THE DEVIL SEDUCTIONS

By AiYueLinglung

52.6K 2.3K 78

"Apakah kau pernah bertemu iblis?" More

THE DEVIL SEDUCTIONS Part 1
THE DEVIL SEDUCTIONS Part 3
THE DEVIL SEDUCTIONS Part 4
THE DEVIL SEDUCTIONS Part 5 END
EPILOGUE

THE DEVIL SEDUCTIONS Part 2

6.8K 354 3
By AiYueLinglung

           

Ash terus memacu mobilnya hingga hilang dari pandangan, ia yakin Sherry pasti masih mengamatinya. Setelah berada di jalanan yang sepi, Ash menggunakan sihirnya untuk berteleportasi ke kediamannya bersama dua sepupunya. Ash memarkir mobilnya di garasi dan langsung masuk ke dalam rumah besar itu melalui pintu samping. Seperti biasa, ia langsung menuju ke ruang duduk di lantai satu. Dan di sanalah ia menemukan Lexi yang tengah menggerutu.

           

"Ada sesuatu terjadi?" tanya Ash sambil menghampiri lemari minuman dan menuangkan segelas wiski untuk dirinya. Setelahnya ia bersandar sambil menyesap wiskinya.

           

"Aku sedang mencoba mencari informasi, dan apa yang kudapatkan sama sekali tidak membuatku senang. Kau juga takkan senang," kata Lexi.

           

"Coba katakan padaku. Malam ini aku sudah membantai dua incubus tapi tidak mendapatkan informasi berarti selain bahwa berita mengenai kebangkitan kita sudah tersebar," kata Ash.

           

"Baiklah. Menurut sumberku, terjadi konspirasi di dunia iblis. Terjadi pengkhianatan terselubung di dalam keluarga kita, dan sampai saat ini belum diketahui siapa yang berkhianat. Dan semua itu terjadi karena simpang siurnya berita mengenai keberadaan pewaris tahta, yakni kau, yang masih belum jelas," kata Lexi sambil mengambil sebuah strawberry dan menggigitnya dengan ganas. "Dan seperti yang kau katakan, semuanya semakin buruk setelah berita mengenai kebangkitan kita mulai tersebar. Belum lagi aku mendengar adanya desas-desus adanya iblis wanita yang membantai setiap wanita cantik di kota. Aku tidak tau apa tujuannya, tapi beberapa wanita telah menjadi korban, dan tubuh mereka ditemukan di dasar jurang tanpa bentuk," lanjut Lexi.

           

Ash mendengarkan semua itu dalam diam. Benaknya berpacu, mengingat-ingat iblis wanita mana yang bisa berlaku sekejam itu. Terlebih lagi, ada kemungkinan bahwa iblis itu sama dengan iblis yang memerintahkan iblis-iblis rendahan untuk melaporkan semua hal yang berhubungan dengan Ash kepadanya.

           

"Ada beberapa yang masuk kategori iblis wanita yang suka melakukan hal kejam seperti itu. Hanya saja aku tidak tau apakah mereka masih hidup ataukah sudah mati di tangan iblis lainnya," sahut Ash.

           

"Oh ya? Kalau begitu aku tidak perlu repot-repot mencari taunya. Aku mungkin akan mengikuti jejak Aaron untuk berburu. Bosan juga kalau aku terus di sini sementara kalian sudah mulai bergerak mencari sang Kunci," kata Lexi sambil memakan strawberry, strawberry Ash, yang ada di mangkuk yang diletakkan di atas pangkuannya.

           

Dalam sekejap mangkuk strawberry di pangkuan Lexi menghilang. Lexi berseru memprotes, akan tetapi Ash tak mengacuhkannya. Mangkuk itu muncul kembali di atas meja di dekat siku Ash. Ash meraih satu dan menggigitnya.

           

"Sudah kukatakan kalau kau tidak boleh menyentuh strawberry-ku," kata Ash santai.

           

"Bagaimana mungkin tidak kusentuh kalau seluruh isi lemari es adalah buah itu!?" protes Lexi.

           

"Ada satu lemari es lagi. Kau bisa menjamah isinya sesuka hatimu," kata Ash, masih dengan nada santai.

           

Lexi merengut, akan tetapi tidak membantah kata-kata Ash. Ia tau kalau sepupunya itu sangat sensitif soal buah kesukaannya itu. Lexi pernah dilempar ke danau hanya karena menghabiskan dua mangkuk strawberry di dalam kulkas yang rencananya akan dimakannya malam itu. Dan sejak itu, Lexi berusaha mencuri buah itu sedikit demi sedikit agar Ash tidak sadar. Tapi iblis itu selalu tau! Malam ini Lexi berani mengambil semangkuk karena berpikir Ash tidak akan pulang, dan Lexi berniat mengganti mangkuk yang dimakannya besok. Tapi rupanya Ash pulang, dan dia terpergok.

           

"Di mana Aaron saat ini?" tanya Ash.

           

"Entahlah. Suatu temat di benua Asia. Aku tidak tau pasti," kata Lexi. "Apa kau tidak akan pulang ke rumah barumu?"

           

Ash memberi Lexi senyum iblisnya yang menawan. "Aku harus menjaga jarak dulu. Tadi aku sedikit keterlaluan," kata Ash sambil terkekeh.

           

Alis Lexi terangkat tertarik dan seringai nakal muncul di bibirnya. "Aha, apa yang sudah kau lakukan? Apa kemajuannya berjalan cepat?" tanya Lexi.

           

"Belum sebanyak yang aku inginkan," sahut Ash dengan wajah serius. "Dia masih waspada padaku, malah ia sempat ingin menghindar. Akan tetapi, suatu waktu pada malam ini, dia entah bagaimana telah mengambil keputusan untuk menghadapiku," lanjut Ash, senyuman kembali menghiasi bibirnya. Seolah ia merasa senang dengan apa yang diputuskan oleh wanita itu.

           

"Ah, dan apakah itu sesuatu yang memuaskan egomu?" sahut Lexi sambil menyeringai.

           

"Masih belum cukup," sahut Ash rendah.

           

Ash mengingat kembali rasa Sherry yang membuatnya tidak puas hanya dengan mencium wanita itu sekali dua kali. Ash ingin mencicipi keseluruhan diri wanita itu. Ash sendiri terkejut dengan kuatnya intensitas hasratnya terhadap Sherry. Tidak salah wanita itu ditakdirkan menjadi Kunci Kebebasannya. Sherry memiliki kemampuan untuk mengimbangi Ash, meskipun wanita itu belum menyadarinya. Sherry juga memiliki kewaspadaan yang akan menyelamatkan diri wanita itu setiap saat. Dan Ash tidak sabar untuk membangkitkan seluruh indra wanita itu terhadap dirinya. Akan menjadi suatu tantangan untuk menaklukkan wanita itu.

           

"Ah, wajah itu," komentar Lexi saat melihat senyum predator muncul di bibir Ash. "Kau pasti sedang memikirkannya. Cepat-cepatlah kau taklukan dia, dan bawa dia ke sini. Dan juga, ambillah tahta Raja Iblis dan hentikan konspirasi apapun yang dilakukan iblis-iblis bodoh itu," lanjut Lexi.

           

Ash mengambil strawberry terakhir dari mangkuk. "Setahap demi setahap, Lexi... Setahap demi setahap," kata Ash, kemudian ia menggigit strawberry itu.

***

           

Hari-hari berikutnya berjalan sebagaimana hari-hari kemarin, hanya saja kini ada satu perbedaan mencolok dalam kehidupan Sherry. Ia masih bekerja di bar, tapi belum mendapatkan pekerjaan baru untuk menggantikan pekerjaan yang ia lepaskan. Setiap malam ia akan bekerja di bar, dan selama ia bekerja itulah perubahan besarnya. Ash selalu datang dan menunggu hingga Sherry pulang, lalu mengantarnya pulang ke rumah.

           

Sherry berusaha menunjukkan bahwa ia tidak ingin bergerak terlalu cepat, dan tampaknya Ash memahami keengganan Sherry karena pria itu belum pernah menciumnya lagi sejak malam itu. Sesekali Ash akan memeluk pinggangnya atau menggenggam tangannya saat mereka berkendara. Sesekali juga Ash akan mencium keningnya sebelum meninggalkan rumah Sherry. Dan Sherry merasa sedikit aneh mengenai hubungan mereka.

           

Dari sikap yang ditunjukkannya, jelas kalau Ash memang benar-benar tertarik padanya. Ash juga menunjukkan kesabaran dan perhatian bak pangeran dari negeri dongeng. Biasanya pria akan langsung mundur teratur jika wanita yang mereka incar masih saja bersikap menjaga jarak. Tapi Ash berbeda. Pria itu bertahan, justru bersikap semakin lembut meskipun terkadang kata-katanya begitu sarat akan godaan dan janji sensual yang membuat Sherry gemetar hingga ke ujung kakinya.

           

Akhirnya, ketika seminggu berlalu dan Ash masih dengan senantiasa menemuinya, Sherry memutuskan untuk memajukan hubungan mereka setahap lagi. Bukan langkah besar, Sherry hanya akan mengundang Ash makan malam di rumahnya saat hari minggu karena hari itu ia libur. Ia memutuskannya saat sedang menyirami tanaman di kebunnya pada pagi harinya. Ide itu melintas begitu saja di kepalanya saat ia menelaah perkembangan hubungannya dengan Ash. Kemudian satu jam berikutnya Sherry habiskan untuk berdebat dengan dirinya sendiri apakah ia akan menghubungi Ash atau tidak. Akhirnya ia pun menghubungi Ash.

           

Suara Ash saat mengangkat teleponnya terdengar serak dan seksi, jelas kalau Sherry telah membangunkan pria itu dari tidurnya. Dan Sherry tidak tau kalau pada jam 8 pagi, Ash masih di atas tempat tidurnya. Yah, tidak heran, pikir Sherry. Pria itu kan menungguinya semalaman hanya untuk mengobrol sebentar di Barley's sebelum mengantarnya pulang.

           

"Maafkan aku. Apa aku mengganggu tidurmu?" tanya Sherry.

           

"Entahlah. Kalau yang kau maksud adalah muncul di dunia nyata dan bukannya menggodaku dalam mimpi, kau tidak menggangguku," sahut Ash dengan suara seraknya.

           

Sherry tertawa pelan. "Kurasa kau sudah bangun sepenuhnya," kata Sherry.

           

"Heemm, aku memang sudah bangun," kata Ash dengan nada sensual dalam suaranya.

           

Entah bagaimana wajah Sherry memerah lantaran Ash membuat kalimatnya jadi bermakna ambigu, padahal bukan itu yang dimaksudkannya. "Kau tau maksudku!" sahut Sherry.

           

Kini giliran Ash yang tertawa. "Jadi, ada apa meneleponku pagi-pagi begini?" tanya Ash.

           

Sherry meragu. "Ehm, sebenarnya... ini mendadak terpikir olehku... apakah kau ada waktu malam ini? Aku ingin mengundangmu makan malam di rumahku. Selama ini ka uterus yang mentraktirku, jadi sekarang aku ingin membalasnya," kata Sherry dengan nada sesantai mungkin. "Aku mungkin tidak pandai masak, tapi jika masakan yang sederhana, aku bisa membuatnya," lanjutnya.

           

"Tentu saja. Pukul 7?" sahut Ash.

           

"Ehm... ya, pukul 7 tak masalah," kata Sherry.

           

"Apa kau akan berdandan untukku?" goda Ash. "Aku suka melihat wanita dalam balutan gaun sutra merah," lanjutnya.

           

Wajah Sherry lagi-lagi memerah, padahal ia tau Ash tak bisa melihatnya. "Lakukan saja di dalam mimpimu!"

           

Ash tertawa. "Aku akan datang pukul 7. Apa kau yakin tidak butuh bantuan di dapur?"

           

"Aku cukup yakin. Seandainya aku membakar dapurku, aku tidak ingin kau ada di sini untuk melihatnya," sahut Sherry. "Baiklah, sampai jumpa pukul 7 nanti!"

           

"Aku tak sabar menunggunya," sahut Ash.

           

Sherry menutup telepon dan tersenyum sendiri. Ia kemudian kembali melanjutkan menyiram tanamannya sembari mulai memikirkan menu mudah apa yang bisa dimasaknya untuk makan malam nanti. Sepertinya ia punya buku resep masakan keluarga di suatu tempat di kamarnya. Ia bisa mencarinya dan mulai mencoba memasaknya. Ia tidak ingin masakannya tidak sempurna untuk nanti malam. Dan mungkin... mungkin saja... ia akan memakai gaun merah yang tidak pernah dipakainya sejak ia membeli gaunnya tersebut. Bukan untuk memuaskan fantasi Ash, tetapi untuk menggoda pria itu.

           

Memikirkan hal itu membuat senyum terus tersungging di bibir Sherry.

           

Dari kejauhan, tepatnya dari jendela kamar di lantai dua bangunan sebelah rumah Sherry, Ash mengamati Sherry dengan senyum kemenangan tersungging di bibirnya. Sejak terbangun oleh dering telepon tadi, Ash sudah beranjak ke jendela kamarnya dan membuka tirainya sedikit, cukup untuk melihat Sherry yang berada di halaman rumahnya. Dan selama mereka bicara di telepon tadi, Ash terus saja mengamati Sherry dan perubahan rona wajahnya. Bagaimana pun, Sherry menghadap ke arah jendelanya, dan ia suka melihat wanita itu di tengah cahaya matahari pagi.

           

Ash menerima ajakan makan malam itu tanpa perlu berpikir. Ia tau kalau malam ini mereka maju satu tahap. Dan Ash tidak akan menolak kesempatan menyusup lebih dalam ke kehidupan wanita yang kelak akan menjadi ratunya. Ash tidak ragu bahwa ia menginginkan Sherry menjadi Ratunya sejak pertama kali melihat wanita itu. Mereka akan menjadi pasangan yang hebat. Sifat waspada dan pikiran tajam Sherry akan sangat berguna baginya. Ia akan tau bahwa wanita itu takkan mudah dibohongi oleh iblis-iblis yang berniat mengkhianatinya.

           

Pertanyaannya adalah, bagaimana caranya mewujudkan hal itu secepatnya?

           

Ash beranjak dari jendela dan masuk ke kamar mandi untuk mandi. Setelah itu ia berpakaian dan turun ka bawah. Rumah itu sepi, hanya dirinya yang tinggal di sana. Itupun hanya sekadar untuk tidur di siang hari jika ia memang memutuskan begitu. Kemarin malam ia memutuskan bahwa ia ingin tidur di rumah itu sekaligus mengawasi Sherry sebab ia melihat segelintir iblis rendahan berkeliaran di sekitar sana.

           

Sudah seminggu berlalu sejak ia membunuh dua incubus itu, dan sampai saat ini tidak ada pergerakan apapun dari iblis wanita yang mereka sebut-sebut itu. Lexi pun sudah memberinya informasi yang cukup setiap malamnya di sela-sela waktu iblis itu mencari Kunci Kebebasannya sendiri.

           

Ash membuka lemari es dan menraih semangkuk strawberry. Ia tak butuh makanan sesungguhnya saat ini, tapi cepat atau lambat ia akan mendapatkannya. Ia membayangkan saat-saat itu dalam benaknya. Sherry menjadi miliknya, dan wanita itu menyerah diri seutuhnya pada Ash. Dan ia akan mendapatkan kekuatannya kembali. Ia akan mengambil haknya sebagai pewaris tahta kerajaan iblis, dan Sherry akan menjadi Ratunya.

           

Ash tak sabar menantikan saat itu datang.

           

Meskipun begitu, malam ini ia harus puas hanya dengan sebuah makan malam. Tapi, Ash akan membuat makan malam ini menjadi malam yang tak terlupakan.

***

           

Sejak sore Sherry sudah sibuk di dapurnya. Ia pergi ke toko bahan makanan untuk membeli bahan-bahan masakan yang dibutuhkannya untuk membuat makan malam. Ia berhasil menemukan buku resep keluarganya dan setelah membacanya, ia yakin dirinya bisa membuat makan malam yang enak.

           

Sherry membuat salad dan iga panggang saus barbeque, juga beberapa makanan lainnya dengan bahan makanan yang banyak tersisa. Setelah selesai, saat itu pukul 6 lebih, ia tersadar sudah membuat cukup banyak makanan untuk dimakan dua orang. Setelah menatanya di atas meja, dan memastikan semua makanan itu akan aman selama ia mandi, ia pun pergi ke kamarnya.

