El Academy [Proses Revisi]

By RiaethShiba

79.9K 5.3K 399

[Fantasy-Minor Romance] Three Kingdom The Series #1 Hembusan Rusa yang Bebas. Itu adalah arti namanya; Oilien... More

El Academy-Victorian
Chapter 1 : Flamers
Meet The Character!
Chapter 2 : Dandelion
Chapter 3 : Si Rambut Silver
Chapter 4 : Ujian
Chapter 6 : Necklace
Chapter 7 : Teman atau Musuh?
Chapter 7.5 : Teman atau Musuh?
Chapter 8 : His Brother
Chapter 9 : The Last Day
Chapter 10 : Ini Salah!
Chapter 11 : Pangeran Malam
Chapter 12 : A Time to Remember
Chapter 13 : Lost that "Blue"
Chapter 14 : Saying Good "Bye"
Chapter 15 : Red Rose
Chapter 16 : Doll
Chapter 17 : The Meaning
Chapter 18 : Let Me?
Chapter 19 : White Lie
Chapter 20 : Cold Truth Or Warm Dare?
Chapter 21 : Something Changed
Chapter 22 : Untrusted
Chapter 23 : Grey Suicide
Attention Please!
Chapter 24 : Heart of Fire
Chapter 25 : Can You See My Heart?
Chapter 26 : Fall Behind
Chapter 27 : Termodinamika
Chapter 28 : Apriori

Chapter 5 : Aukwood

3.1K 215 18
By RiaethShiba

[Revisi]

Jangan lupa tinggalkan jejak!
Vote maupun komentar kalian sangatlah berharga 😊

Happy reading~

🌿 🌿 🌿

"Oke, sekarang kalian akan berangkat secara berkelompok seperti yang dijelaskan kemarin. Selain itu, bagi kalian yang keberatan dengan memasuki Hutan Aukwood sekarang, bisa mengundurkan diri. Karena sekolah sudah memastikan mereka yang masuk ke Hutan Aukwood, akan susah untuk keluar."

Aku menatap datar penjelasan Mr. Xander yang bagiku tidak penting dibicarakan. Setelah kami semua membawa peralatan yang dibutuhkan kemarin, bagaimana mungkin kami mundur? Memang Mr. Xander pikir mencari benda dalam sehari itu mudah? Apalagi aku harus meminta obat-obatan yang mungkin akan berguna ke guru biologi yang sedikit aneh itu. Iya, guru biologi yang tinggal di sebelah timur dekat dengan Hutan Aukwood gerbang timur yang katanya menyimpan tanaman-tanaman dan hewan misterius di rumahnya.

Namun bagaimana lagi bukan? Memang sih, sekolah itu rumit. Aku jadi menyesal karena pernah memohon pada ibu dahulu untuk disekolahkan.

"Baiklah, karena tidak ada yang mengundurkan diri, maka aku akan melanjutkan." Benar-benar tidak penting sekali.

"Kalian diberi waktu sekitar 4 hari untuk keluar dari Hutan Aukwood sebelum acara selanjutnya yang akan kalian ketahui nanti di Kastil Dawn."

"Harap bergabung dengan kelompok masing-masing lalu silahkan mencari Kastil Dawn yang belum kalian ketahui keberadaannya. Hanya ada beberapa tanda yang sudah diberi tahu oleh masing-masing diantara kalian untuk menuju masing-masing pos agar dapat menyelesaikan tantangan," lanjut Mr. Xander membuat beberapa anak mengeluh secara terang-terangan. Kalau bagiku sih, itu adalah suatu tantangan yang menarik. Cih, Feyna mulai sombong.

Aaric melihatku—tatapan kami beradu. Dengan langkah bak model dunia, ia berjalan mendekatiku. Benar-benar ciri-ciri seorang player tingkat dewa. Beberapa siswi kelasku menatap Aaric dengan pandangan kagum. Namun bagiku, dia hanyalah lelaki mesum yang menganggu. Atau hanya pikiranku saja? Entahlah.

Seorang pria berambut hitam malam dengan kacamata bertengger manis di atas hidungnya—berjalan ke arahku sembari tersenyuman teduh. Lesung pipi di pipi kirinya menambah kesan manis dari pria itu. Apakah dia teman sekelompokku yang lainnya?

"Kamu Feyna 'kan?" Dia bertanya kepadaku dengan ramahnya. Aku hanya mengangguk menanggapi pertanyaannya.

"Perkenalkan, namaku Nathaniel Eland Giorby. Bisa dipanggil Nathan, kalau kamu masih ingat."

Duh, sayang sekali aku tidak ingat.

"Aku Oilien Feyna Aksana," ucapku berusaha bersikap ramah walau nada bicaraku tetap saja tidak berubah. Selalu ketus apabila bertemu dengan orang asing—apalagi makhluk berjenis kelamin laki-laki.

"Aku sudah tahu." Dia tersenyum lagi. Baiklah, mungkin aku sendiri yang sedikit malas untuk mengingat-ingat nama-nama teman sekelasku.

