Secret Clover [COMPLETED]

By bintang_yui

12.7K 1.4K 247

Di hari pertama sekolah, Ana harus berurusan dengan Alan, si anak kepsek yang mencoba kabur lewat pagar bela... More

Prolog
1|Backyard and Library
2| Their fight
3|The book and flowers
4|Their best friend
5|Shakespeare and The Window
6|Their Family
8|Their Feelings
9| Flower Shop and Cafe
10|Their Problem
11. His Joke and The Rain
12. Their Love Story
13. Water and White Rose
14. Their Victory
15. Bullying and Best friend
16. Their Thinking
17. Cook and Shock
18. Their Togetherness
19. Hat and Camera
20. Their first date
21.
22.
23
24
25
26
27
28
29
30
31. Video sebelum Kematian?
32. Rein, kamu nggak apa-apa, kan?
33. Dia Pindah sekolah!
34. Kamu akan ninggalin aku?
35. Sayonara, Anak Kepala Sekolah.
36. Mencegahnya pergi
37. Mengambil Tanggung jawab
38. Akhir Penyelidikan
39. Musim Berganti
40. Ending
Extra part (Alan-Ana)

7|Canteen and School Grounds

315 44 6
By bintang_yui

Cerita ini hasil kolaborasi dengan InoYomi


🍀🍀🍀

"Aku tidak bisa percaya siapa pun, Kak..."

🍀🍀🍀


Cuaca terik siang itu menambah bad mood Alan. Belum lagi omelan pria berotot yang tengah berkacak pinggang di depannya, benar-benar hari yang melelahkan.

"Alan, kalau kamu tidak serius, Bapak akan cari siswa lain."

Alan menghela napas panjang.

"Kamu tahu, kan, sebentar lagi akan ada pertandingan lari tingkat Nasional. Kalau kamu malas-malasan seperti ini, kita bisa kalah!" bentak Pak Avsel, pelatih lari SMA Angkasa yang juga guru olahraganya.

"Iya, Pak. Saya akan coba lagi." Alan kembali melakukan pemanasan sebelum melanjutkan latihan. Dia melemaskan pergelangam kaki dan bersiap dengan posisi awalan.

Pak Avsel mengeluarkan stopwatch dan suara panjang peluit mengantar Alan ke lintasan 100 m.

Dari jauh Ana memperhatikannya, gadis itu melihat ada yang berbeda dengan cara berlari Alan. Dia merasa anak kepala sekolah itu seperti kurang bersemangat, seakan tidak fokus dengan latihan.

"Ada apa dengannya?" gumam Ana dengan wajah bingung.

"Cie, Ana. Diam-diam kamu memerhatikan Kak Alan, ya?" ledek Mia, teman semeja Ana.

Ana terkesiap, seketika mengalihkan pandangan dari jendela kelas, kembali memerhatikan papan tulis di depan. "Siapa yang perhatian?" elaknya.

"Tuh, mata kamu nggak bisa bohong. Yah, aku akui, sih, Kak Alan itu emang keren! Banget, malah. Jadi wajar banyak yang suka. Termasuk kamu." Mia mendramatisir, dia bertopang dagu menggunakan dua tangan, menghadap Ana dengan mata yang berkedip beberapa kali.

Ana mengusap cepat wajah Mia yang bagai kucing butuh belaian. "Apanya yang keren? Dia itu punya banyak kekurangan dan tidak bisa diandalkan. Dia tidak lebih dari anak kepala sekolah. Aku saja heran kenapa banyak yang suka," komentar Ana.

"Yaelah Ana, kalau bohong kira-kira, dong. Pipinya merah, tuh." Mia terkikik pelan. "Kamu juga tahu, kan, kalau wajah Kak Alan itu 11 12 sama Cha Eun Woo. Ganteng parah."

Ana mendecih. "Dasar K-POPers alay. Dikit-dikit boy band."

Mia menyikut lengan Ana pelan. "Nggak itu aja yang jadi kebanggaan Kak Alan. Dia itu anggota OSIS dan juga atlet lari profesional. Bawa hatiku lari, Kak Alan..." Mia mengulurkan tangan ke jendela seolah meminta seseorang di luar meraihnya.

