keanehan terjadi pada waktu malam. Zeon, teman sekamar Sergio itu, tidur pulas bagaikan mayat hidup sampai hari ini pun. Padahal setahu Raven dan Sergio, Zeon adalah seorang lelaki yang hampir tak pernah tidur dengan nyenyak seumur hidupnya.

"Alexa!"

Raven mendengus kasar mendengar panggilan yang disematkan padanya itu.

Teman sekamar Raven itu tersenyum dengan lebam dan bekas cakaran di seluruh tubuhnya. Raven hampir tersedak melihat apa yang terjadi dengannya.

"Lo habis ngapain? Nyuri mangga Mr. Dawson ya?" Raven menatap temannya tidak menyangka.

Temannya memicingkan mata dan menatap Raven dengan raut wajah serius. "Dicakar kucing garong."

"Hah?" Raven menatap temannya itu dengan bingung.

"Ck. Kucing jadi-jadian nyerang gue tadi."

Raven menatao temannya tidak percaya. "Maksud lo si—"

"Iya, dia." Teman sekamar Raven mendengus sebal. "Dari sekian banyaknya orang, kenapa gue harus ketemu dia, sih?"

"Jodoh kali."

Mata teman Raven memicing. Sedetik kemudian, badan Raven serasa melayang membuatnya berteriak dramatis. Hingga akhirnya pantatnya tertampar dinginnya lantai depan kamarnya disertai suara pintu terbanting dengan sengaja.

"NEWT GILA LO!" Raven berteriak sembari menggedor-gedor pintu kamarnya. "WOY! GUE TIDUR DIMANA NANTI?"

"Gak usah tidur, bisa kan? Laki-laki itu bukan makhluk yang gampang ngeluh."

"NEWT!" Raven berteriak pasrah sebelum akhirnya terpaksa meninggalkan asrama pria dengan langkah gontai. Kali ini dia harus tidur di luar, lagi. Benar-benar hari yang sial untuknya.

Raven berjalan di koridor belakang sekolah. Tujuan satu-satunya saat ini adalah perpustakaan. Mengapa? Karena disana dia bisa tidur sepuasnya tanpa ketahuan Mrs. Yvone.

Tanpa ia sadari, Feyna berjalan di koridor yang sama dengannya sekarang. Feyna tidak menatapnya. Namun, wajahnya terlihat terlalu serius untuk seorang gadis remaja yang belum cukup dewasa.

Raven baru sadar akan hal itu saat dia dan Feyna akan berpapasan sebentar lagi. Baru satu langkah ia berpapasan, Raven menghentikan langkahnya dan menoleh ke belakang.

"Feyna!"

Feyna menghentikan langkahnya. Dia menoleh saat mendengar panggilan seseorang yang familier di telinganya. Oh, Raven ya.

Raven berjalan mendekati Feyna disertai tatapan datar gadis itu saat menatapnya. Di dalam hati Raven, Raven benar-benar takut bila nantinya Feyna tidak bisa memaafkan perbuatannya. Namun apabila ia tidak melakukan ini, kapan lagi? Dia tidak bisa terus menerus tersiksa jika harus menahan diri untuk tidak berbicara dengan Feyna.

"Feyna, aku minta maaf."

Suasana senja hari itu hening. Warna langit yang semakin lama semakin menghitam membuat kesan sedih bagi siapapun yang melihatnya. Apakah senja ini Raven bisa berhenti menjadi pengecut?

Tanpa bisa diduga Raven, Feyna tertawa lepas. Raven menatap Feyna dengan wajah bingung dan mulut yang membentuk huruf o. Mungkin dia tidak percaya dengan sikap Feyna sekarang.

"Ada apa dengan rambut merah ini?" ucap Feyna sesaat setelah tawanya mereda. "Kamu ngerasa bersalah sama aku? Tentang apa?"

Raven merasa kikuk sendiri. Kenapa gadis ini bisa bertingkah seolah saat itu dirinya tidak melakukan apapun? Raven tahu, sangat tahu. Saat itu ada yang terjadi dengan Feyna dan Zeon membuat mereka menghilang dari Kastil Dawn. Tetapi, Raven sama sekali tidak tahu apa yang membuat mereka menghilang.

Raven saat ini merasa benar-benar bodoh.

"Kamu... Enggak ingat?" Raven memutuskan bertanya. Dia takut bila Feyna amnesia dan melupakan semua kenangannya waktu itu.

