Chapter 17: Niat Baik yang Terlihat Buruk
"Lebih mudah menghitung kedalaman lautan daripada memprediksi isi hati manusia."
***
"Kak Yasa nggak tahu tentang..." jeda sebentar, Daza memelankan suaranya, "...Mbak Melati?"
"Oh, itu yang lo maksud," Yasa yang semula bingung dengan maksud cewek di sampingnya ini kini dapat mengerti. "Lo percaya yang gituan?" Terselip nada meremehkan dari pertanyaan yang dicetuskan Yasa.
"Iya lah. Emang Kak Yasa nggak percaya? Hati-hati lho kak, dia doyannya sama cowok, ntar Kak Yasa yang bakal digangguin."
"Bego banget percaya sama begituan."
"Kak Yasa nggak percaya?!" ulang Daza kaget. "Mbak Melati ini udah terkenal banget sejak sekolah pertama kali dibangun. Semua penduduk Nuski juga pada percaya. Kakak tahu Kak Orion?"
"Anak bahasa itu? yang pernah ikut olimpiade bahasa Jerman?"
"Apa?! Kak Orion pernah ikut olimpiade bahasa Jerman? Astaga keren banget, aku baru tahu." Mata Daza langsung berbinar takjub.
Yasa memutar bola matanya jengah. "Jadi kenapa sama Orion? Mukanya mirip Mbak Melati?"
"Bukan, lah! Sembarangan aja. Ada cerita horor dari Kok Orion. Mau denger?"
"Apaan?"
"Kak Orion kan anak pramuka, waktu itu ada kegiatan apa gitu sehingga mereka pulang malem. Nah, kak Orion duduk disini pas malem-malem. Kakak mau tau nggak kelanjutannya apa?" Daza begitu ekspresif bercerita, hal yang membuat Yasa agak tertarik.
"Dia ngeliat Mbak Melati gelantungan di atas pohon sambil haha-haha hihi-hihi dan kiss bye ke dia?" tebak Yasa ngasal.
"Aku serius kak!"
"Lah, gue juga serius. Tebakan gue salah? Berarti sosok Mbak Melati itu nggak ada."
"Adaaa! Kak Orion nggak ngeliat Mbak Melati, tapi dia ngerasain sensasi kehadiran Mbak Melati."
Dahi Yasa langsung berkerut. "Sensasi gimana?"
"Kak Orion langsung ngerasa pengap, sesak napas gitu. Seakan disini nggak ada oksigen. Pokoknya horor banget lah. Ini Kak Orion sendiri yang cerita ke temen aku yang kebetulan ikut pramuka juga."
Yasa menghela napas panjang. "Lo tau nggak kenapa Orion masuk jurusan Bahasa?"
"Kenapa?"
"Itu karena dia doyan ngarang bebas."
"Ih, ini bukan hasil karangan. Ini tuh based on true story."
"Ok, gue percaya sama yang dialamin Orion. Tapi gue nggak percaya sama Mbak Melati."
"Kenapa?"
Yasa berdecak. "Hal yang dirasain Orion tuh bisa dijelasin secara ilmiah. Alasan dia ngerasa pengap, sesak napas, itu bukan karena Mbak Melati."
"Oh ya? Emang penjelasannya gimana?"
"Lo pernah belajar fotosintesis nggak sih pas SMP?"
"Pernah."
"Apa yang tumbuhan hasilkan dari fotosintesis?"
"Oksigen?" jawab Daza kurang yakin.
"Nah, kalau malem, ketika nggak ada matahari, pohon beringin dan segala tumbuh-tumbuhan itu nggak melakukan fotosintesis, jadi mereka nggak ngeluarin oksigen. Mereka cuma melakukan respirasi, menghirup oksigen dan ngeluarin karbondioksida kayak manusia. Makanya kalau di bawah pohon pas malem, kita cenderung ngerasa pengap, sesak napas atau sebangsanya, itu karena kita harus berebutan oksigen sama mereka. Beda kalau pagi atau siang hari begini, kita nggak ngerasa pengap, malah sejuk. Itu karena mereka menghasilkan oksigen, jadi kita bisa dapetin oksigen dari mereka. Paham?"
