El Academy [Proses Revisi]

Par RiaethShiba

79.8K 5.3K 399

[Fantasy-Minor Romance] Three Kingdom The Series #1 Hembusan Rusa yang Bebas. Itu adalah arti namanya; Oilien... Plus

El Academy-Victorian
Chapter 1 : Flamers
Meet The Character!
Chapter 2 : Dandelion
Chapter 3 : Si Rambut Silver
Chapter 4 : Ujian
Chapter 5 : Aukwood
Chapter 6 : Necklace
Chapter 7 : Teman atau Musuh?
Chapter 7.5 : Teman atau Musuh?
Chapter 8 : His Brother
Chapter 9 : The Last Day
Chapter 10 : Ini Salah!
Chapter 11 : Pangeran Malam
Chapter 12 : A Time to Remember
Chapter 13 : Lost that "Blue"
Chapter 14 : Saying Good "Bye"
Chapter 16 : Doll
Chapter 17 : The Meaning
Chapter 18 : Let Me?
Chapter 19 : White Lie
Chapter 20 : Cold Truth Or Warm Dare?
Chapter 21 : Something Changed
Chapter 22 : Untrusted
Chapter 23 : Grey Suicide
Attention Please!
Chapter 24 : Heart of Fire
Chapter 25 : Can You See My Heart?
Chapter 26 : Fall Behind
Chapter 27 : Termodinamika
Chapter 28 : Apriori

Chapter 15 : Red Rose

1.9K 151 15
Par RiaethShiba

"Seperti bunga mawar, semakin cantik maka semakin melukai. Seperti bunga bangkai, semakin cantik maka akan semakin berbau. Yah, belum tentu kalau cantik itu sempurna."

- Unknown -

🌹 🌹 🌹

FEYNA merasakan sesuatu yang mulai bergerak menggeliat di punggungnya membuat tubuhnya semakin berat saja. Dalam hati ia sedikit mengumpat, mengapa lelaki ini begitu berat?

Hal lain terjadi setelahnya. Sebuah tangan terlihat terjulur dari bahu tangannya di sertai desisan mantera oleh seseorang di punggungnya. Feyna berdecak menyadari bahwa saat kondisi lelaki di punggungnya lemah pun, ia tetap membantunya. Dasar!

"Enggak usah membuat lampu di jalanan. Hutan sudah cukup terang karena sinar bulan," ucap Feyna dengan nada sarkas. "Itu hanya akan membuatmu semakin sakit."

"Aku enggak akan membiarkan seorang gadis berjalan sendirian di dalam kegelapan," ucap seseorang di punggung Feyna lirih.

"Aku enggak sendirian, ada kamu. Yah, kalau kamu ingat hidup."

Suara decakan dari belakang membuat Feyna tersenyum tipis.

"Kamu menyelamatkanku?" Suara lirih dari belakang membuat Feyna menoleh sedikit.

"Bukan aku, Audree."

"Oh." Lelaki itu terbatuk. "Dimana dia?"

"Pulang."

"Lalu kita?"

Feyna tersenyum kecut. "Yang pastinya bukan Kastil Dawn."

Keheningan menyelimuti mereka.

"Apa tubuhku berat?"

Kau yakin menanyakan itu? Belum sadar juga? Dasar rambut silver kurang ajar!

"Sedikit."

"Kamu berbohong."

"Kalau tahu, kenapa tanya?"

"Biar aku berjalan saja," ucap Zeon dengan pergerakan yang membuat Feyna sedikit oleng. Feyna berhenti dari jalannya dan menatap lelaki itu dari samping bahunya.

"Bisa diam enggak?"

"Bagaimana bisa seorang gadis sepertimu menggendongku?"

"Kenyataannya bisa." Feyna berdecih. "Jangan meremehkan kaum perempuan."

Zeon tertawa kecil. "Aku tahu mereka kuat."

"Baru tahu rupanya. Sudahlah! Aku enggak ingin lukamu semakin parah kalau berjalan."

