El Academy [Proses Revisi]

By RiaethShiba

79.8K 5.3K 399

[Fantasy-Minor Romance] Three Kingdom The Series #1 Hembusan Rusa yang Bebas. Itu adalah arti namanya; Oilien... More

El Academy-Victorian
Meet The Character!
Chapter 2 : Dandelion
Chapter 3 : Si Rambut Silver
Chapter 4 : Ujian
Chapter 5 : Aukwood
Chapter 6 : Necklace
Chapter 7 : Teman atau Musuh?
Chapter 7.5 : Teman atau Musuh?
Chapter 8 : His Brother
Chapter 9 : The Last Day
Chapter 10 : Ini Salah!
Chapter 11 : Pangeran Malam
Chapter 12 : A Time to Remember
Chapter 13 : Lost that "Blue"
Chapter 14 : Saying Good "Bye"
Chapter 15 : Red Rose
Chapter 16 : Doll
Chapter 17 : The Meaning
Chapter 18 : Let Me?
Chapter 19 : White Lie
Chapter 20 : Cold Truth Or Warm Dare?
Chapter 21 : Something Changed
Chapter 22 : Untrusted
Chapter 23 : Grey Suicide
Attention Please!
Chapter 24 : Heart of Fire
Chapter 25 : Can You See My Heart?
Chapter 26 : Fall Behind
Chapter 27 : Termodinamika
Chapter 28 : Apriori

Chapter 1 : Flamers

5.1K 325 22
By RiaethShiba

[Revisi]

Jangan lupa tinggalkan jejak!
Vote maupun komentar kalian sangatlah berharga 😊

🔥🔥🔥

Oilien Feyna Aksana POV

Aku tidak percaya dengan perkataan Raven. Memang dia siapa bisa mengetahui hal itu? Apakah dia kerabat Sir Levion dari Victorian? Lalu, bagaimana dia bisa menyimpulkan bahwa aku mempunyai kekuatan yang sama seperti yang diberi tahu oleh Raven? Red eyes?

Ataukah sebenarnya aku adalah keturunan dari Sir Levion, begitu? Padahal aku adalah anak dari Raja Matius Julio Stormhold dengan Ratu Isabella Irena Stormhold. Bukan keturunan dari Raja Victorian yang sekarang yaitu Raja Fernando Elbaguez Victorian.

Aku menghempaskan tubuhku di kasur yang akan menjadi temanku selama tiga tahun lamanya. Namun benarkah aku akan disini selama tiga tahun? Ataukah akan berkurang?

Aku menutup mataku saat mendengar suara decitan pintu terbuka. Sepertinya Evelina telah kembali dari makan malamnya bersama kakak tercintanya. Entah mengapa aku sedikit benci saat mengingat makan malam tadi. Salahkah aku?

Sayup-sayup aku mendengar suara perempuan ... menangis?

Aku membuka mataku dan menemukan Evelin sedang tidur membelakangiku. Kuyakini seratus persen bahwa suara tangis yang kudengar berasal darinya.

"Eve?"

Suara yang kuhasilkan membuat sang pemilik nama menghentikan suara tangisnya. Aku melihatnya menghapus air matanha, namun ia masih membelakangiku.

"Oilin terbangun ya? Maaf aku mengganggumu," ucap Evelin dengan nada lembut, namun sedikit bergetar disana. Duh, kenapa aku jadi merasa bersalah berpikiran yang tidak-tidak tadi?

"Kamu kenapa?" Aku melihatnya bangun dari kasurnya dan mengatakan sesuatu yang tidak kusangka.

"Ayo berkeliling akademi," ajak Evelina kepadaku dengan sendu. Sepertinya dia memang sedang ada masalah, namun aku tidak bisa bertanya kepadanya perihal masalah yang menimpanya. Kami baru bertemu beberapa jam, tidak mungkin ia begitu saja percaya padaku, 'kan?

Aku mengangguk dan ia segera membasuh wajahnya dengan air untuk menghilangkan jejak tangisannya. Akhirnya kami berdua keluar kamar, menguncinya, dan pergi meninggalkan kamar ini.

"Kamu yakin kita boleh keluar malam-malam? Bukannya jam malam itu diatas jam 9 ya?"

Evelina yang berjalan mendahuluiku menghentikan langkahnya. Aku menggaruk tengkukku yang tidak gatal. Ya, aku rasa itu benar karena sekarang sudah kurang lima belas menit sebelum jam 9.

"Tidak apa-apa. Tenang saja," ucapnya lembut sekali—membuat senyumanku terbit. Sejujurnya aku sama sekali tidak mengerti mengapa ia bisa sesantai ini.

