Primum, Non Nocere (First, Do...

By kinkaaa

5.3M 544K 56.6K

"Kenapa dokter seringnya berjodoh dengan dokter juga?" "Karena dosisnya sesuai." - unknown, medical quotes. More

Prolog
Aesthetics
one : ad oculos
two : audi, vide, tace
three : ad altiora tendo
four : hinc illae lacrimae
five : crescit eundo
six : hinc itur ad astra
seven : acta non verba
nine : fac et spera
ten : fortis in arduis
eleven : nec spe nec metu
twelve : dum spiro spero
thirteen : amor vincit omnia
fourteen : veni, vidi, vici
fifteen : concordia cum veritate
sixteen : adsum
seventeen : carpe diem
eighteen : si vis amari, ama
nineteen : igni ferroque
twenty : libra
twenty one : faciam ut mei meineris
twenty two : beatae memoriae
twenty three : ego te provoco
twenty four : absit invidia
twenty five : dies irae
twenty six : dona nobis pacem
twenty seven : corgito ergo sum (RENO'S POV)
twenty eight : luctor et emergo
twenty nine : ad victoriam
thirty : consummatum est
Epilog
Catatan Kang Ketik (yang Rada Panjang)
PREORDER
It's Time!! (Pemenang GA)
2nd BATCH
Extra Chapter di Karyakarsa
3rd Batch

eight : ergo

146K 16.7K 1.4K
By kinkaaa

therefore

_________________


"Welcome to Peds!" Dipta dan Dayu menyambutku dengan wajah sumringah di depan bangsal Nusa Indah, bangsal khusus untuk rawat inap anak-anak. Keduanya adalah senior di stase anak, dan Dipta sebagai Chief koas anak senior. Sudah menjadi aturan tidak tertulis bahwa koas baru di stase tertentu datang pagi-pagi di hari kedua untuk mengikuti orientasi dari senior di stase itu. Walaupun tidak kupungkiri stase ini adalah salah satu stase yang kutunggu-tunggu, tapi bukan rahasia juga ritme kegiatan di stase anak terkenal paling hectic dan disiplin, membuatku sedikit keder.

"Ya kalau dibanding stase lain, di sini memang paling banyak aturan sih Nad. Jadi kamu nggak ada tuh yang namanya luntang-lantung nggak jelas di sini, nggak bakal ada waktu juga buat ngabur-ngabur ke kantin. Yuk ikutin aku!" ajak Dayu menggamit lenganku untuk mengikutinya, sebelum memberikan kiss in the air pada pacarnya itu.

"Kalau minggu pertama, yang junior masih orientasi, jadi belum boleh pegang pasien. Ikutin aja seniornya, satu orang senior tanggung jawab satu junior, kamu ikutin aku ya, Nad! Tapi udah ikut jaga, jadwalnya nanti Chief antar kelompok yang buat. Minggu kedua baru mulai follow up sendiri, jam enam kayak gini ini mulainya paling aman."

Dayu kemudian berdiri di depan sebuah papan di sebelah kamar jaga koas yang berisi kode nama-nama kami dan kode pasien-pasien beserta kamarnya.

"Pembagian pasiennya pakai sistem matriks ini, koas-koas diurut, tiap pasien yang masuk nanti dibagi perkoas yang masih kosong, jadi semuanya pasti dapet, nggak berebut dan nggak bisa pilih-pilih pasien baru. Minggu kedua itu juga junior udah ikut rolling masuk Melati," Dayu menunjuk empat nama koas yang di kolom sebelah kirinya diberi keterangan 'Melati', "nginep dua minggu di sana ngurusin bayi-bayi. Selesai dari Melati, minggu berikutnya masuk poli anak, abis itu ke bangsal lagi. Minggu kesebelas sama duabelas nanti senior udah nggak pegang pasien lagi ya, fokus sama ujian. Mmm ... terus setiap hari Senin sama Kamis, ada presentasi kasus di ruang diskusi, semua koas anak wajib hadir, termasuk yang lagi di Melati dipanggil juga."

