11 || Inisial

110K 12.9K 788
                                    

Chapter 11 : Inisial

"Look at me and tell me you don't care"

***

"Tumben lo bawa bekal," ucap Erik ketika dilihatnya Daza mengeluarkan kotak makan berwarna merah dari lacinya tepat ketika bel istirahat berbunyi. "Bawa kue-kue-an, yah?" tanya Erik kemudian sambil diliriknya isi dalam kotak tersebut.

Daza mencibir, "Ini nasi goreng, dibuatin Bik Rumi," jawab Daza.

"Yah, gue kira pastry bikinan lo gitu."

"Emang Daza bisa bikin pastry?" tanya Agrita setelah selesai membereskan bukunya.

"Daza jagonya, Grit," jawab Erik.

Agrita langsung memasang ekspresi takjub. "Seriusan, Daz? Gue suka lho pastry, sekali-kali bawa ke sekolah dong bikinan lo."

Daza mendengus. Erik mulutnya memang ember banget. Nggak pantes jadi cowok tulen. Sebetulnya Daza bukannya pelit karena nggak mau membawakan pastry bikinannya. Tapi memang karena akhir-akhir ini Daza mulai menjauh dari kegiatan masak-masaknya. Kalau masak pastry itu, Daza bawaannya sedih, teringat kembali cita-citanya kuliah chef di Le Cordon Bleu yang tak mungkin tercapai itu.

"Pastry bikinan gue nggak enak. Masih enakan bikinan Mami Kantin," balas Daza cuek sambil melahap nasi gorengnya. Sebelumnya Daza sudah menawarkan menu brunch-nya ini kepada dua temannya itu, tapi ditolak.

"Alah, merendah lo," cibir Erik.

"Erik aja nih yang lidahnya nggak berfungsi dengan baik sehingga dia nggak bisa bedain mana pastry yang enak mana yang enggak."

"Suruh Agrita cobain, Daz, baru lo bisa nge-judge kemampuan gue menilai makanan, asal lo tahu, kemampuan menilai makanan gue ini udah sebelas dua belas sama Chef Juna."

"Kalau gue sebelas dua belas sama Chef Marinka," sahut Agrita.

Daza memutar bola mata bosan.

"Oh iya Daz, pulang sekolah nanti disuruh kumpulin artikel bikinan kita dalam bentuk hard copy di sekret. Ditunggu Kak Raya," ucap Agrita.

Daza manggut-manggut. Untuk yang memilih divisi tata bahasa di ekskul jurnalistik, mereka memang disuruh membuat artikel dengan tema yang berkaitan dengan Nusa Cendekia. Dan Kak Raya adalah senior di divisi tata bahasa, dia anak kelas dua belas yang sebentar lagi lepas jabatan.

"Rik, lo nggak mau ke kantin?" tanya Agrita.

"Mau. Yuk!"

***

Memasuki sekretariat ekskul jurnalistik, Daza mewanti-wanti kehadiran Yasa. Helaan napas lega lolos dari bibir Daza ketika matanya menjelajah ke penjuru ruangan, sosok yang dikiranya ada itu, tidak terlihat. Di ruangan ini sekarang hanya ada satu orang cewek dan satu cowok.

"Maaf ganggu, kak. Kak Raya ada, kak?" tanya Daza kepada salah seorang cewek berambut ikal yang duduk di lantai sambil memangku laptop. Yang Daza ingat, nama cewek itu adalah Norin.

"Mau ngumpulin artikel, ya?" tanya Norin.

Agrita dan Daza kompak mengangguk mengiyakan.

"Kak Raya-nya tadi ada, cuma keluar bentar buat ke toilet."

"Tunggu disini aja dulu nggak papa," sahut satu-satunya cowok yang duduk di sebuah kursi kayu sambil mengutak-atik kamera di tangannya. Cowok itu tersenyum ramah. Senyum yang turut menular pada Daza.

Yasa [SUDAH TERSEDIA DI TOKO BUKU]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang