Emerald Eyes 1&2

By amateurflies

1.1M 74.7K 5.3K

Aku sempat merasakan semuanya. Desir perih mencintai seseorang hanya dalam satu waktu. Waktu saat kita dipert... More

Teaser
Trailer 257's
New Trailer
Prolog
1. Perkara nama
2. Terciduk
3. Lawden Hall
4. Gadis tak dikenal
5. Aranasya Lawden
Meet The Characters!
6. Pisau Berdarah
7. Her Emerald Eyes
8. Bangkai Tikus
9. Pengecut!
10. Tidak baik-baik saja
11. Sepotong kalimat yang membahagiakan
12. Aksi Adnan
13. Pertemuan tak disengaja
14. Kecurigaan Madam Loly
16. Perkara penting
Eyes Updates
17. Sadar diri
18. Sebagian yang sempat hilang
19. Tatapanmu
20. Cemas
21. Life saver
22. Pilihan
23. Teori Cinta Yudan
24. Ancaman
25. Reject
26. Sebuah Misi
27. Kalimat yang Tak Terucap
28. Mengungkapkannya
29. Petunjuk Pertama
30. Cowok Tengil
31. Agresif(?)
Survei
32. Penyusup!
33. Salah Sangka
34. Praktikum
35. Kecewa
36. Berhenti Egois!
Series Terbaru (SOON)
Pengumuman
ESTIMASI TERBIT DAN INFO

15. Tuduhan

15.8K 1.8K 353
By amateurflies

Madam punya bukti apa sampai nuduh kami melakukan itu?

• • •

"Sekarang kalian ceritakan sejujur-jujurnya pada saya, apa yang terjadi semalam?" Madam Loly bertanya penuh penekanan. Wanita itu duduk tegap menghadap lima anak didiknya yang berdiri di hadapan mejanya. Seperti biasa, ia tidak lupa untuk memasang wajah tegasnya ketika sedang menginterogasi. Niatnya untuk membuat anak-anak itu takut, tetapi kelihatannya mereka tidak merasa takut sama sekali. Kelima-limanya nampak santai, menikmati hawa sejuk yang hanya ada di ruang kesiswaan.

Melihat teman-temannya tidak memiliki keahlian dalam bertutur kata yang baik, akhirnya Ethan memutuskan untuk menjawab, "Jadi gini, semalam itu saya habis anterin Yudan ke toilet. Soalnya toilet di kamar kami airnya kering. Terus pas mau balik ke kamar, saya sama Yudan ketemu Adnan di lorong. Tadinya Adnan juga mau ke toilet, tapi gak jadi. Akhirnya kami bertiga ke kamar. Belum juga kami bertiga sampai di kamar, tahu-tahu ada si Lukas lari ketakutan."

"Ketakutan kenapa kamu, Lukas?" potong Madam Loly. Sesaat bola matanya membelok ke arah Lukas.

"Saya takut Madam, ditinggal sendirian di kamar. Jadi saya cari mereka,"

Pandangan Madam Loly beralih pada Daniel. "Memangnya Daniel ke mana? Kalian kan satu kamar berlima."

"Saya dari UKA, Madam. Abis ambil obat diare. Bayangin aja, air di toilet kamar kami mati pas saya lagi kena diare," sungut Daniel seakan memohon belas kasihan Madam Loly.

"Kami ketemu secara gak sengaja, Madam." Terakhir Yudan menambahkan.

"Jadi ini semua tidak direncanakan?" tanya Madam Loly pada kelima-limanya.

"Nggak, Madam." Dengan begitu cuek, Adnan akhirnya bersuara.

Seketika Madam Loly bangkit dari posisi duduknya. Berdiri lebih dekat di depan mereka. "Kalian tahu, kalau tadi di meja Bu Hanny ada bangkai kucing?"

Melihat lima di antara mereka saling melempar pandang, membuat Madam Loly semakin curiga saja pada mereka. "Jadi, di kolong meja Bu Hanny ada bangkai kucing yang di perutnya terdapat tusukan pisau. Jangan-jangan itu perbuatan kalian semalam?" Madam Loly menatap lima pasang mata di hadapannya itu satu per satu.

"Madam punya bukti apa sampai nuduh kami melakukan itu?" tanya Adnan tiba-tiba.