Feyna kembali melanjutkan perjalanan mereka dengan keheningan. Ia sudah cukup jauh masuk ke dalam hutan. Ia yakin sekali beberapa saat lagi, mereka akan sampai.

"Aku minta maaf."

Satu kalimat itu mengucur begitu saja dari mulut pucat lelaki di punggung Feyna membuat Feyna mau tak mau menaikkan satu alisnya.

"Untuk?"

"Untuk membuatmu terlibat dalam masalahku."

"Kita teman, itu bukan masalah."

Zeon terkekeh, "aku pikir seorang putri introvert sepertimu enggak akan menganggap seseorang sebagai temannya semudah itu."

Glek. Zeon mengetahui identitasku sebagai seorang putri? Sepertinya begitu, pikir Feyna dengan senyuman tipis.

Feyna berdecak. "Lalu aku harus menganggapmu apa? Kakak?"

Kata terakhir yang diucapkan Feyna membuat luka menganga di hati Zeon semakin terbuka. Entah mengapa ia menjadi sensitif sekali dengan kata itu. Padahal ia sudah hampir melupakan kejadian tadi.

"Kamu bisa menganggapku kekasih—"

"In your dream!"

"Jadi maksudnya kamu ingin ada dalam mimpiku?"

Feyna menyernyitkan dahi. Bukankah tadi ia tidak bilang begitu?

"Enggak."

"Jangan mengelak, aku mendengarnya," ucap Zeon dengan nada menggoda.

"Aku jatuhkan kamu dari sini baru tahu rasa!"

"Jatuhkan saja, toh juga kamu gak bakalan tega," ucap Zeon dengan alis yang dinaik-turunkan walau dia sadar kalau Feyna tidak melihatnya.

"Aku tega!" Feyna berteriak secara reflek kepada Zeon membuat Zeon terkikik geli. Gadis itu benar-benar pembohong yang buruk.

"Ah, jadi begitu caramu bertingkah kepada temanmu?"

"Kamu temanku?" Feyna menyernyit.

"Tadi kamu bilang begitu, dasar gadis pelupa!" Zeon mencubit pipi Feyna kecil membuat Feyna berteriak reflek.

"Ahahahahahaha... Ha.. Aha.. Arghhh." Tawa Zeon yang semakin lama semakin reda ketika ia mulai merasakan sakit yang di perutnya.

"Zeon, kamu kenapa?"

"Sakit."

"Apanya?"

"Perut."

"Apa tadi terluka? Darahnya banyak? Tunggu-hh sebentar, sebentar lagi kita sampai," jawab Feyna dengan langkah lebar disertai peluh yang membasahi seluruh tubuhnya. Di dalam hati ia mengumpat mengapa Aaric tidak kemari saja dan membawa mereka berdua kembali dengan kekuatannya?

"Arghh!"

Feyna panik. Ia bingung harus melakukan apa saat ini.

"Eh, Zeon! Aku mohon, bertahanlah! Aku-hh sedang berusaha-h untuk menyelamatkanmu!" ucap Feyna sekuat tenaga.

Tiba-tiba sebuah suara yang memenuhi indera pendengaran Feyna, membuatnya ingin sekali memakan Zeon hidup-hidup.

"Buahahahahaha! Aku memang sakit perut, tapi karena laper. Bukan karena tusukan. Sepertinya tadi ada yang mengobati lukaku. Siapa ya?" Zeon tersenyum menggoda di belakang Feyna yang wajahnya merah padam menahan amarah dan malu. Marah karena ia dibohongi dan malu karena... Entah?

"Bukan aku, Audree."

"Kamu bukan pembohong yang baik."

"Dan kamu bukan teman yang baik. Enggak ada teman baik yang bohongin temannya sendiri."

"Berarti orangtuaku bukan orang tua yang baik?"

"Hah?"

"Orang tuaku sering bohong sama aku. Berarti mereka bukan orang tua yang baik, kan?"