           

Pukul 7, bel di pintu rumah Sherry berbunyi, tepat saat Sherry tengah merapikan rambutnya. Ia berubah pikiran dan tidak jadi mengenakan gaun merah yang berpotongan berani itu. Ia takut jika memakainya, Ash justru akan salah paham dan mengiranya telah memberikan lampu hijau untuk naik ke ranjangnya. Sherry tidak menginginkan hal itu, sehingga ia pun memutuskan untuk memakai blus berwarna gading, dan memadukannya dengan rok selutut berwarna senada. Sherry memutuskan untuk membiarkan rambutnya tergerai.

           

"Tunggu sebentar!" seru Sherry saat ia menuruni tangga dan langsung menuju ke pintu depan. Ia membuka kunci pintu dan tersenyum pada Ash yang berdiri di luar. "Maaf membuatmu menunggu," kata Sherry.

           

Ash yang tedinya memunggungi pintu perlahan berbalik ke arah Sherry. Napas Sherry tersangkut di tenggorokannya saat melihat penampilan Ash malam itu. Malam ini pria itu sangat tampan. Ia memakai sweater kasmir berwarna gading dengan leher V yang mebalut tubuh bidangnya dengan sangat pas. Anting emas kecil berkilau di telinganya, membuatnya trlihat seperti bajak laut. Rambutnya yang biasanya dibiarkan acak-acakan namun modis, kini disisir ke belakang dengan gaya elegan. Dan ada sebuket mawar merah besar di tangan kanannya, serta sebotol sampanye di tangan kirinya. Dan sekarang Ash tengah tersenyum padanya. Senyum yang mematikan.

           

Sherry harus mengerjap untuk mengembalikan kesadarannya. "Ah, silahkan masuk," katanya dan menyingkir dari pintu.

           

Ash masuk ke dalam rumah Sherry seraya mengamati dekorasi sekitarnya. Kemudian setelah Sherry menutup pintu, Ash tersenyum pada wanita itu dan menyerahkan sebuket bunga mawar yang ada di tangannya.

           

"Terima kasih. Seharusnya kau tidak perlu seformal ini. Ini kan hanya makan malam biasa," kata Sherry malu.

           

Ash tetap memberikan senyum iblis pemikatnya. "Bunga dan sampanye adalah pelengkap makan malam yang ideal," kata Ash sambil mengangkat botol di tangannya.

           

Sherry berjalan ke arah dapur, yang sekaligus dijadikannya sebagai ruang makan. Meja makan berbentuk persegi panjang yang tidak terlalu besar dijadikannya sebagai meja makan, dan di atasnya sudah tertata hidangan makan malam yang dimasaknya tadi. semuanya masih hangat karena Sherry sempat meletakkan makanan utamanya di atas kompor.

           

"Mungkin masakannya tidak enak, tapi coba berpura-puralah kalau rasanya enak," kata Sherry bergurau. "Ini pertama kalinya aku masak untuk orang lain selain keluargaku saat mereka masih ada, dan aku tidak yakin rasanya akan sama enaknya," lanjut Sherry seraya menaruh bunga pemberian Ash di atas meja pastry. Ia lalu berbalik dan meringis pada Ash.

           

Ash menghampiri Sherry dan meraih tangan wanita itu, lalu membaliknya, dan mendaratkan sebuah kecupan di pergelangan tangannya. Matanya tak lepas dari Sherry saat melakukannya. "Aku yakin masakanmu rasanya sangat enak," kata Ash.

           

Sherry harus menahan diri agar tidak memejamkan matanya. Ya Tuhan, Ash membuat pikirannya tidak dapat bekerja dengan baik. Sherry tau kalau pria itu tampan, tapi mengapa malam ini ia harus terlihat amat sangat tampan hingga Sherry harus menahan air liurnya? Jika Cindy ada di sini, maka wanita itu pasti akan menyebut Ash sebagai tangkapan yang luar biasa.

           

"Entahlah..." sahut Sherry. Ia berdeham dan mengalihkan topik. "Bagaimana kalau kita mulai makan malamnya?"

           

"Dengan senang hati," sahut Ash dan menuntun Sherry menuju meja makan. Ia menarikkan kursi untuk wanita itu sebelum duduk di kursinya sendiri.

           

"Oh ya, pembuka botol, aku lupa," kata Sherry dan kembali berdiri. Buru-buru ia menuju dapur untuk mencari pembuka sumbat botol. Dan setelah menemukannya, ia kembali ke meja. Sayangnya, Ash sudah berhasil membuka sumbat itu tanpa menggunakan alat, dan kedua gelas mereka telah terisi sampanye. Sherry menghampiri dengan tak percaya.

           

"Bagaimana kau melakukannya?" tanya Sherry takjub.

           

"Sedikit sulap untuk malam yang istimewa," kata Ash seraya memberikan senyum miring pada Sherry.

           

"Kau bisa sulap?" tanya Sherry tak percaya sambil duduk kembali di kursinya.

           

Ash hanya tersenyum. "Hanya beberapa trik," katanya.

           

Sherry tampak kagum. "Coba tunjukkan padaku," pinta Sherry.

           

"Sebuah trik sebaiknya tidak dipamerkan, atau akan ketahuan. Lagipula tidak ada botol yang harus kubuka kan," kata Ash.

           

Sherry tampak kecewa. "Benar juga... aku tidak menyimpan minuman keras apapun di rumahku."

           

Mereka memulai makan malam dengan berbagai obrolan ringan. Sherry sangat menikmati makan malam itu. Ash bersikap sangat manis padanya, dan godaan-godaannya membuat Sherry merona berkali-kali malam itu. Sesudahnya, Ash membantu Sherry mencuci piring di dapur. Pria itu seolah memenuhidapur Sherry yang kecil dengan tubuhnya yang tinggi dan kekar. Dan aromanya, perpaduan aroma maskulin yang begitu menggelitik indra penciuman Sherry.

           

"Di mana keluargamu?" tanya Ash saat membantu Sherry memasukkan piring-piring kotor ke dalam mesin pencuci piring.

           

"Mereka sudah lama meninggal," kata Sherry sambil memasukkan bunga yang diberikan Ash ke dalam vas besar yang bisa ditemukannya, lalu menatanya dan meletakkannya di atas meja di ruang tamu. "Sekarang hanya tinggal aku sebatang kara. Meski begitu, aku baik-baik saja," lanjutnya.

           

Ash berdiri bersandar pada lemari es dan menyerap informasi itu. Ia memang mencaritau semua hal mengenai Sherry, dan ia juga sudah tau bahwa kedua orangtua wanita itu telan tiada. Tetapi ia tidak tau bahwa wanita itu tidak memiliki sanak saudara yang lainnya.

           

Sherry kembali ke dapur untuk mengeluarkan dua potong cake strawberry dari dalam lemari es. Ia melempar senyum ke arah Ash. "Rasa strawberry," katanya sambil menyodorkan sepiring pada Ash. Ia lalu mengajak Ash untuk duduk di ruang tamu.

           

"Sempurna," sahut Ash sambil mengikuti Sherry.

           

Mereka berdua duduk di satu sofa panjang dan Sherry menyalakan televise. "Kuharap kau tidak akan sakit perut gara-gara masakanku," kata Sherry sambil memakan kuenya sesendok.

           

"Rasanya sempurna, khususnya hidangan pencuci mulut ini," sahut Ash.

           

Sherry tertawa. "Kau sesuka itu pada strawberry?" tanya Sherry tak percaya.

           

"Nomor dua yang paling kupuja di dunia ini," kata Ash sambil melemparkan senyum misterius pada Sherry.

           

"Nomor dua... lalu apa nomor satunya?" tanya Sherry sambil menelengkan kepalanya. "Kukira kau akan langsung melayang ke surga kalau diberi strawberry."

           

"Aku takkan pernah sampai di surga. Aku ini penuh dosa, ingat?" sahut Ash. Kemudian ia mencondongkan tubuhnya ke arah Sherry hingga wajah mereka sangat dekat. "Dan tentang pertanyaanmu tadi..."

           

Ash menggantung pertanyaannya hingga Sherry harus menahan napas dan duduk tak bergerak di sebelah pria itu. Dan sisa napas itu pun harus terenggut saat Ash mengecup sudut bibirnya.

           

"Masih bisa dibicarakan," kata Ash dengan suara rendah.

           

"A... Ash, kurasa..." Sherry tergeragap.

           

"Hem?" sahut Ash. Ia sudah melupakan kue strawberry yang baru dimakannya separuh dan meletakkannya di atas meja. Ia juga memindahkan kue di tangan Sherry agar tidak mengotori pakaian wanitai itu.

           

"Ku... kurasa kita harus bicara serius..." sahut Sherry dengan susah payah. "Tentang... tentang hubungan ini aku..."

           

Ash memainkan untaian rambut Sherry, melilitkannya pada jarinya. "Kenapa dengan itu?"

           

Sherry beringsut mundur untuk menciptakan sedikit jarak dengan Ash. "Aku harus bertanya serius padamu," kata Sherry.

           

Ash mencium rambut Sherry. "Tanya saja. Jika bisa, akan kujawab," kata Ash.

           

Pikiran Sherry terpecah belah karena kedekatan Ash dengannya. Sherry harus benar-benar mengendalikan reaksinya terhadap sentuhan-sentuhan Ash, atau ia akan berakhir di ranjang bersama pria itu pada penghujung malam ini. Dengan susah payah, Sherry meletakkan tangannya di dada Ash dan mendorong dengan tegas.

           

"Kenapa kau mendekatiku?" tanya Sherry dengan napas tak teratur.

           

Untuk beberapa detik Ash tidak menjawab, ia hanya menatap Sherry dan mencari-cari di mata wanita itu. "Karena aku tertarik padamu," kata Ash.

           

"Kenapa aku? Aku tidak bukanlah wanita cantik. Ada banyak wanita cantik di bar saat itu, tapi kau justru memilihku. Aku tidak mengerti kenapa," kata Sherry. Dan ia serius dengan hal itu. Meskipun ia tak berniat menanyakannya sekarang, tapi sikap Ash yang begitu terang-terangan membuatnya terpaksa harus bertanya.

           

"Apakah itu penting? Aku memilihmu karena saat melihatmu, aku tau kaulah yang aku inginkan," kata Ash.

           

Sherry menggeleng. Ia masih belum bisa mengikuti jalan pikiran Ash. "Aku tak mengerti..."

           

Ash meraih dagu Sherry dan mendongakkan wajahnya. "Aku menginginkanmu sejak pertama kali melihatmu. Dan sudah kuputuskan aku akan menjadikanmu milikku," kata Ash.

           

Ash tidak berbohong. Ia memang menginginkan Sherry sejak pertama melihatnya, dan ia harus menjadikan Sherry miliknya jika ingin bebas sepenuhnya. Ash membelai pipi Sherry dengan punggung tangannya, berniat mengacaukan pikiran wanita itu agar ia melupakan topik ini.

           

"Aku tidak akan cocok," sahut Sherry dengan suara bergetar. "Aku..."

           

"Kau sempurna," bisik Ash dan mencium Sherry dengan lembut. Ia menggoda Sherry dengan kecupan-kecupan ringan. Ia membuai Sherry dengan ciuman-ciuman manis yang memabukkan hingga wanita itu kehilangan akal sehatnya. Dan saat merasakan penyerahan diri Sherry, yang ditunjukkan Sherry dengan melingkarkan kedua lengannya di leher Ash, dan Ash menyambutnya dengan sukacita.

           

Ash berpesta. Ia meneguk semua kemanisan Sherry, mengecap, menggoda, dan memancing reaksi wanita itu agar meresponnya. Selama beberapa selanjutnya Ash berhasil mengalihkan perhatian Sherry. Erangan lirih sesekali terdengar dari kerongkongan Sherry. Tangan Ash membelai pipi Sherry, kemudian perlahan turun ke tenggorokannya. Bertahan sesaat di denyut nadi yang berdetak kuat di leher Sherry. Tangannya membelai, membentuk lingkaran-lingkaran kecil di atas permukaan kulit Sherry yang sehalus satin. Lalu, dengan sangat ringan ia menyusuri bahu Sherry, menuruni lengannya dengan sangat lembut, ke pinggangnya, dan dengan ringan menyentuh tulang rusuknya.

           

Instingnya yang sudah terasah tajam lebih dulu bereaksi ketika Ash merasakan kehadiran iblis lain di sekitar sana. Ia menarik dirinya dari ciuman itu dengan tiba-tiba dan menajamkan indra-indranya.

           

"Ada... apa?" tanya Sherry dengan wajah linglung.

           

Ash masih mendekap Sherry, tangannya mengelus punggung Sherry dengan perlahan. "Tidak, aku hanya mendengar suara," sahut Ash.

           

Sherry menegerjapkan matanya, berusaha keluar dari kabut yang masih memerangkapnya. "Suara apa? Aku tidak mendengar suara apapun," sahut Sherry sambil menjauhkan dirinya.

           

Ash menahannya agar tetap bersandar di dadanya. "Aku baru ingat ada hadiah lain yang kusiapkan untukmu. Biar kuambilkan dulu di mobil, bagaimana?" kata Ash.

           

Sherry yang masih linglung hanya dapat mengangguk dengan kening berkerut. Dia duduk tercenung selama sesaat sebelum berdiri. Sambil mengamati pintu yang tertutup di belakang Ash, Sherry menjilat bibirnya. Baru ia tersadar kalau dirinya telah dialihkan dari tujuan utamanya. Ash berhasil membuatnya tak jadi bertanya lebih lanjut pada pria itu.

           

Sherry mendesah. Ia berjalan ke dapur untuk mengambil botol sampanye dan dua gelas yang tadi mereka gunakan. Ia tidak bisa begini terus. Ash memiliki kekuatan untuk memengaruhinya, dan Sherry baru menyadarinya sekarang. Ia menyesap sampanye-nya sambil memikirkan hal itu. Suara apapun yang didengar Ash tadi, Sherry berterima kasih karena suara itu telah menolongnya dari menjerumuskan diri terlalu jauh dalam rayuan Ash Devane.

           

Di luar, Ash melangkah menuju mobilnya, ia melirik ke belakang melalui bahunya sebelum menciptakan sihir ilusi di sekitar rumah Sherry. Sihir itu akan membuat siapapun yang berada di dalam rumah takkan melihat apapun yang terjadi di luar rumah. Dan sebaliknya, iblis mana pun yang ada di luar, mereka takkan bisa merasakan keberadaan orang di dalam rumah.

           

Ash berjalan menuju mobilnya, berhenti satu meter jauhnya dari mobil dan berputar. "Keluar sebelum kalian kulenyapkan tanpa ampun," perintah Ash dengan suara dingin.

           

Sejenak tak ada gerakan apapun di sekitarnya. Lalu, seolah muncul dari udara hampa, beberapa sosok kecil muncul. Jumlah mereka ada cukup banyak, sekitar satu lusin, dengan tubuh mirip peri rumah dan tubuh berwarna hitam pekat, ekor tajam melengkapi penampilan mereka.

           

"Apa tujuan kalian?" tanya Ash.

           

"Pangeran..." kata salah iblis itu. Sepertinya dialah yang pimpinan mereka. "Kami merasa sangat terhormat karena bisa bertemu dengan Yang Mulia," lanjutnya.

           

"Jangan berbasa-basi denganku. Siapa yang memerintahkan kalian ke sini? Para Slavers tidak berkeliaran di kawasan pemukiman manusia tanpa alasan," kata Ash.

           

Pimpinan Slavers itu membungkuk, dan secara otomatis anak buahnya yang lain pun melakukan hal yang sama. "Kami datang karena mendengar kabar dan ingin memberikan sumpah kami kepada Pangeran," kata pimpinan Slavers itu.

           

Ash berdiri sambil mengamati para Slavers itu dengan mata memicing. Ia sengaja menunjukkan sebagian kekuatannya agar iblis-iblis rendah itu mengetahui siapa yang berkuasa di sini. "Siapa namamu?"

           

"Nama hamba Forck, Yang Mulia," sahut pemimpin Slavers itu.

           

"Forck. Apakah kau mendengar kabar tentang seorang iblis wanita yang mengincar gadis-gadis muda belakangan ini? Aku akan menerima sumpah kalian jika kalian bisa memberiku informasi apapun yang kalian dengar," kata Ash. "Berdiri."