Taman sekolah ketika malam begitu indah, sunyi, nan hening. Pancaran sinar bulan di danau buatan itu memancarkan kesedihan, bahkan seakan mengejekku. Kudaratkan tubuhku pada sebuah bangku kayu panjang yang mengarah langsung pada danau. Di sini sudah tak ada orang lagi, hanya beberapa siswa-siswi gila yang masih bertahan di luar kamar jam segini.

"Aku minta maaf, Oilin, mengenai tadi. Aku tahu kalau kamu tidak menyukai kedatangan kakak dan teman-temannya. Maafkan aku," ucapnya dengan nada bergetar.

Aku menepuk-nepuk bahunya menenangkan. "Tidak apa-apa. Kamu tidak salah kok," ucapku. Iya, aku yang salah karena tadi bergabung denganmu.

"Sebenarnya ..." Dia memberi jeda sebentar. "Sergio itu pacarku."

Ucapannya membuatku cukup terkejut. "Jadi ..."

"Kakak memarahiku tadi. Dia berkata kalau kamu sebenarnya tidak nyaman jika bersama dengan kakak dan teman-temannya, sekali lagi aku minta maaf. A-aku hanya ingin bertemu dengan Sergio, itu saja. Maka dari itu kakak marah karena aku terlalu egois," ucapnya yang membuat dahiku berkerut.

"Kakak tahu hubungan kami berdua dan niatku saat di makan malam tadi. Apalagi dia melihatmu yang sepertinya tidak nyaman. Makanya dia memarahiku," lanjutnya panjang lebar.

"Aku mengerti," ucapku dengan kepala tertunduk. Yah, aku akan mencoba mengerti walau sebenarnya pikiranku sedikit kacau karena ucapan Raven tadi yang mengatakan bahwa kekuatanku adalah black magic bernama Red Eyes—milik Sir Levion. Aku terbayang-bayang akan itu sedari tadi, hingga aku hampir bermimpi semacam itu karenanya.

"Mm ..., Eve?"

"Ya?" Wajahnya menoleh sempurna padaku.

"Apa kekuatanmu?" tanyaku dengan hati-hati. Tidak salah 'kan jika aku bertanya semacam ini?

Evelin menggigit bibirnya sebentar sembari memejamkan mata. Sedetik kemudian ia memandang bulan malam, lalu membisikkan kata tanpa menoleh ke arahku.

"Invisible."

🌚 🌚 🌚

Pagi ini aku sudah siap untuk pergi ke sekolah bersama dengan Evelina yang berpenampilan mengesankan. Ia terlihat cantik dan manis dengan kacamata itu, sungguh!

Kami turun ke lantai dua dimana kelas kami berada. Tentu saja menggunakan jembatan penyebrangan yang menghubungkan asrama dengan gedung sekolah. Aku tidak mau turun dari lantai tiga asrama lalu naik dari tangga dekat aula utama. Itu melelahkan, aku malas sekali—kecuali mempunyai kekuatan teleportasi. Tunggu, memangnya kekuatan semacam itu ada ya?

Akhirnya kami sampai di dalam Kelas Neptunus. Kelas di El Academy ini cukup besar walaupun murid setiap kelasnya hanyalah 30 anak saja. Kelasnya pun bukan kelas biasa seperti sekolah pada umumnya. Namun sedikit berbeda, karena tempat duduk disini seperti bioskop. Bedanya, diberi meja untuk dua orang. Alasan sekolah mendesain ruang kelas seperti ini untuk membuat setiap siswanya fokus terhadap materi yang dijelaskan guru. Selain itu, supaya para murid tidak mengeluh karena tidak bisa melihat papan tulis di depan sana. Ya, begitulah.

Kami duduk di barisan tengah dan pojok dekat jendela sebelah kiri. Baru beberapa detik aku mendudukkan diriku dengan nyaman di singgasana milikku, seorang lelaki berambut silver duduk di kursi hadapanku tanpa permisi. Aku menyernyitkan dahi, bukankah ia ...

"Zeon?" panggilku secara tidak sadar. Lelaki itu tiba-tiba memutar tubuhnya ke belakang dan menatapku dengan senyumannya.

"Hai Feyna! Kita bertemu lagi!" ucapnya dengan senyum tiga jarinya. Kuakui kalau Zeon itu tampan. Namun, aku tidak akan memuji berlebihan. Ingat yang kukatakan? Semua lelaki tampan kalau tidak brengsek ya belok.

Aku menepuk mulutku reflek karena menyesal telah memanggilnya. Ah, hidupku tidak akan tenang.

