The Same Things

By fauky_

133K 3.1K 61

Aku bahagia hanya dengan melihatmu tersenyum. Sekalipun senyuman itu bukan tertuju padaku - Revita Pradipta ... More

The Same Things
Revita
Alvaro
Revita
Alvaro
Revita
Alvaro
Alvaro
Revita
Alvaro
Revita
Alvaro
Jejak Penulis
Attention..
27. Say Hi!

Revita

4K 201 2
By fauky_

Tidak pernah aku merasakan seletih ini selama hidupku. Baik jiwa maupun raga. Seusai menghadiri pesta ulang tahun Kevin, aku pulang dengan keadaan yang mengenaskan. Kedua mataku bengkak, hidungku memerah, dan rambutku acak-acakan. Jangan tanya aku pulang dengan siapa. Tentu saja aku pulang sendiri, dengan jalan kaki. Tapi tidak sepenuhnya jalan kaki, karna di tengah jalan aku menyetop taksi yang tak sengaja lewat di hadapanku.

Jam setengah sebelas malam, aku baru sampai rumah. Untung saja Ayah dan Bunda sudah tidur, jadi mereka tidak akan melihat penampilanku yang tidak enak dipandang ini. Saat masuk kamar, tiba-tiba saja Jovan meneleponku dan menanyakan keberadaanku. Aku hanya bisa menjawab kalau aku pulang lebih dulu karena sedikit tidak enak badan. Tahu apa tanggapan dari Jovan?

Oh yaudah kalo gitu, kamu langsung tidur aja. Besok sekolah.’ Telepon pun terputus. Bahkan dari nadanya terdengar datar sekali. Sepertinya ia tidak terlalu peduli padaku, karena sudah ada Farah di sampingnya. Tadinya aku berharap, dengan menghilangnya aku yang secara tiba-tiba, Jovan setidaknya merasa sedikit khawatir terhadapku. Tapi nyatanya?

Aku menghempaskan tubuhku di atas kasur. Kuraih guling yang tak jauh dariku dan menutup mukaku dengan guling itu. Dan pada akhirnya, aku menangis untuk yang kedua kalinya dalam sehari. Dengan alasan yang sama, Jovan.

Keesokan harinya, di sekolah aku lebih banyak diam. Aku juga tidak terlalu ingin bertemu dengan Jovan untuk sementara. Setidaknya, sampai aku berhasil menata hatiku kembali. Begitu pula pada Farah. Aku tidak tidak begitu banyak berinteraksi dengannya. Untung saja tampangku tidak selecek kemarin malam. Jadi tidak ada yang menyadari kalau aku sudah menangis berjam-jam.

Saat jam istirahat, alih-alih menemui Jovan, justru aku ke perpustakaan yang terletak di gedung utama. Gedung yang berada di antara gedung IPA dan gedung IPS. Gedung yang terisi ruang kelas sepuluh, ruang kepala sekolah, ruang tata usaha, ruang guru,  UKS, perpustakaan, serta berbagai macam ruang klub dan keorganisasian. Seperti OSIS, klub seni rupa, klub seni music dan masih banyak lagi. Perpustakaan sekolahku berada di lantai dua, jadi mau tak mau aku harus naik tangga untuk sampai ke sana.

“Eh Revi, mau kemana lo?” Sapa Satria yang baru keluar dari ruang guru sambil membawa banyak sekali buku di tangannya. Sudah lama aku tidak bertegur sapa dengannya, padahal kelas kami bersebelahan.

“Hai Sat, gue mau ke perpus nih.” Jawabku dengan memasang senyum. “Lo sendiri?”

“Wah, sama dong.” Sahutnya. “Kalo gitu bantuin gue dong, Rev. Berat nih.” Pintanya memelas dan menyodorkan buku-buku yang ia bawa.

“Elaaah, lo ngerepotin banget sih jadi orang.” Cibirku kesal karena merasa dimanfaatkan. Tapi bukannya pergi, aku malah mengambil setengah dari buku-buku yang dibawa Satria. Kasihan juga kalau membiarkannya membawa bertumpuk-tumpuk buku tebal itu sendirian.

Aku dan Satria jalan beriringan menuju ke perpustakaan yang tak jauh dari ruang guru. Tak jarang, beberapa junior menyapa Satria. Rupanya, Satria cukup terkenal di kalangan adik kelas. Paling tidak, beban di hatiku sedikit terangkat karena ngobrol dengan Satria di perpustakaan. Untung saja perpus tidak terlalu ramai, sehingga aku dan Satria bisa sedikit bebas. Ia menceritakan banyak hal padaku. Dari topik yang sangat ringan, seperti tentang film dan hobi, hingga yang paling berat, seperti masalah politik dan hukum di Indonesia. Aku bersyukur pernah membaca sedikit tentang politik, sehingga aku tidak perlu merasa minder saat Satria membahasnya.

Minggu siang, sepulang dari acara amal yang diadakan Bhakti Luhur di salah satu panti asuhan, aku meminta Daffa mengantarku ke BitterSweet. Karna aku tidak membawa kendaraan, tadi pagi Daffa yang menjemputku. Katanya biar cepat. Saat aku mengajaknya untuk mampir ke BitterSweet, Daffa menolak dengan alasan ia sudah capek. Pada akhirnya aku sendirian ke BitterSweet.

Tak kusangka, ternyata BitterSweet siang ini begitu penuh dan ramai. Aku tidak menemukan ada kursi kosong sama sekali. Hingga aku menemukan satu meja dengan dua kursi di sudut ruangan pinggir jendela yang sudah di tempati seseorang. Paling tidak kursi di hadapannya masih kosong. Siapa tahu aku boleh gabung kan?

“Aku boleh duduk sini?” Tanyaku pada seorang cowok yang kemudian menghentikan permainan gitarnya dan mendongak menatapku. Ia menganggukan kepala tanda setuju. Aku pun duduk di hadapannya.

Benar-benar tidak asing. Kali ini aku yakin kalau dia adalah vokalis yang tempo hari nyanyi di pestanya Kevin bersama bandnya Your Favorite Astronauts. Vokalis yang bernyanyi dengan penuh luka di matanya. Setelah aku bertanya, ternyata benar dugaanku. Dia adalah vokalis waktu itu. Setelah basa-basi seadanya, tiba-tiba saja dia menawarkan sebuah permainan yang menurutku aneh. Permainan dimana aku dan dia jika bertemu dan saling menatap secara tak sengaja, maka kami harus menceritakan tentang diri masing-masing. Dengan syarat yang aku ajukan, tanpa mengetahui nama masing-masing. Sepertinya seru juga memainkan permainan aneh ini bersama orang asing—yang rasanya sudah tidak asing lagi.

Sebagai awal, aku dan dia menceritakan bagaimana keluarga kami. Aku merasa prihatin saat ia bercerita kalau keluarganya tidak seperti dulu lagi. Orang tua yang mulai sibuk dengan urusan masing-masing, serta harus dijauhi oleh kakak kandung sendiri. Aku tidak tahu bagaimana ini bisa terjadi, tapi sungguh, aku bisa merasakan kesedihan di hatinya.

“Aku boleh pinjem gitar kamu?” Tanyaku hati-hati, takut kalau saja itu gitar berharga yang tidak boleh dipegang orang lain. Sengaja sih sebenarnya, aku tidak ingin larut-larut dalam kesedihan. Dia mengerutkan dahi, namun tak urung menyerahkan gitarnya padaku.

“Mau buat apa?” Buat getok pala lo! Andaikan aku bisa berkata seperti itu. Heran deh, cakep-cakep kok lola.

Sebagai jawaban atas pertanyaan vokalis-cakep-tapi-lola ini, aku mulai memetik senar gitarnya. Memainkan sebuah intro lagu, yang entah kenapa ingin sekali aku mainkan sekarang ini. Asal tahu saja, aku bisa bermain gitar. Yah, walaupun tidak semahir yang punya gitar ini sih. Aku memejamkan mata dan mulai melantunkan liriknya.

Don’t break my heart before I give it to you

Don’t tell me no before I ask you to

Don’t say it doesn’t fit before you try it on

There’s too much to lose to be wrong

And it feels like there’s something here

But I wanna see it before it disappears

And if there something real between me and you

Well are we both open to

All these possibilities

So many little possibilities

Right in front of us

Close enough to touch

And far enough to have some time to see

All these possibilities

Whoa these possibilities

Are written in the stars

We are who we are baby

And I can’t help but think that possibly

There’s possibilities

Aku memilih untuk menyudahi permainanku dan segera membuka mata kembali. Aku terkejut, saat melihat hal pertama yang aku lihat setelah aku membuka mata. Ekspresi takjub dan tak percaya dari si pemilik gitar. Untuk beberapa saat, ia tidak mengatakan sepatah kata pun. Bahkan wajahnya masih konsisten dengan pandangan takjubnya padaku.

What?” Tanyaku kemudian. Aku sudah gerah dipandangi seperti itu. Membuatku canggung dan kikuk saja.

“Woaaaaaa…” Pekiknya sembari bertepuk tangan dengan semangat. “Kereeeen pake banget!” Pujinya kemudian.

Aku langsung menundukan kepalaku dalam-dalam untuk menutupi mukaku yang pasti sudah merah banget ini. Jujur saja, baru kali ini ada yang memujiku selain keluargaku. Yah, sudah pasti hanya keluargaku yang memuji, karna hanya mereka yang tahu kalau aku sedikit bisa bermain gitar dan bernyanyi. Sebelum ini, aku tidak pernah menunjukan hobiku pada orang lain. Bahkan sahabat dan pacarku pun tidak. Aku juga tidak tahu, dari mana aku mendapat keberanian untuk menunjukan kemampuanku pada orang asing di hadapanku ini.

“Nggak usah lebay deh.” Aku masih berusaha untuk menyembunyikan rasa gugup yang mendadak datang. Sialan!

Dia tertawa kecil menanggapi perkataanku, “Nggak perlu malu gitu kalo sama aku.” Godanya.

“Siapa yang malu?”

“Kamu.”

“Nggak.”

“Iya, nggak salah.” Oke dia menang. Aku langsung terdiam dan ia tertawa puas melihatku yang tidak mendebat lagi.

Pada saat itulah aku menyadari sesuatu. Kalau ternyata aku menikmati gelak tawanya yang tidak dibuat-buat sama sekali. Aku lebih nyaman melihatnya yang seperti ini dari pada saat ia menyanyikan Ever Enough saat pesta ulang tahunnya Kevin tempo hari. Sepertinya doaku waktu itu dikabulkan. Aku dipertemukan dengannya oleh Allah lewat takdir, dan sekarang tugasku membuatnya merasa bahagia. Seperti yang sudah aku harapkan ketika melihatnya terluka tetapi tidak ada seorang pun yang menyadarinya. Paling tidak, dengan menghiburnya. Aku juga merasa terhibur.

Sebuah nada dering khas Sony terdengar. Aku langsung mengambilnya dari saku celanaku. Dengan cepat, aku menggeser tombol hijau setelah membaca caller id yang terpampang. Tumben sekali Bunda menelepon.

“Hallo?” Sapaku.

Kamu dimana, Ta?” Tanya Bunda di seberang sana.

“BitterSweet. Kenapa, Bun?”

Katanya kamu mau nyusul Bunda di penerbit trus ngajak jalan?” Aku menepuk dahiku sendiri. Bagaimana bisa aku lupa kalau aku ada janji dengan Bunda hari ini? Cowok di hadapanku langsung memasang tampang bingung dengan tingkahku.

“Lupa, Bun.” Ujarku dengan bersalah. Semua gara-gara cowok asing ini. Coba saja ia tidak mengajakku ngobrol dengan seru. Pasti aku tidak akan lupa. Padahal saat perjalanan ke BitterSweet saja aku masih ingat. “ I’m on my way, Sweet Mom.” Tambahku kemudian.

Yaudah cepet, Bunda udah nunggu dari tadi nih.” Setelah itu telepon terputus.

Dengan tergesa, aku mengeluarkan dompet dan menaruh uang seratus ribuan di atas meja. Aku pun mengembalikan gitar cokelat yang tadi sempat aku mainkan pada yang punya. Setelah memastikan bahwa tidak ada barang yang tertinggal, aku segera berpamitan pada ‘teman baruku’ ini.

“Maaf ya, aku duluan. Lupa kalo ada janji sama Bunda.” Pamitku. Aku tidak tahu pasti, tapi ia terlihat sedikit kecewa. Aku jadi tidak enak harus meninggalkannya. Tapi kemudian ekspresinya berubah cepat, seperti mengatakan kalau ia tidak apa-apa ditinggal.

“Okedeh. Kita pasti ketemu lagi.” Ujarnya dengan yakin. Kenapa bisa seyakin itu? Aku saja tidak yakin kalau masih ada lain kali. Karna menurutku bisa bertemu dengannya itu untung-untungan. Tidak setiap hari aku bisa melihatnya. Apalagi dalam keadaan tanpa tahu nama masing-masing.

“Ya, pasti.” Sahutku kemudian. “Kalo gitu, see you next time, Stranger.” Tambahku sembari tersenyum. Aku pun pergi dan melambaikan tangan padanya. Mulai detik ini aku akan memanggilnya Stranger.

See you too, Stranger.” Balasnya dengan senyum yang tak kalah lebar.

