The Same Things

By fauky_

133K 3.1K 61

Aku bahagia hanya dengan melihatmu tersenyum. Sekalipun senyuman itu bukan tertuju padaku - Revita Pradipta ... More

The Same Things
Revita
Alvaro
Revita
Alvaro
Revita
Alvaro
Revita
Alvaro
Alvaro
Revita
Alvaro
Jejak Penulis
Attention..
27. Say Hi!

Revita

4.3K 193 1
By fauky_

Sebelumnya, aku minta maaf kalo misalnya ada typo atau ada bagian yang nggak begitu nyambung. Apalagi sampe nggak dapet feel sama sekali. Masalahnya aku nggak bisa fokus, semenjak hapeku error:'( oke ini mulai curcol. Mending baca langsung aja deh.

#PeaceUp

--------------

Aku bersyukur bisa menemukannya di antara ribuan manusia yang ada di SMA Veritas. Entah bagaimana jadinya nasibku kalau saja aku tidak menemukan Stranger yang langsung menolongku. Aku sama sekali tidak ingat apa yang sudah terjadi sebelum aku jatuh pingsan. Tapi siapa peduli? Yang penting sekarang aku sudah merasa lebih baik dari sebelumnya. Sekali lagi, Stranger mampu membuat moodku berubah drastis. Yah meskipun rasa sakit hati karena insiden aku melihat Jovan menghampiri Farah dengan gembira itu masih ada.

Awalnya aku ingin menceritakan duduk permasalahan yang sedang aku hadapi. Juga termasuk kejadian aku menunggu Jovan malam-malam lebih dari enam puluh menit sampai kehujanan segala. Tapi aneh rasanya, kalau aku tiba-tiba menceritakan itu semua. Akhirnya aku hanya memilih untuk bungkam.

Entah bagaimana caranya, Stranger mampu untuk membuatku kembali merasa lebih ringan. Aku tidak perlu bersikap jaim di hadapannya. Berada di sisinya, aku mempu menjadi Revita Pradipta yang dari dulu memang bersifat kekanakan.

Lihat? Bahkan makan es krim pun harus belepotan begini. Aku benar-benar malu saat lelaki di sampingku ini langsung membantuku membersihkan sisa-sisa es krim yang ada di sekitar pipi dan mulutku.

“Jangan modus, please!” Ujarku marah—oh tidak juga, hanya pura-pura untuk menutupi rasa grogi yang entah muncul dari mana. Ia hanya tertawa menanggapiku.

“Harusnya kamu terima kasih ke aku. Kalo aku biarin sampe pulang nanti mukamu masih belepotan ice cream” Katanya.

Aku memutar kedua bola mataku, lalu memasang muka sok manis padanya. “Thankyou, Stranger.”

“Nggak ikhlas tuh ngomongnya.” Komentarnya. Aku benar-benar ingin menerkamnya, sekarang. “Wohoooo, selow oke?” Ujarnya sedikit ngeri melihat perubahan ekspresiku. Dan aku dengan bangga tersenyum penuh kemenangan.

Setelah selesai menikmati es krim, lelaki baik hati ini langsung mengantarku pulang. Lagi pula, sekarang sudah sore. Selama perjalanan pulang, Stranger lebih banyak menceritakan tentang sahabat yang juga teman-teman satu bandnya. Katanya ia sama sekali tidak pernah menyangka kalau band yang sebenarnya dibuat atas dasar iseng itu bisa meraih banyak prestasi dan disukai oleh warga sekolah. Tapi sayang sekali, sebelum datang ke acara ulang tahun Kevin aku sama sekali tidak tahu apa-apa tentang Your Favorite Astronauts.

Jujur saja, aku sedikit iri padanya. Dari dulu aku selalu ingin membuat bandku sendiri. Tapi karena memang salahku juga yang tidak pernah memberitahukan kemampuanku, jadi tidak pernah ada orang yang mengajakku untuk bergabung dengan bandnya. Tapi ya sudahlah, aku sudah tidak terlalu minat menjadi personil band lagi.

Tak terasa ternyata kami sudah sampai di depan rumahku. Ia terlihat memperhatikan rumahku dari balik kaca jendela. Ia pun berdecak kagum.

“Rumah kamu keren.” Pujinya dengan tulus. “Kelihatan minimalis banget. Tapi aku yakin, dalemnya nggak seminimalis yang orang pikir. Pasti yang desain arsitek.” Aku tercengang mendengarnya. Selama ini, belum pernah ada satu orang pun yang memiliki pandangan seperti itu saat pertama kali melihat rumahku. Bahkan Jovan saja mengira rumahku mungil.

“Kamu kok bisa tau?” Tanyaku tak percaya.

“Eh, bener ya?” Jawabnya dengan cengengesan. “Aku cuma ngeliat dari sisi seorang arsitek.” Tambahnya kemudian.

“Arsitek?” Aku masih takjub dengannya. Benar-benar manusia langka.