"Apakah aku sebegitu tampannya hingga kamu melihatku seperti itu?" Aku langsung menjitak kepala Zeon yang bagiku sangat-amat-sangat menggangguku.

"Aku hanya heran mengapa ada makhluk sepertimu di dunia ini," ucapku dengan sinis kepadanya.

"Wah, wah, Zeon. Apa kamu sedang sakit? Tidak biasanya kamu--"

"Nona Sergio, diem gak?" potorng Zeon cepat membuat pipi gadis di sampingku memerah. Ah, lovey dovey.

Aku memutar bola mataku malas saat Zeon kembali menatapku dengan senyumannya. Iya, iya, yang tampan. Tetapi jangan menatapku seperti itu, aku benar-benar risih.

"Berhenti menatapku atau aku tusuk matamu!" geramku dengan jari telunjuk mengarah pada hidung bangirnya. Suara ringisan dari Zeon membuatku menahan senyum beberapa saat setelahnya.

"Aduh, sangar sekali. Bisa juga gadis flat sepertimu mengancamku seperti itu?" ejeknya kepadaku dan hanya kubalas dengan dengkusan. Ah, ia menyebalkan. Apa itu tadi? gadis
Flat?

"Selamat pagi anak-anak!"

Atensi kami semua teralihkan sempurna pada Mr. Xander—wali kelas 1-Neptunus yang menyapa seluruh penjuru kelas. Ia menampakkan senyuman terbaiknya dengan buku yang setia menemani di manapun ia berada.

"Pagi, Mister!"

Mr. Xander tersenyum sebagai jawaban. "Sebelum kita memulai pelajaran pertama kalian yaitu membuat ramuan dari saya, saya ingin kalian memperkenalkan diri dahulu. Kalau sama bapak sudah kenal kemarin 'kan?"

Ada beberapa rekan sekelasku yang menggeleng. Namun sepertinya tidak dilihat oleh Mr. Xander sama sekali. Salah sendiri, kemarin tidak memperhatikan.

"Oke, dimulai dari belakang."

Seorang gadis berambur sebahu muncul dengan senyuman tipis sekali. Ia terlihat manis walau dengan komedo yang menghiasi hidung mancungnya. "Namaku Calista Lenore Avell, bisa dipanggil Calista. Salam kenal!"

Mr. Xander mengangguk dan berkata sebelum gadis bernama Calista itu sempat duduk kembali.

"Apa kekuatanmu?"

Mataku terbelalak. Haruskah menjawab itu?

"Petir, Mister."

Aku meringis. Jantungku berderak meronta-ronta tanpa bisa kuhentikan. Bagaimana ini? Aku harus bagaimana?

Setelah banyak siswa yang telah memperkenalkan diri, kini giliran aku yang berdiri. Oke, kamu pasti bisa, Feyna.

"Namaku Oilien Feyna Aksana, bisa dipanggi Feyna."

"Apa kekuatanmu?"

"Ah, itu ... aku ..." Aku melirik ke sana kemari—melihat seluruh siswa siswi memberi perhatiannya padaku. Bagaimana ini? Apa aku harus mengaku sebenarnya kalau tidak memiliki kekuatan? Ataukah seperti yang dikatakan Raven, red eyes?

"Flame, Mister."

Tak kusangka Zeon yang menjawab pertanyaan yang diajukan Mr. Xander kepadaku! Maksudnya apa? Aku tidak punya kekuatan flame!

Bola mataku menatapnya tajam yang sama sekali tak merasa bersalah. Bahkan ia malah tersenyum senang bisa menjawab pertanyaan itu tanpa tahu betapa kacaunya aku.

Kurang ajar adalah nama tengah Zeon, sepertinya.

"Benarkah itu, Nona Aksana?" tanya Mr. Xander kepadaku yang kuhadiahi anggukan kecil yang meragu. Zeon sialan, awas kau!

Akhirnya aku dipersilakan duduk kembali. Lega rasanya, namun ini hanya sementara saja. Masalah utamanya adalah lelaki berambut silver di hadapanku. Sebenarnya ada apa dengan Zeon? Mengapa aku disuruh untuk berbohong kepada Mr. Xander?

"Namaku Evelina Audia Anderson, bisa dipanggil Evelin atau Audia."

"Kekuatanmu?"

"Invisible, Mister." Ucapannya membuat banyak orang berdecak kagum. Yah, sebenarnya aku juga ingin bisa sepertinya. Supaya aku bisa keluar masuk tanpa diketahui banyak orang.

Hah, mimpi saja kau, Oilien!

Aku hanya diam saat Eve menatapku yang menyiratkan, benarkah kekuatanmu flame?

"Namaku Marcello Lionel Reegan."