Kenapa Zeon membahas hal yang sensitif untuknya?

"Zeon, kamu enggak papa? Kakakmu itu... Kata Audree seharusnya dia sudah—"

"Mati," ucap Zeon menimpali. "Seharusnya memang begitu. Ia meninggal tepat di pangkuanku tiga tahun yang lalu."

"Dia sudah dikuburkan, bukan?"

Zeon menghela nafasnya. "Iya, aku menghadiri pemakamannya juga. Aku sebenarnya sama sepertimu, bingung. Bagaimana caranya ia bisa kembali hidup lagi? Setahuku ia bukanlah orang yang memiliki kemampuan manipulasi."

"Mungkin dia butuh udara. Kuburan kan ada di dalam tanah."

Hening sebentar.

"Ahahaha! Mungkin saja begitu! Dia memang bukan orang yang baik, makanya Sang Pencipta enggak beri dia udara dalam kuburannya!"

Kenapa aku membuatnya semakin sensitif saja? batin Feyna dengan tingkah gusar.

"Zeon, a-aku... Mawar!" pekik Feyna senang saat ia melihat banyak mawar merah yang tertanam di sekitar pohon-pohon. Ada pula yang merambat ke atas. Benar-benar indah.

Feyna langsung saja mengikuti rambatan bunga itu untuk mencari Peri Rossy yang diucapkan Audree tadi.

"Kamu suka bunga?" tanya Zeon angkat bicara.

"Enggak, terlalu."

"Lalu, kenapa kamu sesenang itu ngelihat bunga mawar? Kamu ngelihat mawar kaya ngelihat harta karun. And by the way, Mulutnya ditutup!" Zeon berdesis saat melihat pekikan senang Feyna sepanjang perjalanan.

"Aku merasa kalau mawar itu adalah jalanku untuk pulang."

"Jangan lebay."

Feyna tersenyum senang. "Kenyataannya begitu."

"Begitu gimana?"

"Sudah, kaum lelaki diam saja. Enggak usah ikut campur."

"Baru kali ini aku sedikit menyesal menjadi lelaki."

"Mau menjadi perempuan? Kalau gitu aku akan memberimu nama," ucap Feyna dengan senang. Feyna terlihat berpikir membuat Zeon memperhatikan perubahan ekspresi itu dengan senyuman tipis.

"Mm... Ara? Bella? Jessica? Martini? Atau Mawar?"

"Aku merasa menjadi penjual bakso boraks kalau namaku Mawar."

Feyna terkekeh kecil membuat senyuman tipis terbentuk di bibir Sang Pangeran.

"Sepertinya kamu memang tertarik dengan dunia manusia," ucap Feyna menyindir.

"Enggak juga. Beberapa dari acara tv mereka membuatku ingin melempar barang-barang saat menontonnya."

Feyna tertawa kecil. "Maksudmu?"

"Bagaimana bisa seorang ibu yang begitu baiknya diperlakukan enggak adil? Bahkan seorang anak tiri disia-siakan. Dan mereka yang baik dalam acara itu selalu saja sial. Seperti di dorong lalu terbentur dinding, pingsan, amnesia, yang lebih parah itu saat ingin tertabrak namun mereka diam saja dan malah berteriak. Begitu bodoh dan lemah!" Zeon menggerutu dalam kata-katanya.

"Kalau begitu jangan ditonton."

Zeon menghela nafas. "Enggak sengaja. Aku lihat itu waktu aku sedang mencari anime di salah satu media sosial, Yowtube. Akhirnya malah ketemu itu. Yasudah aku tonton sekalian."

"Kan yang ogeb siapa, ketauan." Feyna menahan senyumnya.

"Siapa memang?"

Feyna tersenyum. "Blue."

"Blue?"

Feyna menatap gerbang besi tak jauh di hadapannya dengan pagar beton seakan-akan menutupi aksesnya masuk lebih dalam.

"Call me red then I'll call you blue."

"Berarti aku bego?"

