FATAMORGANA

By bloominbomnal

127K 15.9K 901

Jangan jadikan janji kita hanya sebatas fatamorgana __________________________________ Inspirated by BTS ©Haz... More

Kim Seokjin
Min Yoongi
Kim Namjoon
Jung Hoseok
Park Jimin
Kim Taehyung
Jeon Jungkook
[1] Langkah Awal
[2] Memulai Lembar Baru
[3] Keluarga Kedua
[4] Tumbang
[5] Lagu Tentang Hujan
[6] Maaf, Bu
[7] Pesan Terakhir
[8] Terlahir kembali
[9] Dibalik sebuah akting
[10] Mimpi yang terwujud
[11] Sebuah kalung
[12] Tumbang (2)
[14] Terungkap
[15] Semuanya (tidak) baik-baik saja
[16] Kehidupan lain seorang idol (bagian 1)
[17] Kehidupan lain seorang idol (bagian 2)
[18] Apa yang harus kulakukan?
[19] Kecewa
[20] Jujur
[21] Lantas, kenapa kau pergi?
[22] Dimana kau?
[23] Hoseok dan Masa Lalunya
[24] Satu-satunya yang dipercaya
[25] Min Yoongi kami
[26] Perpisahan
[Final Chap]
2 5 3 1

[13] Munculnya Prasangka

3.2K 374 33
By bloominbomnal

Harap bersabar, chapter ini agak panjang :)



29 - 30 Desember 2015


"Hyeong, yang ini digantung di mana?"

"Di sebelah sa—ah! Namjoon! Turun dari situ! Biar yang lain memasangnya! Jangan sekali-kali kau naik, ingat, tanganmu masih cidera. Jangan menambah lagi!"

Namjoon meneguk ludah, semenjak tangannya cidera, Seokjin jadi overprotective padanya. Ia bahkan hampir tidak dibolehkan melakukan semua aktivitas yang berhubungan dengan tangan. Namjoon dilarang ke studio untuk membuat lagu, dilarang membantu di dapur, dilarang main gitar, dilarang mengangkat barang berat, bahkan, dilarang makan dengan sumpit.

Siapa lagi jika bukan Seokjin yang melarangnya.

Jadi, Namjoon turun pelan—sangat pelan seolah takut kecerobohannya datang dan melukainya lagi, atau lebih buruk, melukai member lain. Jimin merebut balon di tangan Namjoon, naik ke tangga dan menggantungnya di langit-langit.

Jungkook menepuk-nepuk pipinya yang pegal setelah meniup 3 balon. Yoongi yang menyadari itu segera menyondorkan pemompa balon—yang hanya satu dan harus bergantian memakainya—lalu ia sendiri memilih untuk meniup balon selanjutnya. Hoseok sibuk membantu Seokjin menghias kue, sedangkan Namjoon tak tau harus melakukan apa, akhirnya mendekorasi bagian dinding, dengan menempelkan beberapa polaroid foto Bangtan.

"Jam berapa dia akan sampai ke dorm?" tanya Jimin, tak mengalihkan fokusnya dari menggantung balon.

"Sejin hyeong sedang mengulur waktu. Kuharap, tepat jam 12."

"Apa tidak masalah membuat kejutan padanya? Dia baru saja sembuh,"

"Kau pikir dia punya riwayat jantung yang akan membuatnya shock saat menerima kejutan tak terduga?" Yoongi berkata datar, memangkas telak ucapan Jimin.

Namjoon berjalan ke depan pintu masuk, mengangguk-angguk setelah memastikan dekorasi sudah sempurna.