           

"Sejujurnya aku sempat mendengar selentingan kabar itu, Yang Mulia," kata Forck. "Ada iblis wanita yang bersekongkol dengan Penghianat di Keluarga Gremorie. Berita tentang adanya penghianatan ini juga sudah tersebar luas, meskipun belum ada bukti yang menunjukkannya. Dan konon iblis wanita yang disebut-sebut ini adalah salah satu sekutunya," lanjut Forck.

           

"Siapa nama iblis wanita ini?"

           

"Maafkan hamba, tapi hamba tidak tau, Yang Mulia," kata Forck.

           

Ash memikirkannya. Dari balik bahunya ia menatap rumah Sherry dan melihat bayangan Sherry bergerak di dalam rumah. Wanita itu mungkin gelisah karena ia tidak juga kembali. Akhirnya ia kembali menatap Forck. Tatapannya dingin dan menyiratkan apa yang bisa terjadi jika sampai para Slavers itu menghianatinya.

           

"Terus buka telinga kalian lebar-lebar dan sampaikan informasi apapun ke rumah sebelah. Dan satu hal yang perlu kalian ketahui, aku tidak ingin ada iblis lain yang tau di mana aku berada. Rumah ini, dan juga wanita yang ada di dalamnya, adalah milikku. Sedikit saja ada yang mengusiknya..." Ash tidak perlu menyelesaikan ucapannya. Para Slavers itu sudah mendapatkan pesannya dengan sangat jelas. Mereka mengangguk patuh.

           

"Kami akan menjaganya untuk Anda, Yang Mulia," kata Forck sambil membungkukkan tubuhnya.

           

"Kuterima sumpah setia kalian. Mulai sekarang kalian ada di bawah perintahku, dan juga perlindunganku," kata Ash. "Pergilah!"

           

Para Slavers itu membungkuk untuk yang terakhir kalinya dan kembali meleburkan diri dalam kegelapan malam. Ash melemaskan otot di bahunya dan berjalan ke arah mobilnya. Ia tau sebelum mendengar suara pintu terbuka di belakangnya bahwa Sherry akan memanggilnya karena cemas ia tidak juga kembali.

           

"Sebentar lagi aku ke sana. Kotak ini tersangkut," sahut Ash berdusta. Ia membiarkan pintu mobil terbuka agar Sherry bisa melihatnya membungkuk ke dalam mobilnya. Sementara itu, ia menjentikkan jari dan sebuah kotak persegi muncul di kursi mobil. Ash lalu menegakkan tubuhnya dan menutup pintu mobil. Dengan langkah santai ia melangkah ke rumah dengan kotak di tangannya.

           

Ash memberikan senyumnya yang paling memukau pada Sherry yang berdiri di pintu. Wanita itu tampak cantik, tapi akan lebih cantik setelah ia memakai pakaian yang akan diberikan Ash padanya.

           

"Apa ada masalah? Aku seperti mendengar suaramu bicara dengan seseorang," tanya Sherry sambil mengamati sekelilingnya. Meskipun kawasan itu aman, tapi mungkin saja ada anak muda yang tertarik dengan mobil Ash yang mencolok dan ingin mencobanya. Atau mungkin menggoresnya.

           

"Aku sedang menelepon. Salah satu sepupuku menghubungiku untuk bertanya apakah dia boleh mengungsi ke rumahku," kata Ash sambil menggiring Sherry masuk dan menutup pintu dengan tegas di belakangnya.

           

"Kau punya sepupu yang mengungsi di rumahmu? Apakah dia kehilangan pekerjaannya dan tidak tau harus ke mana?" tanya Sherry.

           

Ash tertawa. "Lexi atau Aaron mungkin akan mengamuk jika mendengarnya," kata Ash. "Tidak. Lexi hanya tidak punya tujuan yang pasti, dan menghabiskan simpanan strawberry-ku adalah hobinya. Sementara Aaron, dia sedang berkeliling dunia," kata Ash dengan senyum mautnya saat mengajak Sherry duduk kembali di sofa.

           

"Lexi dan Aaron. Hanya mereka?" tanya Sherry. Lalu ia tersadar kalau pertanyaan itu terlalu pribadi. Tapi bukankah mereka sudah melewati tahap menyangkal perasaan? Sherry takkan merasa malu karena menanyakan hal itu. Ia perlu mengetahui latar belakang pria di sampingnya ini jika ingin melanjutkan hubungan ini. Dan keluarga merupakan hal pertama yang ingin diketahuinya. Apakah Ash akrab dengan kedua sepupunya? Apakah ia punya adik atau kakak? Apakah orangtuanya masih hidup? Di mana mereka tinggal? Di mana Ash tinggal? Pertanyaan-pertanyaan itu memerlukan jawaban langsung dari Ash.

           

"Saat ini hanya mereka yang bisa kupercayai," kata Ash, dan ia mengatakannya dengan tulus. Aaron dan Lexi bagaikan tangan kanan dan tangan kirinya. Mereka selalu bersamanya, bahkan tersegel bersamanya. Dan selama seribu tahun lamanya, mereka tak pernah menghianatinya. Ash bahkan akan menyerahkan nyawanya di tangan mereka. Ia lebih memercayai mereka disbanding Lucifer, sepupunya yang lain, yang merupakan anak dari adik kembar ayah Ash.

           

"Bagaimana dengan orangtuamu?" tanya Sherry.

           

"Entahlah. Sudah lama aku tidak bertemu mereka," kata Ash. "Dan, ini hadiah yang kujanjikan tadi," kata Ash sambil meletakkan kotak di atas pangkuan Sherry.

           

Dengan kata lain, obrolan pribadi cukup sampai di sini, batin Sherry seraya mengamati kotak berhias pita cantik di pangkuannya. Kotak itu terlihat elegan, mewah, dan indah. Sherry tidak tau apa yang ada di baliknya, dan ia takut untuk mencari tau. Ash jelas lebih dari sekedar kaya raya jika ia mengendarai Jaguar, Ferrari, terkadang Porsche, atau Lambhorgini. Dan Sherry bertanya-tanya kembali apa yang membuat pria sesempurna Ash tertarik padanya. Pergantian suasana? Bosan dengan wanita bergaya dan angkuh yang memakai lebih banyak perhiasan daripada menggunakan otaknya untuk berpikir?

           

"Coba bukalah. Aku yakin kau akan menyukainya," kata Ash dengan suara rendahnya.

           

"Aku takut dengan apa yang mungkin ada di balik kotak ini," aku Sherry. Ia menatap Ash. "Aku tidak bisa menerimanya, Ash," kata Sherry.

           

"Kau menolak bahkan sebelum melihat isinya?" tanya Ash tersenyum. Ia menggantikan Sherry untuk menarik pita pengikat kotak itu dan membukanya. Menampilkan sebuah gaun terusan berwarna merah yang terbuat dari kain sutra kelas atas, berpotongan elegan, dan indah.

           

Sherry terkesiap ketika melihat gaun itu. Tangannya gemetar saat menyentuh permukaan gaun itu, halus dan dingin di tangannya. Buru-buru ia menarik tangannya, takut akan merusak pakaian itu. Ia menatap Ash dan menggeleng keras.

           

"Aku jelas tak bisa menerimanya, Ash. Gaun ini... gaun ini terlalu indah untukku. Aku takkan pantas mengenakannya!" kata Sherry. Ia menyingkirkan kotak di pangkuannya dengan hati-hati dan berdiri. Ia mulai mondar-mandir di hadapan Ash. "Ini terlalu berlebihan untukku."

           

Ash berdiri, meraih gaun di dalam kotak, dan menghentikan Sherry yang terus saja bergerak gelisah. Ketika wanita itu sudah berdiri diam, Ash menghamparkan gaun merah itu di depan tubuh Sherry. Kain sutra yang dingin itu seolah meluncur di depan tubuhnya, mencapai ke pergelangan kaki Sherry, dan tampak sangat indah. Lebih indah dari saat gaun merah itu berada di dalam kotak.

           

"Lihat? Kau cocok memakainya," kata Ash berbisik di telinga Sherry dari belakangnya. "Aku memilihnya sendiri untukmu. Dan seleraku soal busana tidak pernah salah. Gaun ini akan membalut tubuhmu dengan pas, dan menonjolkan kecantikanmu yang klasik."

           

Sherry menatap gaun di depan tubuhnya itu, dan menyadari dengan terkejut kalau Ash benar. Gaun itu akan pas berada di tubuhnya. Gaun merah itu entah bagaimana seperti dibuat khusus untuknya. Bahkan gaun itu sesuai dengan ukuran pakaiannya. Kulitnya yang putih akan tampak mencolok dalam balutan warna merah itu.

           

"Dan untuk melengkapinya..." kata Ash sambil mengarahkan tubuh Sherry ke arah sofa, tempat kotak gaun itu masih tergeletak. "Aku sudah menyiapkan pelengkapnya."

           

Mata Sherry yang sejak tadi terpaku pada gaun di tangannya, kini beralih ke sofa. Dan untuk kedua kalinya ia terkesiap dengan keras. Sebuah stiletto merah, dan juga perhiasan yang serasi dengan gaunnya, berada di dasar kotak. Sherry terhuyung ke belakang, menabrak dada Ash. "Ya Tuhan..." desahnya tak percaya.

           

"Aku mengharapkanmu untuk memakainya besok malam," bisik Ash sementara tangannya memeluk pinggang Sherry dan membalikkan tubuh wanita itu dalam dekapannya. Dengan lembut diambilnya gaun merah itu dari jemari Grace yang lemas, dan melemparkannya ke sofa, kembali bergabung bersama sepatu dan perhiasan. "Aku ingin melihatmu memakainya untukku," bisik Ash seraya menangkup pipi Sherry.

           

Ya Tuhan! Pikir Sherry. Bagaimana caranya menolak rayuan pria ini? Ash Devane tau harus menyerang ke mana, ia menguasai seni meruntuhkan pertahanan wanita dengan menyerang titik yang tepat, mengetahui dengan pasti kriteria wanita yang didekatinya, dan memasang perangkap yang manis. Hingga wanita itu takkan sadar bahwa dirinya sudah masuk ke dalam perangkap.

           

"A... aku benar-benar tidak bisa menerimanya, Ash. Kita... kau dan aku... belum mengenal terlalu baik untuk ini! Aku tidak bisa membiarkanmu memberiku hadiah semahal ini! Aku bukan wanita murahan yang... yang akan tunduk pada uang," kata Sherry susah payah. Ia menahan bahu Ash dengan kedua tangannya, merentangkan jarak sejauh yang ia bisa karena berada begitu dekat dengan Ash sudah mengacaukan kerja otaknya.

           

"Aku tidak menganggapmu wanita murahan," sahut Ash sambil mengernyitkan alisnya. "Justru karena aku memandangmu sebagai seorang Lady terhormat, maka aku memberikan hadiah yang pantas kau dapatkan sebagai seorang Lady," kata Ash.

           

Sherry menggelengkan kepalanya dengan keras kepala. "Aku hanya pelayan bar yang kebetulan menarik minatmu! Ini berjalan terlalu cepat! Kumohon, beri aku ruang untuk bernapas, Ash," kata Sherry.

           

Ash menghela napas dan mengendurkan pelukannya. Dan begitu ia memberikan isyarat menyerah, Sherry langsung mundur dan menciptakan jarak dengannya. Ash harus mengertakan rahang dan menjaga agar wajahnya tetap sesantai sebelumnya. Ia tidak ingin Sherry ketakutan melihat amarahnya. Wanita itu sudah cukup takut dengan perkembangan yang terjadi selama seminggu ini, dan Ash tidak ingin menambahkan ketakutan ke dalam daftar yang sudah dimiliki wanita ini.

           

Sherry menatap Ash, ia tau ucapannya sudah melukai harga diri Ash, akan tetapi ia terlalu terkejut dengan hadiah yang Ash berikan padanya. Hadiah-hadiah itu terlalu mahal untuknya. Ia tidak ingin terlihat seperti wanita murahan pengincar harta di mata orang lain jika ia menerima begitu saja semua hadiah ini. Ia sudah hidup mandiri sejak masa remajanya. Ia tidak terbiasa bergantung pada orang lain dan tidak suka melakukannya. Begitu juga dengan memilih pria yang akan dikencaninya.

           

Uang, di atas segalanya, dapat mengaburkan kenyataan apapun. Jika pada awal hubungan Ash sudah memberinya hadiah semewah ini, bagaimana nanti? Apakah Ash akan memberinya hadiah pulau pribadi? Rumah mewah? Liburan keliling dunia? Akan tetapi sampai kapan hal itu akan berlangsung? Sampai Ash merasa bosan padanya.

           

Tindakannya sudah benar dengan menolak hadiah pemberian Ash, akan tetapi ia mungkin menggunakan cara yang salah. Tidak seharusnya ia tampak panik dan ketakutan. Ini seolah ia menganggap Ash ingin membelinya dengan hadiah-hadiah tersebut. Ataukah memang begitu?

           

Sherry memejamkan matanya dan memeluk pinggangnya dengan kuat. Ia baru mengenal Ash selama beberapa minggu, dan itupun hanya sebatas mengenal luarnya saja. Ia tidak tau apakah Ash punya tunangan yang sudah dijodohkan dengannya yang menunggunya di rumah. Ia juga tidak tau di mana pria itu tinggal, dengan siapa, dan bagaimana pribadi asli pria itu. Selama ini Ash selalu tampil memesona. Ia selalu tampak sempurna dalam balutan pakaian rancangan desainer terkenal yang dijahit khusus untuknya.

           

"Ini terlalu... asing buatku..." bisik Sherry. "Aku... aku tidak bisa mengikuti alur yang kau inginkan. Aku bukanlah wanita bodoh yang mengincar harta, Ash. Aku tidak bisa menerima hadiah-hadiah ini," lanjutnya.

           

"Kalau begitu simpan saja. Kau bisa menyimpannya sampai kau benar-benar yakin padaku," kata Ash, meskipun dalam hati ia mengumpat karena lagi-lagi mengalami kemunduran dalam pengejarannya. "Tapi jangan kembalikan padaku. Aku sudah memberikannya padamu. Jika kau kembalikan, itu sama dengan kau sudah menamparku dengan keras, Sherry," lanjut Ash lembut.

           

"Tapi..." Sherry menatap Ash putus asa, lalu menatap gaun dan pelengkapnya itu. "Aku takut akan merusaknya..."

           

Ash melangkah mendekati Sherry dengan perlahan, mengukur bagaimana reaksi wanita itu jika ia mendekat. Akan tetapi Sherry sudah terpaku pada hadiah yang diberikannya sehingga ia tidak terlalu memperhatikan jarak yang sudah diseberangi Ash. Ash meraih satu tangan Sherry dan dengan lembut melepaskannya dari pinggang Sherry. Kemudian diangkatnya tangan itu ke bibirnya, dan dikecupnya satu persatu jemari lentik itu, sebelum berakhir di pergelangan tangannya. Di mana denyut nadi Sherry berdetak tidak karuan.

           

"Percayalah, aku tidak akan memaksamu melakukan apapun yang tidak ingin kau lakukan," kata Ash dengan tatapan terpaut di mata Sherry. "Dan yakinlah, seribu penolakan pun takkan sanggup melenyapkan ketertarikanku padamu. Kau dan aku ditakdirkan untuk bersama. Tidakkan kau

 

merasa begitu?"

           

Yang terasa menakutkan dari semuanya adalah Sherry merasa seperti yang dikatakan oleh Ash. Ia merasa semuanya pas. Cocok. Ia dan Ash. Seolah-olah Dewi Takdir memang menakdirkan mereka untuk satu sama lainnya. Dan itulah yang membuat Sherry merasa takut. Ia belum pernah merasa begitu tergetar ketika berada di dekat pria manapun seperti saat ia berada bersama Ash. Bahkan tidak dengan cinta pertamanya. Akan tetapi reaksinya terhada Ash, kewaspadaan yang selalu muncul dengan sendirinya, nyaris seperti insting seekor binatang yang menemukan pasangannya.

           

Sherry gemetar. Ia tidak bisa menahannya. Sebelumnya ia merencanakan agar malam ini berjalan santai. Ia dan Ash dapat mengenal lebih jauh dari obrolan setelah makan malam. Akan tetapi pria ini mengacaukannya dengan menjalankan jadwalnya sendiri dan merayu Sherry dengan terang-terangan. Bagaimana Sherry harus bereaksi terhadapnya?

           

"Aku tidak tau..." bisik Sherry. "Please... bisakah kau beri aku ruang untuk berpikir? Aku... aku sungguh perlu memikirkan segalanya," kata Sherry.