“Yep. Kebetulan ayahku arsitek, jadi sedikit banyak aku tau.” Sungguh kebetulan yang luar biasa.

“Ayahku juga arsitek.” Pekikku.

“Kayaknya, kita punya banyak kesamaan deh.” Sahutnya. Ia tersenyum.

Aku hanya tertawa menanggapinya. Benar-benar di luar dugaan. Jangan-jangan ibunya juga penulis, lagi? Aku menggelengkan kepala karena tak percaya dengan pemikiraanku sendiri. Sebelum keluar dari mobilnya, aku mengucapkan terimakasih karena sudah menolongku dan mengubah moodku. Hari ini aku benar-benar merasa senang.

“Sekali lagi makasih buat hari ini. Aku nggak tau gimana jadinya aku kalo nggak ketemu kamu tadi.” Tuturku dari hati yang paling dalam.

“Iya, sama-sama Stranger.” Katanya dengan penuh penekanan di setiap suku katanya. Aku tertawa karena sepertinya ia merasa gemas, aku mengucapkan terimakasih berkali-kali.

“Kalo gitu, see you next time, Stranger. Hati-hati di jalan.” Ia mengangguk dan tersenyum. Aku pun keluar dari mobilnya.

Ketika aku aku akan menutup pintu, aku teringat akan sesuatu yang sangat penting. Aku pun menengok lagi padanya, “Oh ya, ada yang kelupaan. Jangan pernah sekali-sekali sengaja dateng ke rumahku. Itu artinya menyalahi aturan main.” Ujarku mengingatkan.

Lagi-lagi ia tertawa, “Iya iya, ngerti kok ngerti.” Sahutnya. Setelah mengucapkan salam perpisahan untuk yang kedua kalinya, aku langsung menutup pintu mobilnya. Tak lama kemudian, ia dan Hummer miliknya menghilang di tikungan dekat rumahku.

Dua hari kemudian, aku menerima rapot. Nilai-nilaiku lumayan lah ya. Hebatnya lagi aku mendapat peringkat ke empat seangkatan. Benar-benar sebuah kemajuan, karna semester empat kemarin aku masih nangkring di peringkat ke sembilan. Di peringkat pertama, tentu saja di raih oleh Satria yang memang memang dari dulu tidak bisa di depak dari singgasananya, lalu di bawah Satria ada Valeria—aku tidak tahu kenapa ia tidak ada kemauan untuk mengalahkan Satria, padahal otak mereka setara. Lalu di bawah Valeria yang menduduki peringkat ke tiga, ada siswa IPS. Ia adalah satu-satunya anak IPS yang masuk peringkat lima besar seangkatan. Kalau tidak salah namanya Alvaro Gavriel. Aku sendiri tidak peduli, toh aku tidak mengenalnya kan? Baru kemudian, ada nama Revita Pradipta yang nangkring di posisi empat. Hebat bukan?

Selama dua hari kemarin aku tidak masuk. Setelah Stranger mengantarku pulang, malamnya aku tubuhku kembali demam. Akhirnya mau tak mau aku harus izin. Untung saja aku masih bisa mendapatkan rapotku.

Tapi dengan tidak masuknya aku dua hari kemarin, aku merasa sedikit di untungkan. Dengan istirahat di rumah, aku tidak perlu bertemu Jovan maupun Farah. Lagi pula, sepertinya Jovan juga tidak peduli dengan adanya aku atau tidak. Karena ia sama sekali tidak menghubungiku. Sekedar tanya ‘apa kabar’ pun tidak. Tentu saja aku merasa kesal. Tapi lebih dominan kecewa dan sakit hati. Aku tidak tahu kenapa, tapi aku merasa Jovan kembali pada dirinya saat masih awal-awal aku berpacaran dengannya. Dingin dan susah untuk di jangkau. Padahal, aku sudah nyaman dengan Jovan yang—sekalipun masih agak cuek—selalu ada di sampingku.

Apakah keinginanku bersama Jovan terlalu berlebihan? Aku rasa tidak.

Dengan resminya aku mendapatkan rapot, itu tandanya mulai hari Senin besok aku bebas dari sekolah selama dua minggu. Akhirnya libur semester juga. Saat ini aku sedang packing. Memilih pakaian mana saja yang harus aku masukan ke dalam koper sedang berwarna merah milikku. Rencanya, besok pagi aku dan kedua orangtuaku akan terbang ke Singapura. Selain untuk liburan, Ayah juga mengajakku dan Bunda untuk menghadiri acara peresmian gedung serba guna yang di desain Ayah. Karena pekerjaannya ini, Ayah sampai harus menyewa apartemen dan tidak pulang selama berbulan-bulan. Aku jadi penasaran, bagaimana hasilnya?

“Ta, jangan lupa bawa high heels atau wedges.” Kata Bunda mengingatkan. Bunda memang sedang membantuku memilih baju sejak tadi.

“Iya iya, Bun.” Dengan setengah hati, aku memasukan sebuah wedges  hitam setinggi lima senti ke dalam koper. Sekarang, tinggal menunggu saatnya take off saja.