Jangankan teman sekelasku, berkeliling akademi secara keseluruhan saja belum. Padahal, El Academy ini dikelilingi oleh Hutan Aukwood dan sungai jernih di sebelah barat. Memang ada dinding untuk membatasi El Academy yang luasnya berhektar-hektar, namun ada beberapa pintu rahasia yang diketahui sedikit orang. Seperti Zeon misalnya.

Selain itu, aku belum terlalu memperhatikan sekolahku yang baru ini. Yang kuketahui hanya tiga bangunan utama ditambah rumah penjaga sebelah timur, perpustakaan, gedung olahraga, dan green house. Ah, jangan lupakan rumah guru biologiku itu.

Aku menatap teman sekelompokku. Sudah ada 3 orang lainnya yang bersamaku saat ini. Tentu saja ada si Aaric, Nathan, dan kuyakin gadis berambut krem ini adalah Lunara. Lunara, gadis itu sedikit pendiam. Mungkin memang sulit bergaul dengan orang lain—sepertiku.

Suara berdecit menandakan gerbang utara akan dibuka sempurna. Takut? Tidak lagi. Aku bukanlah orang yang mudah menyerah, kau tahu.

"Sebelum kalian memasuki Hutan Aukwood, ada beberapa hal yang perlu kalian perhatikan."

Mr. Xander bersiul dua kali ke udara. Beliau juga menengadah ke langit biru, entah mencari apa.

Tiba-tiba ada seekor elang berwarna putih datang dengan elegan—mulai menarik perhatian kami semua. Elang itu sempat berputar-putar di udara sampai hinggap di tangan Mr. Xander dengan manis.

Beberapa anak bahkan bertepuk tangan girang.

"Namanya Puu, dia adalah elangku. Dia akan mengawasi kalian selama di hutan. Entah kepada siapa dia mengawasi, kalian harus tetap berhati-hati. Kalian jangan mengambil sesuatu sembarangan di dalam hutan, melukai binatang asli yang tidak bersalah, membuat kekacauan berlebihan, dan berbuat curang. Di sini kami pihak sekolah akan mengerahkan segalanya untuk kalian. Jadi, kuharap kalian bisa melakukan yang terbaik!"

Mr. Xander berbicara dengan tegasnya hingga seluruh teman sekelasku bertepuk tangan membuat anak kelas lain terang-terangan mengintip. Yah, kelas yang masuk melalui gerbang utara lainnya adalah kelas Mars, Asteroid, Bulan, dan kelas Jupiter. Banyak, bukan? Namun kelas Mars dan Jupiter sudah berangkat sejak tadi. Sebentar lagi giliran kami, jadi aku harus bersiap.

Setelah gerbang terbuka sempurna, kami langsung masuk ke hutan. Aku tidak tahu bagaimana jadinya apabila kami semua menuju pada arah yang sama. Bukankah itu malah sedikit menyulitkan? Yah, begitulah.

Kami berjalan bersamaan menyusuri hutan yang begitu rindang dan sejuk. Walaupun begitu, hawa berbeda dapat kurasakan ketika masuk ke dalam hutan ini. Tentu saja tidak seperti aku san Zeon waktu itu. Duh, perasaanku tidak enak.

"Halo, aku Nathan. Kamu Lunara ya?" Nathan berkata kepada gadis berambut krem yang berada di sebelahku. Namun gadis di sebelahku memilih mendiamkannya dan malah memperhatikan sekitar untuk waspada. Padahal kami belum ada sepuluh menit masuk ke dalam Hutan Aukwood ini.

Nathan yang menggaruk tengkuknya malu. Sepertinya dia bukan tipe orang yang pendiam.

"Feyna, asalmu dari mana?"

Aku berdecak kesal. Haruskah dia bertanya mengenai asalku? Haruskah aku jujur? Namun bagaimana jika mereka tidak bisa aku percaya?

Aku tersenyum mencoba untuk menghargai lelaki berkacamata di sampingku ini. "Northarm, Victorian."

"Oh, begitu. Kalau aku di Queensland! Jaraknya dekat, tapi kenapa kita tidak saling mengenal ya?" Dia bodoh atau bagaimana? Jelas kita tidak kenal karena berbeda kota. Bagaimana bisa aku mengenalnya kalau begitu?

"Oh ya, Feyna suka menonton film tidak?"

Kenapa dia cerewet sekali sih!

Gerakan kepalaku sudah menunjukkan jawaban yang ia dapatkan. Dia mendesah kecewa. Cih, aku tidak menyangka kalau dia akan bertanya kepadaku mengenai hal itu. Menonton film? Aku tidak suka menonton film karena bagiku film itu hanya menghabiskan waktu saja. Selain itu, aku tidak suka dengan cara mereka menyuguhkan film itu. Pasti dari durasi yang terbilang cukup panjang itu terdapat adegan kissing yang akan membuatku jijik.