Hari demi hari silih berganti. Tak terasa sudah dua bulan berlalu sejak hari itu. Hari dimana aku bertemu dengan seorang Stranger yang berhasil mengubah moodku seketika. Keesokan harinya, saat di sekolah aku kembali menjadi seorang Revita yang biasanya. Aku bahkan sudah mulai melupakan apa yang terjadi di hari ulang tahun Kevin. Aku kembali menemui Jovan saat istirahat. Aku kembali bercanda tawa bersama sahabat-sahabatku. Itu semua karena Stranger. Bahkan aku berhasil melalui ujian akhir semester ganjil dua hari yang lalu dengan santai. Yah walaupun pelajaran sejarah dan kimia masih susah untuk diajak kompromi. Tapi paling tidak aku menikmatinya.

Sayangnya, sejak hari itu juga aku tidak bertemu dengan Stranger lagi. Oh tidak juga, beberapa hari sebelum ujian aku pernah melihatnya di kantin. Ia bersama dengan teman-teman satu bandnya. Sementara aku saat itu bersama Jovan. Aku melihatnya dari kejauhan. Tapi ia tidak melihatku sama sekali. Karena permainan yang kami buat, aku tidak bisa menyapanya. Padahal itu kali pertama aku melihatnya di sekolah setelah pertemuan kami di BitterSweet. Mau bagaimana lagi? Dia bilang, kita bisa saling bercerita jika kita bertemu dan tidak sengaja saling menatap satu sama lain bukannya dari salah satu pihak saja. Tapi semua sudah berlalu, aku bisa apa?

Karena hari ini tidak ada pelajaran lagi, aku, Valeria dan Naira bersantai-santai di kantin. Farah? Sepertinya ia ikut remedial beberapa mata pelajaran. Jangan salah, dengan melihatku bersantai-santai saat teman sedang berjuang memperbaiki nilai, bukan berarti aku juga bebas dari remedial. Kemarin, sesuai perkiraan aku harus memperbaiki nilaiku di pelajaran kimia dan Sejarah. Dua pelajaran itu memang membuatku muak. Sementara Valeria, karna memang ia sudah jenuis dari sananya—kecuali dalam pelajaran kesenian—tentu saja dia bisa tenang. Dan Naira, dia tak jauh beda denganku.

“Rev, kok akhir-akhir ini gue jadi sering liat Farah sama Jovan ya?” Tanya Naira. Aku yang sedang meminum es teh manisku, hampir saja tersedak karenanya.

“Iya bener.” Timpal Valeria menyetujui. “Lo putus?” Tambahnya lagi.

Aku menggeleng cepat. “Nggak lah! Besok lusa aja gue satu tahun sama Jovan.” Bantahku.

“Serius?” Sahut Valeria tak percaya.

“Nggak nyangka udah selama itu.” Naira pun tak kalah tak percayanya. “Kayaknya lo harus pinter jagain cowok lo, Rev. Takutnya, hubungan yang udah berjalan selama itu harus berakhir gara-gara orang ketiga.” Kata Naira mengingatkan.

Aku jadi memikirkan omongannya. Mau tak mau apa yang dikatakan Naira ada benarnya. DanFarah, berpotensi menjadi orang ketiga itu. Aku langsung mengenyahkan pikiran negative yang mendadak muncul itu. Tidak! Tidak mungkin Farah tega merebut Jovan dariku. Aku bisa paham kalau Farah sepertinya lebih kenal dan lebih dekat dengan Jovan, karna memang mereka sudah saling mengenal lama. Yah meskipun masih menyisakan sedikit rasa sakit di hati. Jadi, tidak ada alasan untukku mencurigai Farah. Toh, selama ini Farah juga bersikap baik padaku.

“Gue takutnya juga gitu, Ra. Kan kasian Revi kalo sampe Jovan tega selingkuh.” Ujar Valeria.

“Nggak mungkin, oke?” Kataku dengan yakin. Jujur saja, sebenarnya aku masih berusaha untuk berpikir positif. “Gue percaya Jovan.” Tambahku lagi. Ya, aku percaya pada Jovan. Apapun yang terjadi.

17 Desember, akhirnya datang juga. Dengan begini, aku dan Jovan resmi satu tahun. Oh jangan satu tahun, terdengar sedikit. Aku ralat menjadi lima puluh dua minggu. Banyak bukan? Dan waktu segitu bukanlah waktu yang singkat. Aku hanya bisa berharap, semoga aku dan Jovan akan terus bersama. Melalui hari-hari yang pastinya akan banyak rintangan di dalamnya, bersama Jovan.

Untuk merayakan hari jadiku dan Jovan ini, aku berencana untuk mengajak Jovan mengunjungi bazaar makanan. Tempat dimana pertama kalinya Jovan mengajakku keluar. Bazar yang hanya diadakan setahun sekali ini, menjadi kenangan tersendiri untukku. Karna di tempat itu, pertama kali juga aku melihat Jovan yang mulai menyadari keberadaanku. Dan sekarang, aku ingin mengulang masa-masa itu.