Sejak kecil, aku paling suka dengan yang namanya suasana di bandara. Aku juga tidak tahu kenapa, hanya saja aku merasakan hiruk pikuk bandara dengan banyaknya orang yang ingin berpergian sangat menghiburku. Melihat orang-orang yang mondar-mandir kesana-kemari dengan koper yang mereka geret atau tas maupun ransel yang mereka bawa, membuatku senang. Aku juga senang melihat deretan kios dan toko—mulai dari lounge, kafe, bahkan toko cinderamata—yang menghiasi sepanjang koridor bandara.

Aku dan kedua orangtuaku sedang berada di ruang tunggu yang tak jauh dari pintu keberangkatan. Kami datang setengah jam lebih awal sebelum waktu keberangkatan. Aku memperhatika orang yang berlalu-lalang dengan ditemani oleh sepasang headset di kedua telinga yang sedang memperdengarkan lagu-lagu dari iPod. Kali ini aku sedang mendengarkan track list album dari Before You Exit. Dari enam judul lagu yang ada di daftar, yang menjadi favoritku adalah Three Perfect Days. Karna itulah aku sampai me-replay lagu itu lebih dari lima kali.

Tiba-tiba saja aku merasakan getaran pada saku celana denim panjang yang sedang aku kenakan. Aku langsung meraih smartphone-ku. Tubuhku menegak mendadak saat melihat caller-id yang tampil di layar. Aku pun mem-pause iPod dan melepas headset yang sedari tadi terpasang di kedua telingaku.

Jovan Calling...

Sekarang aku bingung sendiri. Lebih baik diangkat atau tidak? Aku tidak tahu apa yang sebaiknya aku lakukan. Xperia Z ini masih saja terus bergetar. Dan aku sama sekali belum bisa memutuskan. Aku memang ingin mendengar suara Jovan, tapi di saat yang bersamaan aku juga teringat akan kejadian beberapa hari yang lalu ketika Jovan menghampiri Farah dengan bahagia. Dan itu membuatku sesak.

Mungkin karena menunggu jawaban dariku yang terlalu lama, akhirnya Jovan memutuskan panggilan. Aku bernapas lega karenanya. Tapi perasaan lega itu tidak bertahan lama. Beberapa detik kemudian, nama Jovan terlihat kembali. Cukup lama waktu yang aku butuhkan hingga pada akhirnya aku membuat keputusan.

“Ha-lo?” Sapaku dengan ragu sesaat setelah menggeser tombol hijau di layar. Terdengar helaan napas lega dari seberang sana. Entahlah, aku juga tidak terlalu yakin.

Re, aku mau ngomong sama kamu. Aku jemput setengah jam lagi ya.” Kata Jovan tanpa membalas sapaanku. Kenapa baru mau ngomong sekarang? Kenapa nggak dari kemarin-kemarin aja? Ingin sekali aku mengatakannya pada Jovan. Tapi aku menahannya.

“Nggak bisa, Jo. Aku lagi ada di bandara.” Sahutku dengan penuh penyesalan. Terlepas dari alasan Jovan yang baru bisa mengajakku untuk bertemu, tetap saja di dalam hatiku aku ingin sekali menemuinya.

Bandara? Kamu mau pergi atau lagi jemput orang?” Tanya Jovan yang terdengar sedikit terkejut.

Take off ke Singapur.” Belum semenit aku berkata seperti itu, tiba-tiba terdengar suara pemberitahuan bahwa pesawat yang akan aku tumpangi akan segera lepas landas dan para penumpang diharapkan segera masuk ke pesawat.

Jovan yang berada di seberang sana terdiam. Sepertinya ia juga mendengarkan pemberitahuan itu. Tak lama kemudian aku mendengar helaan napas berat darinya. Ayah melambaikan tangannya padaku, mengisyaratkan aku untuk segera menyusulnya. Aku menganggukan kepalaku pada Ayah. Kenapa Jovan tidak bersuara lagi sih?

Oke deh. Tunggu aku, ya.” Panggilan pun terputus.

 Aku memandang layar yang sekarang berubah menjadi menu utama dengan background fotoku dan Jovan saat kami pergi ke bazar makanan dan pasar malam berdua, tahun lalu. Karena bingung, sekarang keningku menjadi berkerut-kerut. Apa maksud Jovan barusan?

Tunggu aku, ya.

Kalimat terakhir Jovan yang masih saja terngiang di telingaku. Jovan ingin aku menunggu di mana? Tetap di bandara? Yang benar saja! Pesawatku sudah mau lepas landas dalam waktu—tunggu, aku lihat jam tanganku dulu. Dan ternyata....

Oh tidak! Lima menit lagi pesawatku take off!! Aku harus segera menyusul kedua orangtuaku kalau memang tidak ingin di tinggal. Dan masalah Jovan, biar saja nanti kalau aku sudah sampai aku akan coba menghubunginya. Lagi pula, mana mungkin Jovan serius ingin menyusulku ke bandara?