"Nathan! Mulut lo gak bisa di lem?" Ucapan sarkastik Lunara spontan membuat atensi kami beralih padanya. Nathan sendiri tidak tahu kesalahannya apa hingga harus diam seperti yang dikatakan Lunara.

"Memangnya kenapa? Aku kan cuma nanya—"

"Berisik banget tau ga!" Lunara memotong pembicaraannya dengan tegas. Oh, tidak ... aku merasakan hal yang tidak mengenakkan. Mataku melirik ke arah Aaric yang sepertinya paham akan maksudku, sayangnya ia memilih acuh tak acuh sembari mengedikkan bahu. Sial, baru beberapa menit, namun ia sudah membuatku kesal.

"Sebenarnya lo kenapa sih Lun, lo itu—"

"Jangan sok akrab manggil nama gue dengan tiga huruf," ketus Lunara.

Tunggu, apa hubungan memanggil nama tiga huruf dengan sok akrab?

"Memangnya ada apa dengan memanggil tiga huruf?" Nah, itu yang ingin kutanyakan.

"Lo bodoh atau bego?"

Jleb.

Ucapan itu menohok ulu hatiku. Benar-benar ucapan kasar sekali bagi seorang wanita. Bagaimana jika tadi aku yang bertanya? Apakah dia akan menjawab dengan jawaban yang sama? Aku tidak menyangka.

"Lunara, aku pikir kamu—" Oke, aku kali ini yang bersuara. Namun segera terkatup ketika Nathan memotong pembicaraanku. Apa sih, apa?!

"Lo sok banget sih jadi cewek!" Nathan menatap Luna sengit tidak terima. Sedangkan yang ditatap membalas dengan sengit pula. Oke, aku mendesah frustasi melihat perdebatan yang ada di sekitarku.

"Emang kenapa? Cowok nerd sekolah gak mungkin mengerti tentang itu kan?" Lunara tersenyum miring mendengar perkataan Nathan barusan. Aku menggigit kukuku cemas. Kalau begini terus, bisa saja kami tidak sampai ke Kastil Dawn dengan selamat.

"Siapa yang lo bilang cowok nerd?" geram Nathan sembari meremukkan kacamatanya langsung dengan tangan. Aku melongo, situasi ini mulai menggila.

"Oh, jadi itu bukan kacamata cacat. Gue pikir mata lo cacat jadi harus pakai kacamata." Oke kali ini tidak bisa aku biarkan. Aku menggeram marah sambil menatap Lunara yang terlihat sangat sombong disini.

"Hentikan!" teriakku menyudahi pertikaian, namun tidak ada yang menghiraukan. Sial.

"Jangan menghina! Lo pikir lo sempurna?" Tangan Nathan langsung meraih tudung Lunara cepat—mencengkeramnya dengan kuat. Aku melotot hampir memekik kuat.

Omong-omong, kami memang diberi tudung masing-masing di sekolah untuk bepergian. Jadi, saat ini kelas kami berinisiatif untuk menggunakan tudung sekaligus menjaga tubuh dari serangan hewan berbahaya.

"Calm down, bro. Dia perempuan kalau kau masih ingat." Akhirnya suara yang sedari tadi kutunggu-tunggu keluar juga. Hua! Untung sekali ia membelaku—untuk meleraikan mereka berdua. Kalau tidak, mungkin saja cekalan tangan Nathan tidak akan mengendur seperti saat ini.

Aku menggumamkan kata terima kasih kepada Aaric yang sedikit melirikku sebelum mendengkus dan menatap ke depan lagi.

Namun tanpa kuduga, sontak Lunara mendorong tubuh Nathan hingga terjatuh—berguling beberapa meter darinya. Hal yang membuatku terkejut bukanlah karena itu, namun karena fisik Lunara benar-benar berubah. Tangannya menyerupai cakar binatang dan matanya berwarna kuning kecokelatan. Tidak lupa dengan satu titik hitam di matanya yang aku yakini adalah tanda perubahan dari dirinya.

Dia mirip sekali dengan elang.

"Lo!" Lunara menggeram marah, sepertinya emosinya sudah di ujung tanduk. Ia berjalan cepat hingga berlari untuk mencengkeram leher Nathan yang sedang terkapar di tanah.

Namun tiba-tiba sesuatu mengalihkan perhatian kami semua. Sebuah akar melilit kaki Lunara membuatnya terhempas ke tanah.

"Aaaa!"

Akar itu semakin mengerat saat Lunara berteriak. Ia hanya bisa meringis kesakitan tanpa mampu melepaskan lilitan kuat itu.

"Tolong ..." Mata Lunara sudah berkabut, ia hendak menangis meminta pertolongan.

Aku merasakan gelagat aneh di dalam tubuhku. Perasaan itu ... aku merasa iba padanya. Namun sebelum aku bergerak untuk menyelamatkan Lunara, sebuah tangan halus dan besar menahanku. Aku menoleh ke arahnya.

"Lepas!"

"Jangan kesana!" bentak Aaric menyuruhku untuk diam di tempat. Kenapa dia tidak memperbolehkanku menolong Lunara? Apa ia mempunyai hati?