Saat ini, aku sedang bersama Jovan di kantin. Ia baru saja selesai main basket dengan teman-temannya. Sepertinya, ia lupa kalau hari ini hari jadi kami, karna sejak tadi Jovan tidak menyinggung masalah itu. Kalau begitu biar aku saja yang mengingatkannya nanti malam.

“Jo, aku mau ajak kamu ke sesuatu tempat nanti malem. Bisa?” Jovan mengerutkan keningnya. Ia seperti mengingat-ingat perihal acaranya malam ini.

“Bisa deh kayaknya.” Jawab Jovan. “Emang mau kemana?” Tanya Jovan penasaran.

“Rahasia dong.” Kataku sembari tersenyum lebar.

Jovan memasang tampang jengkel yang dibuat-buat, aku tertawa melihatnya. “Oh jadi gitu, sekarang main rahasia-rahasiaan?”

“Sekali-sekali lah, Jo.” Kilahku.

“Iyadeh, terserah kamu, Re.” Sahur Jovan mengalah.

“Eh Jo, kamu tau taman kota yang di deket BitterSweet nggak?”

“Tau, kenapa?”

“Nanti malem jam tujuh aku tunggu di sana ya.” Sebagai jawaban, Jovan hanya menggumamkan kata oke. Lalu kami beralih ke topik yang lain.

Menurutku, ini adalah awal yang bagus. Hampir seharian ini, aku selalu bersama Jovan. Dan nanti malam, aku akan menghabiskan waktuku bersama Jovan juga. Tak sadar, aku tersenyum sendiri jika membayangkan bagaimana reaksi Jovan nanti malam. Biasanya, kalau ada sepasang kekasih yang akan merayakan hari jadinya, pasti si cowok yang akan memberikan kejutan. Si cowok akan menutup mata ceweknya dengan kain, dan membawanya ke tempat yang romantis. Seperti candle light dinner, misalnya. Tapi berhubung aku anti-mainstream. Aku yang akan menggantikan peran si cowok. Yah meskipun hanya membawa Jovan ke bazaar, yang penting kan kenangannya.

Jam setengah tujuh, aku sudah siap. Aku memakai kaus cokelat berlengan pendek sampai siku dan untuk bawahannya aku memilih mengenakan celana jeans tigaperempat. Karena malam ini terasa dingin, aku memutuskan untuk memakai cardigan putih kesayanganku. Masalah alas kaki, akhirnya dengan bebas aku bisa mengenakan converse merah yang dulu sempat akan aku kenakan untuk menghadiri pestanya Kevin.

Tak ingin membuang-buang waktu, aku langsung meluncur ke taman kota yang letaknya tak jauh dari BitterSweet dengan taksi. Sebenarnya aku sengaja mengajak Jovan bertemu di taman itu, karena kalau misalnya Jovan menjemputku di rumah justru perjalanan ke bazarnya akan semakin lama. Karena harus memutar. Lokasi bazaar tahun ini, berbeda dari tahun sebelumnya. Untuk itulah, aku mengajak Jovan bertemu di taman kota.

Hanya butuh waktu lima belas menit dari rumahku ke taman kota ini. Aku meminta untuk diturunkan di pintu masuk. Aku jua sudah mengatakannya pada Jovan, kalau aku akan menunggu di pintu masuk. Sekarang, aku hanya tinggal menunggu kedatangan Jovan.

Taman kota ini terlihat cukup ramai. Karna memang di malam hari, pemandangan di sini sangat indah. Banyak sekali lampu-lampu kecil yang berwarna-warni menghiasi pohon-pohon serta pagar-pagar di taman. Apalagi kalau sudah masuk hingga di tengah-tengah, akan terlihat sebuah air mancur yang lumayan besar. Aku paling suka melihat atraksi air mancurnya yang setiap sepuluh menit sekali akan menampilkan atraksi yang berbeda-beda.

Angin bertiup cukup kencang, sehingga membuatku mengeratkan cardigan yang aku kenakan. Aku mendongakan kepala. Ternyata banyak gumpalan awan yang menghiasi langit malam. Mungkin sebentar lagi akan turun hujan. Tapi semoga saja tidak. Kalau benar-benar hujan, rencanaku pasti akan gagal. Untuk mengusir hawa dingin yang menyerang, aku memasukan kedua tanganku ke saku cardigan.