"Kamu gila!" seru Ana.

Mia cemberut. "Eh, Na, aku dengar kamu terkurung sama Kak Alan kemarin."

"Dari mana kamu tahu?" Ana menaikkan sudut alisnya, heran.

Seingat Ana, tidak banyak orang yang tahu kejadian kemarin kecuali yang memang melihat mereka.

"Cuma dengar dari anak-anak, sih. Dan kamu juga sering terlihat bareng Kak Alan. Ngaku aja, deh. Sebenarnya kalian ada hubungan, kan?" sambungnya lagi.

"Ya. Hubungan perdebatan."

"Hah? Berantem? Masa sih?" Mia terpelongok tidak mengerti.

"Bukan berantem. Ber-de-bat. Berdebat itu adu mulut, berantem itu adu pukul. Tolong dibedakan, Mi."

"Ya ya ya... Terserahlah. Memang susah bicara sama keturunan Miss Maple."

"Marple, Mi. Bukan Maple. Tepatnya Jane Marple. Jangan sembarangan ganti nama tokohnya Agatha Christie, deh. "

Mia memutar bola matanya, jengah. "Iya iya. Marple, apel, Agatha, Jane atau apalah itu." Mia kesal berdebat dengan Ana.

Ana hanya tertawa melihat kekesalan Mia. Dia diam-diam melirik lagi ke luar jendela, Alan masih berlari. Dia bahkan tidak menyadari seorang guru wajah sangar memasuki kelas.

Pak Edo--guru BK yang kemarin mengejar Alan dan Vano--sedikit menggebrak meja saat meletakkan buku. "Bapak dengar di kelas ini ada yang tidak masuk pada jam pelajaran terakhir kemarin."

Ana tersentak kaget. Dengan cepat dia meraih buku apa saja yang bisa digapai untuk menutupi wajahnya. "Gawat," lirihnya.

"Bapak sudah tahu namanya, sebaiknya segera ke depan kalau tidak mau mendapat SP."

Terpaksa Ana beranjak dari tempat duduk dan berjalan ke depan kelas dengan langkah gontai. Sedikit terkejut melihat Reina yang santainya berdiri tanpa ekspresi. Dia bertaruh tidak ada aliran darah di wajah gadis itu.

"Bapak akan beri dua pilihan. Bersihkan aula atau lari keliling lapangan 3 kali."

"Lari!" teriak Ana spontan, yang kini mendapat tatapan heran dari teman sekelas.

"Kamu semangat sekali. Bapak tidak tahu kalau kamu suka olahraga."

"Modus doang itu, Pak!" sela Mia dari kursinya, gadis itu sudah cekikikan.

Ana memberi tatapan membunuh, tapi Mia malah semakin tergelak.

"Ya sudah, segera lakukan hukumannya."

Ana dan Reina mulai berlari ke lapangan. Sebenarnya Ana sendiri bingung kenapa tiba-tiba meneriakkan lari. Mungkinkah dia mulai memikirkan Alan?

"Argh... Aku bisa gila," keluh Ana.

🍀🍀🍀


Sementara Reina sudah jauh di depan, Ana masih tertinggal di belakang dengan wajah bercucur keringat, padahal baru putaran pertama.

"Wah... Baru kali ini gue lihat kura-kura lari."

Ana menoleh, mendapati Alan berlari mundur menghadapnya. Dia tidak terlalu memedulikan cowok itu, terus saja berlari.

Alan mensejajarkan posisi larinya di sebelah Ana. "Kayaknya karena lo pendek, deh, makanya lari lo juga jadi lambat." Cowok itu meremehkan sebelum berlari jauh meninggalkan Ana.

"Hei, anak kepala sekolah!" Ana berusaha berlari walau tidak pernah bisa menyamai Alan.

Karena tidak tega, Alan kembali berlari mundur. "Apa?"

Ana berhenti berlari dan mengatur napas. "Aku sudah lupa mau bilang apa," kata Ana di sela napas ngos-ngosan.