Madam Loly mengangguk-nganggukkan kepalanya. Benar, dirinya tidak memiliki bukti apa pun sekarang. Tapi ia akan mencoba untuk membuktikan. Karena ia yakin, kalau pelakunya pasti mereka. Atau paling tidak salah satu di antara mereka.

Selepas membuang napasnya kasar, Madam Loly bicara lagi, "Yasudah, apapun alasan kalian, saya harus tetap menghukum kalian. Karena keluyuran di waktu tengah malam adalah hal yang paling dilarang di asrama ini."

"Ck," Ethan berdecak. "kali ini kami disuruh bersih-bersih apalagi, Madam?"

"Tenang, kalian gak akan saya suruh bersih-bersih apapun." Madam Loly tersenyum hangat. Lalu sejenak kakinya yang berbalut heels tinggi itu, berjalan mengambil salah satu buku yang tebalnya sekitar lima ratus halaman dari rak bukunya. "Saya hanya akan menyuruh kalian mengerjakan seluruh soal yang ada dalam buku ini," katanya seraya mengambil tangan kanan Adnan, kemudian meletakkan buku tebal itu dengan kasar tepat di atas telapak tangan yang terbuka menengadah ke atas. "Dikumpul minggu depan."

🍐

"Papa tidak mau tahu, kali ini kamu harus ikut Papa menemui mama-mu!" Thomas berkata dengan nada suara setengah membentak pada anak gadisnya, Nasya.

Namun lagi-lagi Nasya menggelengkan kepala. Menolak ajakan papanya dengan tatapan kosong persis seperti orang tidak waras.

Thomas yang berdiri tepat di hadapan Nasya membuang napasnya kasar. Menatap bengis putrinya seraya berkacak pinggang. Tidak ada pilihan, dia harus memaksanya. "Ikut Papa temui Mama!" Tanpa segan tangan besar Thomas menarik tangan Nasya.

"Gak mau!" Thomas tidak melanjutkan langkahnya saat tiba-tiba gadis itu berteriak, menarik tangannya kuat-kuat dari genggamannya. "Sampai kapan pun aku gak akan mau menuruti kata-kata Papa!"

Plak

Kesal karena Nasya tidak pernah memberi tanggapan yang sesuai dengan inginnya, tangan besar Thomas seketika saja mendarat sempurna tepat di permukaan pipi Nasya sampai wajah gadis itu terlempar.

"Berani-beraninya kamu bicara seperti itu pada Papa yang telah merawat dan membesarkanmu sampai saat ini?!"

Sambil memegangi pipinya yang memerah akibat tamparan papanya itu, Nasya menyorot lurus kedua bola mata Thomas. "Mau sampai kapan Papa begini terus?! Seharusnya sekarang Mama udah bisa tenang 'di sana', Pa! Tapi kenapa Papa malah tega nyiksa Mama dengan cara seperti ini?! Papa jahat sama Mama!!!"

Plak

Tamparan keras telapak tangan Thomas lagi-lagi mendarat tepat di pipi Nasya. Dan kali ini ternyata mampu menimbulkan rasa perih yang tak tertahankan bagi Nasya. Membuat mata Nasya tiba-tiba memanas, mengembangkan genangan air di pelupuk matanya, yang sekian detik kemudian jatuh tanpa mampu ia cegah.

Buru-buru Nasya menundukkan kepalanya agar papanya tidak bisa melihatnya. Sekuat tenaga Nasya juga menahan isakannya yang begitu menyiksa tenggorokannya. Sampai tak lama kemudian, ketika pria paruh baya itu akhirnya menyerah dan memutuskan untuk keluar dari kamar putrinya, barulah Nasya sedikit-sedikit melepas isakannya. Air matanya yang meluncur deras tiada henti menghujani pipinya.

Walaupun ini bukan kali pertama ia mendapat perlakuan kasar dari papanya, tetapi tetap saja setiap harinya hal tersebut semakin membuat Nasya merasa tertekan. Nasya memang sayang papanya. Sangat sayang. Namun percayalah, disakiti oleh seseorang yang kita sayang jauh lebih menyakitkan ketimbang disakiti oleh seseorang yang kita benci. Nasya merasa, sepertinya rasa sayangnya terhadap papanya sudah tidak berarti apa-apa. Sikap gila papanya yang kian hari kian menjadi-jadi membuat beliau tidak lagi mampu menggunakan nuraninya sendiri. Bahkan untuk anaknya sekalipun.