Aku mengikuti Dayu berjalan dari ruang perawatan satu ke ruang lainnya, sambil mendengarkannya menjelaskan tentang peraturan umum di stase anak, tangan kiriku membantunya membawa rekam medis pasien, sedangkan tangan kananku sibuk mencatat penjelasannya. Sesekali ia berhenti dan memeriksa pasien yang ia pegang.

"Ada enam konsulen di sini, catet nih ya ... Yang pertama dokter Haryadi, pediatrik senior yang dulunya sempat jadi ketua departemen anak. Orangnya santai, tapi harus ati-ati sama dia kalau ngomong, karena katanya masih turunan darah biru gitu jadi harus sopan banget, agak bungkuk dan nunduk-nunduk terus. Kalau visit nggak banyak tanya, tapi pastikan no mistake & tanggung jawab sama pasien yang dipegang. Kamu harus hapal diagnosis pasien apa, perawatan hari ke berapa, juga terapi yang diterima terutama antibiotiknya. Terus yang diperhatikan lagi kalau waktu presus, harus siapin kopi merk Nescafe yang rasa espresso, dingin, kalo nggak ada di kantin, cari di toko luar, pokoknya harus kopi itu. Yang terakhir, ini penting terutama buat kamu Nad, dokter Haryadi perokok berat, jadi selama presus itu, beliau nggak bakal berhenti ngerokok di ruangan, jangan sekali-kali kamu batuk gara-gara asapnya atau dia bakal tersinggung." Aku mengangguk sambil tersenyum kecut, mengingat aku seseorang yang sangat anti perokok.

"Yang kedua dokter Hera, juga dokter senior. Ini konsulen anak paling cerewet dan paling bahaya, soalnya paling sering ngasih hukuman inhal sampe refresh kalo kamu bikin salah. Jadi perhatiin ini : dokter Hera seringnya visit pagi jam delapan, jadi kalau bisa semua follow up beres setengah jam sebelum itu. Begitu beliau dateng, semua koas wajib nyambut di depan bangsal, salim dan jangan lupa cium tangan. Ikutin beliau visit sambil pegang buku kecil dan catat apa pun yang keluar dari mulut dia, karena biasanya soal ujian keluar dari situ, jangan keliatan diem aja kalau dia lagi ngomong. Dia selalu tanya teori dari kasus pasien yang dipegang, jadi pastikan kamu pelajari pasien kamu dan penyakitnya. Jangan pernah telat tiap presus atau referat dia, kalau nggak, kamu langsung otomatis dikasih bonus inhal.

Yang ketiga dokter Endro, dokter baru yang perfeksionis. Pinter, tapi sering menjerumuskan. Sering tanya-tanya dan kalau kamu nggak bisa jawab seringnya ngatain langsung di depan pasien dan keluarganya. Jadi siapin mental aja kalo visit sama dia. Kalau kamu dapet presus atau referat di bawah bimbingan dia, kamu bakal otomatis dapet nilai sempurna kalau kamu bisa presentasikan & jawab semua pertanyaan dia dalam bahasa Inggris. Oh, satu lagi ..." Dayu melirik kakiku, "jangan pakai rok pendek kalau hari itu jadwal dokter Endro visite." Aku otomatis menurunkan rok pensilku yang setinggi lutut itu sambil nyengir.

"Sisanya ada dokter Miftakhul, dokter Priyo sama dokter Erwina, ini semuanya konsulen paling baik di stase anak. Tinggal ngikut aja deh maunya mereka bertiga gimana, tapi ya gitu ... semakin baik konsulennya, semakin pelit kasih nilai. Ujian sama beliau bertiga ini nilainya nggak pernah lebih tinggi dari 70."

Aku mengangguk-angguk sambil menandai catatanku di beberapa hal penting yang Dayu tekankan.

"Ada yang mau ditanyain?"

"Nggak. Belom." Kataku sambil memainkan pulpen.

"Karena di departemen kita nggak ada residen, semua-semua jalurnya langsung ke konsulen, kita kerjain sendiri. Kedengarannya ribet sih, tapi kalau udah bisa ngikutin ritmenya enak aja kok dijalanin. Lagipula ... look at those kids!!"