Mulut Daza langsung membulat seraya menggumamkan kata "oh" dengan panjang.
"Masih percaya nggak nih sama Mbak Melati?" tanya Yasa sambil menatap cewek itu.
Daza mengadah, memperhatikan dedaunan yang lebat di atasnya. Pohon beringinnya saja tampak horor begini, bagaimana Daza mau menyatakan dengan tegas bahwa Mbak Melati itu nggak ada?
"Dari muka lo kayaknya lo masih percaya. Ck, penakut sih."
"Kak Yasa nanti kena batunya kalau suka ngeremehin begini."
Yasa mengusap pangkal hidungnya dengan telunjuknya. Susah memang ngomong sama Daza ini. Masuk ke kuping kanan, keluar kuping kiri.
"Btw, jadi apa tujuan Kak Yasa ngajak aku kesini?" Daza kembali ke pokok bahasan awal. "Aku kok ngerasa akhir-akhir ini Kak Yasa yang jadi semut, ya?"
"Hah!" Yasa tertawa sinis. "Nggak usah GR lo. Gue kesini karena mau ngasih kejutan."
"Kejutan apa? Ultahku bulan desember, ini awal agustus. Jadi masih lama."
Yasa merogoh sakunya untuk menemukan ponselnya. Setelah mengutak-atiknya sebentar, Yasa menunjukkan layar benda pipih itu kepada Daza.
"Tonton baik-baik."
Daza memperhatikan layar ponsel Yasa dengan saksama. Yasa menunjukkannya sebuah video yang tampak direkam amatiran. Ada seorang cewek memakai seragam SMA Nusa Cendekia yang tampak panik memperhatikan sekelilingnya. Dahi Daza menciptakan garis-garis vertikal.
"Ini aku?" Mata Daza memelotot. Dalam waktu delapan detik, video itu berakhir. Yasa menarik kembali ponselnya dari hadapan Daza.
"Kak Yasa kok punya video ini?!" Daza berteriak kaget.
"Ck. Volume suara tolong dikontrol. Lo mau rahasia lo ketahuan Mbak Melati, apa?" balas Yasa dengan senyum miring.
"Kak Yasa kenapa rekam itu?"
"Gue kebetulan ada di lokasi kejadian. Kenapa lo kabur kemarin?" selidik Yasa dengan mata menyipit curiga.
Wajah Daza kembali pias. Jari jemarinya saling berpautan tanda cemas. Dia tidak menyangka, Yasa menjadi saksi hidup atas kejadian kemarin sore.
"Lo pas SD belajar IPS sama PKN kan? Pasti pernah dijelasin tentang tenggang rasa, toleransi, tanggung jawab, disiplin. Seharusnya pelajaran IPS atau PKN khususnya tentang tanggung jawab, bisa lo terapkan saat kejadian kemarin."
Daza menggigit bibir bawahnya. Yasa memang jagonya membuat orang lain tersudut dengan kata-kata sarkasnya.
"Kemarin aku kelewat panik, Kak. Takut kena marah, malu juga."
Diam-diam, Yasa mengulum senyum geli. "Kalau gue kasih rekaman ini ke pemilik motor itu, mereka pasti marah besar. Soalnya pas mereka balik ke parkiran kemarin, mereka ngeliat motor mereka saling tindih-tindihan tanpa tahu penyebabnya."
"Motor mereka rusak nggak?" tanya Daza takut-takut.
"Lecet parah. Sampe-sampe ada motor yang nggak bisa dihidupin." Yasa berbohong sekadar untuk menakut-nakuti. "Jadi, gue mau kasih liat rekaman ini, biar mereka bisa minta pertanggung jawaban."
"Jangan dong, Kak!"
"Apa untungnya gue ngerahasiain ini?"
"Kalau kak Yasa ngerahasiain ini, aku janji nggak akan muncul lagi di hadapan Kak Yasa."
Enak saja! Protes Yasa dalam hati.
"Kalau dulu, gue bakal senang hati dunia akhirat, tapi sekarang situasi udah beda."
"Hah?"
"Itu terlalu gampang buat lo. Gimana kalau gue kasih penawaran yang lain?"
"Apaan?"
"Gue bakal tutup mulut tentang ini asal lo mau ngelakuin satu hal ke gue."
"Apa itu?"
"Masakin gue pastry."
Daza bengong. Tak menduga jawaban ini. Namun meski begitu, ada kelegaan dalam hati Daza karena penawaraan ini bisa dia sanggupi. "Oke kalau cuma sekedar masak pastry."
"Setiap hari."
"HAH?!"
"Masakin gue pastry setiap hari, bawa ke sekolah. Pastry-nya harus enak."
"Lo gila!" cetus Daza tanpa mikir dua kali.
"Hah? Lo?" Yasa terlalu kaget dengan panggilan "lo" yang Daza gunakan. Seumur hidup, baru kali ini Daza menggunakan kata ganti "lo" sebagai sapaannya ke Yasa.
"Gue nggak mau, emang gue pembantu lo apa?!" bentak Daza.
"Gue?" Yasa mengulang ucapan Daza. Adik kelasnya ini betul-betul berani dan menjurus ke kurang ajar sekarang.
"Kenapa? Kaget denger panggilan lo-gue? Lagian, kita cuma beda setahun dua tahun. Sok-sok-an juga mau dipanggil kakak," cibir Daza.
Yasa mulai geram. Dia berdehem, mencoba mengontrol diri agar tak terbawa suasana. "Oke, terserah. Gue bakal kasih liat rekaman ini ke semua pemilik motor yang lo jatuhin itu," ancamnya.
"Oke, silakan. Gue yang bakal lebih dulu minta maaf ke mereka. Emang dikira gue pengecut apa sampe-sampe nggak berani bilang maaf?" Daza balik menantang.
Kalimat terakhir Daza sedikit membuat hati Yasa tersentil.
"Lo tau nggak siapa-siapa aja pemilik motor itu?" tanya Yasa. Ini saatnya dia mengatakan apa yang sudah dia rencanakan dari semalam.
"Emang siapa?" Daza jadi penasaran.
"Si pemilik vespa biru langit namanya Gamadi Sagara. Dia anak kelas dua belas. Ngomongin tentang reputasinya, nggak lengkap kalau nggak nyebut kata kejam, galak, dan dingin. Lo mau berurusan sama dia? Siap-siap dibikin malu."
Oh, Daza tahu nama itu. Dia juga sering mendengar kabar mengenai sikap cowok itu yang jauh dari kata ramah.
"Lo kenal Selin anak kelas sepuluh? Coba lo perhatiin gimana Saga interaksi sama Selin. Dan lo bakal tahu gimana dia bakal ngatasin cewek nyebelin kayak lo."
Daza menelan ludah, takut.
"Yang kedua, si pemilik CB merah. Lo pasti tahu sama dia."
"S-siapa?"
"Dewa, anak jurnalistik. Camera person, sama kayak gue."
Mulut Daza membulat seketika, "CB itu punya Kak Dewa toh," Daza manggut-manggut. Agak lega sih, soalnya setahunya, Dewa itu baik hati.
"Jangan seneng dulu. Dia emang baik. Tapi, kalau udah berurusan sama motornya, karakternya bisa beda lagi. Motor CB-nya itu adalah aset kesayangannya. Ibarat Putra yang mengagungkan jambulnya, Dewa itu mengagungkan motornya. Saking berharganya motor itu bagi dia, Dewa tanpa malunya ngasih nama ke kendaraan itu."
"Eh? Masa? Emang dikasih nama apa?"
"Dia ngasih nama motornya Dewi," kata Yasa santai yang justru membuat Daza tersentak kaget. "Kebayang kan betapa besar rasa cintanya ke motor itu? Emang agak nggak waras tuh anak!" lanjutnya.
"Demi apa? Kok segitunya, sih?"
"Ya gue juga kurang ngerti dengan obsesi macem itu. Nah, kalau dia tahu lo yang udah ngejatuhin motornya dan ninggalinnya gitu aja, kira-kira reaksinya gimana, ya?" tanya Yasa seakan sengaja untuk memperkeruh suasana hati Daza.