           

Ash mengamati Sherry selama sejenak. Menikmati rasa Sherry di pelukannya selama semenit lagi sebelum ia mundur dan menyerah. Untuk malam ini. "Baiklah. Aku akan membawa pulang hadiah-hadiah itu," kata Ash dan ia dapat merasakan betapa leganya Sherry akan hal itu. Ash menahan senyumnya. "Akan tetapi hadiah itu tetap milikmu. Aku hanya menyimpankannya untukmu sampai kau siap mengenakannya."

           

Sherry menelan ludah dengan susah payah. "Terima kasih. Maaf karena aku mengacaukan malam ini," sahut Sherry.

           

Ash mendaratkan kecupan ringan di pergelangan tangan Sherry. "Tidak. Malam ini luar biasa. Makanan enak. Wanita cantik. Sempurna."

           

"Aku harus berhati-hati terhadap rayuanmu yang mematikan Mr. Devane," kata Sherry mencoba bergurau.

           

Seulas senyum muncul di bibir Ash saat ia menangkup tengkuk Sherry dan menarik wanita itu mendekat. "Rayuanku akan menjadi candu suatu hari nanti," bisiknya sebelumnya mencium Sherry.

           

Ciuman itu lembut, tidak memaksa, dan terlalu singkat untuk memuaskan rasa lapar Ash. Akan tetapi untuk saat ini ia harus puas hanya dengan hal ini. Calon pengantinnya terlalu gugup dan belum bisa memercayainya sepenuhnya. Ash akan memberi Sherry waktu, seperti yang diminta oleh wanita itu. Tapi hanya beberapa hari. Setelahnya, Ash akan kembali merayunya, dan menarik wanita itu semakin dekat pada takdirnya.

           

Ash menarik diri dari ciuman itu dan menatap wajah Sherry. Mata wanita itu memejam dan tubuhnya bersandar pasrah padanya. Ash menyukai fakta itu. Meski Sherry terlalu keras kepala untuk mengakuinya, tapi tubuh wanita itu tak bisa berbohong. Sherry menginginkannya, sama seperti ia menginginkan Sherry. Akan tetapi itu belum cukup untuk membuat Sherry bersedia menjadi miliknya dengan sukarela.

           

"Terima kasih untuk makan malamnya," kata Ash. "Kuharap minggu depan kau bersedia makan malam denganku," tambahnya.

           

Sherry membuka mata dan menjilat bibir dengan ujung lidahnya. Tidakkah wanita itu tau betapa besarnya pengaruh kebiasaan kecil itu terhadap pengendalian diri Ash yang sudah setegang kawat tipis?

           

"Aku... baiklah..." Sherry menghela napas. "Akan tetapi kuharap kau bersedia memberiku waktu untuk membiasakan diri. Aku... sudah lama tidak berkencan," aku Sherry.

           

"Tidak masalah, Sayang. Gunakan waktu sebanyak yang kau mau," kata Ash dan tidak bisa menahan diri untuk mencuri satu ciuman lagi. "Kurasa aku harus pergi sebelum akal sehatku lenyap seluruhnya," kata Ash ketika menarik diri dan meninggalkan Sherry kehabisan napas.

           

Ash melepaskan Sherry dengan perlahan, kemudian mengumpulkan kembali hadiahnya. Setelahnya ia membiarkan Sherry mengantarnya ke pintu depan. Ash senang melihat penampilan Sherry yang sedikit berantakan karena ulahnya, dan menunjukkannya dalam bentuk seringai nakal yang membuat rona cantik merambat ke pipi Sherry.

           

"Sampai jumpa besok," kata Ash.

           

"Selamat malam, Ash..." sahut Sherry.

           

Lalu Ash berjalan menuruni teras depan dan menuju mobilnya. Pria itu membaur dalam kegelapan malam, seolah kegelapan adalah temannya. Ash masuk ke mobilnya, menyalakan mesin, lalu melambaikan tangannya.

           

Sherry balas melambai dan menyaksikan mobil pria itu melaju pergi secepat angin. Sherry kembali ke dalam rumah, menutup pintu dan merosot jatuh ke lantai. Kakinya terasa lemas, dan tulang-tulangnya meleleh seperti jelly. Bagaimana ia bisa menolak pria seperti Ash? Dan bagaimana mungkin Ash membiarkannya? Sherry menarik napas dalam-dalam, kemudian menghembuskannya dengan kuat.

           

"Kau bermain api, Sherry," bisik Sherry pada dirinya sendiri. Tapi anehnya ia merasakan getaran antisipasi menjalari tulang punggungnya.

***

           

Beberapa malam setelahnya, Sherry bekerja lebih lama daripada jam kerjanya yang biasa karena ada temannya yang tidak bisa datang karena memiliki janji kencan. Sherry dengan senang hati menawarkan diri untuk menggantikannya. Ia butuh kesibukan untuk mengalihkan pikirannya dari Ash dan rayuannya yang menggelisahkan. Dan bekerja adalah pilihan teraman yang dimilikinya. Terlebih lagi, ia bisa memanfaatkan uang lebih yang akan didapatkannya minggu itu untuk membeli beberapa benda yang sudah lama ingin dibelinya. Ia bisa menyewa mobil dan berkendara ke kota untuk melihat-lihat.

           

Menjelang pukul satu dini hari, Sherry keluar dari pintu belakang bar. Malam ini Ash tidak datang, pria itu mengatakan ada urusan bisnis yang harus diselesaikannya, dan Sherry bersyukur atas jeda itu. Ia takkan bisa memikirkan semua yang terjadi antara dirinya dan Ash jika pria itu terus saja berada di dekatnya.

           

Ketika berjalan memutar ke depan bar, Sherry terkejut saat melihat sebuah Lambhorgini perak terparkir di depan bar. Kening Sherry mengernyit, tidak mungkin Ash datang ke sini karena baru beberapa jam yang lalu pria itu meneleponnya dan menanyakan bagaimana pekerjaannya malam itu, dan Ash juga mengatakan kalau ia berada di tempat yang jauhnya 300 km jauhnya dari tempat Sherry berada. Lalu, siapa gerangan yang ada di dalam mobil itu?

           

Secara mengejutkan, pintu pengemudi Lambhorgini itu terbuka dan seorang pria keluar dari dalam mobil. Pria itu sangat tampan, berambut pirang dan memiliki tubuh sesempurna Dewa Yunani, serta senyum secerah matahari. Dan pria itu menuju ke arah Sherry.

           

"Hai, aku yakin kau adalah Miss Roxane?" kata pria itu.

           

"Euhm... ya, itu aku," sahut Sherry hati-hati. Ia berpikir untuk kembali masuk ke dalam gang dan menunggu di dalam bar hingga pria ini, siapapun dia, pergi. Akan tetapi entah bagaimana Sherry tau bahwa jika pria itu mau, Sherry bahkan takkan sempat berkedip sebelum pria itu membekuknya. Itupun kalau pria itu memiliki niat jahat. Tapi memangnya ada penculik yang akan memilih Lambhorgini yang begitu mencolok dalam aksinya?

           

"Kenalkan, namaku Alexion, aku sepupu Ash," kata pria itu sambil mengulurkan tangannya.

           

Dengan ragu Sherry mengulurkan tangannya, bermaksud menjabat tangan Alexion, akan tetapi ia terkejut saat Alexion mengangkat tangannya ke bibir dan mencium punggung tangannya dengan sangat sopan. Tidak diragukan lagi, pria itu memang sepupu Ash. Kebiasaan sulit dirubah, dan tampaknya itu turun temurun dalam keluarga mereka.

           

"Senang sekali akhirnya bisa bertemu denganmu," kata Lexi sambil melepaskan tangan Sherry.

           

"Ya, aku pernah mendengar Ash bercerita tentangmu," kata Sherry. "Tapi apa yang kau lakukan di sini, Alexion?"

           

"Panggil saja aku Lexi. Nama Alexion terlalu berat untukku," sahut Lexi ceria. "Dan untuk menjawab pertanyaanmu, aku di sini untuk menggantikan Ash. Karena Aaron belum kembali dari liburannya, jadi aku yang menggantikan Ash. Oh, kau tidak keberatan kan?"

           

Sherry melirik ke belakang bahu Lexi yang bidang, kemudian dengan enggan menggeleng. "Tidak... hanya saja kupikir ini tidak perlu. Aku bisa pulang sendiri, lagipula rumahku hanya setengah jam berjalan kaki dari sini," kata Sherry.

           

"Astaga, Ash akan memanggangku hidup-hidup kalau sampai membiarkan kekasihnya pulang berjalan kaki, di tengah malam, di jalanan kota yang berbahaya," kata Lexi sambil menunjukkan raut ngeri.

           

Sherry pikir reaksi Lexi bertentangan dengan seringai yang ditunjukkan pria itu. Hanya saja Sherry mendapat kesan kalau separuh kata-kata Lexi adalah fakta yang dinyatakan secara halus. Tapi sungguh, Ash terlalu protektif. Dan lagi, benarkah Ash menganggapnya sebagai kekasih? Sherry meragukannya. Mereka menjalin hubungan, ya. Tapi jika disebut kekasih... Ash tidak pernah sekalipun menyatakan cinta atau sejenisnya. Dan Sherry juga hanya mengikuti arus saja. Yang Sherry yakini adalah, ia dan Ash memang mulai menjalin hubungan.

           

"Tidak akan seburuk itu," kata Sherry.

           

"Oh, yakinlah, jika itu Ash, dia pasti akan melakukannya dengan sempurna," kata Lexi sambil mengangguk serius. Akan tetapi ia merusak semuanya dengan melemparkan sebuah kedipan nakal untuk Sherry sehingga mau tak mau Sherry pun tertawa. "Ayo, saatnya kita pulang."

           

Lexi menawarkan lengannya dan menuntun Sherry ke mobil. Sherry terus mengatakan kalau itu terlalu berlebihan, tapi Lexi punya cara yang menawan untuk mengabaikan protesan Sherry dan mengalihkan ke pembicaraan yang membuat Sherry tersenyum, bahkan tertawa. Berbeda dengan Ash yang memancarkan pesona maskulin yang membuat wanita tergiur, Lexi memiliki kemampuan untuk membuat siapapun yang berada di dekatnya merasa nyaman. Pria itu selalu tersenyum, dan pandai melontarkan lelucon-lelucon nakal yang tak hentinya membuat Sherry tersenyum.

           

"Pernah suatu kali aku begitu bosan dan menjamah lemari es khusus Ash, mengambil dua atau tiga mangkuk strawberry-nya, dan dia melemparku ke danau padahal saat itu adalah musim dingin! Bayangkan saja, hanya demi buah itu!" cerita Lexi.

           

"Dia memang mengakui bahwa strawberry adalah hal kedua yang paling dipujanya di dunia ini," kata Sherry mengiyakan.

           

"Tepat sekali! Aku senang ada yang sependapat denganku!" sahut Lexi sambil menjentikkan jarinya.

           

Lambhorgini itu berhenti dengan suara ban berdecit tepat di depan rumah Sherry. Lexi mengamati sekeliling secara sekilas, lalu turun dan memutari kap depan untuk membukakan pintu untuk Sherry. Pria itu tersenyum cerah ke arah Sherry sehingga Sherry bertanya-tanya hal apa yang mampu membuat Lexi menunjukkan kemarahannya. Dan lagi, jika ketampanan Lexi bisa dijadikan bahan rujukan, maka tak diragukan lagi kalau Aaron pun pasti tak kalah tampannya. Sangat tidak adil bagi semua pria di dunia kalau ketiga pria ini mengambil semua kelebihan yang bisa didapatkan banyak pria lainnya.

           

"Terima kasih sudah mengantarku pulang. Katakan pada Ash kalau sebenarnya ini tidak perlu," kata Sherry.

           

"Kau akan terbiasa. Ash selalu menjaga miliknya dengan baik," kata Lexi sambil menatap rumah Sherry dengan tertarik. Lalu ia menoleh ke arah Sherry hingga Sherry melupakan soal komentar Lexi mengenai Sherry yang dianggap sebagai milik Ash. "Ngomong-ngomong, bolehkah aku masuk? Ini termasuk perintah," lanjut Lexi.

           

"Eh, untuk apa?" tanya Sherry curiga.

           

"Ubtuk memeriksa keadaan tentu saja," sahut Lexi dengan nada seolah-olah apalagi yang bisa dilakukannya di rumah Sherry. "Kau tidak akan pernah tau kapan ada gelandangan yang memutuskan untuk menjadi pencuri," lanjut Lexi.

           

Sherry menghembuskan napas. Ia meletakkan satu tangannya di pinggang. "Rumahku tidak perlu diperiksa. Rumahku seaman biara, Lexi," sahut Sherry berusaha sabar.

           

"Siapa yang tau? Ayolah, undang aku masuk. Hanya sebentar, semenit juga tak apa! Aku tidak mau Ash berpikir untuk menghajarku sekembalinya dia nanti," kata Lexi membujuk.

           

"Apa kau ini budaknya? Lagipula kalian ini hidup di zaman apa sih? Ini sudah abad ke 21 dan tidak ada gelandangan yang akan memilih rumahku! Aku ini semiskin tikus gereja! Lebih memungkinkan kalau rumah sebelah yang diincar," kata Sherry sambil menunjuk rumah mewah di sebelah rumahnya.

           

Lexi hanya melirik rumah itu sekilas. "Tidak mungkin."

           

Sherry akhirnya hilang kesabarannya. "Ya Tuhan! Kalian ini sama menyebalkannya! Silahkan! Periksa saja sesukamu! Masuklah!" bentak Sherry kesal.

           

Lexi tersenyum manis, dan mempersilahkan agar Sherry mendahuluinya. Setelah Sherry membuka kunci pintu, Lexi membuka dan mendahului Sherry masuk ke dalam rumah. Sherry hanya bisa memutar bola matanya saat melihat Lexi menyalakan lampu dan mulai menyurvei seisi rumahnya. Sherry berdiri menunggu di pintu depan dengan kedua tangan terlipat di depan dada dan kaki yang tak henti-hentinya mengetuk lantai. Akhirnya Lexi muncul, tepat seperti kata pria itu, dia memeriksa rumah Sherry hanya dalam waktu semenit.

           

"Apakah sesuai standarmu?" tanya Sherry sinis.

           

Lexi tersenyum. "Semua terkendali," sahutnya.

           

Lexi tidak mengatakan kalau tadi ia sempat melihat iblis kecil berbentuk kucing berekor dua yang bersembunyi di bawah tempat tidurnya. Karena iblis itu tidak menunjukkan tanda-tanda bahaya, justru sepertinya ia sangat menjaga kamar itu, maka Lexi membiarkannya. Biar saja nanti dirinya yang menerima omelan Ash.

           

"Meski begitu, kusarankan kau mengganti kunci jendela di kamar tidurmu," kata Lexi.

           

Mata Sherry membelalak. "Kau memeriksa kamarku?!" serunya tak percaya.

           

"Aku memeriksa secara keseluruhan," kata Lexi sambil berjalan menuju pintu. Ia meraih tangan Sherry dan dengan lancer mencium punggung tangannya sebelum Sherry menyentaknya lepas. "Sampai jumpa lagi. Kuharap kali berikutnya kita bertemu kau sudah menjinakkan Ash..." kata Lexi dan berlalu.

           

Begitu Lexi naik ke mobilnya, Sherry langsung membanting pintu hingga tertutup. Baik Ash maupun Lexi sama saja. Memesona tapi pada akhirnya tetap menyebalkan. Sherry harus menarik napas berulang kali agar ia tidak berteriak frustasi.

           

"Tenanglah, Sherry, mereka hanya ingin memastikan keselamatanmu," gumamnya pada diri sendiri.

           

Sherry berjalan menaiki tangga dan menuju ke kamarnya. Ia melemparkan tasnya ke atas kursi, dengan jaketnya yang menyusul beberapa detik kemudian. Ia berjalan ke tempat tidurnya dan duduk di tepinya untuk melepaskan sepatunya. Sesuatu melesat melewati celah di antara kakinya dan membuat Sherry menjerit kaget. Lalu ia tertawa ketika melihat apa yang membuatnya begitu terkejut. Itu adalah seekor kucing hitam berekor belah yang Sherry temukan bertahun-tahun lalu. Kucing itu selalu menghilang dan pulang saat lapar sehingga Sherry tidak terlalu memerhatikan apabila ia tidak ada.

           

"Kemarilah, Kitten," kata Sherry sambil meraih kucing itu. Ia membelai belakang telinga kucing itu hingga kucing itu mendengkur. Sherry menyentuh ekor kucing itu yang terbelah dua. Awal menemukan kucing ini, Sherry berpikir bahwa pasti kucing ini lahir cacat karena ekornya terbelah menjadi dua. Dan karena kucing berekor dua akan tampak aneh bagi orang-orang, maka tidak ada yang memeliharanya. Hanya Sherry yang membawanya pulang dan membersihkan serta memberinya makanan. Sekarang sepertinya kucing itu sangat memuja Sherry.

           

"Apa kau lapar? Bagimana kalau kita lihat apa yang ada di dalam kulkas?" kata Sherry sambil berjalan menuju dapur sambil menggendong kucing itu. Sherry melupakan kelelahannya dan membuat dua buah sandwich dengan bahan-bahan yang ada, dan juga memberikan makanan pada kucingnya.

           

"Ke mana saja kau semingguan ini?" ujar Sherry pada kucing hitam yang sedang menyantap makanannya di lantai dapur. "Kukira kau takkan pulang lagi," lanjutnya.

           

Kucing itu mendongak dan hanya mengeong sebelum menjilat sisa-sisa makanannya. Setelahnya, kucing itu mendengkur dan menggosok-gosokkan badannya di kaki telanjang Sherry.

           

"Baiklah, setelah kenyang, mari kita tidur," kata Sherry.

           

Ia meletakkan piring-piring kotor, juga mangkuk si kucing, ke dalam mesin pencuci piring. Kemudian dengan kucing yang mengekor di belakangnya, Sherry naik ke kamarnya. Ia membersihkan semua riasan dari wajahnya, setelah itu mengganti pakaiannya dengan piyama.

           

"Hufh!" Sherry menghenyakkan tubuhnya ke ranjang dengan lega. Si kucing melompat ke sisinya dan meringkuk nyaman di kakinya. Sherry meliriknya dan tersenyum. Sherry mengulurkan tangannya ke arah meja di samping tempat tidurnya dan mematikan lampu. Ia menyamankan dirinya dan menarik selimut hingga ke bahunya. Dengan hembusan napas lelah, Sherry pun memejamkan mata.

***

           

Sherry terbangun oleh suara dering ponselnya. Sherry mengerjapkan matanya, sejenak ia kehilangan orientasi dan merasa bingung. Setelah beberapa saat, barulah ia ingat kalau sedang tidur di kamarnya. Sherry menoleh ke meja di samping tempat tidur dan melihat jam digital dengan angka menyala yang menunjukkan pukul 3 dini hari.

           

Siapa yang sangat tidak sopan meneleponnya pada jam sepagi ini?!

           

Dengan kesal Sherry bangun dari tempat tidur dan melemparkan selimut dengan kesal. Kucingnya mengeong karena terkena lemparan selimut. Tapi Sherry tidak memedulikannya dan tersaruk-saruk menuju kursi tempat tasnya tergeletak. Ia merogoh-rogoh tasnya untuk mencari ponsel terkutuknya yang terus bordering itu.

           

"Ya?!" sahutnya kasar.

           

Tidak ada yang menyahut dari seberang sana dan membuat Sherry mengernyit. Sejenak ia menjauhkan ponsel dari telinganya untuk memeriksa identitas si penelepon, tapi nomornya tidak terlacak. Hal itu membuat kerutan di kening Sherry semakin dalam. Kembali didekatkannya ponsel ke telinganya.

           

"Hallo, siapa ini?" tanya Sherry. "Kalau kau tidak bicara dalam lima detik, aku akan menutup teleponnya," lanjut Sherry.

           

Terdengar suara-suara gemerisik sebelum sayup-sayup terdengar suara alunan nada. Sherry mengernyit dan mencoba mendengarkan dengan lebih jelas. Lalu suara decit nada yang tajam, suara gesekan biola dengan nada tinggi, yang membuat Sherry memekik dan menjatuhkan ponselnya ke lantai karena telinganya sakit. Sherry terbungkuk sambil memegangi sebelah telinganya yang berdenging sakit.

           

Sherry merintih, sementara kucingnya mengeong keras di kakinya. Sherry mencoba menegakkan tubuhnya dan menggelengkan kepala untuk menyingkirkan suara decit itu dari kepalanya. Apa itu tadi?

           

Perlahan Sherry meraih ponselnya dan memeriksa apakah telepon itu masih terhubung atau tidak. Rupanya masih, dan ketika ia dengan was-was mendekatkan ponselnya ke telinga, ia mendengar suara tawa. Tawa wanita yang mengirimkan desiran dingin ke sekujur tubuhnya. Sherry langsung mematikan dan menonaktifkan ponselnya. Kenapa ia merasa takut dengan telepon iseng itu? Sebelumnya ia juga pernah menerima telepon iseng dan telepon salah sambung, tapi ia tidak takut sama sekali. Lalu kenapa ia ketakutan hanya karena mendengar lengkingan nada menyayat telinga dan tawa wanita itu?

           

Kedua tangan Sherry tanpa sadar mengusap-usap lengannya. Ruangan itu tiba-tiba terasa dingin dan Sherry buru-buru mengecek pemanas ruangannya. Ia menaikkan suhunya beberapa derajat dan kembali ke tempat tidur. Ia duduk di tepinya masih sambil menekan-nekan telinganya yang sakit. Sekarang Sherry tak bisa tidur lagi. Nada tajam itu masih mengisi kepalanya hingga nyaris seolah ada kotak musik yang menyetel nada tajam itu di kepalanya.

           

Meski begitu, Sherry tetap harus tidur. Ia tidak bisa terjaga sepanjang malam jika besok ia harus bekerja. Ia akan membuat secangkir susu hangat. Siapa tau dapat membantunya untuk tidur kembali. Sherry bangkit dan meninggalkan kamarnya. Ia berjalan dalam kegelapan menuju dapur. Cahaya di dapur sedikit membantu mata Sherry untuk melihat lebih jelas.

           

Setelah mengambil susu dan memasukkannya ke dalam cangkir, Sherry menghangatkannya di dalam microwave. Sambil menunggu susunya menghangat, Sherry mengecek kertas-kertas pengingat yang ditempelnya di pintu lemari es. Ada barang-barang yang harus dibeli, tagihan yang harus dibayar, dan beberapa catatan lama yang langsung dibuangnya ke dalam keranjang sampah.

           

Sherry mengeluarkan cangkir susunya dan membawa minuman hangat itu ke ruang tamu. Lampu depan menyala, dan menciptakan cahaya remang-remang menembus jendela ruang depan. Sherry duduk di sofa dan menyesap susunya perlahan. Kehangatan susu yang mengalir menuruni tenggorokannya dengan cepat menyebar dan menghangatkan tubuh Sherry. Ia mendesah sambil melingkarkan kedua tangannya di sekeliling cangkir untuk menyerah sensasi hangat dari cangkir itu.

           

Setelah secangkir susu itu habis, Sherry bersandar dan memejamkan matanya. Setelah beberapa menit, rasa kantuk mulai menyerangnya. Sherry perlahan-lahan kembali terseret ke dalam alam tidurnya. Sayangnya, belum lama ia terlelap, suara bel pintu kembali membangunkannya. Sherry terbangun sambil mengerang. Ia bahkan belum benar-benar membuka matanya saat berjalan ke pintu. Sherry membuka sambil menggerutu mengenai orang-orang tidak sopan dan menyumpahi siapapun yang mengganggunya ini akan mengalami hari yang lebih buruk dari harinya.

           

Sherry menghentak pintu hingga terbuka dan siap membentak siapapun yang mengganggu tidurnya yang tidak nyenyak. "Apa kau tidak tau sopan santun bertamu?!" bentak Sherry pada siapapun yang membunyikan bel pintu rumahnya.

           

Yang rupanya adalah Ash.

           

Sherry mengerjap-ngerjapkan matanya. Kemudian ia menyipitkan matanya sejenak, ketika mengenali Ash, hal pertama yang melintas di kepala Sherry adalah betapa tampannya pria itu di pagi hari. Meski tampaknya Ash belum bercukur pagi itu, dan rambutnya yang biasanya tertata rapi, kini malah sedikit berantakan. Lalu, Sherry teringat akan kekesalannya, dan langsung membanting pintu rumahnya.

           

Pintu itu tidak mau tertutup. Sherry berusaha mendorong pintu itu dengan bahunya, akan tetapi pintu itu bergeming. Sherry mendongak, dan melotot ke arah tangan kecoklatan yang menahan daun pintu itu. Sherry semakin kuat mendorong, akan tetapi pintu itu malah terdorong ke dalam. Akhirnya dengan jeritan menyerah, Sherry mundur dan membiarkan pintu terbuka. Ia mendelik marah pada Ash yang berdiri memenuhi ambang pintu dengan tubuh besarnya.

           

"Apa maumu?" tanya Sherry sambil bersedekap.

           

Ash masuk dan mendorong pintu hingga tertutup. Kemudian ia juga mengambil posisi yang sama dengan Sherry sambil bersandar di pintu. Ash menatap Sherry. Wanita itu tampak kacau dan sangat marah. Menurut laporan Lexi semalam, Sherry hanya merasa jengkel saat Lexi meninggalkan rumahnya setelah menggeledah tempat itu. Akan tetapi yang Ash lihat, wanita ini amat marah. Sherry masih mengenakan piyama, rambutnya yang panjang berantakan, dan tampak sangat menggiurkan. Meski begitu, Ash masih terganggu dengan laporan Lexi bahwa di rumah ini ada Cat Sith, kucing iblis yang memiliki kekuatan besar, ditambah kenyataan bahwa Sherry mematikan ponselnya.

           

Setelah menerima telepon Lexi, Ash langsung menyelesaikan perburuannya dan menghabisi beberapa zombie yang menghalanginya dan segera pulang. Ia bahkan tidak pulang ke kediamannya dan langsung mengendarai Jaguarnya ke rumah Sherry. Kekuatannya terlalu banyak yang terbuang saat berburu sehingga ia terpaksa mengistirahatkannya. Sekarang di sinilah ia, menghadapi wanita yang baru bangun tidur dan marah.

           

"Ponselmu tidak aktif," kata Ash.

           

Sherry menghela napas secara berlebihan dan memijit pangkal hidungnya. "Semalam Lexi memeriksa rumahku, katanya kau yang menyuruhnya. Dan sekarang, kau mendatangiku pagi-pagi buta hanya karena ponselku mati?" sahut Sherry dengan kesabaran yang dibuat-buat.

           

"Aku hanya khawatir," kata Ash jujur.

           

"Kau bersikap posesif," kata Sherry penuh penekanan dan maju hingga berhadapan dengan Ash. "...padaku! Kita tidak punya hubungan serius, Mr. Devane. Hanya makan malam dan bertemu di bar! Kau tidak bisa mengaturku hanya karena kau sedang mendekatiku!!!"

           

Ash menangkap tangan Sherry yang menusuki dadanya dan menggenggamnya dengan erat. Ditatapnya Sherry seolah wanita itu gila. "Ada apa sebenarnya ini? Kenapa kau marah-marah padaku? Dan lagi, kita adalah kekasih. Dan itu tidak akan berubah meskipun kita baru mengenal," kata Ash.

           

Sherry memberontak. "Aku benci pria posesif! Aku benci telepon iseng tengah malam! Dan aku benci tamu di pagi hari kalau malam sebelumnya aku tidak bisa tidur!!" seru Sherry marah. Ia menghentakkan kaki dengan marah seperti anak kecil yang marah karena keinginannya tidak terpenuhi.

           

Ash terganggu dengan tingkah Sherry sehingga ia membungkuk dan langsung menggendong wanita itu. Sherry memberontak tentu saja, dan memukul serta menendang-nendangkan kakinya.

 

Ash tidak peduli, dan menjatuhkan Sherry di sofa panjang yang ditiduri Sherry semalam, kemudian mengurung wanita itu di sofa. Kedua tangan Sherry terkunci di atas kepalanya, membuat secelah kulit perutnya yang mulus tampak mengintip dari bawah piyamanya.

           

"Tenanglah," gumam Ash.

           

"Aku marah! Aku kesal dengan kalian orang-orang yang seenaknya!" teriak Sherry marah. Ia kurang tidur, dan sekalinya ia tertidur, suara dengung nada biola itu terus saja mengusiknya, sampai akhirnya Ash datang dan membuat kemarahannya memuncak. Ada apa dengan orang-orang di sekitarnya? Tidak adakah yang bisa memberinya ketenangan di rumahnya sendiri?!

           

"Sherry, tenanglah. Kita bicara pelan-pelan," gumam Ash.

           

"Aku tidak mau! Aku lelah! Dan aku ingin kau pergi sekarang juga! Kalau perlu, jangan pernah kemba..."

           

Ash melakukan satu-satunya cara yang ia tau dapat membungkam ocehan histeris Sherry. Ia mencium Sherry, memaksa wanita itu tunduk padanya, lalu ketika merasakan perlawanan Sherry semakin melemah hingga akhirnya bibir wanita itu melembut di bawah bibirnya, barulah Ash memperlembut ciumannya. Ia bahkan melepaskan pegangannya pada kedua tangan Sherry agar dapat menangkup wajah wanita itu sekaligus menjelajahi lekuk-lekuk manis tubuh Sherry.

           

Ash menarik dirinya menjauh dan mengamati wajah Sherry. Perlahan mata Sherry terbuka dan menatap balik kepada Ash, masih sedikit berkabut, tapi Ash tau kalau kesadaran itu akan kembali dengan cepat.

           

"Apa yang terjadi? Mood-mu sangat buruk pagi ini," bisik Ash.

           

Sherry kembali memejamkan matanya dan mengerang. Ia memang bersikap sangat barbar pagi ini. Semuanya karena telepon yang membuatnya merinding, serta kurang tidur. Dan karena Ash memilih waktu yang salah untuk muncul, Sherry melampiaskannya pada Ash.

           

"Aku memerlukan kafein," erangnya. "Malamku sangat buruk."

           

Ash bangun dan mengulurkan tangan ke arah Sherry, dan Sherry menyambutnya. "Lebih buruk dari malamku?" sahut Ash.

           

Mereka berdua berjalan ke dapur dan Sherry menuangkan bubuk kopi dan air ke dalam mesin pembuat kopi. Setelah kopinya jadi, ia menuangkannya ke dalam dua cangkir dan memberikan salah satunya pada Ash, lalu duduk di kursi meja makan.

           

"Sangat. Pertama adalah Lexi yang memeriksa seisi rumahku, bahkan kamar tidurku!" kata Sherry lalu menyesap kopinya dan mendesah.

           

Ash mengernyit. Lexi tidak mengatakan yang satu itu ke dalam laporannya. Ash mencatat dalam hati untuk memberikan sebuah pukulan untuk Lexi jika mereka bertemu nanti.

           

"Lalu saat aku sedang terlelap, ponselku berbunyi pada pukul 3 pagi! Awalnya kukira itu telepon iseng karena tidak ada yang bicara, lalu sebuah nada tajam membelah keheningan hingga telingaku berdenging sakit. Lalu terdengar suara wanita tertawa. Aku terlalu terkejut sehingga langsung mematikan ponselku tanpa pikir panjang," kata Sherry. "Dan omong-omong, itu menjawab pertanyaanmu tadi tentang mengapa ponselku mati."

           

"Dan aku datang di waktu yang salah," tambah Ash.

           

"Benar sekali!" sahut Sherry setuju. Ia kembali menyesap kopinya dengan wajah bahagia. Sekarang setelah mendapatkan asupan kafein, otaknya sudah mulai bekerja dengan benar. Sekarang Sherry jadi malu sendiri saat mengingat tingkah konyolnya beberapa menit yang lalu. Ia benar-benar bertingkah layaknya wanita gila, dengan rambut acak-acakan dan mata merah karena baru bangun tidur. Tidak heran Ash harusnya kabur sambil berteriak-teriak, bukannya tetap memaksa masuk.

           

"Mana ponselmu?" tanya Ash. "Kau bilang semalam kau mendapatkan telepon aneh," kata Ash.

           

"Entahlah. Di suatu tempat di kamarku," kata Sherry. Lalu ia terduduk tegak. "Ya ampun, aku melupakan kucingku! Dia masih terkurung di kamarku," lanjut Sherry seraya melompat bangkit dari tempat duduknya.

           

Sherry bergegas menuju kamarnya, dengan Ash mengekor di belakangnya. Bukannya Sherry perlu diingatkan akan keberadaan pria itu. Dengan tubuh setinggi atlet dan semaskulin itu, Ash seolah-olah memenuhi ruangan dengan aura keberadaannya. Mustahil mengabaikannya. Akan tetapi Sherry tidak mungkin menyuruh pria itu menunggu di dapur, sementara kemarin Lexi sudah dengan lancing masuk ke kamarnya. Sherry yakin, cepat atau lambat Ash akan menuntut hal yang sama. Mengapa tidak membiarkannya sekarang? Toh, Sherry takkan membiarkannya melakukan hal-hal lainnya.

           

Sherry membuka pintu kamarnya, dan kucingnya langsung mengeong keras. Dengan sayang Sherry meraih kucing itu dan menggendongnya. "Maaf aku melupakanmu semalaman ya," kata Sherry sambil menggaruk leher kucing itu.

           

Ash berhenti di belakang Sherry dan menyipitkan matanya ke arah kucing dalam pelukan Sherry. Kucing itu juga menatapnya, tatapan waspada dan berhati-hati, seperti menunggu reaksi Ash. Ash menyipitkan mata ke arah Cat Sith itu, bertanya lewat tatapannya apa yang dilakukan kucing iblis itu di rumah Sherry. Dan kenapa Ash tidak pernah merasakan keberadaannya selama ini berkunjung ke rumah Sherry dalam sebulan belakangan ini?

           

Sherry menyadari tatapan Ash yang tertuju paa kucing dalam gendongannya, dan ia pun langsung menyimpulkan kalau Ash memiliki pemikiran yang sama dengan orang-orang lainnya saat melihat kucing ini. "Dia cacat," kata Sherry menjelaskan. "Kurasa gennya kurang sempurna atau mungkin ada gangguan saat kehamilannya sehingga saat lahir ia memiliki ekor yang terbelah seperti ini," lanjutnya.

           

Ash mengalihkan tatapannya pada Sherry yang tampak siap melawan kalau Ash mengatakan sesuatu yang buruk pada kucing peliharaannya. "Terkadang kelainan gen terjadi. Aku juga pernah memiliki Cat Sith seperti itu," kata Ash.

           

"Cat Sith?" tanya Sherry dengan kening berkerut.

           

Ash mengangguk. Sherry takkan terluka hanya dengan mengetahui nama iblis itu. Toh, sepertinya Sherry tidak menyadari bahwa kucing yang dipeliharanya adalah iblis. Justru sebaliknya, Sherry menganggap ekor belah kucing itu sebagai kelainan gen, bukannya sumber kekuatan iblis kucing itu.

           

"Aku menyebutnya begitu. Sepertinya nama itu cocok untuknya," kata Ash enteng.

           

"Kau tidak menganggapnya aneh? Beberapa temanku yang melihatnya menganggapnya aneh karena memiliki dua ekor," kata Sherry sambil membelai kepala kucingnya.

           

"Untuk apa? Ada banyak makhluk lainnya yang lebih aneh dari kucing berekor belah," kata Ash.

           

Sherry mengangguk-angguk. Lalu ia ingat bahwa sudah saatnya ia menyuruh Ash kembali ke dapur sementara ia mandi. Dan Ash sendiri mungkin ingin bercukur. Sherry ingat ia masih menyimpan peralatan bercukur ayahnya, dan merawatnya meskipun ia tidak pernah menggunakannya. Tapi Sherry yakin benda itu masih berfungsi dengan baik.

           

"Ehm, kalau begitu, mungkin kau bisa membawanya ke dapur dan memberinya makan sementara aku mandi? Itupun kalau kau tidak ada urusan lain pagi ini?" kata Sherry.

           

"Tentu saja," kata Ash seraya menelusuri Sherry dari ujung kepala hingga ke ujung kakinya.

           

"Oh, dan mungkin kau ingin... ehm... bercukur dan merapikan diri. Kau bisa menemukan apa yang kau butuhkan di kamar sebelah. Laci paling atas. Dan ini, ajaklah dia. Makanannya ada di rak di atas kulkas," kata Sherry seraya menyerahkan kucing di tangannya pada Ash. Akan tetapi kucing itu mendesis dan memberontak. Tak ayal punggung tangan Sherry dicakar, dan kucing itu melesat keluar pintu.

           

Ash menggeram, ingin mengejar Cat Sith itu, akan tetapi ia lebih mementingkan luka Sherry. "Coba lihat tanganmu," kata Ash.

           

"Bukan luka serius. Hanya goresan," kata Sherry, akan tetapi ia membiarkan Ash meemriksanya. "Aku sudah sering dicakar kucing sebelumnya. Tapi... ini pertama kalinya kucing itu mencakarku. Mungkin dia takut pada orang asing. Kuharap kau mencarinya, dia pasti kelaparan," lanjut Sherry.

           

Ash berpikir akan membunuh kucing itu begitu ia menemukannya. Berani sekali iblis itu melukai kekasihnya. Ash memeriksa apakah iblis itu menyebarkan racun atau tidak, dan beryukur karena Sherry baik-baik saja. Ash lalu meninggalkan Sherry setelah yakin Sherry membersihkan lukanya. Bukannya mengambil alat cukur di kamar sebelah, Ash terus melangkah menuruni tangga dan menuju ke dapur. Di sanalah ia menemukan Cat Sith itu tengah berdiri di pojok ruangan, mendesis, dan menatap waspada padanya.

           

"Berani sekali kau melukai calon mempelaiku," kata Ash.

           

"Mempelai?" Cat Sith itu bicara melalui telepati.

           

"Ya. Dia adalah calon mempelaiku. Calon ratuku. Dan untuk apa kau ada di rumah ini, Cat Sith?"

           

"Aku menjaganya," kata Cat Sith itu. "Dia telah menolong dan merawatku tanpa tau kalau aku adalah iblis. Dan aku memutuskan untuk mengabdikan diri padanya! Jangan menyakitinya! Atau aku akan membunuhmu, tidak peduli kalaupun kau adalah Pangeran!"

           

Alis Ash terangkat. Ia kagum dengan keberanian Cat Sith itu. Dan Ash mempercayai semua perkataan iblis itu. Akan tetapi, tetap saja Cat Sith itu perlu diberi gancaran karena berani melukai Sherry.

           

"Aku mengagumi kesetiaanmu pada calon mempelaiku," kata Ash seraya berjalan mendekat. "Akan tetapi kau melukainya."

           

Sebuah petir melecut ke arah Cat Sith itu dan membuatnya terkapar. Ash berlutut di sebelah iblis itu, menatap mata yang ketakutan itu. "Jangan melukainya lagi, paham? Aku tak peduli kau menjaganya atau tidak, tapi jangan pernah melukainya. Ini baru hukuman ringan. Jika sekali lagi kau melukainya meskipun tanpa sengaja, aku akan membunuhmu," ancam Ash.

           

"A... aku mengerti, Pangeran..." sahut Cat Sith itu.

           

"Bagus. Sekarang aku akan memberimu makan, dan merapikan diriku sendiri. Anggap saja kejadian ini sebagai bukti kesepakatan kita. Kau akan menjaga Sherry, dengan nyawamu, dan akan melaporkan segala kejanggalan yang terjadi di rumah ini padaku. Datang saja ke rumah sebelah, dan salah satu pelayanku akan menemuimu. Paham?"

           

Cat Sith itu berdiri dengan terhuyung dan mengangguk. Dan Ash melakukan apa yang tadi diminta Sherry padanya. Ia memberi makan Cat Sith itu, dan merapikan dirinya.

***

           

Sherry duduk dengan kedua tangan terlipat di atas pangkuan. Kali ini ia tampak jauh lebih segar dari satu jam yang lalu. Rambutnya dibiarkan tergerai bebas di salah satu bahunya, dengan hanya sebuah sirkam sederhana menjepit satu sisi rambutnya. Atas permintaan Ash, Sherry tidak jadi mengikat rambutnya tersebut. Ia memakai rok terusan berbahan sifon berwarna biru langit, yang dipadu dengan kemeja tanpa lengan yang juga berwarna biru lembut.

           

Sudah hampir setengah jam Sherry

 

bertanya-tanya ke mana kiranya Ash akan membawanya. Setengah jam yang lalu, pria itu hanya tersenyum dan menatapnya penuh penghargaan, walau masih tampak kernyitan samar di matanya. Sherry sendiri agak terkejut karena melihat Ash sudah berganti pakaian dan tampak begitu tampan. Tidak ada lagi pria yang terlihat acak-acakan tapi seksi itu. Ketika Sherry bertanya apakah Ash sempat pulang, walau jelas mustahil, Ash menjawab bahwa ia selalu membawa pakaian cadangan di mobilnya. Setelah itu Ash langsung mengecup Sherry dan menggiringnya keluar dari rumah.

           

Diam-diam Sherry melirik Ash. Pria itu tampak santai. Ia memegang kemudia dengan satu tangan, sementara tangannya yang lain meraih tangan Sherry dan memainkan jemarinya. Akan tetapi tak sekalipun pria itu mengatakan tujuan mereka pagi itu.

           

"Sebenarnya kita akan pergi ke mana?" tanya Sherry akhirnya.

           

Ash meliriknya sekilas, dan senyum maut itu tersungging di bibirnya yang seksi. "Lihat saja nanti. Ini akan jadi kejutan buatmu," kata Ash misterius.

           

"Aku tidak suka kejutan," gerutu Sherry tapi pasrah saja. Ia mengalihkan tatapannya pada lalu lintas kota yang padat dan tidak akan mencoba bertanya lagi. Apalagi jika jawaban Ash masih itu-itu saja.

           

Mobil berhenti ketika lampu lalu lintas berubah merah. Sherry merasakan sentuhan di dagunya sesaat sebelum wajahnya dipalingkan ke arah Ash. Dan sebelum Sherry sempat menduga apa yang akan dilakukan Ash, pria itu sudah menciumnya, dalam dan menyeluruh hingga ketika Ash melepaskannya dan kembali melajukan mobilnya, napas Sherry sudah terengah. Ditatapnya pria yang duduk di sebelahnya dengan jengkel. Untung saja pagi itu Ash punya pikiran untuk menutup atap konvertibel moilnya, sehingga kelakuannya tadi tak jadi tontonan publik.

           

"Bisakah kau berhenti melakukannya?!" protes Sherry.

           

Ash meliriknya dengan satu alis terangkat. "Aku jelas takkan berhenti menciummu. Malah, aku berniat melakukannya sesering mungkin," sahut Ash.

           

Wajah Sherry merona cantik, dan Ash merasakan kepuasan kecil dalam dirinya. "Bukan itu yang aku maksud! Yang aku maksud adalah bertindak dengan tiba-tiba seperti itu!!"

           

"Aku tidak melakukannya dengan tiba-tiba. Kalau kau ingat, aku berhenti sekitar lima detik sebelum menciummu," kata Ash, menahan seringai geli dan menampilkan ekspresi tenang di wajahnya.

           

Sherry ternganga. "Mana aku sadar!! Sekarang katakan kita mau ke mana! Atau aku akan turun di lampu merah berikutnya!!" ancam Sherry.

           

"Apa kau mengancamku?" tanya Ash.

           

Sherry merasakan getaran dingin di sepanjang tulang punggungnya, akan tetapi tetap bertahan. Ia tidak takut pada Ash. Dan lagipula, jika Ash ingin melanjutkan hubungan ini, maka ia harus menerima sikap pembangkangnya.

           

"Ya!" sahut Sherry, menolak mengalihkan pandangannya dari tatapan Ash. Akan tetapi dalam hati ia berharap Ash segera mengalihkan tatapannya kembali ke jalanan karena pria itu mengemudikan Lamborghini-nya dengan kecepatan tinggi.

           

Dua detak jantung berlalu sebelum Ash mengalihkan tatapannya kembali ke jalanan. Dan terbahak.

           

Sherry melongo. Ia menduga kalau Ash akan langsung menunjukkan sikap superioritas ala lelakinya dan memaksakan kehendaknya pada Sherry. Sehingga ia sama sekali tidak menduga kalau Ash justru akan tertawa dengan senang dan mengurangi kecepatan mobilnya saat menjumpai lampu merah berikutnya.

           

"Kau memang wanita yang menarik, Sherrilyn Roxane," kata Ash.

           

"Aku sedang kesal dan kau malah tertawa?" tanya Sherry tak percaya.

           

"Justru karena itulah aku tertawa. Asal kau tau, belum pernah ada wanita yang melawanku hingga titik penghabisan seperti dirimu. Dan itulah yang membuatku tak bisa menjauhkan tanganku darimu," kata Ash. Tatapannya berubah gelap dan sensual.

           

Sherry sudah mengenali tatapan itu hingga ia merasa jengah. Untunglah lampu merah telah berubah menjadi hijau sehingga Ash takkan memiliki kesempatan untuk menciumnya lagi. Sayangnya, Sherry tidak tau bahwa Ash bisa melakukannya tanpa harus peduli dengan lalu lintas di depannya. Meski begitu, Ash memutuskan untuk tidak lagi menggoda Sherry dan membiarkan wanita itu menebak-nebak tujuan mereka.

           

Setelah menugaskan Cat Sith untuk menjaga rumah Sherry, Ash memutuskan mengajak Sherry untuk sarapan di salah satu restoran pinggir pantai yang disukainya. Ash menemukan restoran itu ketika ia dan Aaron mencoba berburu gadis-gadis seksi dan menggoda di pantai ketika mereka baru saja terbebas dari kurungan mereka. Sekarang, ia ingin mengajak Sherry ke sana, selain untuk sarapan, juga untuk menghabiskan waktu bersama.

           

Akhirnya restoran itu terlihat dan mobil Ash melambat. Sherry duduk tegak, dan tak sanggup menahan dirinya untuk tidak terkesiap. Bangunan di depan mereka sangat memukau. Bergaya rumah pantai yang elegan dan luas, bangunan itu tampak berbeda dengan beberapa resort dan restoran yang ada di sekitarnya.

           

"Kita sampai," kata Ash seraya membawa mobilnya menuju jalan masuk restoran itu.

           

Sherry menoleh ke arah Ash yang sudah membuka pintu mobilnya. Lalu dalam sekejap, pintu di sisi Sherry terbuka dan Ash menunduk menatapnya. "Ayo, turun. Aku yakinkan kau akan menyukainya," kata Ash seraya membuka sabuk pengaman Sherry.

           

"Tapi..."

           

Ash menunggu hingga Sherry berada di luar sebelum menutup pintu mobil dan melemparkan kunci mobilnya pada petugas valet yang sudah menunggu di sisi mobil mereka. "Reed, bawa mobilku ke tempat biasa," kata Ash.

           

"Baik, Sir," kata petugas valet bernama Reed itu.

           

Sherry kembali menatap Ash dengan kaget. "Kau mengenalnya?" tanya Sherry saat Ash menggiringnya ke dalam restoran itu.

           

"Aku sering ke sini bersama Aaron dan Lexi. Jadi, apa kau suka tempat ini?" sahut Ash.

           

"Tentu saja! Aku tidak tau kalau ada tempat seindah ini. Bagaimana kau bisa menemukannya? Tempat ini begitu jauh dari pusat kota," kata Sherry.

           

Ash tersenyum. "Ini baru bagian depannya. Aku punya tempat khusus yang jauh lebih bagus lagi," kata Ash.

           

Manager restoran itu datang menghampiri dan menyapa Ash dengan bungkukan sopan. "Selamat Datang, Sir," kata manager itu.

           

"Siapkan tempatku yang biasanya, James," kata Ash.

           

"Baik. Apa ada lagi yang bisa Saya lakukan untuk Anda, Sir?"

           

"Persiapkan saja semuanya dengan sebaik mungkin. Aku dan kekasihku akan sarapan di sana," kata Ash.

           

James mengangguk dan pergi untuk memberikan perintah pada pelayan yang sudah menunggu. Restoran itu cukup ramai pagi itu, dan setiap mata menatap Ash dengan ketertarikan yang tidak ditutup-tutupi, khususnya mata para wanita. Sherry menyadari hal itu dan melirik penampilannya sendiri. Ia hanya memakai pakaian biasa, dan rambutnya pun mungkin berantakan akibat kelakukan Ash di mobil sebelumnya. Sherry bisa merasakan rona merah mulai muncul di pipinya, akan tetapi ia menolak menunjukkan kegelisahannya. Sebagai gantinya, ia mengangkat dagunya tinggi-tinggi dan membiarkan Ash menuntunnya. Tangan pria itu bertengger malas di pinggangnya.

           

Ash membawa Sherry melewati semua meja menuju sebuah pintu kaca bergaya Perancis yang membawa mereka keluar dari restoran menuju teras yang menghadap pantai. Di teras tersebut juga terdapat banyak meja berjajar rapi yang sudah dihuni, tampaknya oleh tamu resort di sekitar restoran. Sherry mengira Ash akan mengajaknya duduk di salah satu meja dan memesn sarapan, akan tetapi lelaki itu terus saja berjalan dan turun ke pantai.

           

Sherry tidak tahan berdiam diri lebih lama. Akhirnya ia pun bertanya ke mana mereka akan pergi. Ash memberinya senyum menawan dan menariknya lebih dekat. "Aku punya mejaku sendiri," bisik Ash di telinga Sherry.

           

"Bagaimana bisa?" balas Sherry, menahan napas ketika Ash berhenti dan membalikkan tubuhnya hingga mereka berhadapan, kedua lengan Ash memeluk pinggangnya.

           

"Karena..." kata Ash perlahan-lahan, tatapannya menelusuri bibir Sherry, begitu panas dan begitu mendamba hingga membuat Sherry gemetar secara mental. "aku adalah pemilik restoran ini, dan juga resort di sekitarnya," kata Ash. Bibirnya langsung menutupi bibir Sherry ketika dilihatnya Sherry akan melemparkan kalimat lainnya, yang kemungkinan besar akan menimbulkan perdebatan lainnya.

           

Ash berlama-lama menggoda indra-indra Sherry dengan kecupan-kecupan ringan yang tak memuaskan dahaga keduanya. Ia menggigit pelan bibir bawah Sherry, sebelum akhirnya menyejukkannya dengan sapuan ujung lidahnya. Tangannya merengkuh Sherry lebih dekat sehingga tubuh mereka

 

melekat begitu pas, kemudian dengan perlahan membelai punggung Sherry naik turun hingga merasakan penyerahan diri Sherry. Ash memperdalam ciumannya ketika dirasakannya kedua tangan Sherry naik dan melingkari lehernya, serta mendapatkan respon yang diharapkannya dari Sherry.

           

Pikiran Sherry yang tadinya sudah kacau akibat fakta mengejutkan yang dikatakan Ash dengan santai berubah semakin kacau. Ia tidak punya kesempatan menang melawan rayuan Ash yang tampaknya dipersiapkan dengan baik itu. Jadi ia membiarkan dirinya bergayut pada Ash dan mereguk semua kesenangan yang dihamparkan secara gambling di depan matanya. Ia melupakan di mana mereka berada, kekesalannya, bahkan keterkejutannya akan fakta bahwa Ash adalah pemilik restoran dan resort indah tersebut. Ia hanya fokus pada kebutuhan yang dibangkitkan Ash, dan juga tempat di mana bibir mereka bertemu.

           

Cukup lama waktu yang dihabiskan Ash untuk menikmati Sherry sebelum akhirnya ia menarik dirinya perlahan dan menyudahi ciuman itu. Dengan puas diamatinya wajah Sherry yang merona dan matanya yang menggelap akibat gairah.

           

"Kurasa sarapan kita sudah siap," kata Ash, dan ia mencium Sherry untuk terakhir kalinya sebelum kembali menggandeng wanita itu menuju tempat sarapan mereka.

           

Tempat yang dipesan Ash adalah sebuah teras pribadi di salah satu resortnya. Tempat itu sangat pribadi sehingga mereka bisa menikmati sarapan, sekaligus hembusan angin laut. Sarapan yang tersaji juga membangkitkan selera makan. Setelah menarikkan kursi untuk Sherry, Ash pun duduk di kursi yang berhadapan dengan Sherry.

           

"Kalau kau tidak suka menu yang kupilihkan, kau

 

bisa memesan menu lainnya yang mungkin akan kau sukai," kata Ash.

           

Sherry mendongak dari piringnya dan menggeleng. Untuk pertama kalinya ia bisa tersenyum pagi itu. "Ini sudah cukup," kata Sherry seraya mencicipi pancake di piringnya. "Enak sekali!"

           

Ash tertawa. "Koki di sini memang mampu menyihir makanan menjadi enak," kata Ash. Ia tidak bohong karena kokinya adalah separuh iblis yang ia temukan sedang mencincang daging iblis lainnya karena telah menghina kemampuannya. Ash langsung saja menjadikannya koki di restoran ini karena iblis itu berkata ia bisa memasak lebih baik dari koki manusia.

           

Sherry melirik semangkuk stroberi di sebelah piring Ash. "Yah, kurasa dia juga sangat mengetahui kesukaanmu," kata Sherry sambil meringis.

           

Ash tertawa dan mereka makan dengan atmosfir yang santai, sesuai harapan Ash. Usai sarapan, mereka menikmati desert yang manis sambil memandangi ombak yang bergulung-gulung di pantai. Sherry duduk di undakan di sebelah Ash dengan es krim cokelatnya, sementara Ash dengan semangkuk stroberinya. Angin mengembus rambut Sherry hingga helai-helainnya menjadi kusut dan wanita itu menyalahkan Ash atas kejadian itu.

           

"Kemarilah," kata Ash sambil merogoh sakunya.

           

"Kenapa?" tanya Sherry curiga. Ia masih memegangi rambutnya yang terus saja terlepas dari tangannya.

           

"Biar kuurus rambutmu," kata Ash. Ia mengeluarkan sebuah pita dari sakunya. Pita itu berwarna biru topaz, yang entah bagaimana serasi dengan pakaian Sherry.

           

Sherry akhirnya bergeser mendekat ke arah Ash dan memunggungi pria itu. Ia merasakan jemari Ash menyusup ke rambutnya, dan mengumpulkannya jadi satu sebelum mengikatnya dengan pita kuat-kuat. Sherry pikir Ash akan langsung melepaskannya, sebaliknya, pria itu malah melingkarkan lengannya di pinggang Sherry dan memeluknya. Dagu Ash beristirahat di cekungan bahu Sherry. Bibirnya mengecup leher Sherry dengan ringan.

           

"Ash?"

           

"Hem?" sahut Ash, akan tetapi ia masih menciumi leher Sherry.

           

"Apakah... tidak sebaiknya kita pulang?" kata Sherry, sulit memusatkan pikiran agar tetap logis jika Ash menempel di belakangnya dan terus saja menciumi lehernya.

           

"Kita masih punya banyak waktu," kata Ash. "Bagaimana kalau kita berenang di laut?"

           

Sherry spontan berbalik dan menatap Ash. "Berenang? Di sini? Tapi... tapi aku tidak bawa pakaian renang!" kata Sherry. Ia terlalu terkejut mendengar ajakan Ash sehingga ia mengutarakan alasan paling kuno yang bisa ditemukannya.

           

Ash mengecup sekilas bibir Sherry. "Itu masalah yang bisa kutangani. Bagaimana? Mau berenang?"

           

Sherry mengerjap. "Aku... aku tidak terlalu pandai berenang. Malahan sudah lama sekali sejak terakhir kalinya aku berenang!" sahutnya.

           

"Aku yang akan mengajarimu. Jadi, ayo kita berenang," kata Ash.

           

Setengah jam kemudian, Sherry bergabung dengan Ash yang sudah menunggunya di pantai. Sherry masih memakai jubah kamarnya saat ia berjalan menuruni tangga teras kamar resort Ash. Langkahnya terhenti saat melihat Ash yang tengah duduk di kursi berjemur dengan kacamata hitam menutupi matanya. Pria itu sedang menikmati cahaya matahari.

           

Sherry nyaris ternganga melihat pemandangan tubuh penuh otot tersebut. Ramping, namun berlekuk di tempat-tempat di mana ototnya terbntuk. Ash memakai celana pendek dan memamerkan dadanya yang

 

bidang, serta kakinya yang jenjang. Sherry bisa melihat beberapa wanita melirik kagum ke arah Ash.

           

Ya Tuhan...

           

Ash menoleh dan melihat Sherry. Perlahan ia duduk dan melepaskan kacamatanya. Senyum penuh dengan perhargaan, akan tetapi ia mengernyit ketika melihat kalau Sherry masih memakai jubah kamarnya.

           

"Kemari dan lepaskan jubah itu. Bagaimana kau akan berenang kalau kau masih memakainya?" kata Ash.

           

"Eh, ehm... aku... aku rasa aku ingin melihat saja dari sini, jadi tidak ada alasan kenapa aku harus..."

           

"Omong kosong," kata Ash dan mulai menarik tali jubah Sherry hingga terlepas.

           

"Ash, aku benar-benar..." Sherry mencoba menahan bagian depan jubahnya. Ketika ia melihat tekad tak tergoyahkan di mata Ash, Sherry akhirnya mampu menggunakan kekesalan sebagai tamengnya. "Aku tidak bisa menunjukkan tubuhku seperti ini!!"

           

Alis Ash terangkat. "Memangnya kenapa? Aku tidak keberatan," sahut Ash.

           

Sherry mendelik. "Tapi aku yang keberatan!" serunya. "Sudahlah! Memang lebih baik aku kembali memakai... Kyaa!!!"

           

Sherry menjerit kaget saat Ash menyambar jubah kamarnya dan menyentaknya hingga lepas. Lalu, sebelum Sherry sempat mengeluarkan protes apapun, Ash sudah mengangkat tubuhnya dan berjalan ke arah air.

           

"Ash! Turunkan aku!!"

           

"Akan kuturunkan jika kita sudah berada di air," kata Ash. Ia masuk ke air hingga kedalaman air menyentuh pinggulnya. Kemudian ia melepaskan Sherry. Benar-benar melepaskannya secara harfiah sehingga Sherry langsung tercebur ke dalam air. Sherry bahkan tidak sempat memekik sebelum air menenggelamkannya.

           

Sherry muncul ke permukaan sambil terbatuk-batuk. Ia menyibak rambutnya hingga tidak menghalangi matanya yang mendelik pada Ash. "Apa yang kau lakukan?!"

           

"Sekarang, tidak ada alasan kau kembali ke kamar dan mengenakan pakaianmu," kata Ash puas.

           

Sherry menjejakkan kakinya kuat-kuat ke pasir agar ombak tidak mendorong-dorong tubuhnya, akan tetapi ia tetap saja terdorong hingga ia terus saja membentur tubuh Ash. Sherry bergidik, sensasi tubuhnya yang hanya mengenakan pakaian renang minim dan dada Ash yang basah membuatnya tidak mampu berkonsentrasi.

           

"Lagipula," kata Ash lambat-lambat. "kau lebih cantik jika mengenakan pakaian ini," lanjut Ash sambil menjelajahi tubuh Sherry dengan tatapannya. Ash tidak salah karena memberikan pakaian renang merah itu pada Sherry. Wanita itu sangat cantik saat mengenakannya. Setiap lekukan yang selama ini tersembunyi di balik pakaiannya, kini terpampang jelas, meski belum semuanya. Akan tetapi Ash cukup puas karena Sherry memilih memakainya, dan bukannya menjerit protes karena Ash memilih bikini untuk wanita itu.

           

"Aku tidak..."

           

Ash mencium Sherry dengan keras. "Jangan memprotes lagi, dan ayo kita berenang!" tegas Ash.

***

           

Setelah menghabiskan waktu berjam-jam untuk berenang, Sherry merasa kelelahan. Ash sangat keras kepala dan memaksanya untuk mengingat semua pelajaran renangnya yang sudah lama dilupakannya. Bukan hanya itu, pria celaka itu juga tidak membatasi rayuannya hanya pada rayuan verbal, melainkan merambah pada rayuan non-verbal. Sherry harus berkali-kali berkelit dari tangan jahilnya agar tidak terpedaya.

           

Sherry berharap Ash akan mundur dengan penolakannya terhadap kemajuan hubungan mereka tersebut, akan tetapi harusnya ia tau lebih baik daripada itu. Penolakannya justru membuat pria itu semakin bertekad. Dengan seringaian seksinya, Ash mulai membuat Sherry gila. Ia menyentuh secara ringan kulit Sherry yang terpapar, mendaratkan kecupan ringan di tengkuknya, bahkan tangannya bergerilya dengan nakalnya. Sherry harus berperang dengan akal sehatnya dan juga sisi nakal dalam dirinya agar tidak kalah. Pada akhirnya, ia menang, meskipun harus dengan sangat bersusah payah.

           

Kini, ia sudah kembali ke dalam kamar suite yang biasa digunakan Ash jika mengunjungi resort pantai itu. Sherry mengirimkan lirikan mengancam pada Ash saat ia mengatakan akan membilas seluruh air garam dari tubuhnya. Dan dengan tegas mengunci pintu kamar mandi di belakangnya.

           

Dalam kesendiriannya itulah Sherry mulai memikirkan perubahan tak terduga dalam hidupnya hanya dalam waktu sebulan lebih. Sebelumnya ia bahkan tidak mengharapkan kekasih sehebat Ash, seposesif, dan juga seprotektif pria itu. Kekayaan Ash yang luar biasa sama sekali di luar perkiraannya. Justru kemajuan hubungan mereka yang bermanuver begitu cepat yang membuatnya jengah. Sherry tidak pernah menjalin asmara dengan pria seperti Ash. Semuanya terasa berbeda dengan pria itu. Entah dalam hal apa, Sherry sama sekali tidak tau.

           

Perasaan waspada dan jengah itu masih ada dalam benaknya tiap kali ia berada di dekat Ash. Nyaris seperti insting seorang kelinci yang diintai oleh serigala yang menyamar menjadi domba. Ia menyadari ada semacam aura berbahaya yang menguar dari Ash. Aura yang dikekang dengan disiplin diri yang tinggi hingga siapapun takkan menyadarinya hingga sudah terlambat. Ash bagaikan predator yang enggan melepaskan mangsanya begitu saja, dan Sherry terkadang merasa seperti mangsanya.

           

Berdiri di bawah cucuran air dingin, Sherry membilas rambutnya, mencucinya hingga bersih, dan beralih membersihkan tubuhnya. Setelahnya ia mematikan keran air dan meraih handuk untuk mengeringkan tubuhnya. Kemudian ia membalut tubuhnya dengan jubah mandi tebal dan mengikat tali pinggangnya dengan erat.

           

Tanpa menatap cermin, Sherry meraih pengering rambut yang tadinya ia letakkan di atas wastafel. Bukannya mendapatkan pengering rambutnya, ia justru tersentak ketika merasakan tangannya ditarik dengan keras hingga ia membentur wastafel. Pekikan kaget terlontar dari bibirnya ketika ia merosot dan bersandar di dinding, dengan satu tangan memegangi lengan kanannya yang sakit.

           

Pintu kamar mandi terbuka dengan keras, dan Ash berdiri di sana dengan raut wajah keras. Ketika melihat Sherry, wajahnya semakin kaku dan ia bergegas menghampiri Sherry.

           

"Kau baik-baik saja?" tanya Ash dengan nada terlalu tenang, akan tetapi Sherry tidak menyadarinya.

           

"Kurasa tidak," sahut Sherry meringis. "Aku terpeleset dan lenganku membentur tepian wastafel dengan sangat keras dan..."

           

Ash tidak menunggu untuk mendengarkan penjelasan Sherry untuk mengangkat tubuh wanita itu dengan hati-hati. Sherry mendesis kesakitan, dan Ash mengertakkan rahangnya. Ia membawa Sherry kembali ke kamar tidur dan membaringkannya di ranjang dengan sangat hati-hati.

           

"Bagian mana yang sakit?" tanya Ash.

           

"Lenganku," sahut Sherry. Napasnya tersentak saat Ash menyentuh lengannya. "Mungkin persendiannya tergeser... Aku tidak tau," sahut Sherry terengah. Rasa sakit membuat benaknya berkabut dan keringat mulai bermunculan di keningnya.

           

"Tidurlah," kata Ash dengan nada tak terbantahkan.

           

"Tapi..."

           

Sherry melupakan semua yang akan dikatakan saat bertatapan dengan Ash. Dan seketika itu juga rasa kantuk yang hebat menguasainya hingga ia tak sanggup membuka matanya. Perlahan kelopak matanya tertutup dan napasnya berubah berat dan teratur.