"Kubilang lepas!" Aku masih berusaha melepas cekalan tangan Aaric. Namun dia masih keukeuh tidak ingin melepaskan cekalan tangannya.

Benar-benar hati batu!

"Gimana? Dapet karmanya 'kan? Memang dasar lo sombong," ucap Nathan dengan gelagat angkuh. Namun itu tak bertahan lama karena akar itu ikut melilit kedua kakinya. Nathan berteriak dan meringis saat akar itu mencengkram kakinya lebih kuat.

Ketika mereka berdua berusaha melepaskan diri, akar yang membelit mereka semakin banyak. Sampai-sampai telah membelit separuh tubuh mereka.

Segera kutepis tangan Aaric dan sedikit mendorongnya. Kulihat ia menggeram marah, namun tak kuacuhkan. Aku terus berlari untuk menyelamatkan Nathan dan Lunara yang diseret oleh sebuah pohon besar bercabang banyak.

"JANGAN GEGABAH!" Aaric berlari mengikutiku hendak menahan langkah lebar milikku. Namun aku tidak menghiraukannya, masih keukeuh dengan pendirianku.

Kupejamkan mataku. Aliran panas itu datang lagi, membuat hawa panas terasa ketika semakin cepat kuberlari.

My pleasure agni, help me with your kindness.

Perlahan kubuka mataku sembari menyadari sekujur tanganku dilalap api jingga yang berbentuk pisau. Pisau api, entah bagaimana aku membuatnya. Tetapi yang pasti, segera aku memotong akar-akar yang melilit tubuh Nathan dan Lunara. Anehnya, akar itu malah tumbuh lagi—bahkan lebih banyak dari sebelumnya. Zona bakarnya pun hanya sedikit sekali.

Apakah aku harus membakar pohon ini juga? Ya, sepertinya begitu.

Ketika aku sedang membuat bola api raksasa—dari yang kupelajari kemarin, aku tak sadar bahwa akar-akar itu sudah melilit pergelangan kakiku. Aku berteriak, meminta pertolongan pada Aaric yang berdiri mematung di kejauhan. Tatapannya intens—meratapi nasibku.

Sial, seharusnya aku mendengarkan ucapannya. Sehingga kebodohanku tidak akan membuat kami bertiga semakin terpojok. Nahkan, aku menyesal!

Berkali-kali berusaha membakar akar yang melilit kakiku, mereka malah semakin naik dan banyak. Kulihat Nathan dan Lunara sudah tak sadarkan diri dengan posisi tidak mengenakkan sama sekali. Apalagi akar yang masih setia membungkus mereka berdua tanpa pergerakan—seakan-akan Lunara dan Nathan telah menjadi bagian dari pohon tersebut.

"Dasar ceroboh!" umpat Aaric dari kejauhan yang mampu kudengar dengan jelas. Sialan, hati batu! Bukannya membantu, malah mengumpatiku!

"Aku menyesal, bodoh!" umpatku balik dengan tatapan tajam—sudah terlalu pasrah dengan akar yang membungkus tubuhku. Lagi-lagi aku mencoba mengeluarkan api, namun sia-sia saja. Tak ada gunanya.

Ya, benar-benar sia-sia saja sejak awal.

Semakin lama aku bertahan dengan posisi ini, tiba-tiba kepalaku pusing dan mataku terasa berat untuk tetap terjaga. Seperti akar ini menyerap energi kehidupanku dengan paksa, walaupun tubuhku berkali-kali menolaknya.

Aku ... tidak ... kuat.

Apakah aku akan mati? Bahkan permainanku belum dimulai sama sekali. Ah, aku membenci diriku sendiri yang lemah seperti ini. Andaikan aku diberi kesempatan sekali lagi untuk hidup, aku berharap ... ingin menjadi seseorang yang berharga bagi banyak orang. Termasuk mereka yang pernah menghinaku.

Sedetik berikutnya kegelapan menyelimuti pandanganku dengan sempurna.

✨ ✨ ✨


Mataku terasa berat untuk dibuka. Apalagi pemandangan di hadapanku hampir membuatku memekik menggila. Seorang lelaki berbadan tinggi, berkulit sawo matang, kurus, dan botak, dengan pakaian rumbai daun kelapa—tersenyum padaku sembari melambaikan tangan. Sontak aku panik, namun ketika mundur ... tubuhku terbentur sesuatu. Kontan aku menoleh cepat.

"Loh, kalian?" Aku terkaget. Mereka—Aaric, Nathan, dan Lunara juga ikut kaget. Posisi kami saling membelakangi, namun cukup membuatku berkeringat dingin ketika mengetahui ada 7 manusia semacam pria tadi mengepung kami. Wajah mereka mengerikan! Bahkan ada pria berkumis tipis yang mengedipkan satu matanya padaku sembari tersenyum menggoda.

Sial, aku jijik!

"Hei, kita dimana?" tanyaku dengan panik.

