Replayed [UNDER SERIOUS EDITI...

由 dragxns

9.3K 593 55

HEY GUYS IM EDITING THE STORY SO IT MIGHT BE A BIT WEIRD FOR A WHILE SORRY! [5 Seconds of Summer and One Dire... 更多

Chapter 01 - Luke
Chapter 01 ½ - Fruit Pies
Chapter 2 - Dust
Chapter 3 - Daydream
Chapter 4 - Adriall
Chapter 4½
Chapter 5
Chapter 6 - Adriall
Chapter 7 pt. 1 - Adriall
Chapter 7 pt. 2 - Who's Cal?
Chapter 8 pt. 1
Chapter 8 pt. 2
Chapter 9
Chapter 9½
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 14½
Author's apology and announcement

Chapter 00 - Thief

1.6K 41 3
由 dragxns

Sinar matahari langsung menyorot mataku pada detik aku melangkahkan kaki keluar dari stasiun kereta. Dengan mata terpicing, aku berusaha mencari wajah sahabatku diantara orang-orang yang berlalu lalang. Tidak bisa menemukannya di dalam sana. Di luar sini juga. Ah, kurasa aku akan mencari tempat du—

Aku merasakan tarikan pada lenganku dan detik berikutnya aku sudah tersungkur, tasku dibawa pergi oleh laki-laki berjaket hitam, kepala dan wajahnya tertutup kecuali bagian matanya, dan ia berlari menjauh.

“Pencopet!”

Orang-orang menghentikan aktifitas dan aku bisa merasakan tatapan mereka menusuk punggungku selagi aku berdiri dan mulai berlari. Pencopet itu sudah berada bermeter-meter di depanku, mendorong-dorong diantara kerumunan. Jantungku berdegup kencang, telingaku berdenging. Aku tidak tahu apa yang kuteriakkan.

Brugggh!

“Aduh!”

“Ah! Maafkan saya, anda tidak apa-apa?” kata lelaki yang menabrakku dengan cemas.

“Aku baik-baik saja, tapi…” pandanganku kembali ke arah si pencopet, aku tidak bisa melihatnya lagi. Pikiranku melayang memikirkan isi tasku—handphone, dompet, SIM, passport…

Seseorang menepuk bahuku dan aku berbalik.

Seorang pemuda berambut cokelat terang membungkuk terengah-engah didepanku, tangannya bertumpu pada lutut. Lalu dia menegakkan tubuh dan mengulurkan tasku.

Tas…..?

“Ini,” katanya di sela-sela nafas. Aku cepat-cepat menerimanya dan memeriksa isinya. Syukurlah, tidak ada yang hilang.

“Terima kasih banyak! Apa yang terjadi pada….?”

“Tidak usah cemas, aku mengejarnya dan menahannya sampai security datang, sekarang dia sudah ditangani.” Cowok itu tersenyum menampakkan gigi cemerlang serta lesung pipi yang cukup dalam di kedua pipinya. Rasanya aku pernah melihatnya di suatu tempat…

“Ngomong-ngomong, I’m Ashton.” Dia mengulurkan tangan.

“Oh, terima kasih, uh...Ashton.” tangannya yang sedikit berkeringat. Dengan sembunyi-sembunyi aku mengelapkan tanganku ke bagian belakang jeans. Lalu aku berjalan kembali ke tempat aku meninggalkan koperku di tengah jalan. Cowok Ashton itu mengikutiku.

“Um, hey, untuk membalas kebaikanmu, do you mind if I buy you a drink? Kau terlihat capek,” tawarku.

“Oh, no. No, you don’t have to—“

“Ayolah, aku memaksa—oh!” tanpa sengaja aku menyenggol koperku dan Ashton dengan sigap menahannya sebelum terguling. “Ah. Terima kasih lagi.”

“No problem.”

“Jadi, bagaimana tawaranku?

Akhirnya dia setuju dan kami menuju starbucks.

**

“You know—sepertinya aku pernah melihatmu sebelumnya. You’re in college?” tanyanya tiba-tiba selagi kami duduk menikmati minuman masing-masing.

“Well, yeah. I go to CGC,” jawabku.

“Coastal Greenfield College? You gotta be kidding me!”