Feyna tersenyum kecil. "Apa ini tentang kamu yang nyuruh aku mencari Zeon?"

Raven menatap Feyna tidak percaya. Bagaimana bisa Feyna mengatakan itu tanpa beban? Sedangkan dirinya sendiri memikirkan hal itu selama beberapa hari tanpa henti! Astaga, Raven benar-benar merasa bodoh.

Feyna menyipitkan mata sembari menatap perubahan raut wajah Raven yang begitu kentara. "Aku benar, bukan? Kalau mengenai itu, aku malah berterimakasih."

Feyna tersenyum dan melipat tangannya di depan dadanya. Sementara di sisi lain, Raven bertambah bingung. Kenapa Feyna malah berterimakasih padanya? Kenapa berbicara dengan seorang gadis bisa menjadi sesulit ini?

"Maksudmu apa Fey? Aku seharusnya enggak memaksa--"

Feyna menghembuskan nafasnya berat. "Raven. Aku benar-benar berterimakasih padamu. Kalau kamu enggak menyuruhku seperti kemarin, aku enggak mungkin di sini. Lihat, enggak ada yang perlu dikhawatirkan! Aku dan Zeon baik-baik saja."

"Maksudmu kamu enggak mungkin disini?"

Feyna menatap Raven tidak percaya. "Zeon nggak cerita?"

"Dia tidur seperti orang mati. Bagaimana aku bisa bertanya kepadanya?"

Feyna menatap Raven dengan kaget. "Sampai sekarang Zeon masih tidur?"

Raven memang melihat tadi pagi Zeon masih berpelukan dengan kasurnya tanpa ingin dibangunkan. Namun anehnya, mengapa Feyna sepertinya sangat tahu mengenai kondisi Zeon?

"Kalau dia memang masih tidur, berarti dia belum sembuh?"

Raven dengan sadar mendengar suara pikiran Feyna yang tiba-tiba saja masuk di indera pendengarannya. Saat Raven hendak bertanya lebih jauh, sebuah suara mengagetkan mereka berdua.

"Yo, bro!"

Raven menatap Zeon yang berjalan ke arahnya dengan tatapan tidak percaya. Zeon sudah bangun? Dan Zeon menyapanya? Sejak kapan lelaki dingin itu mau menyapanya?

Zeon mengalungkan tangannya di leher Raven. Raven benar-benar tidak bisa berpikiran jernih. Bahkan itu membuat dirinya sulit mendengarkan pikiran orang lain.

"Kamu sudah bangun?" Feyna menatap Zeon dengan pandangan yang tidak bisa didefinisikan.

"Eh? Kamu tahu dari mana kalau aku tidur panjang?" Zeon menatap Feyna bingung.

"Ah itu, kemarin kan di sana aku pura-pura tidur untuk mendengar ucapanmu."

Raven menggelengkan kepalanya dengan cepat dan menyingkirkan tangan Zeon dari lehernya. Dia menatap Zeon dengan tatapan membunuh.

"Jangan terlalu dekat!" desisbRaven tidak terima.

"Raven yang memberitahuku," ucap Fryna santai.

Raven menatap Feyna dengan tatapan tidak percaya sembari menunjuk dirinya sendiri. "Aku?"

"Ya, barusan kamu bilang begitu."

"Terserahlah! Sudah, aku ingin menjernihkan pikiranku dahulu!" Raven membalikkan badan lalu berjalan meninggalkan mereka berdua yang menatapnya dengan bingung.

Sepeninggalan Raven, Zeon menatap Feyna meminta penjelasan.

"Kamu denger sesuatu waktu itu?" Zeon menatap manik Feyna lekat mencari jawaban atas pertanyaannya.

"Engg... Enggak kok," ucap Feyna dengan gugup lalu berlari meninggalkan Zeon yang diam membeku di tempatnya.

"Kalau memang dia dengar berarti..." Zeon mengerjapkan matanya mengingat sesuatu. "Semoga saja tidak."

"Tapi jika dia mendengarnya, sepertinya suatu saat aku memang harus melakukannya. Untuknya," ucap Zeon sebelum meninggalkan tempat itu.

Di lain sisi, sebenarnya Raven tidak pergi. Dia bersembunyi di balik dinding sembari mendengarkan ucapan mereka berdua. Dengan sekali tarikan nafas, Raven menyenderkan kepalanya di dinding dengan satu kaki yang juga bersandar di dinding dan satu kaki lainnya sebagai tumpuan. Dia menatap langit senja dalam-dalam lalu mengatakan sesuatu yang membuat sesuatu dalam dirinya tertusuk benda tajam.