"Apa kekuatanmu?"

"Apakah perlu aku sebutkan, Mister?" ucapnya dengan nada dingin. Wow, sombong sekali. Sepertinya kekuatannya tidak main-main. Namun aku sama sekali tidak tertarik.

"Itu perlu, atau mau tak mau kau harus pergi ke tempat pencari kekuatan selama beberapa hari dan tak diperbolehkan bersekolah."

Hah? Jadi itu maksud Zeon membantuku? Namun, mengapa dia harus berbohong? Dia menambah masalahku menjadi semakin rumit saja!

"Soul. Aku pengendali jiwa," ucapnya dan membuat banyak mata membulatkan mata tak percaya. Maksudnya apa? Pengendali jiwa?

Mr. Xander yang mendengarnya sedikit terkejut lalu mengalihkan pandangannya kepada Zeon yang menatapnya datar. "Kalau kau? Perkenalkan dirimu."

"Arzeon Stevanza Justino Avram, Blue Flame."

"Avram?" Ternyata bukan aku saja yang berpikiran bahwa aku pernah mendengar namanya.

"Kau anak dari Raja--"

"Itu hanya marga, tidak usah dihiraukan," ucap Zeon dengan nada dingin. Tunggu, raja? Dia bangsawan?

Ketika aku hendak bertanya pada Eve mengenai keanehan itu, tiba-tiba Eve bergumam sendiri tepat di telingaku. "Tanyalah sendiri padanya."

Tak menunggu waktu lama, kami memulai pelajaran pertama yaitu membuat ramuan. Mr. Xander berkata kalau pelajaran ini sangat penting karena bisa digunakan ketika benar-benar mendesak—ramuannya. Oke, aku hanya ternganga ketika Mr. Xander mengatakan minggu depan kami bisa mencoba membuat ramuannya di laboratorium. Wow, aku tak memiliki pengalaman sama sekali.

Ketika pelajaran telah usai, dengan sigap aku menarik lengan Zeon dan membawanya ke lorong dekat kelas kami. Ia memandangku seraya bertanya-tanya, namun kubalas dengan pandangan sinis.

"Maksudmu apa mengatakan kalau kekuatanku flame? Kamu tahu dari mana? Lalu bagaimana caramu bisa menjelaskan kebohonganmu kepada Mr. Xander dan teman-teman sekelas? Bagaimana kalau mereka curiga?!"

Zeon hampir saja menyentuh bahuku, namun segera kutepis tangannya. "Santai dong, aku berbicara kenyataan. Lagipula kalau mau bertanya itu satu-satu, jangan berurutan. Aku bukan pendengar yang baik."

Oke, celotehannya hanya kutanggapi dengan memutar bola mata malas.

"Apa maksudmu, Tuan Avram? Mengapa kamu mengatakan kepada Mr. Xander kalau aku mempunyai kekuatan flame?"

"Karena itu memang kekuatanmu," jawabnya kelewat santai. Ia bahkan tersenyum miring dengan kedua alis terangkat.

Kalau saja sekarang pikiranku sedang tidak waras dan tidak mengingat prinsipku mengenai lelaki tampan, mungkin aku sudah terpesona.

"Memang kamu tahu dari mana?" tanyaku penuh selidik.

"Karena kekuatanku juga flame, tapi berjenis biru. Setiap kekuatan itu saling berhubungan. Maksudku, pengguna kekuatan itu akan punya ikatan batin dengan pengguna yang mempunyai jenis kekuatan yang sama. Jadi, saat pertama kali melihatmu, aku sudah tahu kalau kekuatanmu adalah flame," ucapnya panjang lebar. Pantas saja dia senang sekali menggangguku. "Sepertinya memang kamu belum banyak tahu mengenai kekuatan, sihir, dan sebagainya ya?"

"Tapi 'kan kekuatanku belum muncul!"

Terdengar dengkusan halus dari bibirnya. "Itu karena kamu menyangkalnya. Aku bisa membantumu membangkitkan kekuatan flame milikmu. Tidak banyak waktu lagi, karena tiga hari dari sekarang akan ada pemeriksaan kekuatan."

"Memangnya siapa yang mau berlatih bersamamu?" ketusku sembari bersiap untuk pergi.

"Gadisku," celetuknya kelewat santai dengan cengiran. Aku berhenti, langsung menjitak kepalanya hingga ia meringis kesakitan.

