Sorotan mata kehijau-hijauan milik Nasya yang sedang menatap kedua matanya―entah sejak kapan―tanpa berkedip seketika saja membuat seluruh organ tubuhnya mati rasa, kecuali jantungnya.
• • •
Namun senyum Adnan mendadak pudar dan berubah menjadi bingung ketika ia menyadari memar-memar pada wajah dan tangan Nasya terlihat dengan sangat jelas dari jarak yang cukup dekat ini. Tentu saja hal tersebut membuat Adnan bingung. Pasalnya waktu makan siang kemarin, Adnan sudah tidak lagi melihat semua memar pada wajah juga tangan gadis yang berada hadapannya sekarang. Apa karena waktu itu ia hanya melihat dari kejauhan? Jadi tersamarkan oleh kulit putihnya yang sedikit kemerah-merahan itu? Mungkin saja iya.
Setelah membuat kesimpulan sendiri, tiba-tiba saja Adnan bangkit dari duduknya. "Lo tunggu sini sebentar, ya. Jangan ke mana-mana. Ok?"
Lagi-lagi Nasya hanya mengangguk samar sebagai jawaban.
Dengan cepat-cepat, cowok itu bergegas menuju UKA, alias Unit Kesehatan Asrama. Mengobrak-abrik lemari satu-satunya lemari kaca yang ada di dalamnya. Mencari obat yang dia butuhkan. Ada banyak obat-obatan yang dia lihat. Membuatnya sedikit kelimpungan dalam melakukan pencarian. Ingin bertanya, tapi tidak tahu bertanya pada siapa. Dokter maupun perawat UKA juga sedang tidak ada.
"Ah, obat memar itu kayak gimana, sih? Biasanya gue kalau memar cuma dikompres besoknya langsung gak sakit. Tapi masa iya anak pemilik asrama gue obatin pake kompresan. Yang bener aja, Nan, Nan, gak elit banget." Adnan mengoceh pada dirinya sendiri sembari terus berusaha mencari.
Sampai akhirnya, dengan sangat terpaksa Adnan harus membaca satu persatu obat yang ada, agar dia bisa tahu mana obat untuk memar. Setidaknya bisa meredakan rasa sakit pada memar. Setelah sekian menit mencari, barulah cowok tengil itu menemukan apa yang dicarinya. Adnan yakin kalau yang dipegangnya adalah obat untuk memar setelah dia membaca pada sisi botolnya yang bertuliskan;
Obat ini dapat melarutkan bekuan darah di bawah kulit (hematoma), memar, dan juga mampu menghilangkan rasa sakit.
Selepas itu, Adnan balik dengan membawa kotak P3K di tangannya. Lalu ia duduk di tempat yang sebelumnya ia duduki. Membuka seraya meletakkan kotak putih dengan tanda plus di depannya itu di atas piano hitam yang Nasya mainkan tadi. Mengambil obat cair, yang kemudian menumpahkannya sedikit pada permukaan kapas yang dipegang oleh tangan satunya.
"Lo diem, ya." Dengan sangat hati-hati Adnan mengoleskan kapas yang sudah dibasahi obat itu, pada memar di wajah Nasya.
Saat sedang mengobati memar-memar Nasya, seketika saja Adnan mulai menyadari ada yang tidak beres dengan dirinya sendiri. Dia belum pernah sepeduli ini pada lawan jenis selain bundanya. Bisa dibilang ini adalah pertama kalinya Adnan bisa bersikap lembut pada seorang gadis. Bahkan sekarang saja Adnan merasa kalau dia berusaha dengan sepelan mungkin mengobati Nasya, agar yang diobati tidak merasa sakit.
Ah, masa iya dia benar-benar suka pada Nasya? Tidak mungkin. Gadis itu terlalu sempurna baginya. Bagaimana tidak? Nasya bukan cuma cantik, tapi juga mahir bermain piano. Dan pastinya dia kaya, jelas saja anak pemilik asrama. Asramanya pun bukan asrama biasa. Bangunannya yang seluas ini tidaklah mungkin disebut asrama biasa. Terus, banyak yang bilang dia jenius. Tiga hal itu saja sudah bisa dijadikan bukti yang konkret kalau Nasya Lawden lebih dari sempurna.
Dengan cepat Adnan menggeleng, berusaha mengenyahkan apa yang sempat terlintas dalam pikirannya tentang perasaannya pada Nasya.
Adnan terus saja sibuk bergulat dengan pikirannya selama mengobati Nasya, sampai tidak terasa tahu-tahunya semua memar telah dia oleskan dengan merata. Bukan cuma memar pada wajah Nasya, tapi Adnan juga mengobati memar pada lengan gadis itu. Pokoknya semua memar yang terlihat oleh matanya tidak ada yang terlewat.
"Udah, nih. Masih ada yang memar lagi gak?" Adnan bertanya seraya menegakkan kepalanya tepat di hadapan wajah Nasya, karena setelah sekian menit yang Adnan perhatikan hanyalah memar-memar Nasya.
Namun mendadak tubuh Adnan membeku. Darahnya terasa seperti berhenti mengalir. Sorotan mata kehijau-hijauan milik Nasya yang sedang menatap kedua matanya―entah sejak kapan―tanpa berkedip seketika saja membuat seluruh organ tubuhnya mati rasa, kecuali jantungnya. Karena cuma jantungnya yang bekerja puluhan kali lebih cepat dari biasanya. Sehingga debar dadanya tidak lagi mampu ia kendalikan.