"Aku tidak tahu. Bangun-bangun, kita berempat sudah terkepung di sini," jawab Natha tak kalah panik. Aku bersandar di bahu mereka—Lunara dan Nathan yang saling membelakangi. Sedangkan orang yang duduk persis di belakangku adalah Aaric, aku tak tahu bagaimana ekspresinya sekarang.

"Zuzuuuu!" teriak salah satu di antara mereka mengagetkan kami berempat. Sontak kami saling waspada, lalu berdiri dari duduk kami untuk berjaga-jaga.

Kulihat mereka bersama-sama memundurkan diri, lalu membentuk formasi lingkaran untuk mempermudah menangkap kami, sepertinya. Kuperhatikan mereka sekali lagi, baru kusadari tentang warna iris mereka yang berbeda-beda. Ada yang berwarna merah, cokelat, putih, biru, hijau, abu-abu, dan biru muda dengan aura dingin.

Tak terduga, mereka semua bersamaan mengeluarkan berbagai macam elemen di tangan. Satu orang satu elemen. Itu adalah elemen-elemen dasar tingkat satu, namun mustahil untuk diremehkan. Ada elemen api, tanah, air, udara, petir, tanaman, dan es. Dengan ketidakberuntunganku, tepat di hadapanku terdapat dua orang pengendali tanah dan air.

Ya Tuhan, sungguh? Satu lawan dua?

Tiba-tiba mereka menyerang kami secara bersamaan. Aku yang sadar akan yang terjadi, spontan menunduk dan berguling ke  depan untuk memastikan diriku tidak terkena serangan mereka. Masih dengan posisi jongkok, aku menendang salah satu kaki mereka sekuat tenaga menggunakan api milikku. Namun sayang seribu sayang, tendanganku tembus begitu saja ketika mengetahui bahwa lawanku pengguna elemen air.

Bagaimana aku bisa sebodoh itu?

Lelaki berelemen tanah segera menghampiriku dengan tawa menggelegar. Tanpa kasihan, ia mencekik leherku hingga napasku mulai menipis. Segera aku memeluk pinggangnya dengan kedua kaki, lalu tubuhnya kubanting di tanah.

Cara itu berhasil! Walaupun beratnya hampir membuatku terhuyung ke belakang.

Sedetik kemudian, mataku melotot melihat yang terjadi. Kedua lelaki itu menyeringai sembari bergabung menjadi satu tubuh—entah bagaimana caranya, lalu kembali tertawa jahat. Mengerikan! Kekuatan yang mengerikan. Mereka bergabung dan merubah elemen dasar menjadi lumpur; gabungan antara elemen air dan tanah.

Mereka—maksudku ... dia menembakkan banyak sekali lumpur pada kakiku, namun berhasil kuhindari dengan perisai api yang bisa kubentuk dengan sempurna. Aku pun tak tahu bisa membuatnya. Itu semua hanya gerak refleks.

"FEYNA!"

Teriakan itu sontak membuatku menoleh. Ternyata itu adalah peringatan dari Nathan karena seorang pengendali api menyerangku dengan bola-bola miliknya. Akhirnya, kembali kulindungi tubuhku dengan perisai api di tangan kananku untuk menghalaunya.

Oke, dua perisai sekaligus. Sekarang ... kenapa aku jadi terkepung begini? Kenapa mereka senafsu itu untuk membunuhku?

Hampir saja aku ingin bernapas lega ketika mereka berhenti menyerangku. Namun malah semakin membuatku tersudut ketika mereka bertiga bergabung menjadi satu. Kekuatan mereka? Kutebak, lumpur panas.

Yang membuatku aneh adalah ... semakin mereka menyatu, maka semakin lama proses penyatuannya. Bahkan bisa kulihat tubuh orang itu menjadi semakin besar, gempal.

Kesempatan seperti ini tidak kusia-siakan. Tatapanku beralih pada Lunara yang terpojok di tempatnya, ingin melawan pengguna es.

"Ignis Ferrum!" teriakku sembari melayangkan bola api kepada si pengguna es membuat tubuhnya langsung meleleh—hampir sempurna. Menjijikan! Aku bisa melihat beberapa organ tubuhnya di balik lelehannya itu.

Kupikir aku akan menang, namun ternyata salah. Pengguna es itu dengan mudah mengembalikan tubuhnya kembali menjadi satu, lalu bergabung dengan monster bertubuh gempal itu.

Sial, sepertinya akan lebih berbahaya lagi.

Dugaanku tepat. Mereka mengeluarkan lumpur panas yang bisa membeku. Entah bagaimana, namun itu kekuatan tergila yang pernah kulihat semasa hidupku.

Aku mulai terpojok walaupun Aaric dan Lunara sudah membantuku melawannya. Oh ya, di sini Aaric mengeluarkan kekuatan dengan aura hitam, aku tak tahu maksudnya. Namun cukup membuatku terkagum—mengingat sedari kemarin ia selalu kupandang lemah.