"Omong-omong, kamu mau kita terus berdekatan seperti ini? Kalau kamu mau aku tidak keberatan--"

Aku mendorong tubuhnya sekuat tenaga agar menyingkir. Ia terlihat sebal—mengerucutkan bibir. Yang benar saja, tadi aku berada sangat dekat dengannya. Selain itu, posisi kami tadi seolah-olah membuatku semacam gadis murahan. Aku menyudutkan Zeon hingga bersandar di loker, tetapi ia tampak baik-baik saja dan cenderung senang. Sial.


"Terserahlah," balasku dingin sambil berjalan meninggalkannya.

Daripada bercengkrama tidak jelas dan tidak ada habisnya seperti itu, lebih baik aku berada di perpustakaan untuk mencari tahu mengenai dunia yang selalu kupandang sebelah mata.

🍁 🍁 🍁

Musim panas telah berakhir diganti dengan musim gugur. Kalau aku mengatakan kami—seluruh siswa El Academy masih menggunakan seragam sekolah ini, kupikir itu sebuah kesalahan karena hawa dingin sudah mulai menusuk kulit kami. Kecuali yang memiliki beberapa kekuatan pelindung, penangkal, misalnya.

Perpustakaan ini terletak di taman sekolah—harus melewati kantin dan lorong yang menghubungkan langsung dengan taman. Di sebelah utaranya terdapat bangunan yang kuketahui sebagai gedung olahraga.

Aku menemui Mrs. Yvone yang bekerja sebagai penjaga perpustakaan untuk mendaftar sebagai anggota tetap. Setelah mendaftar, aku diberi kartu dan kartu itu boleh kugunakan jika ingin meminjam sesuatu.

Perpustakaan ini luas. Lumayan luas untuk jejeran buku yang menjulang ke atas dan hanya bisa diambil menggunakan tangga dorong. Banyak murid yang kemari pula untuk membaca. Aku yakin kebanyakan murid yang mengunjungi perpustakaan ini sama sepertiku—tidak suka kebisingan. Jadi, mereka menghabiskan waktunya untuk membaca.

Aku menelusuri rak buku yang terdapat tema atau topik tersendiri. Salah satu rak buku mendapat seluruh atensiku. Aku menyipitkan mata, lalu tersenyum sembari berjalan ke sana.

Magic and the power.

Uh, buku itu ... terlalu tebal. Nanti saja ketika aku ada waktu luang, aku akan meminjamnya.

Mataku beralih pada bagian lain hingga senyumku terbit ketika melihat satu judul buku yang menarik perhatianku.

Legendary power and magic.

Kuambil buku itu dari tempatnya, lalu menempatkan diriku dengan nyaman di meja ujung untuk membaca. Untung saja rak ada yang kemari—atau berminat sedikitpun. Entah apa alasannya, yang penting aku beruntung.

Oke, mataku mulai menjelajahi buku tersebut.

Legendary Power.

Ada banyak kekuatan di dunia ini khususnya di Pulau Victorian yang dicari-cari. Lebih tepatnya, ada 10 kekuatan yang jarang terjadi. Atau bahkan kekuatan tersebut bisa disebut langka dan legendaris. Beberapa orang percaya pernah melihat penggunanya, namun tidak semua pengguna ingin menampakkan diri. Mereka seperti menghilang di kerumunan orang, sulit untuk dikenali.

Berikut ini adalah 10 kekuatan legendaris yang menjadi mitos, namun dipercayai oleh penduduk Pulau Victorian.

1. Bloody Control

Kekuatan ini dipercaya sebagian orang dapat membuat seseorang yang dikenai kekuatan ini akan terhenti siklus peredaran darahnya. Hal ini mampu memicu kelumpuhan atau bahkan kematian mendadak. Termasuk dalam Black Magic tingkat S+ dan tidak pernah ditemui penggunanya selain saudara Sir Levion alias saudara raja pertama Pulau Victorian yaitu Sir Edrick karena kekuatan ini bukan kekuatan murni.

Memangnya benar-benar ada kekuatan seperti itu? Bagiku itu sangatlah langka. Lagipula kami semua walaupun bukan manusia, tentu saja mempunyai siklus peredaran darah kecuali bagi pengguna kekuatan kelelawar itu. Bisa kubilang, Vampire?

Kalau memang ada kekuatan seperti itu, aku yakin kita semua bisa mati dalam sekejap. Aku bergidik ngeri membayangkannya.

"Sir Edrick adalah saudara sekaligus musuh dari Sir Levion pada era pertama kali Pulau Victorian ditemukan. Entah apa yang membuat Sir Edrick begitu benci dengan Sir Levion hingga akhirnya ia bisa membuat ramuan yang membuatnya mendapatkan kekuatan itu, Bloody Control."

Hampir saja aku terjengkang ke belakang jika sebuah tangan tidak sigap menahan kursi yang kududuki. Mataku membulat dengan mulut menganga tidak percaya.