Aku mengikuti pandangan Dayu pada anak-anak balita yang tengah terbaring di bangsal berisi enam buah tempat tidur. Kesemuanya manatap kami dengan tatapan polos campur trauma tetapi juga tatapan ingin tau khas anak kecil yang sebenarnya cukup menggemaskan. Aku bisa membayangkan betapa aku akan sangat menikmati berinteraksi dengan makhluk-makhluk tanpa dosa ini esok hari.

Ketika keluar ruangan, aku melihat teman-teman sekelompokku yang sedang mengekor seniornya masing-masing sepertiku, lalu dari ekor mataku aku menangkap gerak khas seseorang yang segera menarik perhatianku itu.

Bangsal Nusa Indah, berseberangan dengan bangsal Bougenvile yang merupakan bangsal untuk rawat inap pasien-pasien bedah saraf dan orthopedi. Maka feeling-ku memang tidak salah ketika melihat dokter Reno sedang berjalan –diikuti lima orang koas di belakangnya- menuju ruang paling ujung bangsal Bougenvile yang berjarak lima meter dari tempatku dan Dayu berdiri.

"Pagi amat dia visitenya?" tanyaku setelah melihat jam tanganku menunjukkan pukul setengah tujuh pagi.

"Ini masih mending, pernah dia visite jam setengah enam. Koasnya belum ada yang dateng sama sekali."

"Hah? Gila aja ..."

"Iya, untung aku udah selesai bedah."

"Sama. Untung gue juga." Jawabku masih sambil melihat rombongan itu berjalan ke arah kami. Dibandingkan dengan gaya berpakaian konsulen-konsulen lain yang sangat rapi dan terkesan kolot itu, you know ... celana kain longgar, hem, baju dimasukkan, sepatu pantofel ... gaya berpakaian dokter Reno sangat terlihat santai dan dandy, tapi juga tidak terlihat metroseksual. Pagi ini ia mengenakan hem berwarna biru denim yang lengan panjangnya ia lipat sampai siku, celana kain hitam dan ... sneaker hitam Tommy Hilfiger. Ia lebih terlihat seperti model nyasar daripada konsulen bedah saraf.

Dokter Reno sesekali berbincang dengan salah satu koas laki-laki di sampingnya, kemudian ketika ia mengangkat kepalanya dan menatapku, ia melakukannya lagi.

"Eh, Cuma perasaanku aja apa dokter Reno ngeliatin sini sambil senyum-senyum ya?" tanya Dayu tiba-tiba.

"Cuma perasaan aja." Aku segera merangkul Dayu dan mebalik tubuhnya agar pergi dari situ cepat-cepat.

"Soalnya setau aku tuh dia jarang banget senyum, Nad!" Dayu masih mencoba menoleh ke belakang dan segera kutarik lagi kepalanya ke depan.

"Mmmm ... aku mau cerita, tapi please kamu jangan bilang siapa-siapa, even Dipta. Dan jangan nge-judge juga sebelum aku selesai cerita." Dayu menatapku sambil mengerutkan dahinya dalam-dalam, tapi kemudian mengangguk.

Setelah memastikan keadaan aman, aku membawanya ke kamar jaga yang kosong, lalu aku pun menceritakan pengalamanku bertemu dengan dokter Reno di balkon itu, lalu diikuti perubahan sikapnya padaku, dan puncak keanehannya di kafe beberapa hari lalu.

"Kamu sadar istrinya sekelas putri Indonesia dan kamu Cuma koas yang belum lulus kan, Nad?" Adalah pertanyaan pertama Dayu setelah aku selesai bercerita.

"Iya, makasih ya udah diingetin ..." jawabku kecut.

"Maksud aku, kalo misal kamu berminat jadi pelakor, ngaca dulu lawannya siapa." Aku pun tertawa mendengar kata-kata Dayu lalu memukulnya dengan rekam medis pasien.

"Sialan lo ... siapa juga yang mau!"

"Yakali kan kamu khilaf gitu, udah putus asa sama kakak jadi-jadian yang nggak jelas itu, sampe suami orang pun diembat juga."

"Sorry ya Day, seputus asa apa pun, gue masih doyan sama cowok single."

"Bener ya ..." ledek Dayu sambil menunjukku, lalu tertawa keras.