Teriakan tidak gentle seorang Nathan di sana membuyarkan konsentrasiku. Ia terlihat kesusahan melawan pengguna angin dan petir yang telah bergabung menjadi satu. Tetapi santai saja teriaknya, bisa tidak sih?! Sungguh, teriakannya seperti seorang wanita yang tergopoh-gopoh dikejar anjing. Padahal aku yang wanita tulen ... tidak berteriak separah itu.

Akhirnya sesuatu yang sangat mengerikan terjadi. Seluruh elemen berubah menjadi satu tubuh. Anehnya, bukannya menciut ... aku malah tertawa. Apalagi ketika mereka bersama-sama membuat kurungan pada kami berempat—yang semakin menyusut setiap detiknya.

Wah, aku bahkan tidak bisa menjabarkan dengan jelas apa yang kurasakan sekarang.

Oke, jadi ... ceritaku hanya sampai di sini ya. Lucu sekali, aku sampai menahan tawa di balik kepanikan Nathan dan wajah datar Aaric yang menyebalkan. Sedangkan Lunara memilih menahan tangis sembari mengeluarkan cakarnya untuk mengoyak kurungan ini. Namun sayang ..., aku tahu semuanya sia-sia.

Di dalam hati, aku meminta maaf kepada ayah dan ibu yang masih berjuang sendirian di sana—tanpaku. Maafkan belum bisa membalaskan dendam kalian, bahkan untuk sosok penjagaku ... aku belum bisa menemukannya. Maafkan aku!

Lalu mengenai teman teman sekelompokku ..., aku benar-benar meminta maaf karena tidak bisa meleraikan pertengkaran kalian tadi hingga ...

Tunggu dulu! Aku menyadari satu kejanggalan yang membuatku tampak begitu bodoh. Kulirik pergelangan kaki Nathan dan Lunara bergantian, lalu mendesah lega. Sudah kubilang, 'kan? Aku memang bodoh. Tetapi aku bersyukur segera mengetahuinya sebelum terlambat.

Kufokuskan diriku membentuk aura api yang mampu menghempaskan kurungan itu dalam sepersekian detik saja. Mereka semua terkejut, aku terkekeh sinis. Sudah tahu rahasianya, kenapa harus takut?

Kupejamkan mataku, lalu membukanya dengan dramatis. Si jelek bertubuh gempal itu menyernyit, malah bingung dengan sikapku seperti ini. Namun aku malah semakin bersyukur, mereka mulai menyadari keanehanku.

"Ini tidaklah nyata, kalian semua tidaklah nyata!" teriakku menggelegar membuat si gempal itu berteriak keras. Begitu keras hingga memekakkan telinga.

Aku terjatuh di dedaunan dengan kedua lutut yang menyangga. Telingaku kututup dengan kedua tangan sementara kepalaku semakin pusing saja. Hingga akhirnya sesuatu membuatku terkapar di tanah, terhempas dengan dramatis, namun kuakhiri dengan senyuman.

Kegelapan menyelimuti indra penglihatanku. Beberapa kali kupaksa untuk membuka mata, tak lama berhasil juga. Erangan kecil lolos dari bibirku saat merasakan kulitku bergesekan dengan rerantingan yang amat mengganggu. Ya Tuhan, aku tidak percaya. Akhirnya, aku berhasil!

"F-Feyna?"

Mataku melotot ketika melihat Nathan tengkurap tidak berdaya tak jauh dariku. Tatapannya sendu—sesekali mengeluarkan ringisan kecil dari bibirnya. Aku tersenyum, seolah mengatakan semuanya akan baik-baik saja.

Ajaib, memang. Akar-akar yang membelit tubuh kami seakan hilang di telan bumi. Bahkan jejak sekecil apapun itu, tidak ada. Yang tersisa hanyalah pohon tua besar dengan dedaunan rindang yang menari-nari di atas angin. Bagaikan sekadar pohon biasa yang tumbuh normal semacam pohon lainnya.

Mataku memicing. "Aku tidak akan tertipu lagi, Tuan."

Tubuhku kugerakkan perlahan—mencoba berdiri dari posisi terkaparku yang tidak mengenakkan. Masih dengan ringisan yang tanpa sengaja lolos, mataku mengamati sekirar. Terlihat Lunara yang sedang duduk bersandar di pohon tua dengan lemas, Nathan yang terus mencoba berdiri, lalu ... tunggu, dimana Aaric?

"Aaric!" teriakku memanggil namanya, namun tidak ada jawaban. Berulang kali kucoba memanggil namanya, tetap saja tidak ada jawaban.

Duh, kemana pria itu? Untuk saat ini, aku mencoba berpikir positif.

Minatku teralihkan pada Nathan yang sedang membersihkan pakaiannya yang kotor. "Kamu baik-baik saja?"

Nathan tersenyum manis. Tampaknya ia baik-baik saja—ah, atau memang ia ingin dipandang seperti itu. Namun, hal yang ia katakan selanjutnya membuat dahiku berkerut.