"Raven? Kenapa kamu disini?" tanyaku ketika ia dengan santainya ikut duduk di sampingku.

"Mengapa? Tidak boleh? Setahuku perpustakaan itu untuk umum."

"Iya sih, tapi kamu itu kemari tanpa permisi. Bahkan mengangetkanku!" Mataku menyipit sinis, sedangkan ia malah mengedikkan bahu santai. Kenapa lelaki di akademi ini tidak ada yang benar sih?

"Kamu saja yang tidak melihatku tadi. Sudah kubilang, perpustakaan ini untuk umum, dan aku boleh duduk di manapun aku suka."

"Terserah apa katamu," sinisku tanpa mau berdebat lebih panjang.

2. Red Eyes

Mataku terbelalak melihat dua kata yang barusan kubaca. Sepertinya yang dikatakan Raven benar, hatiku serasa menciut sekarang.

"Sudah kuduga kamu akan mencarinya," celetuk seorang lelaki berambut merah di sampingku. Namun tidak lama karena ia kembali fokus pada bacaannya sendiri.

Red Eyes adalah kekuatan mata alami yang dimiliki oleh Sir Levion pada abad ke-5 dan itu membuatnya ditakuti oleh banyak pihak. Red Eyes bukanlah kekuatan atau magic yang biasanya. Red Eyes adalah black magic yang berdiri sendiri dan memang ada sejak lahir, bukan seperti kekuatan biasa yang akan muncul seiring berjalannya waktu.

Ditandai dengan mata kemerah-merahan saat bayi dan sering adanya darah yang mengalir dari matanya hingga dewasa. Darah yang mengalir di matanya itu adalah darah kotor yang disaring oleh Red Eyes itu sendiri. Karena walaupun Red Eyes adalah black magic tingkat S+, namun tentu saja bagian mata sang pengguna tidak boleh tercampur dengan darah kotor.

Cara mengendalikannya adalah dengan melatih kekuatannya secara bertahap. Resiko penggunaan berlebihan adalah kebutaan permanen.

Aku meneguk ludah saat melihat apa yang aku baru baca. Namun disini tidak dijelaskan apa saja yang dapat dilakukan oleh kekuatan itu, Red Eyes. Lalu, aku harus bagaimana?

Kalau memang benar aku mempunyai kekuatan Red Eyes, maka itu bisa menjadi sumber kekuatan maupun ancaman untukku, bukan? Benar-benar menakutkan.

"Kenapa kamu bisa mengetahui langsung kalau sihir mataku ini itu Red Eyes?" tanyaku kepadanya. Tiba-tiba ia terbelalak dan melihat sekeliling kami. Dia kenapa?

"Berikan tanganmu!"

"Hah?"

"Berikan!" Raven mengambil tanganku dan menggenggamnya dengan erat. Aku benar-benar bingung atas apa yang ia lakukan dan mencoba melepaskan genggamannya. Namun akhirnya aku berhenti saat mendengar suara di atas kepalaku.

"Diamlah. Kalau mau membicarakan mengenai sesuatu yang seperti itu, jangan seenaknya saja. Kita tidak tahu apakah ada Para Invisibler disini yang mendengarkan. Tapi bersyukurlah, adikku sedang tidak ada."

Raven menatapku dengan pandangan yang membuatku mendengus.

"Lalu, apa maksudmu menggenggam tanganku seperti ini dan suaramu di kepalamu?" ucapku dalam hati.

"Untuk berkomunikasi denganmu tanpa takut orang lain akan mendengarkannya. Tentu saja menggunakan kekuatanku."

"Begitu?" Dia mengangguk. Kalau dari luar, mungkin saja kami seperti sepasang kekasih yang sedang saling menggenggam tangan. Tapi jangan tertipu! Lagipula mana mungkin aku mau dengan Raven? Tidak.

"Aku dengar," ucapnya yang membuatku tersenyum kikuk.

Pandanganku beralih pada bukuku yang menuliskan mengenai Red Eyes tadi. Sepertinya Raven mengetahui apa maksudku.

"Aku lebih pintar dari buku-buku itu, kalau kamu ingin tahu," ucap suara di atas kepalaku yang aku yakini adalah suara Raven. "Aku benar-benar meyakini kalau kamu memiliki Red Eyes dan kamu bisa bertanya apapun mengenai itu. Entah mengapa namun kamu bisa mempercayaiku."

"Haruskah aku mempercayaimu?" Aku mendelik ke arahnya dengan tatapan tajam. "Sejak insiden beberapa tahun yang lalu, sulit bagiku untuk mempercayai seseorang. Hm, adikmu saja aku belum terlalu percaya. Jadi, jangan tersinggung."