Akhirnya, setelah terjebak dalam pesawat yang terbang berjam-jam, aku dan kedua orangtuaku sampai juga di Changi Airport. Ada satu hal yang paling aku benci saat berada di bandara. Ketika harus berdesakan dengan orang lain untuk mengambil koper yang baru keluar dari bagasi. Bagiku, hal itu sangat menyebalkan. Untung saja Ayah sangat mengerti ketidaksukaanku itu, hingga pada akhirnya Ayah yang mengambilkan koperku.

Keluar dari bandara, aku langsung di suguhkan dengan pemandangan sangat amat berbeda dengan yang ada di Indonesia. Di Singapura, terlihat sekali bagaimana warga di sini sangat menjaga yang namanya ketertiban. Aku sampai berkali-kali berdecak kagum karenanya. Menurutku, tak jauh berbeda dengan Jepang. Oh ya, satu lagi! Ternyata Singapura kalau dilihat langsung luas juga. Tidak seperti gambarnya yang ada di atlas.

Dari Changi, aku langsung bertolak menuju ke Orchard Hotel Singapore yang berada di daerah Orchard Road. Sengaja Ayah memesan kamar di sana karena katanya kalau misalnya aku atau Bunda ingin shopping tidak perlu kesusahan ketika membawa belanjaannya pulang. Jujur saja, aku sama sekali tidak minat dengan belanja. Tapi kalau Bunda, kemungkinan besar, iya.

Saat memasuki kamar hotel, aku sempat melirik ke arah jam dinding yang terlihat antik yang terpajang tepat di atas meja televisi. Ternyata baru jam sebelas waktu setempat. Untung saja perbedaan waktu di Singapura dengan Indonesia tidak berbeda jauh, jadi aku tidak perlu merasa jet lag. Singapura lebih cepat satu jam dari waktu Indonesia bagian Barat.

Sebenarnya aku ingin sekali langsung menjelajahi Singapura. Ya minimal Orchard Road terlebih dahulu lah. Tapi karena aku terlalu kecapekan duduk berjam-jam, akhirnya aku langsung merebahkan tubuhku di atas kasur. Sedikit demi sedikit kedua mataku terpejam. Sesaat sebelum aku benar-benar tertidur, aku mengingat kalau aku harus segera menghubungi Jovan. Karena aku sudah dalam posisi paling nyaman, akhirnya aku abaikan hati kecilku yang ingin menghubungi Jovan.

Ladies, udah siap belum sih? Dandan terus deh dari tadi?” Kata Ayah dari luar kamar. Ayah sudah siap sejak tadi dengan kemeja abu polos yang dilapisi dengan tuksedo hitam. Dipadu dengan celana bahan yang juga berwarna senada dengan tuksedonya. Tak lupa, dasi biru tua dengan motif kotak-kotak yang sangat kecil melingkar di kerah kemejanya. Ayah terlihat sangat luar biasa dengan pakaiannya.

Sebentar lagi kami akan berangkat ke Marina Bays, untuk menghadiri acara peresmian gedung serba guna yang di desain oleh Ayah. Aku lupa apa nama gedungnya. Rasa antusias yang berlebihan sedang melandaku. Akhirnya aku bisa melihat Marina Bays secara langsung. Karena katanya, di daerah itu terdapat The Merlion. Patung singa setengah duyung yang mengeluarkan air dari mulutnya, juga sebagai ikon Singapura yang sudah sangat mendunia.

“Iya, Yah. Tata tinggal pake wedgesnya.” Sahut Bunda yang malam ini terlihat semakin cantik dengan gaun malam sederhananya. Aku sangat menyukai selera Bunda dalam memilih pakaian. Sederhana dan tidak mencolok, tetapi tetap anggun.

Tadi setelah Bunda selesai berdandan, Bunda membantuku untuk menata rambut panjangku. Rambut yang tadinya tidak tahu harus diapakan, akhirnya digulung dan dibuat menyerupai sanggul. Aku sendiri mengenakan gaun tanpa lengan yang panjangnya pas di bawah lutut berwarna biru malam. Terdapat ban pinggang cokelat tua yang mempercantik gaunku. Setelah aku memakai wedges hitam—yang pastinya dengan terpaksa—penampilanku pasti akan terlihat makin sempurna lagi. Terimakasih banyak untuk Bunda yang sudah membantuku packing kemarin.

Mewah dan elegan. Itulah kesan pertamaku ketika melihat gedung yang menjulang tinggi di hadapanku. Sekarang aku tahu alasan kenapa Ayah sampai berbulan-bulan tidak pulang ke rumah. Itu semua dikarenakan pembangunan gedung yang keihatannya memang rumit sekali. Ada dua buah gedung yang sengaja dibangun asimetri. Satu gedung dibuat dua puluh lantai lebih pendek dari pada gedung di sebelahnya yang katanya ada lima puluh lantai. Aku juga tidak tahu apa gunanya membangun gedung dengan banyak sekali lantai seperti itu.