"Coba tanyakan hal yang sama pada gadis di sebelah sana," pintanya seolah tidak peduli. Aku mengulum senyum, sebenarnya ia seperhatian itu. Namun kurasa ..., gengsinya terlalu tinggi.

Aku menurutinya. Nathan orang yang baik, aku tahu itu. Segera aku berjalan sedikit tertatih menuju tempat Lunara berada. Ia terlihat termenung, tatapannya menerawang lurus ke depan—entah melihat apa.

Kududukkan tubuhku dengan nyaman di sebelahnya. Punggungku kusandarkan di batang pohon itu, lalu memperhatikan langit sore yang mulai berubah warna.

Senja adalah fenomena alam yang kusukai sekaligus teman seperjuanganku. Lucu sekali, bukan? Namun itu semua ada alasannya. Senja itu ... walaupun waktu hidupnya singkat, ia berusaha menampilkan yang terbaik untuk dunia.

Aku ingin menjadi sepertinya.

"Aku salah, maafkan aku."

Batinku tertegun seketika. Perlahan, tapi pasti, pandanganku padanya mulai melunak. Dia seseorang yang mampu mengakui kesalahan, aku respek padanya.

"Seharusnya kamu mengatakan itu padanya, bukan padaku," tegurku sembari menendang dagu ke arah Nathan yang sedang menampar-nampar udara dan sesekali mengumpat kesal. Sepertinya dia adalah tipe pria yang benci serangga.

Lunara terkekeh. Aku sedikit tertegun ternyata gadis sepertinya bisa terkekeh juga?

"Ya, ya ..., aku memang paling merasa bersalah padanya. Memang aku sering terbawa emosi kalau mendengar seseorang yang terlalu banyak berbicara. Dia terlalu cerewet, tipe lelaki manja," ucap Lunara dengan senyumnya. Saat dia tersenyum, entah mengapa dalam hati aku bisa memujinya cantik. Benar-benar cantik.

"Setuju!" seruku dengan kekehan kecil. "Coba lihat kelakuan anak itu di sana! Terlihat sekali kalau ia baru pertama kali ke hutan."

Lunara tertawa lepas, cantik sekali. Bahkan tawanya terlampau keras membuat Nathan menoleh ke arah kami berdua dengan bingung. Namun sedetik kemudian mengalihkan pandangan, menyibukkan dirinya.

"Dia pria yang baik," celetukku tiba-tiba.

"Ya, aku tahu. Aku salah jika terbawa emosi dengan pria sepertinya. Duh, dia lebih terlihat seperti anak laki-laki polos yang terhina daripada remaja yang beranjak dewasa," lanjut Lunara sembari berdiri dari duduknya. Lagi-lagi Nathan terbuli tanpa sepengetahuan pria itu, kasihan sekali. Aku dan Lunara terkikik bersama, menyadari kebodohan kami dalam berbicara.

Aku langsung menoleh ke arah sekitarku. Aku teringat Aaric. Dia benar-benar menghilang tanpa jejak. Lalu, aku harus bagaimana saat ini? Apakah aku harus melanjutkan perjalanan kami dan meninggalkan Aaric atau menyusuri Hutan Aukwood dan mencarinya sampai dapat?

Kupikir opsi kedua itu mustahil karena kami hanya diberi waktu empat hari dan saat ini sudah menunjukkan waktu sore. Lebih tepatnya mulai petang—terlihat dari cahaya oranye yang bersembunyi malu-malu di balik awan.

Akhirnya kami bertiga kembali melanjutkan perjalanan sambil berharap akan menemukan Aaric di perjalanan nanti. Nathan dan Lunara sudah berbaikan—diawali dari Lunara yang gemas sendiri terhadap tingkah tsundere Nathan. Ya, bagaimana tidak? Lelaki itu sok menanyakan keadaan Lunara, namun dengan nada ketus dan sok tidak peduli. Padahal gayanya itu mbuat siapapun bisa langsung paham kalau ia sedang khawatir terhadap Lunara. Lucu memang, mereka hampir saling membunuh sebelumnya. Namun sekarang berbaikan layaknya teman dekat.

Akhirnya kami menemukan air terjun di sertai sungai kecil yang indah. Banyak bunga yang tumbuh di sekitarnya dan dapat ditemukan hewan-hewan seperti kelinci, kupu-kupu, dan ikan. Kami memutuskan untuk beristirahat sejenak daripada memilih melanjutkan perjalanan ketika malam hari.

Disini kami berbagi tugas. Lunara mencari ikan, Nathan mencari kayu bakar, dan aku membantu menyiapkan tempat tidur dan kebersihannya—sekaligus mengantisipasi hal berbahaya yang mungkin terjadi.

Setelah semua selesai, segera aku menggunakan kekuatanku untuk membuat api unggun, memasak ikan—yang ditangkap Nathan sambil berteriak-teriak kecil, hingga memasak air. Kami melakukannya di keheningan malam dihiasi kunang-kunang kecil yang terbang di sekitar bunga-bunga membuat kesan romantis—walau ini sama sekali jauh dari kesan romantis.