Reaksi yang benar-benar tidak bisa kuduga, Raven tertawa. Namun tawanya kali ini mengeluarkan suara dari mulutnya sehingga aku bisa mendengar suaranya dari telingaku.

"Apa?" Aku bertanya tidak dalam hati. Karena aku sedikit kesal akibat tawanya yang tiba-tiba itu. Dipikir ucapanku lelucon begitu? Cih.

"Aku tidak berpikiran seperti itu," ucap Raven sambil tersenyum. "Kamu bisa mempercayaiku. Aku jamin itu. Kalau kamu enggak percaya, kamu bisa menebas leherku dengan sihirmu. Apapun itu."

Aku tersenyum masam, "jadi maksudmu, kamu mempertaruhkan hidupmu untuk membuktikan kalau kamu patut kupercayai? Begitu?"

Raven mengangguk sambil menatapku dengan tatapan yang entah artinya apa. Aku balas menarapnya untuk mencari secelah kebohongan, namun tak kudapatkan sama sekali.

Apakah aku harus mempercayainya? Sejujurnya aku belum bisa karena insiden beberapa tahun yang lalu membuatku sedikit takut untuk percaya. Aku tahu Raven, kamu pasti mendengar ini. Namun aku tidak peduli. Aku terlalu rapuh, mungkin? Untuk dikhianati kedua kalinya.

Aku melihatnya masih terdiam sebelum mengeluarkan suara yang membuatku membelalakkan mata.

"Apa yang bisa aku lakukan untuk membuatmu percaya padaku? Apakah aku harus mengatakan juga kalau aku mempunyai salah satu kekuatan dari kekuatan legenda itu?"

Apa?!

Satu detik berikutnya tanganku mulai membalik halaman buku dan mulai membaca urutan nama-nama kekuatan legenda itu.

3. Portal Awakening

4. Time Pause

5. Change Power

6 ...

Sebelum aku membaca semuanya, suara di kepalaku membuatku menoleh dengan nanar.

"Hanya kamu dan adikku yang kuberi tahu hal ini. Aku mempunyai kekuatan ke-7, Mind controlling."

B-Benarkah? Mind Controlling? Ia gila? Aku tidak bisa mempercayai itu.

"Ciri-ciri korban yang telah dipengaruhi oleh kekuatan mind controlling itu, korban akan sedikit pusing dan matanya akan berubah warna menjadi hitam kelam seiring berjalannya waktu."

Aku membuka buku, mulai mencari pembenaran dari ucapan Raven sebenarnya.

Ciri-ciri orang yang telah dipengaruhi sihir adalah bola matanya berubah menjadi hitam kelam dan akan sedikit kemerah-merahan.

Oke, aku percaya. Percaya dalam arti; ia tidak berbohong, bukan mempercayakan segalanya pada lelaki ini.

"Aku bukanlah orang yang suka berbicara formal dan sopan, kecuali pada adikku dan pada orang-orang yang lebih tua dariku. Jadi, mungkin kamu bisa sedikit--err ... berbangga?" Ucapan Raven sontak membuat tawaku pecah. Namun dengan cepat kumenutup mulut karena suara penjaga yang menyuruhku diam.

"Sebegitu mahalnya ucapan formal seorang Alexander Reviano Anderson?" ucapku sarkas. Sedangkan Revan hanya terkekeh geli.

"Lihat kamu ketawa kaya tadi, bener-bener langka ya."

Wajahku menegang secara reflek karena menyadari batasanku yang seharusnya tidak kulanggar sendiri. Sontak aku berdiri dan meninggalkan Raven sendiri di sana. Dengan cepat, aku meminjam buku ini dari Mrs. Yvone, dan pergi.

Ketika aku berjalan di lorong, sebuah tangan kembali menarikku. Aku tertegun tiba-tiba sembari memaki-makinya dalam hati.

Benar-benar lelaki brengsek tukang modus.

"Aku dengar," tuturnya sarkas. Namun aku mengedikkan bahu tidak peduli.

"Jadi apa? Waktuku gak banyak," ucapku dingin kepadanya. Benar-benar berbeda dengan sifatku yang tadi.

Mata Raven menelusuri wajahku, aku berdehem untuk menyadarkannya.

"Wajahmu tidak asling."

Aku menautkan alisku mencoba mencerna tiga kata yang diucapkan Raven kepadaku. Maksudnya apa? Dia tidak mengenali aku di masa laluku, kan?