Feyna terkekeh. "Sedikit."

Tiba-tiba sebuah tangan terulur mendorong kecil kepalanya.

"Untung perempuan."

"Kalau aku laki-laki?"

Zeon menatap Feyna jengah. "Mungkin kamu sudah kebakar."

"Jangan lupa aku mempunyai kekuatan yang sama," jawab Feyna menyeringai membuat Zeon berdecak sebal.

Akhirnya mereka sampai di depan gerbang yang menjadi tempat tinggal Peri Rossy. Namun Feyna sama sekali tidak melihat ada sejenis bel maupun sesuatu untuk membuka gerbang besi ini. Benar-benar menyusahkan.

"Audree menyuruhmu datang kemari?"

"Begitulah."

"Aku akan turun."

"Eh?" Segera Feyna merasakan punggungnya ringan namun disertai beban berat di pundaknya. Feyna mendesis, ia tahu Zeon bergerak cepat.

Zeon mengucapkan suatu mantera yang membuat sesuatu yang berisik. Feyna mengangkat satu alisnya saat ia melihat satu persatu makhluk kecil bersayap dengan gaun kelopak bunga mawar dan rambutnya berbentuk duri keluar dari atas gerbang besi ini.

Feyna sedikit bingung mengenai gaya rambut peri bersayap itu. Duri itu seakan-akan memang rambut mereka dengan beberapa gaya rambut yang berbeda. Ada yang digerai, diikat, dibuat berponi, benar-benar menakjubkan.

"Melihat mereka benar-benar mengingatkanku pada satu cerita," ucap Feyna berbisik.

"Apa?"

"Tinkerbell."

"Enggak ada peri di tinkerbell yang berambut seperti itu."

"Ah, jadi kamu juga tau ceritanya," ucap Feyna menyindir.

"Kamu juga," desis Zeon yang malu entah mengapa. Namun itu cukup membuat Feyna menahan tawa.

"Yasudah, kita impas."

Feyna mendengar para peri terbang di depannya berbicara. Bahasa yang diucapkan peri itu benar-benar tidak bisa ia mengerti.

"Zeon, mereka mengatakan apa?"

"Aku enggak tahu. Tapi sepertinya mereka sedang berdebat."

Zeon dan Feyna menatap para peri yang ucapannya benar-benar random seperti cicitan tikus. Ingin sekali mengambil satu makhluk itu dan membawanya pulang.

"Red, kalau kita gini terus, kayanya aku bakalan khilaf."

"Maksudmu?" Feyna menatap Zeon dengan bingung.

Zeon juga menatap Feyna membuat Feyna mengerutkan dahi.

"Apa kamu sadar kalau kita begitu dekat?" ucap Zeon sambil mengukur di pikirannya berapa sentimeter wajahnya dan wajah Feyna saat ini. 40 atau 30 sentimeter, mungkin?

Secara Reflek, Feyna mendorong Zeon hingga pria itu terjatuh membentur tanah. Teriakan pemuda itu membuat Feyna memekik panik karena melihat darah yang keluar dari tubuhnya.

"Zeon! Maafkan aku!" ucap Feyna dan berjalan menuju Zeon untuk membantunya berdiri. Namun sebelum itu ia lakukan, ia melihat para peri mendatangi asal darah Zeon di tubuhnya. Mereka berkumpul di kaki Zeon. Sedangkan Zeon terlihat sangat pasrah di tanah membuat Feyna merasa sangat bersalah.

"Kalian mau apakan Zeon?" tanya Feyna saat melihat salah satu dari mereka menyentuh luka Zeon dengan tangannya.

Feyna melihat salah satu dari mereka mencicipi darah Zeon membuat Feyna membulatkan matanya. "KALIAN VAMPIR YA?"

Semua peri di atas kaki Zeon tidak memperhatikannya. Mereka malah berdebat lagi lalu terlihat menggunakan ekspresi terkejut bersamaan.