"Pfft. Hahahaha." Alan tertawa puas sembari mengusap peluh dari dahinya.

Saat Alan merapikan rambutnya ke atas, Ana terpesona. Tanpa berkedip, dipandangnya lekat cowok yang berjarak beberapa senti saja di depannya. Ana memerhatikan setiap aliran keringat yang menetes ke wajah dan badan cowok itu. Bahkan ketika Alan melepas kausnya yang basah dan menatap Ana dengan wajah dingin, perempuan itu masih tidak berkedip.


"Gue harus latihan lagi. Bye, Nona Pendek." Alan tersenyum sebelum melanjutkan latihan.

Ana memegang dadanya. "Aku berdebar karena lari. Benar. Lari merupakan aktivitas yang menyita kerja jantung lebih cepat, jadi ini karena lari. Karena lari. Bukan Alan." Ana meracau dengan dirinya sendiri.

Reina yang ternyata sudah berdiri di sebelah Ana memandang heran gumaman tidak jelasnya.

🍀🍀🍀


Usai menjalankan hukuman, Ana dan Reina ke kantin untuk membeli minum, bertepatan dengan bel istirahat.

"Rein, aku ada janji meminjam buku anak sebelah. Kalau telat sedikit, dia keburu rapat OSIS. Aku tinggal tidak apa-apa, kan?" kata Ana setelah mendapat pesanan minumannya.

Reina mengangguk.

Ana pergi dengan berlari lagi, hampir menabrak rombongan siswa yang ingin ke kantin.

Reina tersenyum kecil melihat tingkah Ana. Gadis itu selalu terlihat bersemangat.

Sementara itu di sudut kantin sekolah. Seperti biasa anggota genk yang beranggota Vano sebagai ketua, berulah lagi. Mereka menginvasi tempat dan mengusir anak-anak yang sedang makan. Terpaksa para junior pergi meninggalkan makanan di meja.

Di tengah invasi itu, Reina dengan santainya duduk di salah satu kursi. Dia menyesap minuman sambil memerhatikan kumpulan mawar di taman samping kantin.

"Eh, Bettylavea. Pergi lo!" usir Roy dengan congkaknya.

Reina melihatnya sekilas dan mengamati sekitar. Merasa tidak terpanggil, dia mengamati taman bunga lagi.

"Wah.... Nih cewek cari mati." Roy meletakkan satu kaki di kursi kosong sebelah Reina. "Gue bicara sama lo. Lo budek ya?"

Vano yang tengah bercengkerama, tidak sengaja melihat salah satu temannya mengganggu Reina.

"Reina?" gumam Vano.

"Bisa pergi, nggak? Tempat ini mau gue pakek, CUPU!" teriak Roy ke Reina.

Reina mengembuskan napas. Dengan wajah tertunduk, gadis itu bangkit dari tempat duduk. Roy tersenyum penuh kemenangan.

"Reina!" Suara dari belakang mengintrupsinya.

Reina melihat Vano mendekat.

Vano menepuk bahu Roy. "Apa lo nggak ada kerjaan lain selain ngusir orang?"

"Van, inikan tempat kita. Kita bebas memilih---"

"Memilih tempat dan mengusir orang lain?" potongnya. "Gue nggak suka cara lo. "

"Apa maksud lo? Biasa juga kita gitu. Lo sendiri yang bilang nggak suka bising, makanya nyuruh kita ngusir semuanya. Kenapa sekarang lo malah bela si Cupu ini?" kesal Roy.

Vano menyeringai, lalu berjalan mendekati Reina. Tanpa izin, dia merangkul bahu gadis itu, membuat si Mata Empat terkesiap dan menoleh ke arahnya.

"Karena dia special!"

"Ayo Rein!" Vano menarik Reina pergi.

Reina bingung dengan situasi yang sedang terjadi. Terlebih pada Vano yang menurutnya sekarang berubah. Terkesan lebih perhatian? Bukankah biasa Vano masa bodo saja dengan orang lain?