Aku menarik tangan kananku dan melihat jam digital yang melingkar disana. Sudah jam tujuh lebih, bahkan hampir setengah delapan. Tapi kenapa Jovan belum muncul juga? Apa mungkin ia lupa kalau ada janji denganku? Mana mungkin? Sebelum kemari, aku sudah memberi tahu Jovan kalau aku sudah di jalan. Jangan-jangan Jovan terjebak macet? Ya, bisa jadi. Pasti sebentar lagi Jovan akan datang.

5 menit berlalu…

Jovan masih belum kelihatan batang hidungnya. Tapi aku yakin ia pasti akan datang. Ya, hanya tinggal menunggu sebentar lagi. Aku harus sabar.

12 menit…

Sepertinya, Jovan benar-benar sedang terjebak macet. Aku akan tetap menunggu. Kalau sampai dalam waktu sepuluh menit dia tidak muncul juga, aku akan menghubunginya. Semoga saja Jovan tidak apa-apa.

20 menit…

Aku sudah mencoba menghubungi Jovan, tapi sayangnya tidak diangkat. Mungkin ia sudah dekat, makanya tidak ingin menerima panggilanku. Ya, mungkin saja begitu.

37 menit…

54 menit…

68 menit…

“Jovan kemana sih?!” Gumamku sendiri. Sejak tadi aku sudah berusaha utuk menghubungi Jovan. Jangankan mendengar sapaan ‘halo’ darinya. Diangkat pun tidak. Entah sudah berapa kali aku mencoba untuk meneleponnya.

Yang membuat malam ini terasa begitu sial, suara gemuruh mulai terdengar sejak tadi. Aku jadi bingung antara ingin pulang atau menunggu Jovan. Nanti kalau aku pulang, kan kasihan Jovan yang sudah jauh-jauh datang tetapi justru aku yang tidak ada di tempat janjian. Karena itu lah, aku memilih untuk menunggu.

Tak lama kemudian, aku merasakan ada sesuatu yang basah mendarat di keningku. Setelah itu, titik-titik air mulai menyusul untuk membasahi tubuhku. Sekalipun harus diguyur hujan, aku akan tetap menunggu Jovan datang.

Triing..

Sebuah nada pemberitahuan adanya pesan masuk terdengar. Dengan cepat, aku membuka pesan masuk itu saat tahu kalau pengirimnya adalah Jovan. Kakiku langsung lemas membaca sms itu. Hatiku seperti tertusuk seketika. Aku kecewa. Kenapa harus malam ini? Kenapa harus disaat aku sedang bahagia karena hari jadiku dan Jovan yang pertama? Aku merasa menjadi orang yang sudah diajak terbang tinggi-tinggi, namun tak berapa lama langsung dihempaskan begitu saja. Sialnya, sepertinya langit sedang mengejekku sekarang ini.

Rasanya sakit bukan?

Sepertinya aku harus menelan kekecewaanku untuk yang kesekian kalinya. Dengan langkah gontai di bawah guyuran hujan, aku memutuskan untuk kembali ke rumah. Aku sudah tidak peduli dengan tubuhku yang mulai basah kuyup. Untuk saat ini, aku hanya ingin pulang.

From : Jovan

Re, maaf kayaknya aku nggak bisa nemuin kamu. Waktu aku mau berangkat, Farah telfon. Dia panik, mamanya pingsan mendadak. Makanya aku sekarang lagi sama Farah di rumah sakit.

Sekali lagi maaf ya, Re. Kita bisa jalan lain waktu kok :)

Pagi ini aku bangun dengan kepala yang terasa sangat berat. Semalam aku benar-benar pulang jalan kaki. Dan kehujanan. Selama perjalanan pulang itu aku menangis. Suatu keuntungan ketika aku menangis dibawah guyuran hujan. Setidaknya dengan begitu, tidak akan ada yang menyadari kalau aku menangis. Ya, kecuali untuk orang yang benar-benar memperhatikanku.

Dengan malas aku mulai siap-siap untuk berangkat sekolah. Rasanya, aku terserang flu karna hujan kemarin. Untung saja seragam sekolahku menggunakan jas. Sedikit banyak jas ini akan menghangatkanku. Seharusnya aku bisa saja tidak perlu masuk sekolah. Tapi kalau aku tidak setor muka, aku tidak akan bisa mendapat rapotku besok lusa. Sekalipun sekolahku, sekolah bagus dan paling diminati. Tentu saja ada sisi menjengkelkan dari sekolahku ini. Seperti masalah setor muka itu. Yah, setidaknya meskipun ke sekolah hanya harus setor muka, untuk jam masuk terserah muridnya. Asalkan tidak datang diatas jam sepuluh pagi. Yang datang sekitar jam segitu akan dianggap alpha.