"Ayo, kita harus siap-siap, sebentar lagi jam 12 malam,"

Mereka mulai membereskan potongan-potongan yang berserakan. Namun, tanpa diduga, bunyi memekik khas tanda benar kunci password terdengar, membuat Namjoon yang tepat di balik pintu terlonjak, dan lima pasang mata lainnya membelalak—kecuali Yoongi karena dia selalu menganggap semuanya biasa saja. Namjoon ingin sekali menahan pintu yang proses dibuka dari luar, tapi ia takut itu malah melukai Taehyung, takut jika adiknya terbentur pintu, atau malah pintunya yang lepas karena kekuatan luar biasa seorang Kim Namjoon. Jadi, ia diam saja.

Dan, voila!

Taehyung terdiam di tempat, lebih tepatnya masih bingung apa yang terjadi pada dorm mereka. Pita-pita menggantung beserta balon, tulisan HAPPY BIRTHDAY, potongan kertas berserakan, Jungkook yang berjongkok dengan mata membulat lucu, Yoongi yang berlutut, Hoseok yang menganga dengan apron di pinggangnya, Seokjin di sebelahnya tak beda jauh, tapi ia memegang nampan berisi kue tart, lalu... Jimin yang membeku dengan satu kaki di lantai, satu lainnya masih di tangga, dan Namjoon yang berdiri kikuk bagai tiang di hadapannya.

Taehyung rasanya nyaris pingsan melihat keanehan membernya. Padahal, ia baru meninggalkan mereka selama 2 hari.

"Happy Birthday, Taehyung-ah!" Namjoon berseru sedangkan lainnya diam. Taehyung mengernyit, merasa déjà vu dengan kejadian seperti ini, di mana Namjoon berseru dan lainnya diam kebingungan.

Oh, sekarang dia ingat, itu saat ulang tahun Hoseok.

"Apa—"

"SAENGIL CHUKKAE URI TAEHYUNGIE!!" teriak lainnya bagai paduan suara.

Taehyung tersenyum lebar, senyum kotak khas Taehyung yang entah kenapa begitu dirindukan mereka. Sekali lagi, padahal Taehyung hanya menginap selama 2 hari.

Namjoon merangkulnya, membawanya berjalan mendekati tulisan HAPPY BIRTHDAY di sana. Jungkook yang berjongkok, tengah membersihkan potongan-potongan kertas dekorasi akhirnya memanfaatkan itu. Sekalian, sudah terlanjur gagal memberi surprise. Ia menaburkannya di atas kepala Taehyung seraya tertawa layaknya anak kecil. Jimin buru-buru turun dan menghambur peluknya, ia mulai mengomeli Taehyung karena memaksakan diri, dan membuat Yoongi menariknya mundur dan malah mengomelinya.

"Taehyung baru saja sembuh. Jangan membuatnya kembali sakit karena mendengar suara cemprengmu,"

Kira-kira itu katanya.

Hoseok dan Seokjin menyusul. Seokjin memberinya kue tart itu, sudah lengkap dengan lilin menyala. Jimin mengeluarkan handphonenya, merekam moment Taehyung yang meniup lilin.

Mata lelaki itu memejam sebentar, berdoa dalam hati, lalu meniupnya penuh semangat.

"Eww, hati-hati, Tae, nanti liurmu ikut menghiasi kuenya," Hoseok bicara seolah ia jijik, kemudian mengundang tawa lainnya.

Mereka pun duduk di ruang makan, selanjutnya adalah menikmati sup rumput laut buatan Kim Seokjin. Hal yang benar-benar membuat mereka antusias dan melahapnya rakus melebihi yang sedang ulang tahun.

"Ini enak!" Taehyung berseru senang. Mereka lega akhirnya Taehyung kembali ceria.

"Aku bisa membuatkanmu lagi jika kau mau,"

"Benarkah, hyeong?"

"Aku juga mau!" tak kalah senang, sang maknae ikut menerima tawaran Seokjin.

Itulah yang dilakukan mereka pada 30 Desember malam, merayakan ulang tahun membernya, memberinya surprise, walau lagi-lagi, gagal.

~~~

Seseorang mengendap masuk ke kamar yang dikenal paling ramai, siapa lagi kalau bukan kamar Hoseok, Jimin dan Taehyung. Ketiganya terlelap, sementara waktu menunjukkan pukul 03.00 dini. Ia melangkah sesunyi mungkin dan tampak berhati-hati, tidak mau membangunkan siapapun di sana jika saja sifat cerobohnya muncul tiba-tiba. Ia menuju ke ranjang Taehyung, kemudian meletakkan kotak berukuran kecil pada nakas sebelahnya. Ketika tubuhnya berbalik, mendadak sang pemilik ranjang bersuara lirih.

"Namjoon hyeong?"

Namjoon berbalik, buru-buru berjongkok di samping ranjangnya, "astaga, apa aku membangunkanmu?"

"Tidak," manik cokelatnya beralih pada kotak kecil yang baru saja diletakkan kakaknya, "apa itu dari hyeong?"

"Iya. Selamat ulang tahun, ya, Taehyung-ah,"

"Terima kasih, hyeong,"

Beberapa detik mereka diselimuti keheningan, Namjoon menggenggam tangan Taehyung, sesekali mengusapnya lembut, alih-alih membantunya tertidur. Namun, Taehyung tetap saja berkedip pelan, menatap kotak kecil itu tanpa suara. Namjoon menyadari itu, ada sesuatu yang sedang dipikirkan lelaki di hadapannya kini. Lantas ia bertanya.

"Ada apa? Katakan saja padaku,"

Tatapannya berubah sendu, bertubrukan dengan manik tegas Kim Namjoon, "apa... hyeong ingin menceritakanku sesuatu?"

"Eo?"

"Hmm... tentang sahabat—ah, maksudku, mendiang sahabat hyeong,"

"Ah... maksudmu Hyosoo? Apa yang ingin kau ketahui, hm?"

Taehyung mengangguk, "bagaimana dia? Wajahnya, dan sikapnya? Dan bagaimana hyeong bisa bertemu dengannya?"

"Oke, aku akan menjawabnya mulai dari bertemu dengannya," Namjoon bernapas sejenak sebelum memulai kisah panjangnya, "aku bertemu dengannya di halte bus Ilsan. Saat itu, umurku masih 11 tahun, bersama Ibu yang menggendong Nami. Dia hanya duduk di sana, menunduk, dan tampak kacau. Awalnya aku diam saja, menatapnya tanpa suara, sampai tiba-tiba ia ambruk tak sadarkan diri. Aku dan Ibu sangat terkejut, jadi kami memanggil ambulan dan menemaninya hingga ke rumah sakit. Kami tidak tahu siapa keluarganya, dan dari mana dia berasal. Gadis itu bangun dan mengatakan bahwa ia tidak ingat apapun. Dokter bilang, dia trauma berat. Ibu sangat kasihan padanya, dan ingin sekali merawatnya, tapi... keluargaku bukanlah keluarga yang berkecukupan. Ibu takut, tidak bisa membiayainya nanti. Jadi, ibu menitipkannya pada panti asuhan." Jelasnya dengan suara pelan, enggan membangunkan lainnya.