Anak-anak yang lain sama herannya ketika melihat Vano manarik Reina pergi.

"Sialan!" umpat Roy saat menendang kursi terdekat.

Vano menarik tangan Reina melewati koridor kelas XI. Banyak pasang mata dibuat terkejut dengan aksinya. Cowok yang tidak suka disentuh cewek kini menggandeng tangan seorang cewek? Berita apalagi yang lebih mengejutkan dari itu?

"Vano?" gumam seorang gadis berambut panjang yang melihat Vano lewat.

Risih, itulah yang dirasakan Reina saat ini. Dia hanya bisa tertunduk karena sangat malu dengan tatapan orang-orang di sekitarnya.

"Devan, lepasin!" lirih Reina yang berusaha menyamai langkah Vano.

Seolah tuli, Vano malah mengeratkan genggaman tangannya dan berjalan lebih santai. Dia bahkan tersenyum kecil melirik tatapan iri beberapa perempuan yang berdiri tidak jauh dari koridor kelas.

"Devan!" teriakan Reina mengejutkan Vano.

Keduanya kini berhenti di dekat taman mawar depan perpustakaan.

Reina menggigit bibir bawahnya karena malu ditatap lekat oleh Vano.

"Kamu panggil apa tadi? Devan?" Vano dibuat terkejut, baru kali ini ada yang memanggilnya dengan Devan, bukan Vano.

"Na-nama kamu De-vano. Jadi aku panggil Devan, apa aku salah?" Reina kini berani menatap wajah cowok itu.

Vano mengulas senyum, entah kenapa sangat suka saat Reina memanggil namanya. "Oh enggak, justru aku senang. Teruslah memanggil namaku," ujar Vano yang membuat semu merah di pipi Reina.

Reina kembali tertunduk, merasa semakin malu. Padahal kemarin dia bisa membentak Vano di gudang. Tapi saat cowok itu membelanya dan menggenggam tangan, semua keberanian kemarin seolah luntur bersama detak jantungnya yang cepat. Entahlah, Reina sulit menjelaskan. Dia hanya tahu, baru kali ini ada yang membelanya --selain Reihan.

Vano menunduk dengan sedikit merendah, berusaha memosisikan tubuh agar bisa melihat sepasang iris hitam milik Reina.

"Eh, kamu kenapa? Wajahmu memerah. Kamu sakit?" Vano meletakkan tangan besarnya di kening Reina, seketika gadis itu menepisnya.

Keduanya bertatapan.

"Vano!" teriakan melengking keluar dari bibir seorang gadis yang muncul menghampiri Vano. Gadis berambut panjang dengan jepit rambut kini bergelayut manja di lengan Vano. Namanya Karen.

"Lepas!" tegas Vano yang merasa sangat risih karena Karen selalu menempelinya seperti perangko.

Reina diam menatap keduanya. Kini melepas genggaman tangan dengan Vano.

"Kita makan siang, yuk. Aku lapar, nih!" ajak Karen dengan suara manja.

"Gue nggak laper. Pergi lo!" usirnya.

"Kok gitu sih? Aku, kan, maunya makan bareng kamu, Van. Kita makan bareng yuk?"

"Eh, lo nggak lihat. Gue masih ada perlu sama--" Kalimat Vano tidak berlanjut karena sosok yang dimaksud sudah menghilang dari sampingnya.

Vano menghela napas. Sudah menduga kalau si unik Reina akan susah didekati.

"Vanoo... Ayo ke kantin. Ngapain sih ngurusin cewek cupu segala. " Karen menariknya paksa.

Dengan terpaksa, Vano menuruti cewek super bawel itu. Yah, lagipula Roy dan konco-konconya masih di kantin.

🍀🍀🍀

Sepulang sekolah.


"Nih, buku yang lo minta. Sekarang lo nggak harus ngejar-ngejar gue lagi." Alan menyodorkan buku yang dulu pernah menjadi perebutan keduanya di toko.

Ana menatap buku bersampul biru tua itu dengan mata berbinar. Dalam sekejap, dia lupa kalau sedang berdiri di depan Alan. Dia malah asik mengusap-usap sampul dan menciuminya beberapa kali.