"Hey! Makhluk kerdil! Kalau sampai kalian menyakiti temanku, aku akan—"

Tiba-tiba gerbang besi di depan Feyna terbuka disertai bungkukkan tubuh hormat peri-peri itu di udara kepada Zeon. Feyna segera menarik punggung Zeon dari depan dan membawa Zeon dengan tangan Zeon di pundaknya.

"Maafkan aku."

"Aku merasa seperti bayi." Zeon mengatakan hal itu dengan jalan pincangnya.

"Memang kamu bayi. Bayi besar."

Feyna masuk ke dalam gerbang dan terkejut melihat apa yang ada di depannya. Sebuah perkampungan peri kecil yang amat besar. Bahkan Feyna merasa bahwa hanya dia dan Zeon yang paling besar disini.

Para peri yang sedang melakukan pekerjaan seperti menebang kayu, menanam sayuran, membawa berbagai bahan makanan maupun kerajinan, dan yang lainnya menatap Feyna dan Zeon dengan terkejut. Segera salah satu peri yang tadi tunduk hormat kepada Zeon mengatakan sesuatu dengan keras di hadapan teman-temannya.

Lagi-lagi Feyna tidak mengerti ucapan peri itu. Benar-benar seperti cicitan tikus.

Seluruh peri disana langsung menatap Zeon dan saling mengeluarkan ekspresi terkejut yang serupa. Ekspresi itu membuat Feyna menahan tawanya karena mereka semua begitu lucu dan manis saat ini.

Hingga akhirnya satu peri yang terlihat seperti pemimpin di antara peri yang lainnya menatap Feyna dan Zeon dengan senyuman hangat. Peri itu menggandeng tangan Feyna untuk memasuki desa peri itu lebih dalam yang berakhir di jalan buntu dengan dedaunan.

Peri kecil itu menggumamkan sesuatu yang membuat cahaya berkilauan muncul diikuti dengan dedaunan yang nampak memberikan jalan. Zeon dan Feyna terkaget melihat apa yang ada di dalamnya. Sebuah rumah kayu sederhana namun dibuat untuk seseorang dengan ukuran mereka.

Pintu kayu itu terbuka sendiri memperlihatkan seorang wanita tua berambut merah yang berjalan dengan menggunakan tongkat yang berbentuk seperti mawar. Terlihat beberapa peri membantu wanita tua itu berjalan. Sedangkan Feyna dan Zeon hanya terdiam melihat pemandangan itu.

Wanita tua itu menyeringai. "Selamat datang di gubuk kecilku, Tuan Putri dan Pangeran Victorian."

🌝 🌝 🌝

RAVEN menghempaskan tubuhnya di dinginnya rumput kering Hutan Aukwood. Tatapan matanya mengadah di heningnya malam. Suasana sekitar nampak hampa tanpa jejak. Seorang pemuda bersandar di sebuah batu dengan wajah tak bisa didefinisikan.

Raven menghela nafasnya berat. Sebuah kerikil menyentuh tuxedonya, namun ia hiraukan. Terdengar suara decakan seseorang di sana membuat Raven berteriak frustrasi.

"ITU SEMUA SALAH GUE!" Raven mengacak-acak rambutnya sebal. Sudah tiga jam lebih dia dan Sergio mencari dimana Zeon dan Feyna. Namun mereka berdua seakan-akan hilang tanpa jejak. Bahkan dengan bantuan kekuatan Sergio pun, mereka tidak bisa melakukan apapun.

"Berhenti menyalahkan diri lo sendiri." Sergio membuka suara. "Sekarang gue mengerti tentang perasaan lo saat berusaha dewasa menyikapi sesuatu."

Raven menoleh ke arah sumber suara. "Dia hilang, Gio. Dia hilang karena gue!"

Sergio menatap Raven dengan pandangan yang tidak bisa ditebak. "Gak usah merasa bersalah, sifatnya memang kaya gitu."