"Apa alasan kalian masuk akademi ini?" celetuk Nathan membuatku meliriknya sejenak.

"Tentu saja karena orangtuaku menyuruhku untuk sekolah lebih tinggi. Katanya supaya aku bisa menjadi penerus keluargaku," ucap Lunara sambil memakan ikannya. Haruskah aku ikut menjawab?

"Kalau aku karena aku sendiri ingin mengetahui lebih banyak mengenai dunia ini serta belajar sihir lebih dalam supaya bisa melindungi keluargaku yang mempunyai sihir tidak terlalu hebat," jawab Nathan dengan panjang lebar. Benar-benar jawaban yang niat sekali. Lalu, aku harus menjawab apa?

Lunara dan Nathan menatapku seakan-akan menantikan jawaban dariku. Aku sedikit salah tingkah jika diperhatikan seperti ini. "A ..., aku ..."

"Aku ingin membantu orang tua," lanjutku pada akhirnya. Walau aku sendiri bingung dengan diriku sendiri, kenapa jawabanku itu?

"Membantu dalam hal apa?" Nathan bertanya kepadaku dengan atensi penuh. Apakah jawabanku itu penting sekali hingga mereka berdua ingin sekali tahu jawabannya?

"Membantu ..." Seketika memori itu berputar dalam ingatan. Ketika kedua orangtuaku dibawa oleh beberapa prajurit istana ayah sendiri, ketika aku disuruh pergi dari sana, ketika aku kabur bersama penjagaku, ketika aku sampai di Victorian, hingga kehidupanku sebelum di akademi ini. Semuanya terjadi begitu cepat membuat mataku sedikit kabur.

"Ah, maaf," lirihku sambil memutar tubuhku ke belakang sebentar untuk mengusap air mataku yang menggenang.

"Aku ingin membantu ayah dan ibuku untuk bisa menjadi pemimpin di keluargaku. Namun, tentu saja itu sedikit berat karena aku sendiri pun belum terlalu menguasai kekuatanku," jelasku sedikit kikuk. Lunara menatapku dengan pandangan yang tidak kumengerti.

"Kekuatanmu sudah cukup baik tadi, bahkan kamu masih mau membantuku di saat energimu sudah banyak terkuras sebelumnya. Bagaimana kamu bisa berkata bahwa kamu belum menguasai kekuatanmu?" jawab Lunara dengan panjang lebar. Benar juga apa katanya, namun aku yakin kalau itu belum cukup. Belum cukup untuk melaksanakan tujuan awalku kemari.

"Kurasa belum cukup, Lunara. Karena masih ada yang lebih hebat dariku," ucapku dengan rasa rendah diri walaupun memang begitu kenyataannya. Dengan kemampuan begini, aku masih bisa dikalahkan oleh 'dia' dalam sekejap.

"Kalau begitu, teruslah berlatih. Bisa saja kamu besok adalah pahlawan yang mampu menyelamatkan El Academy, keluargamu sendiri, atau bahkan dunia ini," seru Lunara yang membuat hatiku menghangat. Ya, Lunara memang benar, aku memang harus berlatih lebih keras.

"Terimakasih," ucapku dengan tulus kepada Lunara yang masih menyantap makanannya dengan lahap. Sedangkan Nathan yang diam-diam mendengarkan hanya memperhatikan Lunara dalam diam. Hatiku entah mengapa sedikit terkekeh melihat ini.

Aku menengadah sembari menatap bintang dan bulan yang indah malam inu. Aku tersenyum melihat satu rasi bintang yang kukenal dan sangat kunanti-nati selama satu tahun belakangan ini. Sungguh mengingatkanku terhadap sesosok wanita paruh baya yang pernah melahirkanku dahulu.

Rasi bintang itu ...

Oilien, rusa.

Bersambung..

Maaf kalau scene pertempurannya enggak seru atau kurang mengena karena walau aku suka fantasi, tapi aku kurang pemahaman tentang menulis action. Jadi beginilah 😷

Kadang masih suka revisi kalau waktu baca ulang ada kalimat yang kurang pas atau typo. Tapi tenang aja, sama kok maksudnya.

Terimakasih^^

Continue Reading

You'll Also Like

1.8M 101K 25
โApakah aku bisa menjadi ibu yang baik?โž โPukul dan maki saya sepuas kamu. Tapi saya mohon, jangan benci saya.โž ยฉbininya_renmin, 2022
1.1M 70.7K 45
Daddyyyyyy๐Ÿ˜ก "el mau daddy๐Ÿฅบ"
166K 16.4K 27
Karel terjebak dalam sebuah novel remaja dan harus memerankan sosok penjahat berusia 18 tahun. Namun, ia merasa bersyukur karena karakter penjahat ya...
156K 17.1K 26
Cover by pinterest โ€ขnot bl๐Ÿ™…๐Ÿปโ€โ™€๏ธ Ayash menyia-nyiakan kehidupannya karena terlarut dalam kesedihan. Pria berusia sembilan belas tahun itu menjadi p...