Pada gedung pendek, tepat di lantai teratas atau lantai tiga puluh, terdapat sebuah jembatan beton yang menguhubungkan gedung itu dengan gedung tinggi sebelahnya. Selain itu juga ada jembatan lain di lantai dua puluh. Yang membuatku semakin takjub adalah sebuah lift khusus yang sengaja dibuat di sisi luar gedung, jadi terlihat seperti menempel pada gedungnya. Lift ini hanya ada di gedung tinggi. Sisi-sisi lift terbuat dari kaca trasparan, sehingga semua orang yang menggunakan lift ini bisa melihat pemandangan menakjubkan di Marina Bays. Dan aku adalah salah satu orang yang beruntung, karena bisa menikmati pemandangan ini.

Ting!

Lift berhenti di lantai empat puluh tujuh, dimana acara peresmian gedung mewah nan elegan ini diselenggarakan. Saat berada di dalam aula, aku bisa melihat banyaknya orang-orang berkelas dimana-mana. Terlihat jelas dari pakaian yang mereka kenakan. Dan hampir semuanya seumuran dengan Ayah dan Bunda.

Sial! Seharusnya aku sadar masalah ini sejak awal.

Ayah mulai menyapa rekan-rekannya. Kebanyakan dari mereka bukan orang Indonesia. Sesekali Ayah juga memperkenalkan aku dan Bunda pada rekannya tersebut.

“Hei, Pak Adi Nuraga.” Sebuah suara menyapa Ayahku. Seorang lelaki yang umurnya sama dengan ayah atau mungkin lebih tua menghampiri Ayah. Lalu ia bersalaman dan memeluk Ayah.

“Pak Bayu Saputra, datang juga ternyata.” Kata Ayah kemudian.

“Mana mungkin saya tidak datang ke peresmian gedung yang di desain oleh saingan terberat saya?” Canda pria iku yang di ikuti oleh tawa Ayah.

“Pak Bayu bisa saja.” Sahut Ayah dengan menepuk bahu orang yang disebut Ayah, Bayu. “Oh ya, kenalkan. Ini istri dan anak saya. Sarah dan Revita.”

“Anak Pak Adi cantik sekali. Kelihatannya seumuran dengan anak saya.” Aku hanya bisa tersenyum kecil saat mendapatkan pujian seperti itu.

“Ngomong-ngomong, kesini sendirian?” Tanya ayah.

“Oh nggak. Kebetulan anak pertama saya sedang ada urusan juga dengan cabang perusahaannya yang ada di sini, jadi sekalian ikut kemari. Tapi istri dan anak saya yang kedua sekarang sedang ada di Jepang, biasa liburan sekolah. Rencananya besok pagi saya dan anak saya akan menyusul mereka ke Jepang.” Kata Om Bayu menjelaskan. Hebat sekali anaknya sudah punya perusahaan sendiri. Apalagi yang ada di Singapura hanya cabang pula.

 Setelah itu Ayah dan Om Bayu mulai asyik dengan obrolan mereka seputar dunia arsitek. Sesekali Bunda juga ikut menimpali. Sedikit banyak Bunda juga tahu, karena dulunya Bunda kuliah mengambil jurusan Teknik Sipil yang hampir menyerupai Teknik Arsitektur. Tapi memang jiwanya adalah jiwa seorang penulis, akhirnya Bunda menikasi seorang arsitek. Sedangkan aku yang sama sekali tidak tahu apa-apa hanya bisa diam dan mendengarkan. Yah, siapa tahu besok saat kuliah aku akan mengambil jurusan arsitek juga, jadi sudah mendapatkan sedikit ilmu.

Merlion Park!

Akhirnya, aku bisa juga ke sini. Dari kemarin, aku sudah ingin mengunjungi tempat ini. Aku ke Merlion Park sendirian. Sementara Ayah dan Bunda lebih memilih untuk ke Bugis Street, dimana menjual aneka barang-barang serta cinderamata yang dijual dengan harga miring. Katanya setelah itu mereka akan ke China Town.

Kedua orangtuaku sama sekali tidak keberatan kalau aku berpergian sendiri. Karena dengan begitu aku bisa belajar lebih mandiri lagi. Toh kalau misalnya aku tersesat, aku bisa bertanya pada orang di sekitarku. Lagi pula juga ada smartphone dengan google map-nya. Jadi tidak ada alasan untukku tersesat dan tidak bisa kembali.

Warga Singapura pasti sangat bangga sekali memiliki patung The Merlion yang sudah terkenal di seluruh dunia. Yah, meskipun pasti tidak sedikit dari mereka juga merasa bosan melihatnya. Tapi karna aku bukan warga Singapura, aku amat sangat terkesan dengan patung tersebut. The Merlion ini memiliki ketinggian mencapai 8 meter dan terletak di muara sungai Singapore di Fullerton Road. Keren bukan?