Alan tersenyum kecil sambil geleng kepala melihat tingkah kekanakan Ana.

Ana membuka acak beberapa halaman buku. "Masih bagus seperti pertama beli. Terima kasih, ya." Ana mendekap bukunya sembari tersenyum manis di depan Alan.

Mulut Alan sedikit terbuka karena terlalu terpesona dengan senyum yang baru pertama kali dilihatnya di wajah Ana. "Ya... Terserah." Alan segera mengalihkan pikirannya yang dipenuhi Ana dengan membereskan tas dan beberapa baju olahraga yang tergeletak di lantai lapangan.

"Mau pulang sekarang?" tanya Ana.

"Iya, mau ngintilin gue juga?" Alan menyampirkan tas ke bahu kirinya.

"Dih! GR! Aku kan cuma nanya." Ana tersenyum lagi.

Alan pikir Ana jadi banyak senyum sejak diberi buku. Dia harus mencatat ini dalam memori. Jangan memberi buku pada Ana saat di keramaian.

"Ya, terserah lo, Nona pendek!"

Alan melangkah pergi meninggalkan Ana yang cemberut.

"Hei, anak kepala sekolah!" panggil Ana.

Alan mendesis tidak jelas, dia mengabaikan panggilan gadis di belakangnya. Dia jengah karena Ana terus memanggilnya anak kepala sekolah.

"Alan!" panggil Ana, membuat cowok jangkung itu berhenti melangkah.

Alan membalik badan dengan wajah bosan dan lelah. "Apa lagi?"

Ana berlari mendekat. Tepat di depan Alan, dia mengulurkan tangan seakan ingin bersalaman.

"Apa ini?"

"Tangan aku, lah. Masa kaki?" Ana masih saja tersenyum.

Alan mengembuskan napas. Dia merasa akan diabetes setiap melihat Ana yang tersenyum.

"Iya, gue tahu ini tangan. Tapi maksudnya apa?"

Ana mendecih. "Aku menawarkan sesuatu yang akan sangat rugi kalau kamu tolak. Jadi, jabat tanganku sekarang."

Alan terkikik. "PD-an lo."

Aneh, Ana tidak marah sama sekali. "Sebuah pertemanan."

Wajah Alan berubah datar, kini ada kerutan di dahinya.

"Aku lelah berdebat sama kamu. Mungkin saja kalau kita baikan, kamu akan sering memberiku buku?" Ana tertawa kecil, masih dengan uluran tangannya.

"Maksud lo kita baikan? Gue nggak salah denger?" Alan tertawa meremehkan. "Oh, jadi si Nona pendek ini mau baikan sama gue? Modusnya, sih, pengen dapat buku, sebenarnya lo mulai tertarik sama gue, kan? Terus diam-diam lo mau deket sama gue, terus lo--" Alan menghentikan omelannya saat Ana berniat menurunkan uluran tangannya.

Segera Alan menjabat tangan Ana. "Jadi lo mulai tertarik sama gue, Nona Pendek?"

Tanpa melepas jabat tangannya, Ana menyeringai. "Ternyata otak kamu lebih dangkal dari yang aku kira"

🍀🍀🍀
TBC
Thank you for reading...:)

Continue Reading

You'll Also Like

3.6M 213K 57
[USAHAKAN FOLLOW DULU SEBELUM BACA] Menikah di umur yang terbilang masih sangat muda tidak pernah terfikirkan oleh seorang gadis bernama Nanzia anata...
286K 4K 70
KUMPULAN CERITA DEWASA.
24.8K 2K 30
[COMPLETED] Seri Cerita TUMBAL Bagian 4 Setelah Yvanna dan Ben menikah, Yvanna kini tidak lagi menyandang nama Harmoko pada namanya dan berganti menj...
155K 21.5K 61
#1 in serem [01/11/2020] #2 in indrakeenam [17/11/2020] #3 in cintabedaagama [19/11/2020] #6 in konyol [19/11/2020] #2 in adira [01/12/2020] #1 in sa...