"Kenapa lo ketawa?"

"I don't know ... I sense something excited will come out soon. Rumah sakit ini udah lama nggak kesentuh drama."

"Kurang ajar lo!" aku maju ke depan hendak menyekik Dayu yang masih tertawa ketika Dipta membuka pintu kamar dan melihat kami yang tampak sedang bergulat, ia hanya menaikkan alisnya seperti berkata 'really?'.

"Eh, jadwal melati junior udah jadi dibuat tuh." Kata Dipta sambil mengedikkan kepalanya keluar.

"Terus?" tanyaku.

"Selamat Nadia, minggu depan lo junior pertama yang masuk Melati."

Kalau tidak ingat ini di bangsal anak, aku sungguh ingin meneriakkan seluruh kata kasar yang aku ketahui.

**

Suatu sore sebelum aku masuk Melati, akhirnya aku bermain ke daycare, berpamitan pada perawat-perawat pengasuh dan juga pada anak-anak serta bayi favoritku karena akan menghilang selama dua minggu. Reaksi mereka cukup lebay sih menurutku, ketika aku katakan aku tidak akan datang selama dua minggu, Elbiel yang merasa paling tua dan sok tau itu tiba-tiba menangis kejer sambil memeluk kakiku.

"Jangan tante, tante jangan pergi!! Nanti Ebil sama siapaaaaa?" Spontan saja anak-anak lain yang sepertinya belum paham-paham amat apa maksudku jadi ikut-ikutan menangis dan membuat riuh satu daycare. Akhirnya si bontot Attaya pun ikut terbangun dari tidurnya akibat kaget oleh tangisan anak-anak lain.

"Cuma dua minggu Elbiel, habis itu tante ke sini lagi. Janji deh!" aku mengulurkan kelingking kananku seperti biasanya, dan untungnya tangis bocah laki-laki itu mulai mereda.

"Dua minggu itu, kapan?" aku tersenyum mendengar pertanyaannya, yang maksudnya berapa lama dua minggu itu.

"Sini duduk," Elbiel pun duduk dipangkuanku yang duduk di lantai, sehingga pandangan mata kami sejajar.

"Kalau Elbiel ke sini, terus Mama jemput pulang, itu berarti satu hari. Besok Elbiel ke sini lagi, terus pulang lagi, itu dua hari. Besoknya lagi, tiga hari. Elbiel itung terus aja, sampai empat belas. Ayo coba itung ... satu ... dua ... tiga ..." maka anak lugu ini pun mengikutiku berhitung sampai empat belas, lalu mengulangnya lagi dengan Bahasa Inggris, lalu Bahasa Jepang dan bahasa lain yang orang tuanya ajarkan padanya ... lewat guru les.

Aku pun kembali mellow ketika menyadari hal itu, bagaimana anak-anak di sini tumbuh cerdas tanpa disaksikan oleh orang tuanya, dan masa-masa golden period yang sangat berarti itu terlewatkan begitu saja. Ketika Bu Ami menyerahkan Attaya ke pangkuanku yang bebas, aku pun mengecup kepalanya berulang kali, bertanya-tanya bagaimana bisa anak sekecil ini dititipkan begitu saja di tempat ini.

Sampai kulihat sepasang kaki berhenti tak jauh dari tempatku duduk. Aku menengadahkan kepalaku, dan kaget bukan main melihat dokter Reno di situ.

"What the ..." gumamku saking speechless-nya, wajah terkejutku juga tercermin di wajah dokter Reno yang tidak menyangka melihatku di sini.

"Eh ... papanya Taya." Ucap Elbiel.

Aku menoleh cepat ke arah Elbiel, kemudian menganga lebar melihat dokter Reno yang mengulurkan kedua tangannya.

"Attaya anak dokter Reno??" tanyaku bersamaan dengan pertanyaan dokter Reno, "Kamu ngapain di sini?"

"Tempat ini punya Mamaku." Jawabku spontan, dan dia seperti teringat sesuatu,

"Yang kamu bilang Mama kamu punya rumah sakit, ... tunggu, kamu anak dokter Amalia?" aku mengangguk, kemudian aku juga akhirnya teringat sesuatu.