Aku juga suka pemandangan Singapore River yang terlihat indah. Aku juga pernah mendengar kalau ada yang namanya Singapore River Cruise, yang katanya akan mengajak kita keliling dengan perahu motor canggih sepanjang sungai. Aku jadi ingin mencobanya.

Saat aku masih takjub dengan pesona Merlion Park, tiba-tiba saja ada sepasang telapak tangan yang menutupi kedua mataku hingga semuanya menjadi gelap. Oh, yang benar saja? Masa iya ada orang yang ingin menjahatiku? Tapi kalau memang benar orang ini akan menjahatiku, seharusnya tidak perlu repot-repot menutup kedua mataku dengan tangannya. Tinggal bekap saja mulut dan hidungku sampai aku kehabisan napas. Lebih gampang kan?

“Guess who?” Deg! Jantungku terasa berhenti berdetak dalam sekejap. Aku sangat mengenal suara ini. Tapi mana mungkin dia ada di sini?

Aku langsung melepaskan kedua tangan itu dari mataku dan membalikan tubuhku. Aku melihatnya. “Jovan?!” pekikku kaget.

Ia berdiri tepat di hadapanku dengan seringaian jahilnya. Tapi aku masih tidak percaya kalau ia ada di sini. Benar-benar ada di sini. Sungguh mustahil! Lagi pula, apa yang dilakukannya di Singapura?

“Kamu ngapain di sini?” Tanyaku masih tak percaya kalau yang sekarang aku ajak bicara itu benar-benar Jovan.

“Kan aku udah bilang kemarin? Tunggu aku, ya.” Jawab Jovan dengan mengendikan bahunya. Aku melongo tak percaya

“Tapi aku pikir kamu mau nyusul ke bandara. Bukannya ke Singapura.” Sahutku gemas. “Lagian, kamu tau dari mana kalo aku ada di sini? Secara, Singapura kan luas.”

“Kita pake smartphone, inget? And there’s an GPS in it.” Ah, sial! Benar juga apa yang dikatakan Jovan.

“Trus, ngapain kamu nyusul aku sampe jauh-jauh ke sini?” Sejak tadi aku penasaran sekali apa yang membuat Jovan sampai menyusulku ke Singapura. Padahal, dia kan bisa saja berlibur ke tempat lainnya.

“Aku mau minta maaf ke kamu, Re.” Ekspresi Jovan berubah menjadi terlihat sangat bersalah. Aku sendiri bingung, minta maaf atas dasar apa? Kejadian ketika aku menunggunya lebih dari enam puluh menit sambil hujan-hujanan sampai besoknya jatuh sakit? Kan Jovan tidak tahu kalau saat itu aku menunggunya. Dan tidak ada seorang pun yang tahu.

“Maaf buat apa?” Tanyaku bingung.

“Aku minta maaf, waktu itu aku nggak bisa dateng.” Cuma masalah itu? Oke, memang aku kecewa berat Jovan tidak datang. Tapi hei, sekarang aku sudah melupakannya. Toh, kejadiannya sudah lewat.

“Yaampun Jo, kalo mau minta maaf masalah itu sih besok-besok bisa kali. Lagian, aku nggak apa-apa kok. Udah lewat juga. Jadi buat apa dipikirin terus? Dan nggak perlu nyusul aku ke Singapura se—“

“Nggak bisa, Re!” Aku terkejut saat nada bicara Jovan yang tiba-tiba meninggi. Mulutku langsung diam seketika. “Waktu kamu nggak masuk, aku sempet nyamperin kelas kamu buat minta maaf lagi. Tapi kamunya nggak ada, justru aku malah dihadang Valeria sama Naira. Mereka berdua protes, kenapa aku sekarang kelihatan terlalu cuek ke kamu dan lebih deket Farah. Padahal kan pacarku itu kamu.”

“Ha?! Seriusan mereka ngomong gitu?” Anak dua itu, seharusnya mereka bisa menjaga mulut mereka kan? Tidak perlu repot-repot memprotes Jovan segala. “Udahlah, nggak usah dipikirin. Mereka emang ngaco.” Tambahku.

Jovan menggeleng pelan, “Justru mereka bener. Aku salah udah cuek ke kamu dan deket sama cewek lain, padahal kamu pacar aku. Dan aku minta maaf karena itu. Aku juga sadar dan maklum kok kalo misalnya kamu anggep aku cowok brengsek, Re.”

Jovan menatapku lekat-lekat. Aku jadi tidak bisa melepaskan pandanganku dari kedua bola matanya. Bagaimana mungkin aku bisa beranggapan kalau Jovan adalah laki-laki brengsek di saat dia mengakui kalau ia salah sampai rela menyusulku dari Indonesia ke Singapura yang jaraknya beribu kilo meter hanya untuk meminta maaf?

Aku sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi. Aku memang sedikit kesal dengan tindakan gegabah Valeria dan Naira, tapi aku juga merasa sangat berterimakasih pada mereka. Mungkin tanpa mereka, Jovan tidak ada di sini sekarang.