Ternyata ia pergi ke kampus yang sama denganku. I found out that he’s a year ahead dan kami berakhir membicarakan sekolah. Sungguh aneh, Ashton juga merasakan pernah bertemu denganku? Mungkin aku memang pernah berpapasan dengannya. Tiba-tiba handphoneku bergetar. Aku cepat-cepat mengeceknya lalu mengernyit kesal.

“Ada sesuatu yang salah?” tanya Ashton.

“June—temanku—sudah berjanji akan menjemput tapi baru saja dia bilang ada urusan mendadak,” jawabku. “Kurasa aku akan mencari taksi.”

“Uhm, bagaimana kalau kuantar?” tawarnya tiba-tiba. “Pastinya tidak akan jauh dari Greenfield kan?”

“Don’t you have something to do…?” tanyaku ragu.

“Ah, tadinya aku berniat menjemput Luke—my bandmate—sampai ia mengatakan tidak akan pulang sampai besok. Aku baru mau kembali ke apartemen ketika melihat pencopet itu.”

“Kau yakin tidak apa-apa?”

Ashton tertawa santai. “Tentu saja tidak apa-apa. I’m going there too, anyway.”

**

“So….welcome to my car,” Ashton duduk di sebelahku di kursi pengemudi.

“Nice car,” ucapku. Dia tertawa.

“Untung saja aku sudah membersihkannya kemarin, biasanya benda ini penuh berisi sampah makanan dan baunya seperti laki-laki.” Dia berhenti. “Tunggu—lupakan aku pernah mengatakan itu.”

“Baunya seperti laki-laki,” aku mengangguk-angguk.

Ashton tidak sempat merespon karena begitu ia memutar kunci, suara musik superkeras menggelegar dari radio.

“Astaga! Maaf, Sophie!” serunya seraya mengecilkan volume. “Green Day, huh. Kenapa mereka memutar lagu ini? It’s from the year I was born!”

“Old but gold,” komentarku, tanganku bergerak untuk membesarkan volumenya lagi. “I am one of those melodramatic fools…”

“Neurotic to the bone,” Suara Ashton, surprisingly good, menimpali.

“No doubt about it.” Nyanyi kami berbarengan.

Kami keluar dari tempat parkir.

“Kukira kau tipe gadis yang mendengarkan lagu-lagu Justin Bieber?”

“Memangnya kenapa? He’s… cute.” Aku mengalihkan pandangan keluar jendela sementara Ashton tertawa.

Penyiar radio mengatakan sesuatu yang kupikir benar-benar tidak relevan, kemudian lagu berikutnya diputar.

“Chandelier…”

“Depressing stuff.” Gumam Ashton.

“I know, right?” semburku. “I mean, have you seen the video?”

“I thought it was explicit when I saw it for the first time”

“Don’t we all?” aku tertawa. “Creepy, but that girl is like, super talented”

“Agree. She’s in that show Dance Moms,”

“Benarkah?” tanyaku. “Wow. I didn’t know that.”

Kami menghabiskan sisa perjalanan mengomentari hampir semua lagu yang diputar di radio. Aku terus-terusan terlambat memberitahu Ashton dimana harus berbelok, sehingga kami beberapa kali harus memutar dan perjalanan rasanya semakin lama. Aku khawatir Ashton akan kesal tapi dia tetap tersenyum setiap kali pandangan kami bertemu.

“We are here.” Ucapku ketika kami sampai di bangunan apartemen yang sudah menjadi rumahku selama kurang lebih setahun.

“Wow! You live here? Nice,”

“Hahaha. Aku sangat bersyukur orang tuaku dan orang tua June mengizinkan kami tinggal off-campus, karena… you know, dormitory life isn’t… my thing.”

Aku keluar dari mobil dan Ashton membantuku mengambil koper di bagasi. Kemudian aku berbalik untuk berterima kasih, tapi diluar dugaan, Ashton memelukku. Wow, aku benar-benar tidak mengira. I mean we’re completely strangers. He’s aware about that…right?

“Terima kasih banyak untuk semuanya, Ashton” ucapku agak canggung.

“And thank you for hanging out with me,” dia melepaskan pelukan. “Sort of.”

继续阅读