"Beberapa minggu lalu dokter ke sini juga kan?" ia mengangguk. Entah kenapa rasa mellow yang sedari tadi kurasakan muncul ke permukaan, sehingga kekesalanku pada para orang tua anak-anak di sini menjadi tertuju padanya.

"Kok bisa sih dokter tega nitipin anaknya di sini? Attaya ini belum ada satu tahun loh umurnya ... Emang kemana Mamanya? Kok tega ninggalin bayi sekecil ini, nggak ditinggalin ASI lagi! Mohon maaf ya dokter, tapi kan ini nggak tanggung jawab banget! Kalau memang belum siap punya anak ya nggak usah bikin anak, atau nggak usah nikah aja deh! Atau kalau memang dokter sibuk banget jangan dititipin ke penitipan anak, ke orang asing. Dokter kan pasti punya keluarga, Kakek neneknya kek, om tantenya kek, siapa pun asal jangan orang asing."

Dokter Reno menatapku datar, "Udah?"

"Hah?" ia kemudian meraih Taya dari pelukanku. Bayi mungil itu sedari tadi terus mengulurkan tangan ke ayahnya. Dan ketika ia sudah berada di gendongan Reno, bayi cantik itu tersenyum lebar memarken kedua gigi bawahnya.

"My wife left me, so it makes me single parent now. Kamu sebenernya nggak punya hak sih buat judge saya, secara kamu nggak tau apa-apa juga kan tentang saya."

Reno berbalik dan berjalan menuju pintu keluar. Tapi sebelum ia melangkah keluar, ia berbalik lagi.

"Oh iya, kamu ngikutin berita tentang pesawat jatuh enam bulan yang lalu?" aku mengangguk. Siapa yang tidak tahu tentang pesawat jatuh yang sempat menjadi bencana nasional dengan memakan korban seluruh penumpangnya.

"Orang tua dan adik saya korban di situ ngomong-ngomong. Jadi ya ... Cuma saya aja yang si cantik ini punya." Reno menaikkan kedua bahunya seakan berita yang baru saja ia sampaikan bukan masalah besar.

"Tapi makasih ya, saya jadi tau apa yang akan orang-orang bilang tentang saya waktu tau saya ternyata duda anak satu yang nggak bisa ngurus anak."

Ada dua perasaan yang mendominasi hatiku saat ini, terkejut tentunya, dan satu lagi adalah rasa bersalah yang semakin membesar tiap dokter Reno membeberkan fakta tentang dirinya itu.

Mulut lo nggak bisa direm banget sih, Nad!

_______________________

Inhal : hukuman tambah hari buat koas. Biasanya setelah ujian stase selesai, kalau ada libur sebelum masuk stase berikutnya, dipakai buat hukuman inhal itu. Ada yang inhal satu hari, ada yang sampai seminggu, alias nggak bisa liburan ... hiks ...

Refresh : kalau inhal itungannya hari, kalau refresh bulan. Ada yang refresh 1 bulan ada yang refresh 3 bulan, alias ngulang stase. Triple hiks .... 

________________________

Selamat menjalankan ibadah puasa dan ibadah-ibadah lainnya di bulan Ramadhan, semoga diberi kemudahan, kelancaran & keikhlasan ....

Continue Reading

You'll Also Like

2.8K 551 1
Gila! Benar-benar gila! Misi Ayesha mengantarkan makanan anjing ke rumah salah satu pelanggan, berujung pada pertemuannya dengan salah satu anggota s...
5.3M 123K 11
Salah satu alasan Swastika Nareswari resign adalah perbedaan cara pandangnya dalam urusan pekerjaan dengan Javas Maheswara, sang pimpinan. Serta sika...
1.9M 81.2K 22
Dari penulis A Wedding Come True dan My Bittersweet Marriage: *** Sebuah perjalanan dari belahan bumi utara menuju khatulistiwa, untuk mencari cinta...
2.9M 136K 46
Kisah cinta tentang mereka.. Tentang anak manusia yang suka membuat hidup lebih berwarna. Ada yang mau menikah, ada yang dipaksa menikah. Ada yang b...