Hatiku benar-benar menghangat karena pernyataan Jovan. Aku tidak tahu apa yang aku lakukan, tapi tiba-tiba saja kedua tanganku sudah melingkar di tubuh Jovan. Mungkin aku terlalu terharu sampai aku memeluknya tanpa sadar. Tubuh Jovan menegang, mungkin karena terkejut dengan tindakanku. Tapi tak urung, ia juga membalas pelukanku. Dan ini adalah kali pertama ada lelaki lain yang memelukku selain Ayah.

Eh tunggu, apa benar ya? Tapi kok hati kecilku tiba-tiba berteriak kalau misalnya ada lelaki lain yang memelukku sebelum Jovan. Seandainya benar, kapan? Dimana? Kenapa aku tidak mengingatnya? Pasti perasaanku salah. Karna aku yakin Jovan-lah yang pertama.\

“Sekali lagi maafin aku, Re.” Aku hanya bisa mengangguk kepala dalam pelukan Jovan. Aku merasakan Jovan mengecup puncak kepalaku. Benar-benar tidak kusangka kalau hari ini akan menjadi hari paling membahagiakan di hidupku.

Aku bisa merasakan tubuh Jovan yang begitu hangat. Aku juga bisa mendengar suara detak jantungnya yang cepat dan tidak beraturan. Tapi aku sangat menyukai iramanya. Karena seperti apa yang sedang aku rasakan saat ini. Tapi dengan terpaksa, aku melepaskan pelukanku. Aku tidak ingin lama-lama menjadi bahan tontonan orang asing di tempat yang juga sangat asing untukku.

“Gimana kalo sekarang kita cobain Singapore River Cruise?” Celetukku memberi usul.

“Wah, boleh juga. Kebetulan aku bawa kamera.” Sahut Jovan dengan semangat sembari menunjukan kamera DSLR-nya.

Aku pun mulai melangkahkan kakiku terlebih dahulu, “Eh, tunggu Re.” Cegah Jovan dengan mendadak. Mau tak mau aku harus membalikan tubuhku dengan kening yang berkerut.

Jovan mengeluarkan sesuatu dari ranselnya. Sebuah kotak berukuran sedang yang dibungkus dengan kertas kado merah dengan gambar-gambar lucu yang menghiasi kertas itu. Ia pun menyodorkan kotak itu padaku.

“Aku tau ini telat. Tapi sumpah Re, aku lupa. Coba kemaren lusa aku nggak liat kalender, mungkin aku nggak akan pernah inget sampe sekarang.” Kata Jovan menjelaskan. “Happy too late first anniversary, Revi.” Tambahnya.

Sekali lagi, Jovan sukses membuatku terharu. Dengan tangan yang sedikit gemetar, aku meraih kotak kado itu. “Lebih baik telat dari pada nggak sama sekali.” Aku tersenyum dan Jovan terkekeh.

“Jangan dibuka sekarang. Entar aja.” Cegah Jovan cepat dan menahan tanganku saat aku akan melihat isi dari kotak tersebut. Kemudian Jovan merangkul pundakku dan menuntunku untuk menuju ke tempat yang menjual tiket untuk naik perahu motor canggih yang akan membawa kami berkeliling.

“Oh ya Jo, kamu di sini sendiri atau sama keluarga?” Tanyaku penasaran.

“Sendirian. Makanya aku dititipin ke rumah adik mama yang ada di sekitar sini.” Jawabnya tak acuh.

“Kenapa nggak sekeluarga aja?”

“Gimana mau pergi sekeluarga kalo orangtua aku aja sibuk sama kerjaannya? Kakak aku yang pertama udah punya keluarga sendiri, trus kakak aku yang ke dua sibuk kerja di London. Makanya, dari pada liburan ini aku jadi pengangguran mendadak di rumah, mendingan aku susul kamu aja ke sini.” Ujar Jovan dengan panjang lebar. Kok tiba-tiba aku merasa Jovan tidak jauh berbeda dengan Stranger yang baru-baru ini menolongku. Tapi sekarang kehidupan keluarga Stranger sudah lebih baik dari pada yang ia ceritakan saat pertama kami berinteraksi dulu. Kira-kira apa yang dilakukannya saat liburan ya?

Sepuluh hari waktu yang aku butuhkan untuk menjelajahi hampir seluruh tempat wisata di Singapura. Tentu saja aku tidak sendirian. Selama sepuluh hari ini Jovan selalu menemaniku. Terkadang kami juga pergi berempat bersama dengan kedua orangtuaku. Banyak sekali tempat yang aku kunjungi. Tapi yang paling membekas di hatiku saat aku dan Jovan mencoba Singapore Flyer. Sebuah bianglala terbesar yang ada di Singapura. Kedua kalinya aku bersama Jovan naik bianglala. Bedanya, kali ini kami tidak berdua saja. Melainkan ditemani oleh beberapa orang yang juga ingin mencoba bianglala ini.