"Apalagi kamu berasal dari Squizenland. Itu membuatku berpikir yang tidak-tidak." Tunggu dulu, Raven tahu darimana? Evelina?

Cengkeraman tanganku pada buku mengerat. Ketika aku gugup, aku biasa meremas sesuatu seperti ini. Terasa diintimidasi—itu perasaanku sekarang.

Tib-tiba ia menggenggam tanganku kembali—menautkannya membuat kami seolah-olah sedang bergandengan tangan. Wajahku sedikit memerah karena itu.

"Kamu ... apa kamu Putri Oilien Feyna Aksana Cyzarine Stormhold?"

Ucapannya membuatku membeku selama beberapa saat. Tunggu, Raven ... tahu? Secepat itu?

Oilien Feyna Aksana POV End.

👑 👑 👑

Seorang gadis dengan seragam sekolah berlambang perisai itu berjalan dengan sikap angkuh—dominan. Sekalinya ia tersenyum, banyak lelaki yang menatapnya tanpa berkedip. Seperti disihir, mereka semua memberi jalan pada sang gadis untuk lewat.

Kelas Neptunus, itu tujuannya. Hingga ketika ia melihat sesosok lelaki tampan yang sedang bertopang dagu dengan malas, langsung saja ia masuk kelas tanpa permisi dan memanggilnya.

"Zeon."

Zeon menoleh, lalu bangkit dari duduknya—berniat mengusir gadis itu dari sini. Berbeda dengan seisi kelas yang malah terkagum-kagum akan gadis itu tanpa mengerahui aura permusuhan di antara mereka.

"Mau apa kau kemari?"

Gadis itu terkekeh anggun. Siswa lelaki yang berada di kelas langsung ternganga tanpa sadar mengalir darah dari hidung mereka.

"Mau menemui tunanganku, tidak boleh?"

Suara jam berdenting menjadi teman obrolan kecil mereka berdua. Seisi kelas diam dan memilih menonton kedua sejoli itu dalam diam.

"Jangan berkhayal, Nona."

Kaki jenjang gadis itu berjalan menyapa Zeon dengan pandangan mata menggoda. Namun Zeon sama sekali tidak tertarik, sedikitpun.

"Kamu tahu kalau kita dijodohkan? Ayahku dan ayahmu telah sepakat--"

"Hidupku tidak ditentukan pria itu! Dan kau jangan pernah datang lagi kemari! Atau aku tidak segan-segan membakarmu hidup-hidup."

Gadis itu tertawa. Kali ini tawanya terdengar jahat. Seperti seekor siren yang mencari mangsa, beberapa lelaki malah semakin mengagumi kecantikannya.

"Wah, Zeon yang penurut bisa menjadi seperti ini. Ada apa memangnya? Apakah karena seorang gadis?"

"Tutup mulutmu, Vanka!" ucap Zeon sambil mendesis marah.

Kekehan sinis keluar dari bibir merah gadis bernama Vanka itu. Ia memutar tubuhnya dan berjalan pergi—dengan suara sepatu yang menggema di seluruh penjuru kelas.

"Kamu tahu Zeon? Aku akan pergi. Tapi aku tidak akan mengalah begitu saja. Aku akan kembali dan merebutmu lagi," ucapnya setengah menoleh sebelum benar-benar meninggalkan ruang kelas Neptunus ini.

Langkahi dulu mayat ayahku, batin Zeon dalam hati sebelum mengangkat tangannya dan bergumam. Lalu ia menghempaskan tangannya dan kembali duduk di singgasananya seolah tak terjadi apapun. Sedangkan siswa-siswi di kelasnya yang tadi mendengarkan pembicaraannya langsung menatap satu sama lain karena mereka tidak tahu kenapa mereka bisa ada di posisi seperti itu.

Bersambung..

Continue Reading

You'll Also Like

3.3M 344K 53
π™³πš„π™° π™°π™½πšƒπ™°π™Άπ™Ύπ™½π™Έπš‚ πšˆπ™°π™½π™Ά π™±π™΄πšπš„π™Ήπš„π™½π™Ά πšƒπšπ™°π™Άπ™Έπš‚. ... Dheleana Vreya, gadis cantik dengan seribu topeng licik di wajahnya. Mungkin o...
3.6M 357K 95
Bercerita tentang Labelina si bocah kematian dan keluarga barunya. ************************************************* Labelina. Atau, sebut dia Lala...
206K 282 17
Kumpulan cerita dewasa part 2 Anak kecil dilarang baca
129K 16K 23
Sang Tiran tampan dikhianati oleh Pujaan hatinya sendiri. Dia dibunuh oleh suami dari kekasihnya secara tak terduga. Sementara itu di sisi lain, dal...