Raven meneguk ludahnya kasar. "Kalau Feyna sampai kenapa-napa--"

"Raven." Sergio berucap dengan nada tegas. "Dia bakalan selamat, gue yakin."

"Kenapa lo bisa setenang ini, Gio? Kenapa?" Raven menatap taburan bintang di angkasa. "Kenapa lo bisa bersikap seolah-olah gak terjadi apa-apa?"

"Karena gue gak mau lo semakin panik dan khawatir," ucap Sergio. "Your attitude is the same as mine a few years ago. And I regret about that."

"Gio."

"Remorse is always at the end. But remember, if it's not over yet," ucap Sergio sembari merapikan tuxedo hitamnya. "Kalau lo mau nemuin Feyna dan Zeon, sekarang kita cari. Bahkan kalau sampai itu menghilangkan nyawa kita sendiri."

Raven menyernyitkan dahi. "Kita?"

Sergio tersenyum menanggapi. "Iya, kita."

"Kenapa lo bilang gitu seakan-akan mereka berdua bener-bener berharga? Lo tahu sendiri Sergio, ini bukan waktunya untuk mencuri hati gue supaya ngrestuin hubungan lo sama Eve," ucap Raven dengan tegas. "Jangan sangkut pautin Feyna sama Eve sekarang."

Sergio terkekeh. "You always think negatively whenever I do good."

"Memang begitu kenyataannya."

"Enggak, bukan itu. Memang sejak kapan lo bisa dengan leluasa dengerin suara hati gue?" sindir Sergio dengan nada sarkas. "Lo pasti dah sadar tentang kekuatan gue yang utama itu apa, Raven."

"Iya, gue tahu."

Sergio tertawa kecil. "Dan lo tahu apa maksudnya itu."

"Lo jangan sok misterius, belum direstuin juga!" Raven berdecak sebal.

"Dasar," ucap Sergio dengan nada sarkas. "Intinya, gue beneran pengen nyari mereka berdua."

"Kenapa tiba-tiba?" Raven berdehem. "Padahal kalau gue pergi sendirian dan akhirnya meninggalkan dunia ini, lo bisa bersama dengan adik gue tanpa gangguan."

"Gue bukan orang yang kaya gitu," tutur Sergio dengan pasrah. "Dan walaupun lo gak pergi pun, mungkin gue tetep bakalan pergi."

"Kenapa? Karena Zeon atau karena gadis itu?"

"Dua-duanya." Sergio menatap Raven datar.

"Jangan bilang kalau..."

"Itu hanya masa lalu, sekarang ya sekarang." Sergio mendesah pasrah. "Dia punya kehidupan baru dan gue mencoba untuk tidak merusak itu."

"Your attitude reflects as if it's normal. Padahal bisa saja suatu saat berefek untuknya." Raven menarik nafasnya panjang. "Jangan lo berpikir untuk mengucapkan hal itu ke dia. Kalaupun dia tahu, biarin waktu yang memberitahukan kepadanya."

"Ya, memang begitu." Sergio tersenyum. "Tapi gue berharap hal itu bisa terahasiakan selamanya."

"Lo yakin?"

Sergio tertawa kecil. "Gue sudah memiliki dunia yang lebih indah daripada dia. Tentu gue gak akan ngelepasin dunia itu dengan mudah."

Raven menggeram. "Kalau sampai lo nyakitin--"

"Enggak. Gue gak akan nyakitin kecuali kebenaran yang nyakitin dia sendiri," ucap Sergio dengan nada misterius. "Yasudah, kita mencari dua api yang menyusahkan itu lagi. Kalau kita ngehabisin waktu disini, tentu perjuangan kita akan sia-sia."

"Lo mengalihkan pembicaraan dan lo tahu kalau jawaban lo bukan seperti yang gue inginkan."

"Dan gue tahu topik pembicaraan itu berat, Raven." Sergio berkata dengan nada yang sedikit berubah. "Maaf, tapi gue gak bisa janji untuk nggak menyakiti keduanya."