Daza mengusap-usap jempol tangannya sendiri. Mulai panik.
"T-terus, yang ketiga?"
"Ah, motor sport hitam itu, punya Mars."
"Mars?"
"Iya, DJ yang pake ember di kepalanya itu."
"Ihh, itu Marshmello, nggak lucu, tau! Orang lagi serius."
Yasa nyengir singkat. "Mars itu anak kelas sebelas. Kalo lo sering liat cowok keliaran pake hoodie item di sekolah, kemungkinan besar itu dia. Sosoknya udah kayak Grim Reaper. Misterius. Gue juga curiga, dia itu manusia atau bukan." Yasa melebih-lebihkan omongan, padahal jelas Yasa tahu Mars itu manusia tulen. Soalnya waktu dulu mereka sempat mengobrol karena Mars sendiri adalah teman satu SMP Putra.
"Yang satu kejam, yang satunya punya obsesi aneh, yang satunya misterius. Yakin lo mau berurusan sama mereka? Gue nggak nanggung kalo lo dalem masalah."
Daza diam. Berpikir matang-matang.
"Mereka bertiga bisa dibilang nggak akan maafin lo dengan mudah, otomatis lo harus bener-bener memelas agar permintaan maaf lo diterima," kata Yasa. "Bagian yang makin menyulitkan itu, mereka bertiga 'punya tampang'. Otomatis, banyak cewek yang naksir mereka. Kalau lo ngejer-ngejer mereka dengan kentara, siap-siap kena interogasi para fans-nya."
Daza memejamkan matanya. Dia tidak siap jika masa SMA-nya dihabiskan dengan berurusan dengan tiga cowok yang jelas akan membuatnya terjebak dalam kesulitan.
"Ya rahasiain aja tentang kecerobohan lo kalau mau cari aman."
"Kak Yasa nyari kesempatan dalam kesempitan!"
"Gue mau nyelametin lo."
"Oke, gue –ehem, maksudnya aku, nggak terima dengan penawaran Kak Yasa itu." Daza berkata pelan dan dengan emosi yang kembali stabil. Setidaknya dia harus sopan sama orang yang sedang memegang rahasia memalukannya ini. "Kak Yasa nggak bisa nyuruh aku masakin pastry buat Kak Yasa setiap hari. Yang pertama, aku bukan pembantu. Yang kedua, aku nggak ada bakat jadi babu."
Daza menarik napas pelan, "Hal kayak gini tuh keterlaluan, Kak. Aku juga punya aktifitas lain. Aku harus belajar, ikut ekskul, bimbel, dan lain-lain. Kak Yasa mau jamin kalau nilai aku anjlok karena kerjaannya masak terus?"
Benar juga. pikir Yasa.
"Hm, masakin gue pastry hanya setiap hari selasa dan kamis. Hari selasa, gue ada pelajaran yang bikin kepala gue mumet, pastry bisa bikin mood gue membaik. Hari kamis, kalau lagi ke lab biologi, gue suka males ke kantin, gue bisa makan pastry bikinan lo pas pulang sekolah." Yasa memberikan penawaran yang sedikit lebih baik.
"Aku nggak bisa masak pastry," tegas Daza. Sebetulnya, Daza bukannya tidak bisa, tapi dia memang yang tidak mau. Memasak pastry sekali sebulan, okelah. Kalau seminggu dua kali? Itu keseringan. Semakin sering dia melakukan aktifitas yang sempat sangat dia sukai itu, semakin sering pula dia merasa sedih karena itu tentu akan mengingatkannya akan cita-cita yang telah dikuburnya.
"Bohong banget," kata Yasa. Meski Yasa belum pernah mencoba secara langsung, tapi Yasa punya firasat bahwa pastry buatannya pastilah enak.
"Aku nggak punya duit untuk beli bahan," Daza berusaha menolak.
"Ck! Gue bakal kasih duit, anggap aja gue beli sama lo."
"Aku boleh jual dengan harga mahal?"
"Ngelunjak lo, ya. Gue cuma beli untuk bahan-bahannya," jawab Yasa.
"Kok Kak Yasa ngotot banget sih pengen dibikinin pastry?"