Papa jahat! Batin Nasya menjerit

Nasya bingung. Apa yang harus ia lakukan agar papanya bisa kembali seperti dulu? Terkadang Nasya merindukan sosok seorang ayah dalam hidupnya. Merindukan sosok ayahnya sebelum mamanya meninggal. Dia sangat ingin sosok ayahnya yang dulu kembali hadir di sisinya, menghiasi hari-harinya. Dia ingin Tuhan mengembalikan kebahagiaannya walau hanya sedetik saja. Nasya tidak tahu apa kesalahan apa yang telah dia perbuat sampai Tuhan tega mengambil segalanya seperti ini darinya. Mengambil segala kebahagiaannya tanpa ada satu pun yang tersisa.

Sesaat Nasya melihat ke arah sebuah figura yang berdiri terpajang di atas meja belajarnya. Di sana, tepatnya di balik kaca bening dengan bingkai cantik di setiap sisinya, terpotret dirinya yang tengah diapit oleh kedua orang tuanya. Foto itu diambil sekitar sembilan tahun yang lalu, ketika keluarganya sedang berlibur di salah satu pulau menawan di Indonesia.

Nasya tersenyum getir memandangi potret tersebut, meskipun air matanya masih terus mengalir membasahi pipinya. Satu-satu dia perhatikan dengan lamat. Dia, mamanya, dan papanya, ketiganya memasang ekspresi yang sama. Tersenyum riang menunjukkan deretan gigi mereka. Menampakkan dengan jelas sejelas-jelasnya sebahagia apa mereka saat itu.

Namun entah kenapa, ketika menyadari kenyataannya sekarang, Nasya merasa ada sesuatu yang menekan dadanya luat-kuat. Sampai dia merasa kesulitan untuk mengatur napasnya. Menyadari kenyataan sama saja seperti menyadari kalau takdir kini telah berhasil menjungkir balikkan hidupnya dalam sekejap mata. Mengingat sepulang dari liburan itu kondisi mamanya tiba-tiba langsung nge-drop drastis, hingga selang satu bulan setelah itu, mamanya mengembuskan napas terakhir adalah hal yang paling menyakitkan dalam hidup Nasya.

Nasya mendekap erat figura itu. Mama, aku rindu Mama. Aku rindu Papa yang dulu. Aku rindu kebersamaan kita, Ma, Pa....

Andai saja Nasya tahu kalau saat itu adalah liburannya yang terakhir bersama mamanya sekaligus waktunya yang terakhir untuk merasa bahagia, mungkin Nasya akan lebih mengabadikan tiap detik yang dia punya di hari itu bersama kedua orangtuanya dalam ingatannya.

===

To be continue...

A/n: kalian jangan bingung, ikuti aja ceritanya sampai tamat. agar kebingungan kalian terjawab:)

Terima kasih telah membaca cerita ini. Keep contact me on instagram @itscindyvir

akan langsung up setelah 300 komentar.

Continue Reading

You'll Also Like

Roomate By asta

Teen Fiction

385K 25.7K 36
"Enak ya jadi Gibran, apa-apa selalu disiapin sama Istri nya" "Aku ngerasa jadi babu harus ngelakuin apa yang di suruh sama ketua kamu itu! Dan inget...
555K 18.6K 54
cerita ini menceritakan kisah seorang " QUEENARA AURELIA " atau biasa dipanggil nara.gadis yang bekerja sebagai pelayan cafe untuk memenuhi kebutuha...
ARLAN By Naii

Teen Fiction

8.9M 601K 26
"Jadi gini rasanya di posesifin sama ketua genk?" -Naya Arlan dirgantara, ketua genk Pachinko yang suatu malam pernah menolong seorang gadis, sampai...
3.3M 272K 46
AGASKAR-ZEYA AFTER MARRIED [[teen romance rate 18+] ASKARAZEY •••••••••••• "Walaupun status kita nggak diungkap secara terang-terangan, tetep aja gue...