"Makanya lo masih belum gue restuin. Lo kurang meyakinkan."

Sergio terkekeh. "Lo tahu, dia masih mencari gue, Raven. Dan kalau sampai dia tahu, mungkin semua akan berubah."

"Lo bakalan ngelepasin dia, kan?" Raven menyindir Sergio disertai tatapan tajam khasnya.

"Sepertinya begitu."

"Sergio, dia bukan mainan."

Sergio tersenyum. "Gue tahu," ucapnya lalu melanjutkan, "dan gue gak mau nyakitin seseorang yang juga berharga bagi gue."

Raven menggeram dan mencengkeram kerah Sergio dengan erat. "Pilih satu atau enggak sama sekali, Gio."

"Memangnya apa yang bakalan lo lakuin?"

Raven mendorong tubuh Sergio membuat lelaki itu mundur beberapa langkah. "Sesuatu yang enggak bisa lo bayangkan."

"Dan gue gak bercanda," lanjut Raven sebelum meninggalkan Sergio di gelapnya malam.

🐸 🐸 🐸

ZEON menatap wajah Feyna dari samping dengan tarikan tipis di ujung bibirnya. Entah sejak kapan Zeon menganggap bahwa Feyna termasuk tujuh keajaiban di dunianya ini. Itu semua karena jarang sekali ada perempuan yang hanya menganggap seorang pria itu teman, tetapi perempuan itu melakukan apa saja untuk membantunya. Membantu dalam hal baik tentu saja. Benar-benar langka.

Kejadian beberapa waktu yang lalu sama sekali tidak bisa di duga oleh Zeon. Dari dirinya yang diculik saat ujian ketiga berakhir, bertemu kakaknya yang bangkit dari kubur, hingga diselamatkan oleh Feyna. Itu semua seperti mimpi yang tidak pernah ia duga sebelumnya.

Kakaknya, Pangeran Ryan, entah bagaimana dia bisa bangkit lagi. Bukan berarti Zeon tak senang, dia senang. Namun senang dalam hal, dia akan bebas dari tanggung jawab menjadi putra mahkota dan menikah dengan si ular berbisa itu. Membayangkannya saja membuat Zeon bergidik ngeri.

Namun apabila di jodohkan dengan Putri Anna? Zeon kembali memperhatikan Feyna yang sudah terlelap karena kelelahan. Seusai datang ke rumah Peri Rossy, Feyna langsung disuruh Peri Rossy untuk beristirahat. Sedangkan dirinya di bawa ke suatu ruangan yang penuh akan ramuan. Di sana Peri Rossy memberinya setetes ramuan yang mampu memulihkan tubuhnya. Tentu saja dengan efek samping. Efek samping yang dia terima itu adalah...

Insomnia.

Dia tidak akan bisa tidur selama beberapa hari karena di dalam tubuhnya akan bekerja saraf-saraf, kulit, dan tulang yang kembali seperti semula. Itu semua membutuhkan proses dan energi yang cukup. Oleh karena itu, dia berada di sini sekarang. Di salah satu ruangan Peri Rossy tempat Feyna berada. Lelaki itu begitu memuji makhluk di hadapannya tanpa menyadari sebuah ketukan di pintu dilayangkan kepadanya.

"Bagaimana, Zeon? Apakah kamu merasakan pergerakan di aliran darahmu?" Suara Peri Rossy membuat Zeon mengangguk.

"Iya, bahkan sedikit membuatku merasa gatal dan aneh."

Peri Rossy terkekeh. "Memang seperti itu."

"Oh ya, omong-omong, kalian berdua itu sepasang kekasih?"

Zeon menatap Peri Rossy dengan pandangan terkejut. Hal itu di serta perubahan ekspresi yang begitu kentara di mata Peri Rossy.

"Oh jadi begitu, kalian teman ya. Tapi kulihat sepertinya kamu itu--"

"Sudahlah, Peri Rossy. Itu tidak mengapa," ucap Zeon dengan nada yang dibuat seramah mungkin.