Pemandangan saat berada di puncak begitu menakjubkan. Rasanya aku seperti bisa melihat seluruh wilayah Singapura. Selain itu, aku juga bisa melihat Indonesia sekalipun tidak terlalu jelas. Untung saja aku sempat mengabadikan pemandangan itu lewat kamera milik Jovan. Nanti kalau sudah pulang, aku akan memintanya.

Selain Singapore Flyer, tempat yang paling berkesan lainnya yaitu Universal Studio. Aku dan Jovan sama-sama merasa gembira saat ada di sana. Sejak hari pertama Jovan menemuiku, sudah ada banyak sekali foto kami dalam berbagai macam pose konyol yang tersimpan dalam memori kameranya. Hingga saat hari terakhir tiba, waktu aku ingin mengabadikan bagaimana suasana Arab Street saat itu, memorinya tidak cukup. Terlalu penuh dengan fotoku dan Jovan.

Seperti remaja labil pada umumnya, aku juga menge-post foto di akun Instragam milikku. Aku paling suka fotoku dan Jovan yang berjalan dengan bergandengan tangan di sepanjang jalan Orchard Road saat Jovan mengantarku kembali ke hotel. Foto itu diambil oleh Ayah—yang katanya saat itu tak sengaja melihatku ketika mengantar Bunda belanja—secara candid. Ketika Ayah pulang, Ayah langsung menunjukan foto itu padaku. Tentu saja saat itu aku malu, tapi mau bagaimana lagi? Ketika aku mengecek akun Instagramku lagi, aku mendapatkan banyak sekali like dari pengikutku. Mungkin sekitar lima puluh orang. Bahkan Valeria dan Naira juga mengomentari. Begini komentarnya..

@Valerrria kenapa bisa ada Jovan di Singapur?!!

Melihat dari banyaknya tanda seru yang Valeria gunakan, ia pasti tidak akan menyangka kalau Jovan sampai menyusulku ke Singapura. Aku hanya tertawa membaca komentar Valeria itu.

@Nairamalia ih so sweet, gue juga mauuu:’3

Begitulah komentar dari Naira. Aku tidak sempat membalas komentar mereka sama sekali karena keburu tidur duluan.

Waktu bersenang-senang sudah selesai. Sekarang aku dan Jovan sudah duduk di ruang tunggu yang ada di Changi Airport. Kurang lebih sepuluh menit lagi, pesawat kami akan take off. Aku pulang hanya bersama Jovan. Kedua orangtuaku sudah bertolak ke Bangkok, tadi siang. Katanya mereka ingin melihat rumah yang akan mereka tempati di sana. Karna rencananya, setelah aku lulus nanti, kedua orangtuaku akan pindah ke Bangkok. Alasannya karna sekarang ini Ayah banyak sekali mendapat proyek di Thailand.

“Barang-barang kamu beneran nggak ada yang ketinggalan kan?” Tanya Jovan memastikan sekali lagi. Sudah tiga kali Jovan bertanya sejak ia menjemputku di hotel, dan barusan adalah yang keempat kalinya.

“Nggak, Jovaaan.” Jawabku gemas. Jovan pun tertawa dan mengacak-acak rambutku.

Aku sangat menyukai Jovan yang seperti ini. Jovan yang selalu ada di sampingku. Jovan yang selalu tertawa saat bersamaku. Dan Jovan yang selalu menggenggam tanganku dengan erat. Semoga saja, Jovan tetap seperti ini setelah kami kembali nanti. Karna beberapa hari lagi kami akan kembali masuk sekolah untuk menghadapi semester terakhir yang pastinya akan di isi dengan barbagai macam ujian dan tryout. Dan pastinya Jovan akan bertemu dengan Farah. Untuk sekarang, aku hanya bisa banyak-banyak berdoa saja semoga yang rasa sakit hati yang kemarin-kemarin tidak terulang lagi.

You made my ordinary days become a special days.

You given me something sweeter than sugar.

And more bitter than coffee.

This special feelings had soldered in my world.

I wanna be fall in love.

 

Continue Reading

You'll Also Like

13.3M 1.1M 81
β™  𝘼 π™ˆπ˜Όπ™π™„π˜Ό π™π™Šπ™ˆπ˜Όπ™‰π˜Ύπ™€ β™  "You have two options. 'Be mine', or 'I'll be yours'." Ace Javarius Dieter, bos mafia yang abusive, manipulative, ps...
3.1M 262K 62
⚠️ BL Karena saking nakal, urakan, bandel, susah diatur, bangornya Sepa Abimanyu, ngebuat emaknya udah gak tahan lagi. Akhirnya dia di masukin ke sek...
2.8M 161K 40
DILARANG PLAGIAT, IDE ITU MAHAL!!! "gue transmigrasi karena jatuh dari tangga!!?" Nora Karalyn , Gadis SMA yang memiliki sifat yang berubah ubah, kad...
2.5M 134K 53
[PART MASIH LENGKAP] "Lihat saudaramu yang lain! Mereka berprestasi! Tidak buat onar! Membanggakan orang tua!" Baginya yang terbiasa dibandingkan den...