"Ibu menyuruhku untuk sering mengunjunginya. Letak panti asuhannya tak jauh, kupikir itu tidak masalah. Setelah membantu Ibu berdagang, aku ke sana untuk sekedar menemaninya. Namun, dia adalah gadis yang sangat pendiam. Rasanya, awal-awal aku bertemu, hanya aku yang terus berbicara sementara ia hanya diam menatap kosong ke depan, tanpa menanggapi. Kurasa dia memang mengalami trauma berat sehingga ia menjadi seperti itu. Aku tidak menyerah, jadi, aku terus dan terus menemaninya. Lama-lama, ia mau menanggapiku, walau hanya 'emm' atau 'iya', 'tidak'. Namun, itu sebuah kemajuan,"

"3 bulan berikutnya, ia benar-benar kembali normal—maksudku, ia sudah mau berbicara banyak dan bermain bersama yang lain. Kami bertemu dalam waktu lama, ia juga sudah mengenalku dengan baik, Ibu, dan Nami juga. Jadi, saat aku menginjak SMA, aku mendapat beasiswa ke Seoul, dan... dia ikut denganku. Kami tidak tinggal bersama, tapi berdekatan. Dia punya pekerjaan, sebagai pengantar koran, dan susu. Aku? Pada akhirnya, aku diam-diam mengambil kerja sambilan, sampai aku diterima di audisi ini. Ya, begitulah,"

Taehyung masih diam, menunggu Namjoon melanjutkan. Ia bisa menangkap perubahan sekejap dalam pandangan partnernya itu. Binar yang tadinya memancar berubah redup, penuh duka.

"Ia... gadis yang baik. Ia juga cantik, ceria, kadang akan sangat berisik dan menyebalkan. Ia benci sekali jika kupanggil nonna, yah, perbedaan umur kami hanya setahun, jadi aku memanggil namanya saja. Mirip sekali dengan sifatmu," Namjoon dengan cepat menghapus setetes air mata yang lolos begitu saja, "ia bahkan belum bertemu dengan keluarganya, tapi—kenapa... kenapa ia pergi sebelum melihatku debut,"

"Andai saja ia tau... aku ini, mencintainya. Andai saja... aku menyatakan perasaanku padanya lebih cepat. Yang kulakukan hanyalah berada di sampingnya, dan, menyimpan dalam-dalam perasaanku. Pada akhirnya, perasaanku tidak akan terucapkan. Astaga," Namjoon menghapus lebih banyak lagi air matanya. Ia benar-benar menangis di hadapan Taehyung, sedangkan lelaki yang tengah mendengarkan kisahnya itu hanya berkaca-kaca, mengingat bahwa Taehyung adalah member yang sulit menangis. Namun, ia merasa hatinya tercubit sekali, entah kenapa hatinya ikut berdenyut sakit sedari tadi.

"Ia... sudah bahagia sekarang, hyeong. Ia bisa melihat keluarganya—jika ia ingat itu, lalu... melihatmu yang sekarang benar-benar mewujudkan mimpinya. Ia pasti sangat bahagia,"

"Ya..." Namjoon terkekeh, "sebenarnya, ia hanya berpura-pura hilang ingatan. Nyatanya, ia sering menangis karena merindukan keluarganya. Tapi, ia selalu bilang padaku, kalau keluarganya itu sudah tidak menginginkan keberadaannya,"

"Jadi, dia diusir?"

"Tidak sih, lebih tepatnya melarikan diri. Ia nekad pergi hanya dengan membawa semua tabungannya yang tak seberapa. Bodoh,"

DEG

"Melarikan... diri?" tenggorokannya tiba-tiba tercekat, Taehyung mengatakannya pelan sekali—menyembunyikan getaran yang disebabkan gemuruh hatinya.