Peri Rossy tersenyum lalu dia mengeluarkan sesuatu dari balik tubuhnya. Mata Zeon menatap sesuatu yang dikeluarkan Peri Rossy dengan tatapan tak percaya.

"I-Itu kan.."

Peri Rossy meraih satu tangan Zeon sementara tangannya yang lain meletakkan sesuatu itu di atas telapak tangan Zeon.

"Suatu saat akan berguna. Dan saat itu terjadi, lawanlah untuk kebahagiaannya," ucap Peri Rossy dengan senyuman.

"Suatu saat? Tapi kapan? Kau tahu sendiri, Peri Rossy, ini benar-benar sesuatu yang tidak bisa dianggap remeh."

Peri Rossy menggumamkan sesuatu membuat benda di atas tangan Zeon bersinar. "Saat itu, waktu yang akan menjawabnya."

"Dan saat itu pula..." Peri Rossy menarik nafasnya perlahan. "Kamu harus merelakan segalanya hanya untuk sesuatu yang terbaik baginya, Pangeran Auveram."

Zeon meneguk ludahnya sedikit kasar lalu menatap tubuh Feyna dengan pandangan hampa.

Jadi, memang enggak bisa ya?
Kalau gitu, semoga kamu akan selalu bahagia, batin Zeon sebelum ia pergi beranjak dari ruangan ini.

Setelah kepergian Zeon, ruangan itu menjadi sunyi dan sepi. Jari jemari seorang gadis yang nampak lelah berpura-pura tidur itu bergerak seiring dengan matanya yang terbuka perlahan. Warna matanya berubah semerah darah menandakan sesuatu yang akan terjadi.

Gadis itu tersenyum, namun senyumannya tidak bisa dikategorikan sebagai senyuman bahagia.

"Rosae candentis."

Bersambung...

Continuer la Lecture

Vous Aimerez Aussi

1.2M 102K 51
(𝐒𝐞𝐫𝐢𝐞𝐬 𝐓𝐫𝐚𝐧𝐬𝐦𝐢𝐠𝐫𝐚𝐬𝐢 𝟏) 𝘊𝘰𝘷𝘦𝘳 𝘣𝘺 𝘸𝘪𝘥𝘺𝘢𝘸𝘢𝘵𝘪0506 ғᴏʟʟᴏᴡ ᴅᴀʜᴜʟᴜ ᴀᴋᴜɴ ᴘᴏᴛᴀ ɪɴɪ ᴜɴᴛᴜᴋ ᴍᴇɴᴅᴜᴋᴜɴɢ ᴊᴀʟᴀɴɴʏᴀ ᴄᴇʀɪᴛᴀ♥︎ ⚠ �...
1.1M 82.8K 35
Apa yang kamu lakukan jika mengulang waktu kembali? Tabitha Veronika Miller sosok gadis yang diberi kesempatan untuk mengulang waktu kembali, kematia...
122K 13.7K 15
(𝐒𝐞𝐫𝐢𝐞𝐬 𝐓𝐫𝐚𝐧𝐬𝐦𝐢𝐠𝐫𝐚𝐬𝐢 3) 𝘊𝘰𝘷𝘦𝘳 𝘣𝘺 𝘸𝘪𝘥𝘺𝘢𝘸𝘢𝘵𝘪0506 ғᴏʟʟᴏᴡ ᴅᴀʜᴜʟᴜ ᴀᴋᴜɴ ᴘᴏᴛᴀ ɪɴɪ ᴜɴᴛᴜᴋ ᴍᴇɴᴅᴜᴋᴜɴɢ ᴊᴀʟᴀɴɴʏᴀ ᴄᴇʀɪᴛᴀ♥︎ ____...
140K 331 13
21+++ Mengandung unsur kekerasan sexual dan pornografi. Ga suka? Skip. Plagiat menjauh! Tentang Cesa yang menikah dengan seorang pria kaya. Bukannya...