Sekarang baru jam sembilan. Ayah pasti sudah berangakat dari subuh-subuh tadi. Sedangkan Bunda, karna hari ini sedang free, biasanya akan menghabiskan waktunya di depan laptop untuk mengerjakan tulisannya. Dan biasanya Bunda tidak ingin diganggu. Maka, jadilah aku menempelkan sebuah post-it untuk Bunda yang berisikan kalau aku berangkat ke sekolah di pintu lemari es.

Seperti biasa, setiap berangkat sekolah aku akan diantar oleh supir pribadi Bunda. Keluargaku biasa memanggilnya Mang Udin. Mang Udin ini sudah bertahun-tahun mengabdi pada kedua orangtuaku. Katanya sejak mereka menikah. Oleh karena itu, Mang Udin pasti tahu betul tentang aku. Bahkan, Mang Udin menyadari akan perubahan pada diriku. Ia juga sempat bertanya apa aku yakin tetap ke sekolah, tentu saja aku menjawab yakin seyakin-yakinnya dengan menampakan tampang ‘aku rapopo’ macam Julia Perez saat di tinggal oleh Gaston.

Ohmaaaii! Sepertinya ada yang tidak beres dengan otakku karena diguyur hujan semalaman. Sepulang sekolah nanti, aku harus periksa ke dokter. Sebelum otakku makin bertambah kacau.

Setibanya di sekolah, aku segera menuju ke kelas. Kepalaku terasa lebih berat dari sebelumnya. Ditambah lagi dengan pusing yang tiba-tiba menyerang, lengkaplah sudah penderitaanku. Bahkan, badanku pun rasanya tidak bisa berdiri tegak seperti biasanya. Bawaannya ingin menunduk saja.

Di kelas, aku hanya mendapati beberapa murid yang diam di kelas. Terutama Valeria dan Naira. Sepertinya yang lain lebih memilih untuk menghabiskan waktunya selama di sekolah ini dengan bermain-main di luar kelas. Aku sama sekali tidak melihat Farah di kelas ini. Tanpa berpikir panjang, aku langsung duduk di bangkuku sendiri.

“Lo sakit, Rev?” Tanya Valeria begitu menyadari kedatanganku. Aku hanya menggelengkan kepala sebagai jawaban.

“Muka lo pucet parah.” Sahut Naira mendukung Valeria.

“Gue nggak papa. Cuma agak pusing aja.” Oke, aku hanya beralasan. Sebenarnya dari tadi aku sudah meriang. Tapi aku tidak ingin membuat mereka berdua khawatir. Aku langsung menepis tangan Valeria dengan cepat sebelum ia menyentuh dahiku.

“Revi!” Hardik Valeria kesal. “Udah, lo ke UKS aja sana.” Suruhnya kemudian.

“Atau mau kita anterin?” Tawar Naira lembut. Gadis ini memang memiliki sifat keibuan yang kuat. Aku suka caranya memberikan perhatian pada sahabatnya.

“Nggak deh, makasih.” Tolakku halus. Setelah merasa cukup kuat untuk berjalan, aku langsung bangkit dari dudukku.

“Lo mau kemana?” Tanya Valeria bingung.

Aku menghembuskan napas berat, “Katanya disuruh ke UKS? Gimana sih lo?”

“Oh, iya.” Sahutnya dengan cengengesan. “Yaudah sana, istirahat.” Titahnya dengan tampang yang dibuat sok galak.

Aku hanya bisa menggelengkan kepala melihat Valeria. Sementara Naira sudah menahan tawanya dari tadi. Tanpa ingin berlama-lama lagi, aku segera keluar kelas. Dengan jalan yang masih saja sempoyongan. Sebenarnya, aku tidak berniat ke UKS sama sekali. Aku ingin menemui Jovan. Aku yakin, dia pasti ada di lapangan sekarang ini.

Dengan segenap tenaga yang tersisa aku hampir berhasil sampai ke lapangan basket dimana Jovan biasa bermain. Saat aku akan memanggilnya, aku melihat Jovan menghampiri seseorang. Betapa terkejutnya aku saat tahu bahwa Farah lah yang Jovan hampiri. Mereka tertawa bersama, entah karena apa.

Rasa sakit itu datang lagi. Seperti di hempaskan dengan kasar dari langit ke bumi. Sekali lagi, aku melihat Jovan yang tampak begitu bahagia bersama Farah. Seharusnya wajar saja bukan kalau dua orang teman lama yang terlihat begitu dekat dan saling tertawa bersama? Namun yang aku rasakan bukan seperti itu. Aku merasa ada sesuatu yang lain diantara mereka berdua. Tapi aku tidak tahu apa.