Matanya pun seolah terkunci oleh tatapan gadis bermata emerald itu. Membuat Adnan sungguh tidak bisa berbuat apa-apa selain diam membeku.
Hal tersebut berlangsung sampai Nasya akhirnya memalingkan wajahnya dari pandangan Adnan. Barulah Adnan bisa bernapas dengan lega tanpa ada hambatan apapun. Adnan tidak mengerti bagaimana bisa dia secanggung ini hanya dengan ditatap oleh Nasya? Sementara dia lihat, Nasya sepertinya nampak biasa saja. Bahkan dari tatapannya tadi, Adnan tidak mampu mengartikan apa-apa. Gadis itu hanya menatapnya datar.
Dari semua fakta yang ada, semua sudah jelas, kesalahan terletak pada dirinya, bukan pada Nasya. Dirinya sendirilah yang menyebabkan degup jantungnya tidak beraturan. Nyaris-nyaris jantungnya loncat karena hal itu.
Demi menghilangkan kecanggungannya, Adnan berpikir keras untuk mencari topik pembicaraan. Tangannya terus bergerak membereskan obat beserta kapas-kapas bekas pakai ke dalam kotaknya yang juga dibantu oleh Nasya.
"Oh, iya, ngomong-ngomong lo kenapa sampai bisa memar-memar begini?" tanya Adnan demi mencairkan suasana.
Seketika Nasya terdiam. Tangannya yang semula membantu Adnan juga ikut diam. Pandangan gadis itu mendadak kosong seakan sedang menerawang jauh.
"Papa ampun, Pa." Seorang perempuan bernama lengkap Aranasya Lawden itu terus saja memohon ampun pada papanya sendiri yang dengan teganya memukuli dirinya tanpa ampun. Bukan hanya memukul, bahkan menendangnya persis seperti orang kesetanan.
"Papa sakit, Pa," lirih Nasya dengan air mata yang berderai tanpa bisa berhenti.
"Diam kamu!" bentak papanya.
Melihat sorot mata papanya yang begitu tajam dan nanar, membuat Nasya merasa semakin sakit. Sakit itu bukan cuma karena memar-memar pada sekujur tubuhnya. Tetapi juga sakit yang tidak ditimbulkan oleh memar. Sakit yang menggores hatinya. Nasya sendiri tidak habis pikir bagaimana bisa papanya berlaku setega itu padanya. Dan ini bukan pertama kalinya.
"Papa, jangan pukuli Nasya lagi, Pa."
"Berisik kamu!"
Pukulan demi pukulan terus mendarat. "Pa, sakit, Pa."
Belum sempat papanya memukulinya lagi, secepat mungkin Nasya menyingkir. Kemudian gadis itu berlari keluar kamarnya sebelum papanya berlaku lebih kasar lagi padanya. Sambil terus mengusap tetes-tetes air matanya yang turun tanpa mampu ia cegah dari ujung matanya, Nasya berlari ke atas rooftop. Hanya itu satu-satunya tempat yang tidak akan mungkin terjangkau oleh papanya, yang bisa menyelamatkannya dari papanya. Nasya tahu kalau papanya takut pada ketinggian.
Semenjak Nyonya Lawden meninggal karena sakit, tanpa orang-orang ketahui, pria pemilik Lawden Hall itu memang selalu bersikap seperti ini pada anaknya. Memukuli Nasya tanpa ada alasan yang jelas. Ini sudah seperti penyakit aneh yang diidap oleh Thomas Lawden. Rasanya seperti ada yang janggal bagi Thomas jika satu hari saja ia tidak melihat anaknya memar-memar akibat pukulannya.
Sejak saat itu pula, hidup Nasya berubah total. Nasya sendiri tidak tahu apa penyebab papanya jadi sampai seperti ini padanya. Ia tidak tahu kesalahan apa yang telah ia lakukan sampai papanya setega ini padanya. Nasya sudah tidak kuat lagi dengan semua ini. Dia lelah tiap malam harus mengobati luka-luka akibat pukulan papanya sendiri. Menurutnya, mungkin akan jauh lebih baik jika ia 'pergi' menyusul mamanya.
"Hey," Melihat gadis itu tiba-tiba melamun seperti sedang memikirkan sesuatu, Adnan melambai-lambaikan tangannya tepat beberapa senti di depan wajah Nasya. Menyadarkan Nasya kembali akan sekelilingnya.
"Kenapa bengong?" Adnan bertanya lagi.
"Gak apa-apa." Nasya menggeleng singkat. "Makasih, udah ngobatin memarku." Gadis itu berucap sambil cepat-cepat bangkit dari tempat duduknya. Meninggalkan Adnan yang masih menetap pada posisinya, tanpa menjawab pertanyaannya yang menanyakan apa penyebab memar tersebut.
===
To be continue...
A/n: perlakuan Adnan ke Nasya seketika ngingetin aku sama perlakuan Raihan ke Raina:') cuma beda versi, Adnan versi bego + bandel, Raihan versi dingin + galak!
oiya, terima kasih atas 300 komentar di part sebelumnya. buat kalian yang bilang ini cerita horor, kalian salah wkwk. bukan horor, tapi misteri. misteri, artinya akan ada sesuatu yang harus dipecahkan teka-tekinya. gak horor, kok wkwk. santai aja, aku gak akan belok genre wkwk.