"Iya. Ia bilang, ayah dan ibunya hanya memperhatikan adiknya. Ia bahkan pernah dipaksa mengemis untuk membantu membiayai adiknya yang baru masuk sekolah. Ayahnya tidak bekerja, semenjak kena PHK, dia jadi seseorang yang berbeda. Bukan lagi yang selama kecil ia kenal, sedangkan, ibunya sering membantu membersihkan pemandian air panas. Puncaknya adalah, ayahnya sendiri, menyuruhnya untuk menjual diri. Gila saja. Dia masih umur 12 tahun, dia masih punya masa depan. Ibunya juga tidak bisa melakukan apapun, dia bilang, Ayahnya itu orang yang—"

'Kejam'

"—dan suka sekali berlaku—"

'Kekerasan'

Jantung Taehyung berdegup lebih cepat. Kata batinnya benar-benar sama dengan apa yang diucapkan Namjoon, seolah ia dan Namjoon mengatakan perkataan yang sama, hanya saja Taehyung mengatakannya dalam hati. Fakta itu menghantamnya begitu kuat, membuat kepalanya berdenyut menyakitkan.

"Taehyung? Kau pusing lagi?" Namjoon mendadak panik saat Taehyung mendesis sakit, sampai suaranya tak dipelankan. Taehyung memegang pergelangan tangan lelaki itu, meletakkan satu jarinya pada bibir, mengisyaratkannya untuk lebih tenang.

"Tidak apa, hyeong,"

"Dimana kau meletakkan obatnya?"

"Di laci nakas,"

Namjoon bergerak, kali ini berusaha tetap tenang. "Yang ini?" Ia segera mengeluarkan sebutir dari tabung kaca di tangannya setelah mendapat anggukan dari Taehyung. Memberikannya serta segelas air yang memang disiapkan.

"Sudah, lebih baik kau tidur. Tubuhmu belum pulih benar," Namjoon memperbaiki selimut Taehyung.

"Terima kasih, hyeong,"

"Iya, cepat tidur. Aku juga akan kembali ke kamar. Selamat malam,"

"Selamat malam, hyeong," Taehyung menatap punggung Namjoon hingga benar-benar hilang dari balik pintu. Tubuhnya kembali bergetar—bukan karena suhu ruangan, ia menggigit bibirnya, lalu menutup wajahnya sendiri dengan bantal. Taehyung sedang berusaha meredam tangisnya yang pecah begitu saja. Hatinya sakit sekali, tertusuk parah oleh kenyataan yang baru saja diterimanya. Taehyung ingin sekali, berharap bahwa kisah sahabat Namjoon tadi hanyalah mirip dengan kisah kakaknya. Ia sangat berharap itu hanya mirip, bukan orang yang sama, toh, ia belum melihat fotonya. Namun, entah kenapa hatinya seolah tahu mana kebenarannya. Apa yang baru saja didengarnya itu adalah kebenarannya. Ia ingin menyangkal, tapi hatinya tak mendukung untuk itu, justru malah membuatnya terisak hebat sendirian.

Jika sahabat Namjoon adalah kakaknya, maka kenyataan paling menyakitkan adalah, kakaknya, yang selama ini ia tunggu kehadirannya pulang ke rumah, nyatanya sudah tiada. Nyatanya sudah benar-benar pulang dan tak akan kembali. Nyatanya, Taehyung tidak akan pernah melihat kakaknya lagi.

Ia menangis tanpa mengenal jeda, sampai tak sadar bahwa dirinya jatuh tertidur karena efek obat. Taehyung harap, wajahnya tidak sembab pada keesokan harinya.

~~~

30 Desember 2015

"Hyeong! Kau tidak bisa seenaknya pergi—tunggu! Hyeong!" lelaki berkulit pucat itu menahan tangan kakak tertuanya yang tampak tergesa dengan membawa koper berukuran kecil, tapi dengan mudah tangan kurusnya ditepis kasar.

"Jangan halangi aku!"

"Tidak bisa!"

Keduanya terlihat saling beradu kuat, antara menahan dan menepis. Padahal, waktu baru menunjukkan pukul 05.00, bahkan lima lainnya masih terlelap dalam tidur. Namun, jika saja seorang Min Yoongi—yang sangat mencintai ranjangnya itu, tidak terbangun oleh gaduh yang ditimbulkan Seokjin, mungkin lelaki bermarga Kim sudah pergi tanpa ada yang tahu.

"Yoongi!"

"Setidaknya katakan saja, ada apa?!"

Seokjin terdiam, napasnya memburu, matanya dengan berani bertubrukan dengan manik hitam yang tajam milik Yoongi. Ia memejam sejenak, sadar bahwa ia baru saja akan memicu pertengkaran.

"Ayahku..." Seokjin akhirnya bersuara, pelan, "Ayahku dibawa oleh polisi."

"Hyeong?"

Keduanya menoleh, mendapati Hoseok yang berdiri bingung di depan pintu kamarnya. Wajahnya kentara mengantuk.

"Kenapa kalian ribut sekali?"

Yoongi beralih kembali pada Seokjin, mengabaikan pertanyaan Hoseok. Ia menuntut penjelasan lebih, "kenapa bisa terjadi?"

Hingga ketiganya kemudian berkumpul di ruang TV, disusul Namjoon, sang leader yang dibangunkan paksa, sebab ia lah yang paling berhak tau perihal masalah membernya. Mereka mendengarkan Seokjin yang berbicara dengan suara bergetar. Ia juga menceritakan bagaimana dirinya melarikan dari rumah karena Ayahnya, tapi bukan berarti ia membencinya. Seokjin masih peduli, bahkan beberapa kali menelepon hanya untuk mengabari perkembangan grupnya. Toh, akhirnya Ayah Seokjin merestui keputusannya menjadi seorang idol.

"Aku akan menjadi aib bagi grup kita, dan Bang PD-nim akan mengeluarkanku dari grup,"

"Tidak, tidak akan kubiarkan itu terjadi, hyeong. Aku akan berbicara baik-baik pada Bang PD," Namjoon mencoba menenangkan.

"Apa hyeong sudah tau apa kasusnya?"

Seokjin menatap Yoongi, roomatenya itu tampak mendesaknya mengatakan itu. Ia diam sejenak, begitu malu mengatakan kebenarannya, tapi disatu sisi, Seokjin tidak mungkin membohongi, ia tau betul dengan reaksi tubuhnya saat berbohong—telinganya memerah—jadi, tidak memungkinkan itu dilakukannya.

"Penggelapan saham."

Helaan napas terdengar dari Namjoon, ia sudah menebaknya. Ayah Seokjin adalah pengusaha, yang ia tahu, kedudukannya cukup tinggi. Kasus seperti korupsi sudah tak asing terjadi. Justru itulah, jika media sampai tau itu, bisa saja Seokjin menjadi bulan-bulanan, lalu merambat pada nama baik grup, padahal mereka sedang berada dalam masa suksesnya.

Apa yang harus ia lakukan? Namjoon benar-benar takut jika Bang PD tak memberi toleransi lagi, malah mencabut kontrak Seokjin secara sepihak.

"Aku akan berbicara pada Bang PD," Namjoon berkata lagi, kali ini terdengar ada keraguan dalam ucapannya.

"Kau tau, itu tidak akan mengubah keputusan Bang PD. Aku akan segera dikeluarkan,"

Hening.

Mereka menatap lurus dengan pikiran berkecamuk. Seokjin memijit pangkal hidungnya seraya bersandar pada sofa, hatinya diselimuti rasa bersalah. Ia baru saja menambah beban pada bahu Namjoon, juga pada adik-adiknya.

"Ah, jadi kalian sedang berkumpul, ya," satu suara lagi memecah hening. Mereka menoleh pada si bungsu yang berjalan menyeret dengan mata setengah terbuka. Wajahnya yang membengkak seperti bayi. Ia duduk di sebelah Seokjin, lalu membantali pahanya. Mereka saling menatap, tidak tega rasanya jika mengatakan apa yang barusan terjadi.

Seokjin mengusap penuh sayang rambut Jungkook. Bagaimana bisa ia meninggalkan mereka semua yang sudah ia anggap adiknya sendiri? Bagaimana jika perginya akan menorehkan luka baru bagi Jungkook? Ibunya sudah menitipkan pesan untuk menjaganya dengan baik. Memikirkan itu, membuat Seokjin tak kuasa membendung air matanya.

"Sudah kubilang, aku akan berusaha. Ini bukan salahmu, hyeong. Aku yakin, Bang PD akan mengerti." Final Namjoon.

Berita itu sudah mulai merebak luas, apalagi Kim Seungchul adalah CEO yang lumayan ternama di kalangan pengusaha lain. Namun, siapa sangka, Seungchul rupanya menyembunyikan identitas putranya. Ia memang dikenal memiliki putra yang kelak akan meneruskan jabatannya, tapi tidak ada yang tahu siapa nama putranya itu. Ia menyembunyikan dengan handal identitas keluarganya—bahkan mendiang istrinya.

Seokjin setidaknya bisa bernapas lega karena itu. Disisi lain, ia merasa durhaka karena telah meninggalkan ayahnya sendiri selama hampir 5 tahun. Nyatanya, Ayahnya masih peduli, masih memikirkan dirinya yang bisa saja terancam kapan saja jika tahu anak seorang CEO. Ya, tahu sendiri lah, kadang persaingan ketat antara perusahaan bisa menumpahkan darah. Pernah dengar, kasus penculikan anak dengan tebusan ratusan juta? Atau milyar? Itulah yang bisa terjadi jika Seokjin ketahuan anak seorang CEO.

Dan sekarang, di sinilah mereka, berkumpul di ruangan Bang PD dengan raut takut, cemas, bercampur menjadi satu. Kelimanya bungkam, hanya Namjoon dan Seokjin yang bicara. Mereka sibuk mengkhawatirkan nasib Seokjin, sampai-sampai mengabaikan wajah Taehyung yang sangat sembab—ia diam-diam bersyukur karena yang lainnya tidak mempermasalahkan itu, ya, itu berarti dia tidak harus berbohong, kan?

"Aku tidak tahu sampai kapan identitasmu akan disembunyikan. Setahuku, kasus seperti ini, lama-lama akan membuka hal yang ditutupi rapat sekali pun. Penggelapan dana juga ditutup rapat, tapi, tetap terungkap, kan? Jadi, kau harus siap saat itu datang, Seokjin-ah. Kau harus siap, dirimu akan menerima banyak sekali serangan yang bisa menjatuhkanmu pelan-pelan. Namun, aku tidak akan membiarkan itu. Aku tidak mau membuatmu terluka karena hal seperti ini. Maka... sudah kuputuskan, Seokjin, sayangnya, kau harus vakum selama kasus ini masih diproses,"

DEG

"PD-nim—"

"Itu keputusan final, Namjoon-ah. Aku tau kau pasti berpikiran jika aku bisa saja memutus kontraknya. Tapi tidak, aku tidak akan memutus kontrak siapapun dari kalian. Jadi, ini jalan terbaik. Kalian akan tampil dengan 6 member. Aku akan memalsukan keadaan pada media, jika Seokjin sedang cidera parah, dan dia harus rehat."

Seokjin menghela napas, berpikir bahwa ini satu-satunya jalan. Bang PD sudah berbaik hati melindunginya—alih-alih melindungi semuanya, jadi, ia membungkuk sempurna, dengan berat menerima keputusan itu. Toh, apalagi yang harus dilakukannya selain menerima?

"Terima kasih banyak, Bang PD-nim,"




TBC

Continue Reading

You'll Also Like

63.4K 8.5K 27
Sebuah kisah antar dua insan yang melalui kenangan demi kenangan, musim demi musim, hari demi hari untuk mencari tujuan kemana harus pergi dan berted...
7.5K 1.7K 50
"Di selatan, di Negeri Nirdewa, mahkota legiun bersemayam. Terjatuh dari es, putra Neptunus akan tenggelam..." ... Saat terbangun dari tidur panjang...
700K 119K 57
[ Lokal Fiction Series ] Seperti ada kabut yang menyelimuti keluarga BAGASKARA. Kabut yang membungkus masalah yang terjadi di dalam nya dan hanya me...
952 89 5
"Dunia ini terlalu jahat untuk aku bisa bebas." Dia yang permintaannya selalu terpenuhi karena sudah terlalu banyak merasakan sakit, maka saat ia han...