Niatku untuk menemui Jovan langsung menguap begitu saja. Pandanganku juga mulai kabur karena air mata yang sudah mulai menggenangi pelupuk mataku. Aku tidak mau menangis di sini. Setidaknya kalau ingin menangis, aku harus menangis di rumah. Atau minimal di tempat yang sepi.

Aku sudah tidak kuat menahan rasa sakit ini sendiri. Aku ingin membaginya pada orang lain. Tapi siapa? Tidak mungkin aku menceritakan masalah ini pada Valeria atau Naira. Pasti mereka akan emosi, dan ujung-ujungnya akan memusuhi Farah. Dan aku tidak mau hal itu sampai terjadi. Aku ingin hidup di dunia yang tenang dan damai, walaupun aku menjadi pihak yang tersakiti.

Tiba-tiba saja wajah seseorang yang tidak pernah ku sangka, muncul dalam benakku. Si orang asing yang aku sebut Stranger. Dia pasti ada di sekitar sini. Aku harus bisa menemukannya walau kemungkinannya sangat kecil. Bayangkan saja, aku harus mencari satu orang di sebuah sekolah yang sangat luas dan terdiri dari beberapa gedung dengan tingkat lebih dari dua. Tapi aku harus bisa menemukannya bagaimana pun caranya. Meskipun aku tidak menceritakan masalahku, paling tidak aku akan terhibur bila mengobrol dengannya.

Tekadku untuk mencari Stranger sudah bulat. Tanpa berpikir panjang, aku melangkah menjauhi lapangan basket. Aku tidak ingin berlama-lama melihat Farah dan Jovan. Untuk hari ini aku sudah cukup tersakiti. Belum dihitung dengan yang kemarin malam.

Aku tidak tahu harus mencari kemana, tapi kakiku sudah membawaku menuju ke gedung utama. Sakit di kepala dan sakit di hati saling berlomba-lomba untuk membuatku semakin menderita. Sekarang aku yakin pasti kalau suhu tubuhku sudah naik beberapa derajat. Setidaknya, kalau memang aku tidak bisa menemukan Stranger sekarang, aku bisa ke UKS untuk istirahat.

Aku berjalan dengan menundukan kepala. Rasanya sudah tidak kuat lagi untuk sekedar memandang lurus ke depan. Sekarang aku sudah tidak tahu sampai dimana, yang pasti aku sudah berada di gedung utama. Entah kenapa, tiba-tiba saja ada dorongan kuat dari dalam diriku untuk mendongakan kepala. Dan sekarang aku benar-benar lega.

Aku melihatnya. Dan dia melihatku. Kami saling bertemu dan tidak sengaja bertatapan satu sama lain. Artinya sekarang aku bisa membagi kisahku padanya bukan? Dari pandangannya ia terlihat begitu terkejut melihatku. Si vokalis itu sepertinya baru saja keluar dari studio musik. Bahkan tangannya masih menggenggam grendel pintu.

Baru kali ini aku merasa lega luar biasa saat bertemu dengan seseorang. Untuk beberapa saat, kami hanya diam terpaku dan saling pandang. Aku yang sadar terlebih dahulu, tersenyum padanya. Seiring dengan senyumanku, air mata yang sudah kubendung sejak tadi meluncur dengan mulus di pipiku.

“Ketemu.” Itu adalah kata terakhir yang keluar dari mulutku.

Aku merasa tidak kuat lagi untuk berdiri sehingga tubuhku tiba-tiba saja limbung ke depan. Mataku pun terjepam karena tidak kuatnya. Untung saja, ada tangan yang menahan pundakku agar tidak jatuh membentur lantai marmer. Sayangnya, ia seperti kepayahan untuk menahan tubuhku hingga pada akhirnya ia pun jatuh terduduk di lantai dengan memelukku.

“Aduh!” Lenguhnya kesakitan. “Hey, bangun dong? Badan kamu panas banget.”

Setelah itu, aku benar-benar hilang kesadaran.

Continue Reading

You'll Also Like

5.6M 240K 56
On Going [Revisi] Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan ya...
9.7M 183K 41
[15+] Making Dirty Scandal Vanesa seorang aktris berbakat yang tengah mencapai puncak kejayaannya tiba-tiba diterpa berita tentang skandalnya yang f...
13.1M 1M 74
Dijodohkan dengan Most Wanted yang notabenenya ketua geng motor disekolah? - Jadilah pembaca yang bijak. Hargai karya penulis dengan Follow semua sos...
5M 920K 50
was #1 in angst [part 22-end privated] ❝masih berpikir jaemin vakum karena cedera? you are totally wrong.❞▫not an au Started on August 19th 2017 #4 1...