"Begitu ya rupanya."

🔫 🔫 🔫

"Pemimpin organisasi angin ada di akademi ini, Pangeran."

Ucapan itu membuat senyuman Aaric terbit. Di malam ini, untuk pertama kalinya, dia begitu merasa berharga. Berharga bagi mendiang ayahnya.

"Bisa kau beritahu siapa dia?"

"T-Tapi pangeran, kurasa--"

Aaric menatap pengawalnya itu dengan tatapan mengintimidasi. "Beritahu."

"Aku yakin pangeran tidak akan senang mendengarnya."

"Kenapa?"

Varius menghela nafasnya. "Karena pemimpinnya dekat dengan Oilien."

Satu alis Aaric terangkat disertai decakan yang keluar begitu saja dari mulutnya. "Siapa? Rambut merah, silver, atau pirang?"

Varius meneguk ludahnya takut-takut. "P-Pirang."

Aaric tersenyum simpul. Akhirnya dia bisa menemukan pemimpin organisasi angin yang selama ini dia cari. Benar-benar kebetulan yang sedikit menyebalkan.

"Setelah ini, apa yang akan pangeran lakukan?"

Aaric tersenyum. "Ada satu hal."

"Apa?"

"Hieme Terrore."

"T-Tapi pangeran..."

Aaric menatap pangawalnya kesal. "Apa lagi?!"

"Bagaimana hamba bisa melakukannya di saat ada seorang mind reader di sisinya?"

Aaric terkekeh pelan. "Siapa bilang kau yang melakukannya?"

"Lalu siapa?"

"Aku sendiri yang akan melakukannya." Aaric tersenyum sebelum kembali mencari korban di kegelapan malam.

Bersambung...

Oke, aku gak akan berbasa-basi.

Yang pertama aku minta maaf lagi karena jarang update :'') Tugas menumpuk dari yang praktek sampai lisan^^

Yang kedua, di chapter selanjutnya aku bakalan langsung ngebongkar satu rahasia besar. Soalnya kalau masih dirahasiakan, nanti malah bikin semakin lama chapternya 😄

Tapi dari rahasia itu, cerita Feyna bakalan sedikit berubah. Mungkin udah mulai masuk ke intinya ya :v Kalau sebelumnya kan masih awal-awal :v

Reader : "Ya ampun kak, terus chapter 1-16 dengan word tiap chapter yang sebegitu banyaknya baru pembukaan?!"

Hehe, ya intinya gitu 😳

Yang ketiga, aku udah nentuin judul buat Three Kingdom The Series Season 2. Kukasih spoiler yak :v Intinya itu cerita tentang anaknya Feyna dan seseorang :))

Judulnya? Kemungkinan Evanescent. Tapi bisa ganti juga sih~ Tergantung, hehe.

Sudah ya, CIAO~

Continue Reading

You'll Also Like

2.7M 154K 49
โ€ขAiris Ferdinand. Aktris cantik dengan puluhan mantan pacar, baru saja mendapatkan penghargaan Aktris terbaik di acara Awards international. Belum se...
1.2M 122K 46
Di novel 'Kisah Naqila', Nathaniel Varendra adalah sosok antagonis paling kejam. Ia bahkan tak segan membunuh seseorang yang dianggap mengusik ketena...
975K 105K 62
(๐’๐ž๐ซ๐ข๐ž๐ฌ ๐“๐ซ๐š๐ง๐ฌ๐ฆ๐ข๐ ๐ซ๐š๐ฌ๐ข ๐Ÿ’) โš  (PART KE ACAK!) ๐˜Š๐˜ฐ๐˜ท๐˜ฆ๐˜ณ ๐˜ฃ๐˜บ ๐˜ธ๐˜ช๐˜ฅ๐˜บ๐˜ข๐˜ธ๐˜ข๐˜ต๐˜ช0506 า“แดสŸสŸแดแดก แด…แด€สœแดœสŸแดœ แด€แด‹แดœษด แด˜แดแด›แด€ ษชษดษช แดœษดแด›แดœแด‹ แดแด‡ษดแด…แดœแด‹แดœษดษข แดŠแด€...
2.3M 169K 49
Ketika Athena meregang nyawa. Tuhan sedang berbaik hati dengan memberi kesempatan kedua untuk memperbaiki masa lalunya. Athena bertekad akan memperb...