           

Begitu Sherry tidur, Ash menggunakan sihirnya untuk menyembuhkan lengan Sherry. Setelah itu ia menyelimuti Sherry. Riak kemarahan masih bergulung-gulung di dalam dirinya, mengubah langit yang tadinya cerah menjadi gelap. Awan badai berarak dan menutupi cahaya matahari saat Ash melangkah keluar dari kamar suitenya. Dan secara mengejutkan koki separuh iblisnya sudah menunggunya di luar pintu. Sekali lirik ke wajah Ash yang bagaikan topeng malaikat kematian, Simons, koki itu, tau kalau ada sesuatu yang membuat tuannya itu murka.

           

"Tuanku," kata Simons.

           

"Bagaimana bisa ada iblis yang berkeliaran di sini tanpa ijin?" tanya Ash dengan suara tenang mematikan.

           

"Iblis... Tidak ada, Pangeran. Tidak ada iblis lain yang berkeliaran di sini tanpa sepengetahuan saya. Saya sudah menempatkan Cerberus di beberapa tempat sehingga mustahil mereka melewatkan penyusup," kata Simons.

           

"Kalau begitu, bagaimana kau akan menjelaskan iblis yang menyerang wanitaku? Aku mengenali tanda-tanda yang ditinggalkan iblis saat melihatnya!"

           

Ash nyaris meraung, tapi ia masih mampu mengendalikan amarahnya. Ia juga marah pada dirinya sendiri karena tidak merasakan iblis itu sampai semuanya sudah terlambat. Dan jika sampai Ash tidak menyadarinya, berarti lawannya cukup kuat untuk diwaspadai. Ash curiga kemunculannya menimbulkan lebih banyak masalah di dunia iblis. Dengan adanya pewaris sah yang telah kembali, dapat dipastikan bahwa iblis-iblis yang selama ini bebas tanpa kekangan akan menolak keberadaan sang pewaris. Ini bukan hal aneh lagi. Layaknya politik di dunia manusia, dunia iblis pun memiliki politiknya sendiri. Perseteruan antara iblis-iblis kuat yang tidak ingin mengucap sumpah setia, dan ada juga yang ingin menggulingkan tahta kerajaan. Bisa jadi salah satu iblis itulah yang menyusup ke suitenya.

           

"Aku ingin penjagaan diperketat. Kalau perlu, tempatkan Cerberus di garis depan," perintah Ash. "Aku ingin iblis itu ditangkap hidup-hidup."

           

"Baik, Pangeran," Simons membungkuk dan berlalu pergi.

           

Ash berdiri di luar selama sesaat untuk meredam amarahnya. Ia juga memperkuat perisai perlindungan di sekitar suite-nya agar tidak lagi ada iblis yang dapat menemukannya. Jika perkiraannya benar, maka setelah para iblis menemukan Sherry, mereka akan mulai mengincar wanita itu hingga Sherry menjadi milik Ash.

           

Ash masuk kembali ke dalam suite dan menuju ke kamar. Ia duduk di tepi tempat tidur dan menyentuh pipi Sherry dengan lembut. Ditepuk-tepuknya pipi wanita itu.

           

"Sherry," panggilnya pelan. "Cara (Sayang), ayo bangun," ulangnya.

           

Kelopak mata Sherry bergetar pelan, akan tetapi ia tidak langsung terjaga. Desahan pelan lolos dari bibir Sherry, dan kerutan terbentuk di antara alisnya.

           

"Cara, ayo buka matamu," kata Ash.

           

Akhirnya kelopak mata Sherry terbuka. Wanita itu mengerjapkan matanya beberapa kali, tampak bingung dan linglung. Ia mengerang dan menutup matanya dengan tangan.

           

"Di mana ini?" erangnya.

           

"Di tempat tidur," sahut Ash apa adanya.

           

Sherry terduduk seketika. "Apa?!"

           

Ash menahan senyumnya. "Kau terpeleset di kamar mandi dan pingsan. Jadi aku membaringkanmu di tempat tidur," kata Ash kalem.

           

Sherry langsung menunduk dan matanya semakin melebar tatkala melihat jubah mandinya tersingkap hingga memperlihatkan nyaris seluruh bagian dadanya. Dengan cepat disambarnya kerah jubahnya dan ia melotot ke arah Ash. Akan tetapi ia tak bisa menahan rona merah merambat naik dari leher ke wajahnya.

           

"Kau... Apa kau..." tangan Sherry melambai-lambai liar, bergantian antara dirinya dan Ash.

           

"Bagaimana menurutmu? Aku sudah melihatmu dalam pakaian renang mini itu, jadi apa bedanya kalau aku melihatmu tanpa sehelai benang pun yang mengganggu itu?"

           

Sherry terkesiap. "Kau... Kau... keterlaluan!! Bagaimana bisa kau memanfaatkan kesempatan sementara..."

           

"Tenanglah, Cara, aku menemukanmu sudah memakai jubah ini. Satu hal yang sangat kusayangkan. Jadi kau tidak usah panik begitu," sahut Ash.

           

Sherry tidak tau apakah ia harus lega atau tidak. Mungkin ia memang sudah memakai jubahnya, akan tetapi siapa yang tau apa yang dilakukan Ash padanya tatkala ia tak sadarkan diri? Menurutnya, Ash bukanlah pria yang akan menyerang wanita yang tak berdaya. Akan tetapi, selama ia mengenal Ash, pria itu telah terbukti selalu memanfaatkan kesempatan sekecil apapun untuk merayunya. Mungkinkah Ash melakukan sesuatu padanya di saat ia pingsan? Ia tidak merasakan ada yang aneh, sakit ataupun nyeri, meski begitu...

           

Ash mendengarkan semua pikiran yang berputar-putar dalam benak Sherry, sebagian membuatnya geli, sebagian lagi membuatnya tersinggung. Akan tetapi ia hanya memasang wajah datar dan menunggu Sherry menatapnya lagi sebelum bicara.

           

"Kau bisa mengganti bajumu selama aku mandi," kata Ash. "Kita akan pulang jika kau sudah siap," tambahnya.

           

Sherry mengangguk, meskipun ia masih tampak tertekan karena tidak bisa mengingat apapun. Ia bahkan tidak berpikir untuk menghindar ketika Ash menarik tengkuknya dan memberinya ciuman panas yang merenggut napasnya, kemudian masuk ke dalam kamar mandi.

           

Begitu terdengar suara kucuran air, barulah Sherry melompat dari tempat tidur. Ia membuka lemari pakaian untuk menyambar baju yang tadi ia kenakan saat datang bersama Ash. Ia bekerja dengan serba tergesa-gesa, takut Ash akan muncul dan memergokinya setengah telanjang atau lebih parah lagi. Setelah berpakaian lengkap, barulah Sherry menyisihkan waktu untuk berpikir.

           

Tidak, Ash tidak akan melakukan sesuatu hal yang melecehkannya. Ego pria itu terlalu tinggi untuk melakukan hal rendahan seperti itu. Justru harusnya Sherry mengucapkan terima kasih pada pria itu karena menolongnya. Jika tidak, ia mungkin masih terbaring di lantai kamar mandi yang dingin. Jika dipikirkan sekarang, kepanikannya tadi terasa konyol. Ash sudah melihatnya dalam pakaian renang seksi yang menunjukkan lebih banyak tubuhnya ketimbang menutupinya, seharunya ia tidak sepanik tadi hanya karena jubah yang tersingkap.

           

"Kau konyol, Sherry," erangnya sambil menyembunyikan wajahnya di bantal.

           

Suara air di kamar mandi berhenti, dan Sherry terlambat menyadari bahwa harusnya ia menunggu di ruang duduk alih-alih tetap di dalam kamar. Ketika pintu kamar mandi terbuka, dan Ash muncul hanya dengan dibalut handuk di pinggangnya, barulah Sherry menyadari kesalahannya. Tubuhnya berubah kaku dan ia sama sekali tak berani menoleh ke belakang sehingga tak melihat pemandangan bak Dewa Yunani yang dipertontonkan Ash. Ia tersentak saat mendengar suara langkah halus Ash, dan menahan napasnya.

           

"Kau baik-baik saja?"

           

Sherry memekik kaget saat mendengar suara Ash begitu dekat di belakangnya. Untunglah Sherry ingat tepat pada waktunya sehingga ia tidak langsung berpaling.

           

"Aku baik-baik saja!" sahutan Sherry teredam di bantal.

           

"Kau yakin?"

           

"Sangat yakin!" seru Sherry sambil mengibaskan tangannya dengan gaya mengusir.

           

Ash menaikkan alisnya, geli dengan sikap Sherry. Ia sengaja menunduk begitu rendah dan bicara di dekat telinga wanita itu untuk melihat reaksinya, yang sangat tidak mengecewakan.

           

"Baiklah. Kau yakin tidak ingin membaca majalah sambil menungguku?" tanya Ash hanya sekedar untuk menggoda Sherry.

           

"Demi Tuhan, tidak!! Aku..." Sherry berhenti. "Aku lebih nyaman berbaring begini! Kau... Kau cepatlah berpakaian!"

           

Ash berjalan ke lemari, tapi ia tidak perlu memilih pakaian. Ia cukup menjentikkan jarinya saja untuk melakukannya. Akan tetapi, insting iblisnya ingin menggoda Sherry hingga wanita itu tidak tahan dan tersiksa. Maka ia membuka lemari, dengan sengaja memilih-milih pakaian dan membuat suara-suara gumaman pelan. Ia melepaskan handuknya dan dengan sengaja menjatuhkannya ke lantai dengan berisik. Memakai jeans dan membuat suara menutup ritsleting dengan dramatis. Terakhir, ia memakai kemeja, akan tetapi sengaja tidak mengancingkannya. Dan diam menunggu.

           

Sherry terus menerus tersentak ketika mendengar suara handuk jatuh ke lantai, lalu suara desiran kain yang dipakai Ash. Hal-hal itu sudah cukup membuat sarafnya tegang dan jantungnya berdentam liar. Dan suara ritsleting yang ditutup terdengar bagaikan suara meriam di dalam kamar itu. Hal terakhir itulah yang memutuskan urat ketegangan Sherry hingga akhirnya ia terduduk dan menatap dinding dengan napas kesal.

           

"Kau sengaja kan?!" tuduhnya pada Ash, tapi tetap menatap dinding.

           

"Maksudmu?" sahut Ash dengan santai.

           

Sherry berbalik dan melemparkan tatapan menusuk pada Ash. "Kau sengaja berlama-lama karena tau aku tidak mungkin meninggalkan kamar ini tanpa melihatmu setengah telanjang kan?!"

           

Ash mengangkat bahu dengan acuh. "Menurutmu begitu? Kau bisa saja melenggang pergi, dan aku takkan keberatan sama sekali," sahutnya.

           

"Aku yang keberatan!!" bentak Sherry malu.

           

Ash mengangkat bahu dan mulai bergerak. Ia berjalan ke arah Sherry dengan langkah semalas langkah macan kumbang yang sedang mengintai mangsa. Sherry kontan membelalak dan mulai beringsut mundur. Ujung bibir Ash tertarik ke atas melihat Sherry kembali panik. Dan ia merasakan kesenangan yang luar biasa karena bisa mengguncang ketenangan wanita itu. Sejak awal mereka bertemu, bahkan sampai sekarang, Sherry masih mempertahankan dinding penghalang tipis di antara mereka. Hal itu membuat Ash kesal karena tidak biasanya pesonanya gagal dalam memikat seorang wanita. Egonya tersentil, dan ia bertekad akan menaklukkan Sherry secepatnya. Bukan semata karena itu akan membuatnya terbebas sepenuhnya dari segel, melainkan demi menunjukkan bahwa ia sanggup membuat wanita keras kepala itu jatuh berlutut di kakinya.

           

Sembunyikanlah taringmu jika ingin mendekati sang Domba. Prinsip itu selalu berhasil ketika diterapkan, dan itulah yang biasanya Ash lakukan. Buat lawan lengah, lalu serang titik lemahnya. Dalam hal ini, titik lemah Sherry adalah sebuah ciuman. Dan Ash selalu memanfaatkannya dengan baik.

           

"Mau apa kau?!"

           

"Menunjukkan padamu mengapa seharusnya kau berhenti bersikap malu-malu," sahut Ash.

           

Sherry sudah melompat turun dari ranjang dan berdiri di sisi yang berlawanan dengan Ash. Ia membawa sebuah bantal di tangannya untuk berjaga-jaga seandainya ia perlu melindungi dirinya. Ia tau dirinya takkan berguna kalau Ash sampai menyentuhnya.

           

"Aku tidak perlu bukti apa-apa! Aku sudah mengerti maksudmu!!" seru Sherry panik ketika melihat Ash mulai merangkak di atas ranjang.

           

"Kurasa kau belum mengerti," kata Ash dengan suara serak.

           

"Aku sudah mengerti!!" seru Sherry. Ia berlari ke arah pintu. Ketika ia menoleh ke belakang, pekikan terlontar dari bibirnya saat melihat Ash sudah meninggalkan ranjang. Sherry melemparkan bantal di tangannya ke arah Ash seraya berputar ke sisi ruangan yang lain. Ia menggunakan sofa besar sebagai penghalang antara dirinya dan Ash sementara benaknya mencari-cari jalan keluar. Ia bisa berlari ke teras, dengan catatan ia bisa sampai di pintu itu sebelum Ash.

           

Jantungnya melonjak dua kali lipat saat melihat kilau senang di mata Ash. Tampaknya pria itu melihat aksi kucing-kucingan mereka ini menyenangkan. Dasar pria celaka! Sementara Sherry harus mati-matian menghindar, pria itu tampak menganggap kejadian ini sebagai hiburan semata. Kalau ia tidak terlalu panik karena melihat kilatan pemangsa di mata Ash, Sherry mungkin akan mengganggak kejar-kejaran ini sebagai hal yang konyol. Sayangnya, setiap senti tubuhnya bergetar penuh antisipasi menunggu apa yang akan Ash lakukan. Sebagian dirinya yang liar merasa penasaran, akan tetapi sebagian lagi merasa ketakutan. Mereka bergerak terlalu cepat. Ia merasa bagaikan duduk di roller coaster yang tidak memiliki rem.

           

"Sungguh, Ash, aku tidak perlu pembuktian apapun! Kau bersikap blak-blakan, tapi aku tidak sama dengan wanita-wanita lain yang mungkin berkencan denganmu! Aku bukannya malu, melainkan jengah! Dan dua hal itu amatlah berbeda!" kata Sherry berusaha menjelaskan.

           

"Hem..." gumam Ash seraya mengitari sofa, membuat Sherry secara otomatis juga memutari sofa.

           

"Ash, kau membuatku takut! Berhentilah menatapku seolah-olah aku buah stroberi yang ingin kau lahap!!" seru Sherry putus asa.

           

Ironisnya, batin Ash, hal itu memang benar. Sherry jauh lebih menggoda dibandingkan buah stroberi manapun.

           

"Mungkin kalau kau berhenti terlihat begitu menggoda, aku akan memikirkan saran itu dengan lebih baik," kata Ash lambat-lambat.

           

Sherry melongo. Ia tidak menyangka kalau Ash akan mengakui hal memalukan seperti itu. Dan kesempatan itulah yang ditunggu Ash. Ia langsung melompati sofa dan mengulurkan tangannya ke arah Sherry. Sherry kaget bukan main. Ia memekik dan berbalik cepat menuju pintu teras. Sayangnya, pintu itu berada tepat di dekat ranjang. Pekikannya tersangkut di tenggorokannya saat ia merasakan sebuah lengan kekar menangkap pinggangnya, dan menjatuhkannya ke arah ranjang.

           

Sherry mendarat dengan suara 'wufh' ketika sisa napasnya terenggut. Ia membelalak dengan bibir terkuak kaget, menatap tak percaya pada wajah menyeringai Ash di atasnya.

           

"Nah, baiknya mulai dari mana ya?"

***

Continue Reading

You'll Also Like

16.5K 2K 14
Dramione Fanfiction Cerdas, cantik, konservatif. Hermione Granger tak pernah membayangkan bahwa jalan hidupnya yang serba teratur dan diatur berubah...
23.2K 3.1K 31
I saw happiness in your eyes but it's not for me or because of me and never be me, never. Not even in the past, now or in the future, it never will c...
4.7M 175K 39
Akibat perjodohan gila yang sudah direncakan oleh kedua orang tua, membuat dean dan alea terjerat status menjadi pasangan suami dan istri. Bisa menik...
53.4K 8.8K 47
Nora adalah dokter mata yang tidak pernah menyangka akan terjebak di antara dua laki-laki. Yang satu berusaha mendaki cintanya, sementara yang lain h...