Rasanya Yasa ingin berteriak bahwa alasannya tak lain dan tak bukan adalah demi cewek itu sendiri. Rutin memasak pastry bisa membuat Daza kembali memiliki motivasi untuk mengejar mimpinya yang nyaris terkubur itu. Melalui hal ini juga, Daza dapat mengasah kemampuan memasaknya sehingga dia siap apabila ingin mengenyam pendidikan di kampus impiannya.
Dan dengan alasan itu juga, Yasa bisa terus berinteraksi dengan Daza. Lewat interaksi-interaksi yang terjalin nanti, Yasa bisa membantu Daza dalam setiap kesulitannya. Itu adalah langkah terbaik untuk menebus rasa bersalah dan melakukan perbuatan yang setimpal untuk membalas jasanya.
"Kebetulan gue suka pastry. Semenjak bokap nyokap gue cerai, nggak ada lagi yang bikinin gue pastry," kata Yasa, tidak sepenuhnya berbohong.
Daza langsung terdiam. Kalau sudah bawa-bawa perceraian orang tua –yang sebagaimana Daza tahu itu adalah hal yang sempat membuat Yasa begitu terpukul, Daza tak tega untuk berkata kasar.
"Kak Yasa janji nggak bakal bocorin video itu ke siapa-siapa?" Daza memastikan.
"Gue janji, asal lo penuhin kewajiban lo masakin gue pastry," tegas Yasa.
Daza menghela napas panjang. "Tapi sampe kapan ini, kak?"
"Sampe gue bosen makan pastry bikinan lo, atau sampe lo udah nggak takut lagi rahasia ini kebongkar. Clear, kan?"
"Ck! Nyebelin banget sih, kak! Untuk bahan-bahannya Kak Yasa bayar sendiri!"
"Minta nomor hape lo?" ucap Yasa tiba-tiba.
"Buat?"
"Ngabarin lo untuk selanjutnya."
"Nggak usah, chat aja di LINE. Aku udah gabung di grup jurnalistik Nuski. Nggak usah telpon-telpon aku," kata Daza ketus.
Yasa mendengus, "Songong banget lo. Yaudah, pergi sana temuin temen lo. Katanya lo sibuk!"
Daza berdiri dari duduknya. "Perjanjian ini bakalan segera berakhir kak karena aku bakal nemuin cara untuk minta maaf ke tiga cowok itu tanpa bikin aku terjebak dalam masalah."
"Ya ya ya, silakan berpikir, Za. Pikirin juga selasa nanti mau bikinin gue menu apa," jawab Yasa santai.
Daza menghela napas panjang lalu mendongak menatap pohon beringin. "Mbak Melatiiiii, gangguin cowok ini dong sekali-kali. Dia nyebelin soalnya!" Setelah mengatakan hal itu, Daza berbalik dan melangkahkan kakinya dengan cepat menuju kantin.
Yasa memperhatikan punggung yang kian menjauh itu dengan senyum samar tercetak di bibirnya.
"Bahkan kalau gue bersikap baik ke lo, lo tetap bakal salah mengartikan. Gue adalah seburuk-buruknya manusia di mata lo," ucap Yasa.
Setelah mengucapkan itu, Yasa agak tersentak karena sebuah ranting kecil jatuh ke bahunya. Yasa mengambil ranting kecil itu dan menatapnya aneh. Tidak ada angin yang berhembus namun ranting ini bisa sampai kepadanya. Yasa mendongak untuk menatap dedaunan pohon beringin yang cukup lebat dengan batang yang kokoh itu.
Yasa mendadak merasa konyol.
"Mbak Melati, lo nggak doyan cowok ganteng yang nyebelin, kan?"
***
A/N:
Apakah perjanjian ini bisa jadi sarana untuk membalas jasa Daza atau malah jadi sarana untuk mereka PDKT? Wkwkwk
Terimakasih udah baca Yasa💖. Sejauh ini, gimana nih ceritanya?
Yuk follow ig @yasa_niagara, @dazamaurisha, @nuskihitz @beliabentang @egadyptr. Dan jangan lupa buat ikutan KTalk bareng Yasa di ig @nuskihitz rabu nanti ya.
With love,